Sabtu, 04 Juli 2015

KHITAH DAN TETEK BENGEK

DON GUSTI RAO*

Sebuah pertimbangan tentu harus dilandasi dengan hukum kausalitas, itu sudah merupakan analisis yang normatif disegala aspek. Lantas, pertimbangan tersebut sudah pasti menimbulkan polemik pro-kontra, apalagi bila isu yang muncul kemudian berkaitan dengan keputusan besar dan arah angin organisasi kedepan. Analisis wacana kritis (AWK) secara teoritik bahkan menyindir kausalitas dengan tersurat, yakni upaya untuk mencari titik terang realitas dengan bermuara pada tujuan tertentu, dengan kata lain, ada capaian yang diinginkan, bukan sekedar retorik yang menjemukan.

“Sahabat-sahabat, pertimbangannya bukan hanya sekedar untung-rugi dan praktis tidaknya,” ya, bila di konfrontir dengan analisis wacana kritis yang lazim dibawakan pada Pelatihan Kader Dasar PMII itu, statement PB PMII tersebut tentu menjadi anomali. “Pertimbangannya ideologis, aswaja an-nahdliyah. Kita mengisi kekosongan kaderisasi NU,” tambah PB PMII. Disini, perspektif AWK pun sedikit menemukan titik terang bahwa ada ‘keuntungan ideologis’, meski kemudian sudah mafhum bahwa AWK amat sangat menolak bargain non-riil yang dianggap klise itu.

Selanjutnya, AWK pun akan menggigit jarinya tatkala muncul statement yang substantif dari PB PMII. “Kembalinya PMII ke NU tidak bisa dianalisis secara teoritik.”

Tentu saya tersenyum simpul, mengingat sudah banyak sekali paper dan opini sahabat-sahabat Cabang, Komisariat dan rayon yang bertebaran di dunia maya, isu besarnya yakni ultimatum NU kepada PMII bila tidak mau menjadi banom saat muktamar, lantas mendirikan organisasi kemahasiswaan baru. Mayoritas paper mengambil alur hisoris, organisatoris, kearifan lokal, dan ideologisasi. Tentunya paper ini tidak akan seserius paper-paper tersebut, karena, meminjam PB PMII, tidak bisa dianalisis dengan teori. Ya, hanya sebuah telaah sederhana dan menginventarisasi beberapa variabelnya.

-o0o-

“Mayoritas di sini, PMII justru yang meng-NU-kan mahasiswa. Karena banyak sekali mahasiswa non-NU atau tidak mengerti apa itu NU yang kita mapaba-kan, kemudian menjadi NU. NU tidak pernah mem-PMII-kan anak-anaknya saat kuliah, bahkan saat keluar mondok.” Keras, namun saya pun tersenyum untuk kedua kalinya, bagaimana tidak, statement dari salah satu ketua PKC PMII tersebut sangat mengena bagi kader PMII seperti saya yang berangkat dari kampus umum di Jakarta. Belum lagi Ketua PKC lain yang menyinggung konstelasi sosial politik PWNU di aderah asalnya, dia menyebut dengan istilah ‘NU naturalisasi’ dimana NU secara kelembagaan hanya diisi sebagai batu loncatan tatkala ada yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati, gubernur atau DPRD, kongkritnya, NU itu dimanfaatkan karna tidak seriusnya PW/PCNU menjalankan organisasi secara ideologis. “Bahkan ketua PWNU malah nyaleg lewat PKS. Kan lucu bro,” tutup ketua tersebut yang dilanjut dengan kernyitan dahi serta ketawa nyinyir pendengarnya. Kemudian seperti sudah mengerti akan alasan-alasan yang dilontarkan, PB PMII pun mempunyai jawaban elegan, “Maka dari itu, itu tugas kita bersama sebagai PMII sebagai Jam’iyah untuk membenahi NU.” Gol! Ibarat pertandingan sepakbola, itu adalah klimaks, 1-0 bagi PB PMII yang dalam agenda itu, sudah menggiring opini bahwa setelah desas desus PMII-NU sejak – kurang lebih – tahun 2011, saatnya muktamar ini kembali kepangkuan sang orang tua.

Syahdan, forum tidak se-alot yang diperkirakan, penuh dengan guyon kekeluargaan khas PMII.

PKC PMII bukan tanpa ‘disintegratif’ opini, salah satu daerah bahkan dengan kentara menyimpulkan bahwa sudah saatnya PMII kembali ke NU karna sudah bukan lagi partai politik. “Mayoritas mabinda kita PWNU. Saya ini santri, kalau sudah di minta kyai-nya mau gimana lagi? Sami’na wa ato’na lah PMII harus balik ke khitahnya.” Guraunya dengan renyah.

Lain ladang lain belalang, lain lagi dengan PKC PMII salah satu kota besar yang bercerita ketika berdiskusi dengan stakeholder PWNU setempat, justru disinggung bahwa : “jangan-jangan PMII kembali karena sedang lapar”. Hm, mungkin orang tesebut lupa bahwa PBNU-lah yang pertama kali mengeluarkan opini tersebut. “Bahkan dengan ultimatum ya.” Tutup sahabat tersebut terkekeh.

-o0o-

Dari dinamisnya forum tersebut, baik didalam maupun diluar secara non-formal, saya mendapat banyak opini yang menarik. Hal ini menunjukkan bahwa kader-kader PMII, apapun sikapnya, akan tetap memposisikan NU sebagai orang tua dan panutan ideologis.

Berikut beberapa poin opini pro kontra kembalinya PMII ke pangkuan NU. Opini yang abu-abu sengaja di generalisasi dengan tendensi pertimbanganya. Disarikan dari berbagai sumber

KEMBALINYA PMII SEBAGAI BADAN OTONOM PMII, MOMENTUM MUKTAMAR NU KE 33, JOMBANG
NO
PRO
KONTRA, counter opinion
CATATAN
1
Sudah saatnya PMII kembali NU dengan asumsi bahwa PMII sudah semakin liar, baik secara pemikiran ataupun gerakan.
Pergerakan PMII tidak dinamis, rentan berpolemik dengan PBNU, berbenturan dengan keputusan yang dikeluarkan. Siapkah PBNU menampung “keliaran” tersebut?

2
Ideologi Aswaja harus dikuatkan ditengah menjamurnya ideologi islam lain yang disintegratif. PMII sebagai anak muda NU dianggap sebagai obat penawar yang tepat.
Secara legal-ideologis, PMII selalu mengambil diskursus aswaja an-nahdliyah sebagai materi wajib di masa penerimaan anggota baru. Ada atau tidaknya PMII sebagai banom, aswaja NU tetap “dikader”.

3
Membenahi NU secara kelembagaan dan organisasi.
Pembenahan NU secara kelembagaan tentu menjadi tugas bersama, IPNU, IPPNU, Ansor, Fatayat, Muslimat dan keluarga besar NU. PMII membantu dari luar.
Diluar hal tersebut, dimata konstitusi, kedudukan NU dan PMII sama.
4
Agar kaderisasi NU semakin sistematis.
Dengan adanya IPNU Perti (perguruan tinggi) kaderisasi menjadi sistematis. Bahkan bila organisasi mahasiswa NU didirikan. Hal tersebut takkan mengurangi eksistensi dan nalar kritis PMII.

5
Mengisi kekosongan lembaga kemahasiswaan NU, bila tidak NU akan membuat organisasi baru. Kekhawatirannya kemudian, organisasi tersebut justru akan diisi oleh kader organisasi lain yang punya agenda tertentu. 
Kader organisasi lain yang masuk ke keluarga besar NU sudah banyak. Sebenarnya kekhawatiran tersebut tidaklah harus ditanggapi berlebihan, mengingat dalam tubuh PMII juga tidak semuanya NU, banyak dengan latar Muhammadiyah, persis, al-irsyad, abangan dll. Namun, mayoritas suplai kader NU tetap banyak dari PMII.

6
Deklarasi independen Murnajati tidak dihasilkan dalam forum resmi organisasi seperti Kongres dan Muspimnas. Tidak legitimate karna dihasilkan hanya dengan rapat pleno biasa .
Independensi dihasilkan melalui musyawarah besar PMII 14-16 Juli 1972. [Fauzan Alfas, 2004 : 57]
Legitimasi Musyawarah besar masih debatable, juga redaksional forum tersebut apakah saat ini setara dengan kongres atau muspimnas.
7
NU sudah tidak menjadi partai politik
(1) Belum ada data valid bahwa masuknya organisasi mahasiswa ke ormas induknya membuahkan hasil yang optimal bagi kedua belah pihak, IMM menjadi contoh relevan mengingat kaderisasi dan suplai kader yang “biasa saja”.
(2) Sebagai ormas besar yang kerap mengeluarkan sikap (fatwa) sosial politik, benturan justru semakin besar tatkala PMII yang masih kuat dengan logika dialektika mahasiswa yang kritis.

8
IPNU sebagai organisasi pelajar belum memaksimalkan suplai kader kemahasiswaan. Sangat terbatas di kampus-kampus, khususnya kampus umum.
Penguatan IPNU menjadi keniscayaan.

9
Menjadi mitra PW/PCNU bersama GP Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan Muslimat di daerahnya guna mengimplementasikan nilai-nilai ke-NU-an.
Peta setiap daerah berbeda. Ada juga beberapa daerah yang relasi PMII-NU tidak harmonis. Bahkan kerap bersitegang terkait manuver politik NU. Nilai-nila NU tetap diimplementasikan di ajang Mapaba.

10
Menjadi kontrol NU sebagai organisasi. Redaksional “mahasiswa” mungkin prestisius dibanding “pelajar” atau “pemuda”.
Subjektif. Ansor, IPNU dan NU sebagai Jam’iyah juga sangat mungkin menjadi kontrol.

11
Kebutuhan secara organisasi/kelembagaan. Interdependesi yang legitimate.
Melanggar AD PMII Pasal 3 tentang sifat organisasi yang antara lain : Independen. (lepas dari organisasi manapun secara struktural).
Bila kemudian PMII menjadi Banom NU, polemik yang muncul pun beragam. Yakni isu dimana banom NU harus memakai nomenklatur “NU”. Seperti Ansor yang akan kembali menjadi “Ansor NU” yang dibahas saat muktamar. Bila PMII menjadi “PMII NU” atau apalah namanya, tentu akan mengubah AD PMII.
12
Konstelasi Murnajati berbeda dengan saat ini (otoritarianisme orde baru).
Justru dengan berbedanya nafas perjuangan, beda juga values pergerakan. Yakni bisa berjuang meski tidak bernaung di lembaga besar.
Bahkan – terkait relasi sitem kepemerintahan – ada isu bahwa ada “parpolisasi” partai politik  tertentu di tubuh NU. 
13
Harus dikelurkan keputusan sebelum muktamar NU (Agustus 2015).
Hasil keputusan PMII hanya bisa dikeluarkan melalui kongres (2016) atau Muspimnas (Oktober 2015) atau bahkan Rakornas (akhir Agustus 2015).


Itulah 13 poin yang saya rangkum dari sahabat-sahabat PKC Se-Indonesia, baik melalui forum formal maupun informal. Menariknya, opini pro dan kontra pun langsung ditanggapi dengan debat yang santai dengan sesekali menyeruput kopi. Tentunya rasionalisasi yang se-relevan mungkin.
Diluar 13 poin pro dan kontra tersebut, saya yakin masih banyak perspektif yang mengganjal untuk segera dikeluarkan. Yang pasti, PMII sebagai organisasi kader tentu dimiliki oleh kader sebagai pemegang saham mayoritas, bukan elit struktural. Maka dari itu, keputusan besar yang diambil harus melalui diskursus yang akomodatif.

Dibenak saya, bila isu ini kemudian menjadi polemik yang sudah sarat dengan konflik internal, perlu diadakan jajak pendapat ditiap kader, menggunakan gaya referendum per-personal yang dikumpulkan per-Rayon, Komisariat, Cabang dan Koordinator Cabang. Itu alternatif terakhir, layaknya demos dan cratos yang mengedepankan musyawarah dan lobi ketimbang voting.

Forum pun selesai, saatnya kembali kerumah dengan segala aktivitasnya sembari melupakan isu PMII-NU yang menjadi tidak penting bila kita berada dirumah. Bagaimana tidak, tugas sosial sebagai anak pun hadir kembali setelah 6 hari berdiskursus. Saya pun berpikir ulang, layakkah isu ini kemudian dikesampingkan sedemikian diujung, atau pura-pura tidak kita indahkan agar berjalan natural. Seperti judul paper ini yang justru lebih mirip dengan komik, tetek bengek : hal yang tidak begitu penting.

Wisma Kementerian Sosial, Pondok Indah, 27 Juni 2015. Usai PKN II PB PMII
*Bendahara Umum PKC PMII DKI Jakarta 14-16.
Pict : Istimewa.

STRATEGI MEREBUT KEPEMIMPINAN NASIONAL

Sebuah pengantar

Don Gusti Rao*

“NU (harus) ada dimana-mana, tapi gak akan kemana-mana.”
-Gus Dur-

Ya, saya memulai paper ini dengan quote Gus Dur yang lebih senang saya sebut sebagai frasa penyemangat. Bila frasa secara definitif adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat non-prediktif, Gus Dur menjadi antitesanya. Sebagai seorang yang mempunyai paradigma futuristik, adalah mafhum Gus Dur mengemukakan frasa tersebut menjadi opini yang bila diinterpretasikan, anak muda NU harus bisa berdiaspora dan ikut serta menjawab tantangan zaman yang justru sudah di prediksi Gus Dur sebelumnya. Tentunya dengan rasa memiliki NU yang kental, kemudian ada timbal balik dalam bentuk yang bermanfaat (konsolidasi policy) sebagai organisasi dan atau kader.

PMII yang tidak lain adalah anak kandung ideologis NU tentu mempunyai kewajiban melihat ini sebagai hal yang patut diperhitungkan dengan seksama, bagaimana tidak, diaspora kader pasca struktural PMII semakin banyak terlihat pada dua sektor, yakni dibidang sosial-politik (LSM/parpol) dan akademik. Tentunya dengan asumsi bahwa, katakanlah bidang sosial-politik mempunyai andil besar. Maka dari itu, melebarnya jangkauan kader-kader PMII – dalam konteks politik – tatkala berdinamisasi di partai politik menjadi tren yang positif, harus ada stimulan dimana tak melulu kader PMII harus ber-PKB atau ber-PPP, melihat pada frasa Gus Dur diatas, mestinya kader PMII harus ber-Gerindra, ber-Golkar, ber-PDIP atau lain sebagainya. Ini dilihat sebagai strategi merebut kepemimpinan nasional, kemudian kebutuhan dan perubahan fase, dan analisis geo-politik yang komperhensif, semua fenomena politik tersebut harus disambut dengan baik dan gembira.

Kemudian dalam konteks akademik, perebutan kekuasaan dibidang akademik tentu menjadi arena yang penuh substansi perjuangan, hal itu mengingat nafas perjuangan PMII yang merupakan organisasi kader dari para manusia terdidik. Dengan metode Bottom-up, pos-pos akademik internal menjadi lahan perjuangan awal kader PMII, mulai dari ketua Himpunan Jurusan, Senat Mahasiswa, BPM, UKM, hinggga BEM. Meminjam teori patisipasi politik Huntington [1984], bahwa organisasi merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang nyata. Dengan demikian, eksistensi PMII sebagai organisasi pun semakin meningkat, hal positif lainnya, tentu dengan naiknya popularitas kader yang menduduki jabatan tersebut yang berimbas pada massifnya kaderisasi. Selain itu, pendistribusian perjuangan kader menjadi dosen hingga birokrat kampus dan bahkan rektor menjadi tantangan yang menantang, apalagi bila melihat realitas tersebut dikampus umum.

Nyatanya, dua hal tadi belum dilihat sebagai “usaha serius” guna merebut kepemimpinan nasional yang akan datang. Mengapa demikian? Tentunya kita harus samakan persepsi bahwa kepemimpinan nasional tak bisa hanya direbut secara implementatif dengan variabel sos-pol dan akademik (multy variable, leading sector). Apakah kemudian kita berfikir bahwa : ada tidak kader yang saat ini menjabat struktur strategis (atau secara sederhana : prajurit) di TNI-Polri? Atau menjadi pengusaha nasional?  NU sebagai ormas islam terbesar yang mempunyai jamaah yang masif tentu menjadi garda terdepan dalam upaya melerai gerakan yang memicu disintegrasi bangsa, bila NU dituding sebagai ormas yang mempunyai “saham mayoritas” di republik ini dengan sejarah dan massanya, apakah relevan bila NU hanya menjadi penonton dalam gelanggang kepemimpinan nasional?

Masalah tentu bukan sampai disitu saja,  kekuatan NU/PMII yang mempunyai ideologi, tradisi, nasionalisme dan akar rumput akan terkikis tanpa adanya rasa kepemilikan yang hakiki. Akan menjadi anomali bila ada kader yang kemudian duduk pada posisi strategis dan prestisius di lingkup sos-pol, akademik, hankam, profesional, dan wirausaha namun tidak mempunyai rasa kepemilikan yang hakiki. Tentunya harus ada ikatan emosional yang kuat, PMII sebagai salah satu organisasi mahasiswa islam terbesar tentu dinamis, dalam perjalanan suksesi, tentu akan ada manuver dan intrik. Hal tersebut akan menjadi bagian dari perjalanan organisasi yang lumrah bila ada kepemilikan hakiki, membuat hal tersebut menjadi pendewasaan berpolitik misalnya, imbas yang terjadi yakni adanya kesadaran personal untuk membesarkan organisasi, tidak ada dendam politik pasca suksesi kepemimpinan. Sumbangsih ide, jaringan, bahkan finansial menjadi berkesinambungan. Dalam pendekatan analisis konfllik tersebut, masih dalam rangka meliberasi kepemilikan hakiki, kader harus menjadi subjek personal yang otonom. Subjek yang tidak digerakkan menjadi objek, mandiri, dan mempunyai kedewasaan organisasi yang sudah selesai tanpa ada perdebatan. Maka dari itu, rasa memiliki organisasi adalah keniscayaan, kata kuncinya meminjam Zaini Rahman : PMII sebagai komunitas. Yakni PMII yang mempunyai kesamaan tata cara berfikir dan bergerak, tanpa perlu ada perdebatan yang tidak produktif.

Magnet kekuasaan

Bagi Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan harus mempunyai orientasi, tantangan dan lawan. Ketika sudah berjuang merebut kekuasaan, apakah langkah selanjutnya? Dengan orientasi yang matang, pertanyaan tersebut tentunya tak harus muncul. Tantangan yang akan dihadapi pasca suksesi kepemimpinan pun sudah dipetakan dengan baik, kapan harus meng-counter isu, peta konflik dan lain sebagainya. Kemudian lawan, tanpa adanya lawan (ideologisasi, peran politik, nasionalisme, dll), kekuasaan akan statis, non-evaluatif, non-korektif dan tentu menjadi ranah konflik baru. Adanya ideologi yang merongrong keutuhan NKRI dan kritik keras terhadap ritual ke-NU-an adalah beberapa “hal positif” dalam konteks analisis kawan dan lawan. Dengan kata lain, dengan tidak adanya lawan, PMII atau NU akan melawan saudaranya sendiri. Bahkan dalam tataran resolusi konflik yang ekstrim, musuh harus selalu ada dan bahkan dipelihara sebagai bagian dari integritas organisasi.

Dalam realitas konstelasi kekuasaan tanah air, piramida kekuasaan memang runcing keatas. Hal itu membuktikan bahwa ada sekelompok kecil yang menguasai sendi-sendi strategis, kelompok minoritas yang menakhodai mayoritas sebagai aktor intelektual. Hal itu bisa dilihat dari kelompok minoritas China yang menguasai lalu lintas ekonomi Indonesia, disusul Katholik, dan kelompok PSI yang kita sebut sebagai kelompok dominan atau rekayasa elit [Zaini Rahman, PKN PB PMII : 23/06/15]. Pertanyaannya menjadi spesifik, NU sebagai mayoritas akan menjadi lumbung rekayasa elit?  

Kekuasaan pun tidak lain menjadi magnet, kekuasaan dinilai sebagai muara dari partisipasi dan eksistensi politik. Maka dari itu mustahil bila NU/PMII tidak berpolitik – dengan wadah lain.
Sebagai kekuatan besar, menjadi mafhum bila NU bisa membawa kekuasaan tersebut, meski bertentangan dengan hukum besi kekuasaan yang bersifat piramid. Tentu bukan dengan melihat NU sebagai ormas, karna bila demikian, tesis yang diajukan akan menjadi kontraproduktif.

Kaderisasi mumpuni

Secara umum, tipologi kader PMII dilihat dari latar belakang kampus yang dijadikan ajang mapaba ada dua, yakni kampus umum dan agama. Dalam konteks nasional, kampus agama mendominasi kaderisasi, namun dengan liniernya jurusan dikampus agama membuat PMII bagaimanapun harus melihat tantangan zaman kedepan. Kampus umum yang kental dengan jurusan ilmu sosial (umum) dan sains disinyalir sebagai elemen penting yang inovatif dalam kaderisasi. Lumbung penempatan kader dalam konteks itu yakni profesional (BUMN) diluar jabatan politik yang lebih relevan bisa dijangkau dari jurusan yang heterogen. Kedepan, Indonesia menjadi ladang kekuasaan bagi pemuda, tentu dengan perspektif bonus demografi, sedangkan NU sebagai organisasi terbesar wajib hukumnya memanen bonus demografi sebagai tongkat estafet kepemimpinan bangsa lewat PMII.

Maka dari itu, harus ada diferensiasi metodologis dalam kaderisasi PMII di kampus umum yang bahkan dalam beberapa realitas terdiri dari islam abangan. Menjadi diferensiasi mempunyai dua variabel yang mendukung, variabel pertama yakni unik. Ke-unik-an kehidupan dan life style kampus umum menjadi tantangan tersendiri bagaimana PMII harus akulturatif dan eklektik. Variabel kedua yakni mempunyai nilai (values), bagaimana nilai kampus umum menjadi prestisius guna mengambil alih kepemimpinan nasional.

Leading sector adalah keniscayaan besar bagi PMII, penguatan kampus agama dan mendobrak “kultur” kampus umum secara akulturatif menjadi dua poin utama dalam paper ini. Meminjam Hayek dalam liberalisme klasik, spontaneous order atau keteraturan spontan adalah bagaimana kader PMII sebagai subjek yang otonom mampu memposisikan kader sebagai basis tabungan kebutuhan kaderisasi kepemimpinan bangsa, bukan “objek yang dimobilisir” untuk kemudian mengemis kuasa pada penguasa.

* Bendahara Umum PKC PMII DKI Jakarta 14-16.
Disampaikan pada Pelatihan Kader Nasional (PKN) PB PMII, Jakarta, 22-26 Juni 2015