Don Gusti Rao
Awalnya, saya diminta seorang sahabat untuk membantu membuat “latar pendahuluan” dalam proposal project kegiatan besar salah satu banom NU. Tema yang diusung sebenarnya bukan barang baru, tapi konsepsi lama yang coba dipublikasi kembali sebagai sebuah konsep dakwah NU, mungkin agar makin relevan. Lebih tepatnya, sebuah “jargon reflektif-dialektis” yang menggambarkan medan juang Islam Kultural tersebut. Apa konsepsi itu? Ya, Islam Nusantara.
Sadar dengan
pemahaman keagamaan yang biasa saja, saya lantas membuat tulisan dengan tidak
masuk kedalam persoalan kegamaan terlalu dalam yang tentunya akan debatable, bukan karena temanya, tetapi
karena sosok yang menulis – yakni saya – yang tidak mempunyai background khusus kajian keagamaan. Maka
itu, dengan penuh kehati-hatian, saya hanya mengutip tulisan yang secara tersurat
menyimpulkan relasi sosiologis agama dan aspek sosial. Kebetulan, beberapa hari
sebelum menulis ini, saya mengikuti agenda diskusi Gusdurian Jakarta tentang
Pribumisasi Islam Gus Dur yang sangat mencerahkan itu.
Meskipun publikasi
serupa sudah banyak sekali, saya pikir, sambil menenggak Americano Coffe tanpa gula di Jaringan Toko waralaba ditemani
gerimis senja, tulisan ini – meskipun belum pasti digunakan atau digunakan
sedikit sebagai catatan saja dalam proposal
project tersebut – saya sertakan di dunia maya, dengan asumsi bahwa
sebenarnya saya pun ikut latah membicarakan Islam Nusantara.
***
Prolog
Belakangan ini,
wacana Islam Nusantara memang begitu menuai polemik dan menyita perhatian. Hal
tersebut muncul tatkala konsepsi islam ala Indonesia tersebut disalahkaprahi
sebagai aliran baru yang merevolusi arab (baca: arabisasi) sebagai kultur, juga
mengokupasi islam secara kaffah. Perdebatan bagi perlu tidaknya Islam Nusantara
sebagai alternatif – bahkan arus utama –
bagi “model dakwah” di Indonesia memang mencapai klimaks tatkala Presiden Joko
Widodo, dalam sambutannya pada agenda Istighosah Akbar sekaligus pembukaan
Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan Hari Lahir Pancasila di Masjid
Istiqlal, Juni 2015 lalu, mengatakan dengan optimis bahwa Indonesia tak akan
mengalami perpecahan dan perang saudara seperti di Timur Tengah karena corak
Islam Nusantara yang toleran. Sontak saja, bagi para oposan – baik secara
politik dengan Jokowi dan secara “Islam” dengan NU – adalah ladang kritik.
Bahkan, di dunia maya, Islam Nusantara selalu disudutkan sebagai aliran baru
yang hendak menyimpang dari islam ala Arab yang diklaim sudah final secara
keislaman, parahnya, Islam Nusantara di-plesetkan
menjadi akronim JIN (Jemaat Islam Nusantara) dan Aliran Islam Nusantara (ANUS)
sebagai bentuk “analogi lain” dari islam nyeleneh
seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) yang memang dimotori oleh para intelektual
NU. Kritik tersebut, bagi para oposan, adalah bom waktu yang dinanti. Mereka
yang selama ini secara sinambung rentan mengkritik NU dengan sikap tolerannya (Tawwasuth, Tawwazun, I’tidal) dalam
konteks kebhinekaan (agama sebagai hak personal), Kebangsaan (NKRI sudah final)
dan bahkan secara kultur pun mengambil momentum. Kepentingan para oposan
tersebut menyatu dengan menguatnya konsepsi Islam Nusantara. Mulai dari kelompok
“Nahdliyyin radikal”, kelompok pemurni islam pengkritik TBC (Tahyul, bid’ah, churafat), sampai kelompok
penjual konsepsi Khilafah yang — bagi NU – utopis itu.
Dengan demikian,
Islam Nusantara juga bisa dijual sebagai isu dan ditunggangi sebagai
kepentingan politik. Aksi-aksi politis dengan visi khilafah sebagai postulat
gerakan sosial maupun politik.
Konsepsi yang kaffah
Sejarah
perkembangan islam di Indonesia memang mafhum membawa kearifan lokal yang
estetik. Tatkala penyebaran islam di Jazirah Arab rentan dan melulu dengan
peperangan, di Indonesia (Nusantara) justru berkembang setidaknya dengan tiga
varian utama dakwah sebagai gerakan sosial yaitu perdagangan, perkawinan dan
kebudayaan – sebagai rekayasa sosial. Wali Songo pun dinilai sebagai pionir
penyebaran islam dengan nafas Islam Nusantara di Indonesia (Jawa), dengan eklektisitas
yang fleksibel dan tidak kaku tentunya.
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) dalam Pribumisasi Islam
– yang dianggap sebagai salah satu konsep referensi tekstual Islam Nusantara –
menyebut bahwa akulturasi islam dengan budaya tidak serta merta merubah hukum-hukum
agama itu sendiri.
“Pribumisasi
Islam bukanlah “Jawanisasi” atau Sinkretisme, sebab pribumisasi islam hanya
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum
agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma
demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari
budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan
kepada Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh.” [Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan. 1989
: 83]
Jadi, memang
akulturasi budaya dalam islam adalah kebutuhan, juga dengan menggarisbawahi
bentuk kearifan lokal dan fase zaman yang ada. Kebutuhan tadi aadalah upaya
menyatukan misi beragama dengan visi yang sama secara kaffah. Terkait islam
kaffah, yang menjadi klaim kontraproduktif dengan islam Nusantara, Akhmad
Sahal, Rois Suriah PCINU Amerika-Kanada menulis :
“Tuduhan
terhadap islam nusantara tersebut umumnya datang dari kaum islamis yang
meyakini bahwa islam adalah ajaran yang kaffah, menyeluruh, mengatur baik
kehidupan privat maupun publik. Semua sudah ada ketentuannya dalam Al-Quran. Juga
sudah ada rincian teknisnya dalam hadis. Di mata mereka, Muslim harus tunduk
sepenuhnya pada nash, teks Al-Quran
dan sunnah secara literal dan harfiah, karena nash adalah sesuatu yang ta’abbudi
(harus ditaati begitu saja) karena berasal dari Allah dan Rasul. Bagi mereka, nash bersifat permanen, tunggal, dan
mengatasi sejarah, ruang, dan waktu. Bagi mereka, tidak mungkin ada banyak
islam meskipun umat islam hidup dalam beragam konteks. Lebih jauh, latar
belakang dunia Arab yang merupakan konteks tempat nabi hidup dianggap sama
abadi dan universalnya dengan islam. Unsur lokal non-arab yang mewarnai islam
akan mudah dituding sebagai penyimpangan. [Akhmad Sahal, Islam dan Arab : Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur, paper pada
Forum Jumat Pertama GusDurian Jakarta, 2017 : 1]
Bagi Sahal, yang
jadi soal, apakah watak islam secara komperhensif hanya dimaknai dalam suatu
yang permanen dan tunggal? Tentu itu akan menjadi bias dan cenderung absurd. Islam yang secara terapan
kontekstual dan felksibel, lanjut Sahal, adalah menifestasi dari Islam Kaffah,
yakni bagaimana menerapkan syariah namun tidak membuat hukum baru yang bertentangan.
Menerapkan syariah dimaknai sebagai mencapai maslahat.
Sebagai dakwah kebangsaan
Apa yang
dikatakan Presiden Jokowi pada paragraf awal diatas adalah angin segar
sekaligus bukti bahwa Islam Nusantara sebagai dakwah mudah diterima. NU sebagai
aliran arus utama yang moderat juga menjadi benteng dakwah bagi nilai-nilai
keislaman yang rahmatan lil alamin. Dakwah
kebangsaan ala NU yang ”welcome”
dengan perbedaan akan menjadi keniscayaan sebagai obat penawar konflik SARA dan
daerahisme. Dalam suatu kesempatan, Romo Franz Magnis-Suseno berkata bahwa
tatkala dia dan saudara seagamanya mengalami diskriminasi, ia akan mengadu ke
PBNU, bukan ke kepolisian, inilah dakwah kebangsaan yang hakiki dalam konteks Hablumminannas. Diluar itu, bagi NU,
beragama adalah ruang privat yang merupakan hak asasi setiap manusia, maka dari
itu kental istilah “dakwah merangkul, bukan memukul,” dan “islam ramah, bukan
islam marah” dalam khasanah diksi pendakwahan NU. Maka dari itu, meski NU lekat
dengan values islam
kultural-tradisional, pendekatan dakwah Islam Nusantara yang relatif fleksibel
dan eklektik dinilai cocok dengan kebutuhan dakwah islam abangan, meski dalam amaliah
keagamaan kadang tidak mengena.
Secara amaliah
keagamaan yang implementatif, kekuatan islam nusantara adalah pada akulturasi
budaya, gotong-royong dan moderat. Untuk itu tidaklah berlebihan kiranya bahwa
konsepsi islam nusantara sangat cocok di Indonesia, apalagi dengan fakta
heterogenitas bangsa ini.
Di lingkup Jam’iah, bagi kalangan Nahdliyin, frasa
Islam Nusantara secara redaksi bukanlah barang baru, tahun 1969 berdiri
Universitas Islam Nusantara (Uninus) di Bandung, yang sebelumnnya bernama Universitas
Nahdlatul Ulama berdiri tahun 1959. Dakwah Islam Nusantara selalu bergerak
diberbagai ranah demi kebangsaan, baik itu melalui tradisi, agama, maupun
akademik.
Pasar Minggu,
Sabtu, 4 Maret 2017.