Senin, 20 Maret 2017

Latahku : Islam Nusantara

Don Gusti Rao

Awalnya, saya diminta seorang sahabat untuk membantu membuat “latar pendahuluan” dalam proposal project kegiatan besar salah satu banom NU. Tema yang diusung sebenarnya bukan barang baru, tapi konsepsi lama yang coba dipublikasi kembali sebagai sebuah konsep dakwah NU, mungkin agar makin relevan. Lebih tepatnya, sebuah “jargon reflektif-dialektis” yang menggambarkan medan juang Islam Kultural tersebut. Apa konsepsi itu? Ya, Islam Nusantara.

Sadar dengan pemahaman keagamaan yang biasa saja, saya lantas membuat tulisan dengan tidak masuk kedalam persoalan kegamaan terlalu dalam yang tentunya akan debatable, bukan karena temanya, tetapi karena sosok yang menulis – yakni saya – yang tidak mempunyai background khusus kajian keagamaan. Maka itu, dengan penuh kehati-hatian, saya hanya mengutip tulisan yang secara tersurat menyimpulkan relasi sosiologis agama dan aspek sosial. Kebetulan, beberapa hari sebelum menulis ini, saya mengikuti agenda diskusi Gusdurian Jakarta tentang Pribumisasi Islam Gus Dur yang sangat mencerahkan itu.

Meskipun publikasi serupa sudah banyak sekali, saya pikir, sambil menenggak Americano Coffe tanpa gula di Jaringan Toko waralaba ditemani gerimis senja, tulisan ini – meskipun belum pasti digunakan atau digunakan sedikit sebagai catatan saja dalam proposal project tersebut – saya sertakan di dunia maya, dengan asumsi bahwa sebenarnya saya pun ikut latah membicarakan Islam Nusantara.

***

Prolog

Belakangan ini, wacana Islam Nusantara memang begitu menuai polemik dan menyita perhatian. Hal tersebut muncul tatkala konsepsi islam ala Indonesia tersebut disalahkaprahi sebagai aliran baru yang merevolusi arab (baca: arabisasi) sebagai kultur, juga mengokupasi islam secara kaffah. Perdebatan bagi perlu tidaknya Islam Nusantara sebagai alternatif  – bahkan arus utama – bagi “model dakwah” di Indonesia memang mencapai klimaks tatkala Presiden Joko Widodo, dalam sambutannya pada agenda Istighosah Akbar sekaligus pembukaan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan Hari Lahir Pancasila di Masjid Istiqlal, Juni 2015 lalu, mengatakan dengan optimis bahwa Indonesia tak akan mengalami perpecahan dan perang saudara seperti di Timur Tengah karena corak Islam Nusantara yang toleran. Sontak saja, bagi para oposan – baik secara politik dengan Jokowi dan secara “Islam” dengan NU – adalah ladang kritik. Bahkan, di dunia maya, Islam Nusantara selalu disudutkan sebagai aliran baru yang hendak menyimpang dari islam ala Arab yang diklaim sudah final secara keislaman, parahnya, Islam Nusantara di-plesetkan menjadi akronim JIN (Jemaat Islam Nusantara) dan Aliran Islam Nusantara (ANUS) sebagai bentuk “analogi lain” dari islam nyeleneh seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) yang memang dimotori oleh para intelektual NU. Kritik tersebut, bagi para oposan, adalah bom waktu yang dinanti. Mereka yang selama ini secara sinambung rentan mengkritik NU dengan sikap tolerannya (Tawwasuth, Tawwazun, I’tidal) dalam konteks kebhinekaan (agama sebagai hak personal), Kebangsaan (NKRI sudah final) dan bahkan secara kultur pun mengambil momentum. Kepentingan para oposan tersebut menyatu dengan menguatnya konsepsi Islam Nusantara. Mulai dari kelompok “Nahdliyyin radikal”, kelompok pemurni islam pengkritik TBC (Tahyul, bid’ah, churafat), sampai kelompok penjual konsepsi Khilafah yang — bagi NU – utopis itu.

Dengan demikian, Islam Nusantara juga bisa dijual sebagai isu dan ditunggangi sebagai kepentingan politik. Aksi-aksi politis dengan visi khilafah sebagai postulat gerakan sosial maupun politik.

Konsepsi yang kaffah

Sejarah perkembangan islam di Indonesia memang mafhum membawa kearifan lokal yang estetik. Tatkala penyebaran islam di Jazirah Arab rentan dan melulu dengan peperangan, di Indonesia (Nusantara) justru berkembang setidaknya dengan tiga varian utama dakwah sebagai gerakan sosial yaitu perdagangan, perkawinan dan kebudayaan – sebagai rekayasa sosial. Wali Songo pun dinilai sebagai pionir penyebaran islam dengan nafas Islam Nusantara di Indonesia (Jawa), dengan eklektisitas yang fleksibel dan tidak kaku tentunya.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Pribumisasi Islam – yang dianggap sebagai salah satu konsep referensi tekstual Islam Nusantara – menyebut bahwa akulturasi islam dengan budaya tidak serta merta merubah hukum-hukum agama itu sendiri.

“Pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi” atau Sinkretisme, sebab pribumisasi islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh.” [Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan. 1989 : 83]

Jadi, memang akulturasi budaya dalam islam adalah kebutuhan, juga dengan menggarisbawahi bentuk kearifan lokal dan fase zaman yang ada. Kebutuhan tadi aadalah upaya menyatukan misi beragama dengan visi yang sama secara kaffah. Terkait islam kaffah, yang menjadi klaim kontraproduktif dengan islam Nusantara, Akhmad Sahal, Rois Suriah PCINU Amerika-Kanada menulis :

“Tuduhan terhadap islam nusantara tersebut umumnya datang dari kaum islamis yang meyakini bahwa islam adalah ajaran yang kaffah, menyeluruh, mengatur baik kehidupan privat maupun publik. Semua sudah ada ketentuannya dalam Al-Quran. Juga sudah ada rincian teknisnya dalam hadis. Di mata mereka, Muslim harus tunduk sepenuhnya pada nash, teks Al-Quran dan sunnah secara literal dan harfiah, karena nash adalah sesuatu yang ta’abbudi (harus ditaati begitu saja) karena berasal dari Allah dan Rasul. Bagi mereka, nash bersifat permanen, tunggal, dan mengatasi sejarah, ruang, dan waktu. Bagi mereka, tidak mungkin ada banyak islam meskipun umat islam hidup dalam beragam konteks. Lebih jauh, latar belakang dunia Arab yang merupakan konteks tempat nabi hidup dianggap sama abadi dan universalnya dengan islam. Unsur lokal non-arab yang mewarnai islam akan mudah dituding sebagai penyimpangan. [Akhmad Sahal, Islam dan Arab : Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur, paper pada Forum Jumat Pertama GusDurian Jakarta, 2017 : 1]

Bagi Sahal, yang jadi soal, apakah watak islam secara komperhensif hanya dimaknai dalam suatu yang permanen dan tunggal? Tentu itu akan menjadi bias dan cenderung absurd. Islam yang secara terapan kontekstual dan felksibel, lanjut Sahal, adalah menifestasi dari Islam Kaffah, yakni bagaimana menerapkan syariah namun tidak membuat hukum baru yang bertentangan. Menerapkan syariah dimaknai sebagai mencapai maslahat.

Sebagai dakwah kebangsaan

Apa yang dikatakan Presiden Jokowi pada paragraf awal diatas adalah angin segar sekaligus bukti bahwa Islam Nusantara sebagai dakwah mudah diterima. NU sebagai aliran arus utama yang moderat juga menjadi benteng dakwah bagi nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin. Dakwah kebangsaan ala NU yang ”welcome” dengan perbedaan akan menjadi keniscayaan sebagai obat penawar konflik SARA dan daerahisme. Dalam suatu kesempatan, Romo Franz Magnis-Suseno berkata bahwa tatkala dia dan saudara seagamanya mengalami diskriminasi, ia akan mengadu ke PBNU, bukan ke kepolisian, inilah dakwah kebangsaan yang hakiki dalam konteks Hablumminannas. Diluar itu, bagi NU, beragama adalah ruang privat yang merupakan hak asasi setiap manusia, maka dari itu kental istilah “dakwah merangkul, bukan memukul,” dan “islam ramah, bukan islam marah” dalam khasanah diksi pendakwahan NU. Maka dari itu, meski NU lekat dengan values islam kultural-tradisional, pendekatan dakwah Islam Nusantara yang relatif fleksibel dan eklektik dinilai cocok dengan kebutuhan dakwah islam abangan, meski dalam amaliah keagamaan kadang tidak mengena.

Secara amaliah keagamaan yang implementatif, kekuatan islam nusantara adalah pada akulturasi budaya, gotong-royong dan moderat. Untuk itu tidaklah berlebihan kiranya bahwa konsepsi islam nusantara sangat cocok di Indonesia, apalagi dengan fakta heterogenitas bangsa ini.

Di lingkup Jam’iah, bagi kalangan Nahdliyin, frasa Islam Nusantara secara redaksi bukanlah barang baru, tahun 1969 berdiri Universitas Islam Nusantara (Uninus) di Bandung, yang sebelumnnya bernama Universitas Nahdlatul Ulama berdiri tahun 1959. Dakwah Islam Nusantara selalu bergerak diberbagai ranah demi kebangsaan, baik itu melalui tradisi, agama, maupun akademik.


Pasar Minggu, Sabtu, 4 Maret 2017.