Kamis, 17 Desember 2015

Straight Edge dan Gaya Hidup Kaum Kiri

Don Gusti Rao*

Filosofi hidup kadang selalu mempunyai jalan yang bertaut erat dengan aspek ideologi lain. Bila ideologi adalah ide yang substantif, gaya hidup akan terkontaminasi, atau minimal, ada hal tercakup meski tersirat. Maka jangan heran bila filosofi dan gaya hidup adalah salah satu sumbangan terbesar dari ide selain peradaban, aku berfikir maka aku ada kata Descartes. Ide itu yang dalam konteks akulturatif menjadi kebudayaan. Praktik kejawen, sunda wiwitan, dan kepercayaan lokal lain adalah ide yang bertransformasi menjadi estetik dan penuh penghayatan substansi. Patut dipahami bahwa ia bukan merupakan hal murni yang sekonyong-konyong ada.

Adalah Straight Edge, faham menarik yang menjadi tema besar dalam esai ini, meski bukan merupakan barang baru, faham ini punya values ide dan semangat kemandirian yang mumpuni.

Straight Edge adalah faham yang asal mulanya terjadi di Inggris dan Amerika, pada masa itu musik Underground (Punk/Hardcore) sangat booming, banyak remaja dan musisi menyukainya, tapi di sisi lain musik beraliran keras dengan gaya fasionnya yang sangat mudah ditemui dan di kenali ini selalu berkonotasi negatif dan kriminal, bahkan ratu Inggris pernah berkata bahwa musik Underground itu adalah musik setan –– pada jaman itu, Underground juga identik dengan kriminal, alkohol, drugs dan free sex, dari sebab itulah mereka risih dengan pandangan masyarakat yang selalu memandang negatif pasukan hitam-hitam ini, maka untuk merespon anggapan masyarakat tersebut mereka sepakat untuk bermusik dan berkarya dengan cara yang lebih baik [Lihat Doni Rao – Idealisme dari Sudut Pandang Lain, Kapitalisme KSM-UNAS, Edisi tahun 2009]. Untuk itu, muncullah apa yang dinamakan dengan Straight Edge, sebagai gerakan gaya hidup yang diinisiasi semangat berkarya dengan bersih, tanpa Drugs, Alkohol, Free Sex dan juga Nikotin. Ide ini dicetuskan dari lagu Minor Threat dengan judul yang sama yang bila diartikan bisa berarti gerakan yang lurus, namun sebelumnya, embrio gerakan ini terilhami dari lagu-lagu band Protopunk The Modern Love medio 70-an [Buletin IQRA PMII UNAS 2010 : 4]. Banyak yang mengklaim menjadi penganut faham ini dengan dalih memberontak dari upaya cara pandang gaya hidup (Punk/Hardcore) yang negatif, dengan asumsi bahwa mereka menyaksikan dan juga menyangsikan hancurnya hidup orang-orang sekitarnya, disisi lain juga hancurnya hubungan kekerabatan, bisnis dan lainnya [Alfansuri 2007].

Ditilik dari semangat dan sejarahnya, tentu Straight Edge sangat revolusioner. Begitu mafhum kiranya kita menyandingkannya dengan ideologi kaum kiri yang kerap dipandang kontroversial jua. Sosialisme atau dalam konteks yang fundamental, yakni komunisme. PKI yang secara general mewakilkan partai politik di Indonesia dengan ideologi Komunisme tentu revolusioner, bagaimana tidak, dalam konteks pemikiran dan pandangan yang melawan arus tentu, namun siapa sangka dalam gaya dan pandangan hidup yang impelementatif juga demikian.

Bila Straight Edge sebagai ide yang besar kemudian memunculkan banyak varian, tentu demikian juga dengan PKI. Straight Edge dengan pemikiran fundamentalisme beranggapan bahwa menjadi vegetarian adalah sebersih-bersihnya kaum dengan simbol ”X” ini. Diluar itu, merupakan Straigh Edge yang absurd, karbitan dan layak dimarjinalkan. Pun dengan PKI, varian komunisme Indonesia tentu berbeda dengan Eropa yang sarat dengan pertentangan kelas. Sedangkan di Indonesia mempunyai titik tekan pada nilai perjuangan melawan Kolonialisme dan imperialisme, bahkan sedikit irisan dengan kapitalisme internasional dan borjuasi lokal. Maka dari itu, dalam ”Jalan Baru”-nya, Musso mengkritik habis partai Komunis sekawan di Belanda dan Perancis yang bukannya men-support perjuangan PKI untuk merdeka dari Belanda, tapi malah menganjurkan agar Indonesia menjadi persemakmuran atau common wealth negeri Kincir Angin tersebut.

-o0o-

Bagi kita yang hidup atau mengalami sekolah zaman propagandis orde baru, ada hal yang akan diingat. Menjelang 30 September, beberapa sekolah dasar mewajibkan siswanya menonton film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer dengan layar lebar dari kain, juga disiarkan di TVRI secara maraton. Sudah pasti ada rasa kengerian yang mendalam, orba berhasil menanamkan kebencian yang bukan main dahsyat berikut implikasinya, bahkan saking kontroversialnya, ada kejanggalan dimana Arifin Noer dan Umar Kayam, seniman Idealis yang dikenal tak takut lapar itu justru menggarap dan jadi pemainnya. Dan, mudah ditebak, anggaran 800 Juta Rupiah menjadikannya sebagai film termahal yang disponsori orde baru. Tapi bukan itu yang saya bahas, saya lebih tertarik membahas DN Aidit, ketua CC PKI yang diperankan oleh wartawan senior Tempo Syu’bah Asa. Ya, Aidit digambarkan sebagai seorang ketua partai pemberontak yang memimpin rapat dengan kepulan asap di forum rapat yang amat sumpek. Kontan, ketika reformasi hadir dengan kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar, kawan-kawan seperjuangan, eks tapol sampai sejarawan memandang itu sebagai bagian dari campaign orba. Murad Aidit, adik sang ketua lantas menyangkalnya, Aidit tidak merokok. Bahkan, masa itu, syarat khusus untuk menjadi anggota PKI adalah dua, yakni tidak merokok dan berpoligami. Hal itu lantang disampaikan Sri Sulistyawati, mantan wartawan Bakti dari Grup Sinpo yang mendekam selama 11 tahun enam bulan di RTM Bukit Duri [Beritasatu.com , Kamis, 26 Juli 2012].

Meski rokok dianalogikan sebagai candu para aktivis politik dan para Thinker demi mendapat inspirasi, Aidit melawan mainstream itu. Dalam skala general, PKI yang melawan itu. Lain lagi dengan Musso, ketua PKI pasca Republik merdeka yang menganjurkan kadernya untuk menghormati perempuan. Bahkan, Musso pernah menonjok Alimin, tokoh PKI yang diangkat Soekarno sebagai pahlawan dan dimakamkan di Kalibata itu akibat suka main perempuan [Musso, Si Merah di Simpang Republik. Tim Buku Tempo 2011 : 116]. Ada penghormatan bagi PKI kepada Gerwani, organisasi sayap keperempuanan PKI yang masa itu aktif mengadvokasi hak-hak perempuan, khususnya jaman Aidit (terkait larangan rokok & poligami).

Singkatnya, ada titik temu antara Straight Edge dan PKI dalam nilai perjuangan melawan mainstream “status quo”. Banyak dari kita yang meyakini nilai perjuangan kedua faham tadi sebagai filosofi hidup, meski tak fair kiranya kita dianggap sebagai bagian dari kedua faham itu pula. Ya, kita yang meyakini faham tadi bukanlah Pramoedya, Kartosoewirjo atau malah Jenderal Soedirman yang aktifitas dan permintaan terakhirnya sebelum meninggal adalah merokok. Namun patut dicatat, nilai perjuangan adalah hak personal yang didasari dengan ide, perjuangan dan gaya hidup dan values yang filosofis. Aidit, Musso, Pram, Karto dan Dirman punya filosofi hidup yang diyakininya.

Saya jadi berandai-andai, bila Aidit dan Musso tidak mati sia-sia dan hidup sampai dengan zaman Staright Edge begitu hegemonik, tentu akan ada akulturasi dari ranah gaya hidup aktivisme-politik kaum kiri dan para musisi Underground dalam melawan mainstream dan stigmatisasi kelompok oposan. Dan ini paradoks. Tentu juga bila tidak ada propaganda sistemik yang ditentang Gus Dur itu (baca : Orde Baru) kita akan leluasa mendengar Genjer-Genjer karya Muhammad Arief tanpa harus diprotes keras oleh FPI. Atau, kita akan mendengar syahdunya para seniman Lekra menyanyikan Anti Nekolim di radio-radio kesayangan anda:

                Mari kita bergembira, suka ria bersama
                Hilangkan sedih dan duka, mari nyanyi bersama
                Lenyapkan duka lara, bergembira semua
                La la la la la la la la, mari bersuka ria

Terakhir, tentu kita masygul, kendati faham-faham tadi adalah ide, tapi ia akan mengalami sebuah fase dimana perjuangan akan terjal. Straight Edge akan dimusuhi oleh kaum Underground lain yang menganggapnya cengeng, dan kaum kiri akan terus didiskriminasi karena dianggap sebegitu nistanya, ya, orba berhasil mencuci otak kita.

Kampung Rambutan, 24 November 2015.

*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Esai ini juga dimuat di Zine SPATKAPITALISMUS Sosiologi UNAS - Edisi Desember 2015
Pict : Istimewa

Rabu, 25 November 2015

Gus Dur, Semangat Rekonsiliasi dan Pengadilan Rakyat

Don Gusti Rao*

Pagi itu di Jakarta, 10 November 2015, dunia maya begitu gegap gempita, bagaimana tidak, hari itu adalah hari pahlawan. Hari dimana terdapat apresiasi dan seremonial-simbolik terhadap perjuangan anti kolonialisme-imperialisme bagi bangsa ini. Disisi lain, dunia maya terbelah, ada yang cukup tajam mengkritik suatu peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama, yakni pengadilan rakyat internasional (International People Tribunal) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda oleh para aktivis dan pegiat HAM Indonesia. Agenda itu, semacam pengadilan in absentia atas kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965, dimana ratusan hingga ribuan orang dibunuh dengan dalih sayap kiri dan atau yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia, bahkan komandan RPKAD waktu itu, Letnan Jenderal Sarwo Edhie mengklaim telah membunuh 3 Juta orang yang terindikasi PKI [Rum Aly : 1966]. Pengadilan rakyat itu menuntut Negara Indonesia dengan presidennya waktu itu yakni Jenderal Soeharto untuk bertanggung jawab.

Akhirnya saya pun mafhum terkait beberapa twitwar di twitter pada 10 November itu, sensifitas pengadilan rakyat mengalir deras, bak musim hujan yang sebentar lagi datang. Bangsa ini masih begitu phobia terhadap segala hal yang berbau PKI dan komunismenya, thesis Huntington tentang benturan peradaban yang “diklaim” merupakan antitesa atas the end of ideology Fukuyama pun dipecundangi. Ya, ramalan Huntington terkait benturan peradaban yang mendominasi konflik di dunia dewasa ini menjadi minor tatkala pergolakan ideologi ternyata masih menjadi magnit, magnit yang dipupuk selama puluhan tahun oleh sebuah orde yang sistemik di Indonesia.

Mengingat komunisme dan dinamika diskriminasinya mengingatkan kita akan Gus Dur, mantan presiden yang punya konsepsi paradigmatik yang begitu futuristik. Baginya, konsepsi pemikiran haruslah implementatif, apalagi bila kemudian ada values penting, yakni kemanusiaan. Gus Dur acapkali menciptakan polemik, tentunya dengan rasionalisasi yang berpegang teguh dengan Undang-Undang Dasar. Bahkan, sebelum hiruk pikuk pengadilan rakyat di Belanda, Gus Dur sudah memulai wacana mulia itu dengan semangat rekonsiliasi anak bangsa.

“Belum tentu orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi”. (kompas, 15 maret 2000)
“Karena banyak orang menganggap PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar. (Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Elsam , 2004)
Supremasi hukum harus menjadi panglima, dimana keadilan sosial pada sila ke lima Pancasila mengakomodir itu. Namun tentu saja akan menjadi bias bila sentimentil ideologis dijadikan traumatik yang mencekam. Gus Dur sadar akan hal itu, quote nya yang terkenal itu, yakni  “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi” adalah bukti nyata bahwa keadilan menjadi urgensi bila integrasi bangsa adalah cita-cita luhur bersama.

-o0o-

Semangat rekonsilisasi pun tak pernah sirna bagi Gus Dur, meski mendapat kritik keras dari Ketua Umum PBNU saat itu KH. Hasyim Muzadi terkait sikapnya terhadap PKI, Gus Dur tetap keukeuh ingin mecabut TAP MPRS XXV/1966 yang tentu saja merupakan bentuk legitimasi yang diskriminatif, semangat kebebasan berfikir dan berpendapat tentu saja tercederai.

Pada suatu ketika di acara Kick Andy Metro TV, ketika dicecar pertanyaan tentang keinginan Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966, Gus Dur menjawab :

“Yang terpenting itu, bahwa tugas mengucilkan PKI itu bukan tugas negara, itu yang penting. Apa artinya pemisahan agama dari negara kalau negara ngurusin segala hal. Padahal yang menentang PKI kan cuma beberapa gelintir orang aja.”
Dari statement Gus Dur itu, saya jadi teringat tentang buku putih Benturan PKI-NU yang diterbitkan oleh PBNU tahun 2013 lalu. Buku yang disinyalir sebagai pembelaan terhadap manuver dari apa yang dinamakan Neo-PKI atau PKI baru itu menuai beberapa kritik. Kritik paling substantif bukan karena materi atau persinggungan PKI-NU yang memang masih menjadi kontroversi, tetapi frasa terakhir dari statement Gus Dur diatas bahwa yang menentang PKI sebenarnya hanya beberapa gelintir orang (kelompok) saja. Karena mayoritas orang pasti menginginkan rekonsiliasi, tentunya berharap agar polemik serupa dimasa lalu tak terulang. Buku itu disinyalir menjadi tunggangan militer yang kerap melakukan cuci tangan atas pembantaian kemanusiaan yang terjadi, provokasi militer menjadi perang sipil dengan mengagungkan frasa to kill or to be killed! dengan sangat hegemonik, membunuh atau dibunuh!, akibatnya, sipil membunuh sipil dengan dalih jihad, ya, jihad membela agama dan negara. Maka tak heran bila konon katanya, buku itu tak dicetak lagi.

Banyak tugas negara yang lebih penting dari pada mengurusi diskriminasi ideologi yang pada suatu kasus belum tentu kebenarannya, ya meski memang keinginan Gus Dur urung dilaksanakan, namun keinginannya patut dijadikan teladan bahwa bagaimanapun kepentingan bersama jauh diatas dari kepentingan politik. Kepentingan politik menjadikan presiden selanjutnya tidak begitu menaruh perhatian penting terhadap berbagai produk undang-undang yang diskriminatf. Membahas isu komunisme sama saja menjadikan presiden tidak populer, karena begitu sensitif, ini contoh bahwa Indonesia belum siap menerima kebebasan berpendapat dalam bingkai demokrasi.

Tapi, Gus Dur siap untuk tidak populer, bahkan berseberangan dengan NU sekalipun. Meminjam KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), bahwa bila orang lain rela mati demi keluarga dan kelompoknya, Gus Dur justru rela mati demi orang lain.

“Saya minta TAP (MPRS XXV/1966) ini dicabut, bukan mencabut soal politiknya, tetapi jangan sampai hak hukum orang kita langgar karena kita jengkel. Itu bukan seorang muslim. Seorang muslim yang benar, apapun senang atau tidak senang kebenaran adalah kebenaran. Nah disini yang penting, kenapa saya ngotot.” (Kompas 1 april 2000).
“Disamping itu, saya hanya mengajukannya (kepada MPR). MPR lah yang berhak untuk mempertimbangkan apakah menerima atau menolaknya. Jika MPR menolaknya, maka itu adalah tanggung jawab MPR itu sendiri. Tidak lagi menjadi tanggung jawab saya. Setelah klarifikasi ini, saya akan berhenti berbicara tentang gagasan ini.” (Kompas 30 Mei 2000)
Nasib pengadilan rakyat

Meski Pengadilan rakyat yang dihujat di Indonesia itu tidak mempunyai kekuatan hukum, namun hasil yang dicapai bukan hanya sekedar pembuktian Indonesia dibawah Jenderal Soeharto yang terbukti melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, pelecehan seks, perkosaan, penghilangan paksa, dan penganiyaan melalui propaganda. Namun lebih dari itu, yakni bahwa semangat rekonsiliasi yang digaungkan Gus Dur hampir dua windu lalu itu, tetap ada dan mempunyai perkembangan yang signifikan. Den Haag-Belanda pun dipilih karena mempunyai kenangan manis saat sidang kasus Rawagede, akhirnya pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bersedia mengganti rugi kepada keluarga korban. Selan itu, Den Haag dipilih karena merupakan simbol keadilan dan perdamaian internasional yang mana bermarkas Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice). Pengadilan terkait Yugoslavia juga pernah digelar disana.

Pengadilan Rakyat Internasional juga pernah digelar pada Juli 2015 di Washington, Amerika Serikat yang menuntut Presiden Filipina Benigno Aquino III dan pemerintah AS atas tuduhan kejahatan, pembantaian dan pelanggaran HAM kepada rakyat Filipina. Pada 2014 Pengadilan Rakyat juga digelar di Columbia University Law School, New York, AS menuntut pemerintah AS, Perancis, Inggris, Italia, Kanada dan Sekutu NATO atas tudingan kejahatan perang dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Libya, Pantai Gading, Zimbabwe, Haiti dan orang-orang kulit hitam.

Akhirnya, dengan tetap penuh masygul, saya menilai walaupun semangat rekonsiliasi tetap menggema, ia akan tetap ringkih akibat sekelompok orang reaksioner yang konserfatif, yang menganggap bahwa polemik masa lalu harus dipelihara dengan dalih apapun.

“Setolol-tololnya orang adalah yang tak tau apa itu sejarah,                                                                      dan sehina-hinanya orang ialah yang memalsukan sejarah” (Mahbub Djunaidi)

*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Kampung Rambutan, 11 November 2015
Pict : Istimewa

Sabtu, 04 Juli 2015

KHITAH DAN TETEK BENGEK

DON GUSTI RAO*

Sebuah pertimbangan tentu harus dilandasi dengan hukum kausalitas, itu sudah merupakan analisis yang normatif disegala aspek. Lantas, pertimbangan tersebut sudah pasti menimbulkan polemik pro-kontra, apalagi bila isu yang muncul kemudian berkaitan dengan keputusan besar dan arah angin organisasi kedepan. Analisis wacana kritis (AWK) secara teoritik bahkan menyindir kausalitas dengan tersurat, yakni upaya untuk mencari titik terang realitas dengan bermuara pada tujuan tertentu, dengan kata lain, ada capaian yang diinginkan, bukan sekedar retorik yang menjemukan.

“Sahabat-sahabat, pertimbangannya bukan hanya sekedar untung-rugi dan praktis tidaknya,” ya, bila di konfrontir dengan analisis wacana kritis yang lazim dibawakan pada Pelatihan Kader Dasar PMII itu, statement PB PMII tersebut tentu menjadi anomali. “Pertimbangannya ideologis, aswaja an-nahdliyah. Kita mengisi kekosongan kaderisasi NU,” tambah PB PMII. Disini, perspektif AWK pun sedikit menemukan titik terang bahwa ada ‘keuntungan ideologis’, meski kemudian sudah mafhum bahwa AWK amat sangat menolak bargain non-riil yang dianggap klise itu.

Selanjutnya, AWK pun akan menggigit jarinya tatkala muncul statement yang substantif dari PB PMII. “Kembalinya PMII ke NU tidak bisa dianalisis secara teoritik.”

Tentu saya tersenyum simpul, mengingat sudah banyak sekali paper dan opini sahabat-sahabat Cabang, Komisariat dan rayon yang bertebaran di dunia maya, isu besarnya yakni ultimatum NU kepada PMII bila tidak mau menjadi banom saat muktamar, lantas mendirikan organisasi kemahasiswaan baru. Mayoritas paper mengambil alur hisoris, organisatoris, kearifan lokal, dan ideologisasi. Tentunya paper ini tidak akan seserius paper-paper tersebut, karena, meminjam PB PMII, tidak bisa dianalisis dengan teori. Ya, hanya sebuah telaah sederhana dan menginventarisasi beberapa variabelnya.

-o0o-

“Mayoritas di sini, PMII justru yang meng-NU-kan mahasiswa. Karena banyak sekali mahasiswa non-NU atau tidak mengerti apa itu NU yang kita mapaba-kan, kemudian menjadi NU. NU tidak pernah mem-PMII-kan anak-anaknya saat kuliah, bahkan saat keluar mondok.” Keras, namun saya pun tersenyum untuk kedua kalinya, bagaimana tidak, statement dari salah satu ketua PKC PMII tersebut sangat mengena bagi kader PMII seperti saya yang berangkat dari kampus umum di Jakarta. Belum lagi Ketua PKC lain yang menyinggung konstelasi sosial politik PWNU di aderah asalnya, dia menyebut dengan istilah ‘NU naturalisasi’ dimana NU secara kelembagaan hanya diisi sebagai batu loncatan tatkala ada yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati, gubernur atau DPRD, kongkritnya, NU itu dimanfaatkan karna tidak seriusnya PW/PCNU menjalankan organisasi secara ideologis. “Bahkan ketua PWNU malah nyaleg lewat PKS. Kan lucu bro,” tutup ketua tersebut yang dilanjut dengan kernyitan dahi serta ketawa nyinyir pendengarnya. Kemudian seperti sudah mengerti akan alasan-alasan yang dilontarkan, PB PMII pun mempunyai jawaban elegan, “Maka dari itu, itu tugas kita bersama sebagai PMII sebagai Jam’iyah untuk membenahi NU.” Gol! Ibarat pertandingan sepakbola, itu adalah klimaks, 1-0 bagi PB PMII yang dalam agenda itu, sudah menggiring opini bahwa setelah desas desus PMII-NU sejak – kurang lebih – tahun 2011, saatnya muktamar ini kembali kepangkuan sang orang tua.

Syahdan, forum tidak se-alot yang diperkirakan, penuh dengan guyon kekeluargaan khas PMII.

PKC PMII bukan tanpa ‘disintegratif’ opini, salah satu daerah bahkan dengan kentara menyimpulkan bahwa sudah saatnya PMII kembali ke NU karna sudah bukan lagi partai politik. “Mayoritas mabinda kita PWNU. Saya ini santri, kalau sudah di minta kyai-nya mau gimana lagi? Sami’na wa ato’na lah PMII harus balik ke khitahnya.” Guraunya dengan renyah.

Lain ladang lain belalang, lain lagi dengan PKC PMII salah satu kota besar yang bercerita ketika berdiskusi dengan stakeholder PWNU setempat, justru disinggung bahwa : “jangan-jangan PMII kembali karena sedang lapar”. Hm, mungkin orang tesebut lupa bahwa PBNU-lah yang pertama kali mengeluarkan opini tersebut. “Bahkan dengan ultimatum ya.” Tutup sahabat tersebut terkekeh.

-o0o-

Dari dinamisnya forum tersebut, baik didalam maupun diluar secara non-formal, saya mendapat banyak opini yang menarik. Hal ini menunjukkan bahwa kader-kader PMII, apapun sikapnya, akan tetap memposisikan NU sebagai orang tua dan panutan ideologis.

Berikut beberapa poin opini pro kontra kembalinya PMII ke pangkuan NU. Opini yang abu-abu sengaja di generalisasi dengan tendensi pertimbanganya. Disarikan dari berbagai sumber

KEMBALINYA PMII SEBAGAI BADAN OTONOM PMII, MOMENTUM MUKTAMAR NU KE 33, JOMBANG
NO
PRO
KONTRA, counter opinion
CATATAN
1
Sudah saatnya PMII kembali NU dengan asumsi bahwa PMII sudah semakin liar, baik secara pemikiran ataupun gerakan.
Pergerakan PMII tidak dinamis, rentan berpolemik dengan PBNU, berbenturan dengan keputusan yang dikeluarkan. Siapkah PBNU menampung “keliaran” tersebut?

2
Ideologi Aswaja harus dikuatkan ditengah menjamurnya ideologi islam lain yang disintegratif. PMII sebagai anak muda NU dianggap sebagai obat penawar yang tepat.
Secara legal-ideologis, PMII selalu mengambil diskursus aswaja an-nahdliyah sebagai materi wajib di masa penerimaan anggota baru. Ada atau tidaknya PMII sebagai banom, aswaja NU tetap “dikader”.

3
Membenahi NU secara kelembagaan dan organisasi.
Pembenahan NU secara kelembagaan tentu menjadi tugas bersama, IPNU, IPPNU, Ansor, Fatayat, Muslimat dan keluarga besar NU. PMII membantu dari luar.
Diluar hal tersebut, dimata konstitusi, kedudukan NU dan PMII sama.
4
Agar kaderisasi NU semakin sistematis.
Dengan adanya IPNU Perti (perguruan tinggi) kaderisasi menjadi sistematis. Bahkan bila organisasi mahasiswa NU didirikan. Hal tersebut takkan mengurangi eksistensi dan nalar kritis PMII.

5
Mengisi kekosongan lembaga kemahasiswaan NU, bila tidak NU akan membuat organisasi baru. Kekhawatirannya kemudian, organisasi tersebut justru akan diisi oleh kader organisasi lain yang punya agenda tertentu. 
Kader organisasi lain yang masuk ke keluarga besar NU sudah banyak. Sebenarnya kekhawatiran tersebut tidaklah harus ditanggapi berlebihan, mengingat dalam tubuh PMII juga tidak semuanya NU, banyak dengan latar Muhammadiyah, persis, al-irsyad, abangan dll. Namun, mayoritas suplai kader NU tetap banyak dari PMII.

6
Deklarasi independen Murnajati tidak dihasilkan dalam forum resmi organisasi seperti Kongres dan Muspimnas. Tidak legitimate karna dihasilkan hanya dengan rapat pleno biasa .
Independensi dihasilkan melalui musyawarah besar PMII 14-16 Juli 1972. [Fauzan Alfas, 2004 : 57]
Legitimasi Musyawarah besar masih debatable, juga redaksional forum tersebut apakah saat ini setara dengan kongres atau muspimnas.
7
NU sudah tidak menjadi partai politik
(1) Belum ada data valid bahwa masuknya organisasi mahasiswa ke ormas induknya membuahkan hasil yang optimal bagi kedua belah pihak, IMM menjadi contoh relevan mengingat kaderisasi dan suplai kader yang “biasa saja”.
(2) Sebagai ormas besar yang kerap mengeluarkan sikap (fatwa) sosial politik, benturan justru semakin besar tatkala PMII yang masih kuat dengan logika dialektika mahasiswa yang kritis.

8
IPNU sebagai organisasi pelajar belum memaksimalkan suplai kader kemahasiswaan. Sangat terbatas di kampus-kampus, khususnya kampus umum.
Penguatan IPNU menjadi keniscayaan.

9
Menjadi mitra PW/PCNU bersama GP Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan Muslimat di daerahnya guna mengimplementasikan nilai-nilai ke-NU-an.
Peta setiap daerah berbeda. Ada juga beberapa daerah yang relasi PMII-NU tidak harmonis. Bahkan kerap bersitegang terkait manuver politik NU. Nilai-nila NU tetap diimplementasikan di ajang Mapaba.

10
Menjadi kontrol NU sebagai organisasi. Redaksional “mahasiswa” mungkin prestisius dibanding “pelajar” atau “pemuda”.
Subjektif. Ansor, IPNU dan NU sebagai Jam’iyah juga sangat mungkin menjadi kontrol.

11
Kebutuhan secara organisasi/kelembagaan. Interdependesi yang legitimate.
Melanggar AD PMII Pasal 3 tentang sifat organisasi yang antara lain : Independen. (lepas dari organisasi manapun secara struktural).
Bila kemudian PMII menjadi Banom NU, polemik yang muncul pun beragam. Yakni isu dimana banom NU harus memakai nomenklatur “NU”. Seperti Ansor yang akan kembali menjadi “Ansor NU” yang dibahas saat muktamar. Bila PMII menjadi “PMII NU” atau apalah namanya, tentu akan mengubah AD PMII.
12
Konstelasi Murnajati berbeda dengan saat ini (otoritarianisme orde baru).
Justru dengan berbedanya nafas perjuangan, beda juga values pergerakan. Yakni bisa berjuang meski tidak bernaung di lembaga besar.
Bahkan – terkait relasi sitem kepemerintahan – ada isu bahwa ada “parpolisasi” partai politik  tertentu di tubuh NU. 
13
Harus dikelurkan keputusan sebelum muktamar NU (Agustus 2015).
Hasil keputusan PMII hanya bisa dikeluarkan melalui kongres (2016) atau Muspimnas (Oktober 2015) atau bahkan Rakornas (akhir Agustus 2015).


Itulah 13 poin yang saya rangkum dari sahabat-sahabat PKC Se-Indonesia, baik melalui forum formal maupun informal. Menariknya, opini pro dan kontra pun langsung ditanggapi dengan debat yang santai dengan sesekali menyeruput kopi. Tentunya rasionalisasi yang se-relevan mungkin.
Diluar 13 poin pro dan kontra tersebut, saya yakin masih banyak perspektif yang mengganjal untuk segera dikeluarkan. Yang pasti, PMII sebagai organisasi kader tentu dimiliki oleh kader sebagai pemegang saham mayoritas, bukan elit struktural. Maka dari itu, keputusan besar yang diambil harus melalui diskursus yang akomodatif.

Dibenak saya, bila isu ini kemudian menjadi polemik yang sudah sarat dengan konflik internal, perlu diadakan jajak pendapat ditiap kader, menggunakan gaya referendum per-personal yang dikumpulkan per-Rayon, Komisariat, Cabang dan Koordinator Cabang. Itu alternatif terakhir, layaknya demos dan cratos yang mengedepankan musyawarah dan lobi ketimbang voting.

Forum pun selesai, saatnya kembali kerumah dengan segala aktivitasnya sembari melupakan isu PMII-NU yang menjadi tidak penting bila kita berada dirumah. Bagaimana tidak, tugas sosial sebagai anak pun hadir kembali setelah 6 hari berdiskursus. Saya pun berpikir ulang, layakkah isu ini kemudian dikesampingkan sedemikian diujung, atau pura-pura tidak kita indahkan agar berjalan natural. Seperti judul paper ini yang justru lebih mirip dengan komik, tetek bengek : hal yang tidak begitu penting.

Wisma Kementerian Sosial, Pondok Indah, 27 Juni 2015. Usai PKN II PB PMII
*Bendahara Umum PKC PMII DKI Jakarta 14-16.
Pict : Istimewa.

STRATEGI MEREBUT KEPEMIMPINAN NASIONAL

Sebuah pengantar

Don Gusti Rao*

“NU (harus) ada dimana-mana, tapi gak akan kemana-mana.”
-Gus Dur-

Ya, saya memulai paper ini dengan quote Gus Dur yang lebih senang saya sebut sebagai frasa penyemangat. Bila frasa secara definitif adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat non-prediktif, Gus Dur menjadi antitesanya. Sebagai seorang yang mempunyai paradigma futuristik, adalah mafhum Gus Dur mengemukakan frasa tersebut menjadi opini yang bila diinterpretasikan, anak muda NU harus bisa berdiaspora dan ikut serta menjawab tantangan zaman yang justru sudah di prediksi Gus Dur sebelumnya. Tentunya dengan rasa memiliki NU yang kental, kemudian ada timbal balik dalam bentuk yang bermanfaat (konsolidasi policy) sebagai organisasi dan atau kader.

PMII yang tidak lain adalah anak kandung ideologis NU tentu mempunyai kewajiban melihat ini sebagai hal yang patut diperhitungkan dengan seksama, bagaimana tidak, diaspora kader pasca struktural PMII semakin banyak terlihat pada dua sektor, yakni dibidang sosial-politik (LSM/parpol) dan akademik. Tentunya dengan asumsi bahwa, katakanlah bidang sosial-politik mempunyai andil besar. Maka dari itu, melebarnya jangkauan kader-kader PMII – dalam konteks politik – tatkala berdinamisasi di partai politik menjadi tren yang positif, harus ada stimulan dimana tak melulu kader PMII harus ber-PKB atau ber-PPP, melihat pada frasa Gus Dur diatas, mestinya kader PMII harus ber-Gerindra, ber-Golkar, ber-PDIP atau lain sebagainya. Ini dilihat sebagai strategi merebut kepemimpinan nasional, kemudian kebutuhan dan perubahan fase, dan analisis geo-politik yang komperhensif, semua fenomena politik tersebut harus disambut dengan baik dan gembira.

Kemudian dalam konteks akademik, perebutan kekuasaan dibidang akademik tentu menjadi arena yang penuh substansi perjuangan, hal itu mengingat nafas perjuangan PMII yang merupakan organisasi kader dari para manusia terdidik. Dengan metode Bottom-up, pos-pos akademik internal menjadi lahan perjuangan awal kader PMII, mulai dari ketua Himpunan Jurusan, Senat Mahasiswa, BPM, UKM, hinggga BEM. Meminjam teori patisipasi politik Huntington [1984], bahwa organisasi merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang nyata. Dengan demikian, eksistensi PMII sebagai organisasi pun semakin meningkat, hal positif lainnya, tentu dengan naiknya popularitas kader yang menduduki jabatan tersebut yang berimbas pada massifnya kaderisasi. Selain itu, pendistribusian perjuangan kader menjadi dosen hingga birokrat kampus dan bahkan rektor menjadi tantangan yang menantang, apalagi bila melihat realitas tersebut dikampus umum.

Nyatanya, dua hal tadi belum dilihat sebagai “usaha serius” guna merebut kepemimpinan nasional yang akan datang. Mengapa demikian? Tentunya kita harus samakan persepsi bahwa kepemimpinan nasional tak bisa hanya direbut secara implementatif dengan variabel sos-pol dan akademik (multy variable, leading sector). Apakah kemudian kita berfikir bahwa : ada tidak kader yang saat ini menjabat struktur strategis (atau secara sederhana : prajurit) di TNI-Polri? Atau menjadi pengusaha nasional?  NU sebagai ormas islam terbesar yang mempunyai jamaah yang masif tentu menjadi garda terdepan dalam upaya melerai gerakan yang memicu disintegrasi bangsa, bila NU dituding sebagai ormas yang mempunyai “saham mayoritas” di republik ini dengan sejarah dan massanya, apakah relevan bila NU hanya menjadi penonton dalam gelanggang kepemimpinan nasional?

Masalah tentu bukan sampai disitu saja,  kekuatan NU/PMII yang mempunyai ideologi, tradisi, nasionalisme dan akar rumput akan terkikis tanpa adanya rasa kepemilikan yang hakiki. Akan menjadi anomali bila ada kader yang kemudian duduk pada posisi strategis dan prestisius di lingkup sos-pol, akademik, hankam, profesional, dan wirausaha namun tidak mempunyai rasa kepemilikan yang hakiki. Tentunya harus ada ikatan emosional yang kuat, PMII sebagai salah satu organisasi mahasiswa islam terbesar tentu dinamis, dalam perjalanan suksesi, tentu akan ada manuver dan intrik. Hal tersebut akan menjadi bagian dari perjalanan organisasi yang lumrah bila ada kepemilikan hakiki, membuat hal tersebut menjadi pendewasaan berpolitik misalnya, imbas yang terjadi yakni adanya kesadaran personal untuk membesarkan organisasi, tidak ada dendam politik pasca suksesi kepemimpinan. Sumbangsih ide, jaringan, bahkan finansial menjadi berkesinambungan. Dalam pendekatan analisis konfllik tersebut, masih dalam rangka meliberasi kepemilikan hakiki, kader harus menjadi subjek personal yang otonom. Subjek yang tidak digerakkan menjadi objek, mandiri, dan mempunyai kedewasaan organisasi yang sudah selesai tanpa ada perdebatan. Maka dari itu, rasa memiliki organisasi adalah keniscayaan, kata kuncinya meminjam Zaini Rahman : PMII sebagai komunitas. Yakni PMII yang mempunyai kesamaan tata cara berfikir dan bergerak, tanpa perlu ada perdebatan yang tidak produktif.

Magnet kekuasaan

Bagi Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan harus mempunyai orientasi, tantangan dan lawan. Ketika sudah berjuang merebut kekuasaan, apakah langkah selanjutnya? Dengan orientasi yang matang, pertanyaan tersebut tentunya tak harus muncul. Tantangan yang akan dihadapi pasca suksesi kepemimpinan pun sudah dipetakan dengan baik, kapan harus meng-counter isu, peta konflik dan lain sebagainya. Kemudian lawan, tanpa adanya lawan (ideologisasi, peran politik, nasionalisme, dll), kekuasaan akan statis, non-evaluatif, non-korektif dan tentu menjadi ranah konflik baru. Adanya ideologi yang merongrong keutuhan NKRI dan kritik keras terhadap ritual ke-NU-an adalah beberapa “hal positif” dalam konteks analisis kawan dan lawan. Dengan kata lain, dengan tidak adanya lawan, PMII atau NU akan melawan saudaranya sendiri. Bahkan dalam tataran resolusi konflik yang ekstrim, musuh harus selalu ada dan bahkan dipelihara sebagai bagian dari integritas organisasi.

Dalam realitas konstelasi kekuasaan tanah air, piramida kekuasaan memang runcing keatas. Hal itu membuktikan bahwa ada sekelompok kecil yang menguasai sendi-sendi strategis, kelompok minoritas yang menakhodai mayoritas sebagai aktor intelektual. Hal itu bisa dilihat dari kelompok minoritas China yang menguasai lalu lintas ekonomi Indonesia, disusul Katholik, dan kelompok PSI yang kita sebut sebagai kelompok dominan atau rekayasa elit [Zaini Rahman, PKN PB PMII : 23/06/15]. Pertanyaannya menjadi spesifik, NU sebagai mayoritas akan menjadi lumbung rekayasa elit?  

Kekuasaan pun tidak lain menjadi magnet, kekuasaan dinilai sebagai muara dari partisipasi dan eksistensi politik. Maka dari itu mustahil bila NU/PMII tidak berpolitik – dengan wadah lain.
Sebagai kekuatan besar, menjadi mafhum bila NU bisa membawa kekuasaan tersebut, meski bertentangan dengan hukum besi kekuasaan yang bersifat piramid. Tentu bukan dengan melihat NU sebagai ormas, karna bila demikian, tesis yang diajukan akan menjadi kontraproduktif.

Kaderisasi mumpuni

Secara umum, tipologi kader PMII dilihat dari latar belakang kampus yang dijadikan ajang mapaba ada dua, yakni kampus umum dan agama. Dalam konteks nasional, kampus agama mendominasi kaderisasi, namun dengan liniernya jurusan dikampus agama membuat PMII bagaimanapun harus melihat tantangan zaman kedepan. Kampus umum yang kental dengan jurusan ilmu sosial (umum) dan sains disinyalir sebagai elemen penting yang inovatif dalam kaderisasi. Lumbung penempatan kader dalam konteks itu yakni profesional (BUMN) diluar jabatan politik yang lebih relevan bisa dijangkau dari jurusan yang heterogen. Kedepan, Indonesia menjadi ladang kekuasaan bagi pemuda, tentu dengan perspektif bonus demografi, sedangkan NU sebagai organisasi terbesar wajib hukumnya memanen bonus demografi sebagai tongkat estafet kepemimpinan bangsa lewat PMII.

Maka dari itu, harus ada diferensiasi metodologis dalam kaderisasi PMII di kampus umum yang bahkan dalam beberapa realitas terdiri dari islam abangan. Menjadi diferensiasi mempunyai dua variabel yang mendukung, variabel pertama yakni unik. Ke-unik-an kehidupan dan life style kampus umum menjadi tantangan tersendiri bagaimana PMII harus akulturatif dan eklektik. Variabel kedua yakni mempunyai nilai (values), bagaimana nilai kampus umum menjadi prestisius guna mengambil alih kepemimpinan nasional.

Leading sector adalah keniscayaan besar bagi PMII, penguatan kampus agama dan mendobrak “kultur” kampus umum secara akulturatif menjadi dua poin utama dalam paper ini. Meminjam Hayek dalam liberalisme klasik, spontaneous order atau keteraturan spontan adalah bagaimana kader PMII sebagai subjek yang otonom mampu memposisikan kader sebagai basis tabungan kebutuhan kaderisasi kepemimpinan bangsa, bukan “objek yang dimobilisir” untuk kemudian mengemis kuasa pada penguasa.

* Bendahara Umum PKC PMII DKI Jakarta 14-16.
Disampaikan pada Pelatihan Kader Nasional (PKN) PB PMII, Jakarta, 22-26 Juni 2015








Jumat, 13 Maret 2015

Melihat kebelakang, “Politik Intoleran”



Don Gusti Rao

Sekira Selasa malam pukul 10, Sembilan Desember, pesan BlackBerry saya berbunyi.

“Bang Don, minta tulisannya terkait politik intoleransi. 
Kalau dalam kajian politik itu namanya apa ya? Bisa lah ya? :D”
Seketika saya balas.

“Kapan deadline?”
“Ditunggu secepatnya aja, kalau buat anak-anak sudah harus dikumpulkan besok.”

Pesan tersebut dari Pemimpin Redaksi Buletin IQRA PMII UNAS, sahabat Amiruddin Zahri yang menodong saya tiba-tiba. Tentunya sebagai aktivis “yang harus siap kapan saja ketika dibutuhkan”, literatur Ilmu Politik yang menemani saya sejak 2007 pun kembali dibuka. Ya, dengan asumsi sederhana bahwa : “apakah politik intoleran itu?”

Ternyata tidak mudah menemukan frasa “Politik Intoleran” sesuai text book, setidaknya setelah saya cari dalam sumber yang terbatas di perpustakaan pribadi yang sederhana itu. Ketidakmudahan itu memaksa saya untuk, bagaimanapun, mencari cara agar frasa tersebut dapat dibahas. Walaupun secara subtantif dapat dimasukan dalam pemahaman Budaya Politik, pendekatan tingkah laku politik (Behavioralisme), Partisipasi Politik-nya Samuel Huntington, bahkan Ideologisasi, dimana Politik Intoleran menemui banyak persamaan. Yang paling mendekati adalah Budaya Politik, secara tekstual, tipe Budaya Politik berdasar sikap didikotomikan dalam dalam dua hal, yakni budaya politik militant dan budaya politik toleran. Budaya politik toleran, yang menekankan pada sikap netral dan kesepakatan normatif, sementara militant dapat dikatakan kebalikannya, dengan jalan alternatif tanpa solusi, yang ketika terjadi krisis selalu sensitif dan emosional.
Sampai disini, “Politik Intoleran” belum saya dapati secara utuh. Saya pun coba menggali Budaya Politik, mulai dari Papper Resume Yahya Muhaimin, dosen Ilmu Politik Fisipol UGM (Peneliti ahli Budaya Politik Indonesia) sampai referensi utama para sarjana Ilmu Politik terkait Budaya Politik macam Almond, Verba dan Ranney. Dalam perkembangan masyarakat, pendapat Almond yang terkenal tentang Budaya Politik adalah Budaya Politik Parokial, yakni masyarakat yang bersifat paroki, “apolitis” (dengan tanda petik), dan sangat jarang membicarakan politik. Budaya Parokial mempunyai partisipasi politik yang rendah, bahkan – meminjam Huntington – sangat erat bila dikaitkan dengan partisipasi yang dimobilisir sebagai objek. Dan, mulai ada cahaya terang tentang “Politik Intoleran”, tentunya dengan perspektif Almond tentang Budaya Parokial.

Dengan asumsi Almond, Politik Intoleran adalah Budaya Politik Parokial. Saya masih kurang puas terhadap klaim tersebut.

Langkah kedua, saya coba membuka buku babon Ilmu Politik karya David Apter, Pengantar Analisa Politik yang tebalnya 528 halaman itu. Sebab, di kitab suci mahasiswa Ilmu Politik, yakni Dasar-Dasar Ilmu Politik Miriam Budiarjo, pendekatan politik tingkah laku tidak ditemui secara eksplisit. Disebutkan, akar intelektual paham tingkah laku menekankan pada empirisme, voluntarisme, tindakan individual, serta hubungan antara kesadaran dan tujuan (Apter, 1977 : 210). Keterkaitan Apter dengan Almond sudah bisa diterawang dengan kata kunci Parokial, voluntarisme (kehendak), tindakan individual, kesadaran dan tujuan. Ditambah partisipasi politik Huntington dengan partisipasi politik mobilisir (subjek).

Selanjutnya, saya coba memasuki fase ideologisasi dengan acuan keadaan Negara Indonesia masa otoritarianisme, bahkan totalitarianisme orde baru.

Masa itu, tentu tindakan politik harus dalam screening kekuasaan. Isu menjadi sangat sensitif, dan mobilisasi rakyat dalam tindakan politik merupakan hal yang lumrah. Perang terhadap ideologi tertentu dengan Pancasila sebagai alat yang dikhultuskan. Maka dari itu, toleransi terhadap ideologi yang dianggap nista (baca : Komunisme) dipastikan hilang, karna sudah masuk dalam keterkungkungan hak pribadi yang didikte oleh Negara (Totalitarianisme). Untuk hal tersebut, saya sarankan pembaca untuk menonton dua film karya Joshua Oppenheimer yang berjudul Jagal (The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence).

Sebagai alat dan strategi politik

Hal-hal yang saya jadikan alat untuk menerjemahkan Politik Intoleran sudah ditulis secara implisit. Dari kacamata Budaya Politik ada Parokial, dari Behavioralisme ada Voluntarisme, dari Partisipasi Politik Huntington ada Mobilisir-subjek, dan dari ideologisasi rezim ada otoritarianisme (bahkan totalitarianisme). 
Lalu, bagaimana dengan pendekatan atau alat yang saya gunakan untuk menerjemahkan Politik Intoleran secara implementatif? Tentunya ada fenomena yang kemudian dijadikan dasar realitas untuk menganalisis hal itu. Bila teori adalah abstraksi dari fenomena, maka fenomena dalam konteks realitas politik yang harus kita elaborasi.

Ada dua fenomena sosial yang muncul begitu frasa politik intoleran ini digaungkan. Yang pertama, bila kita terfokus pada kata Intoleran, tentunya pluralisme agama akan muncul. Sampai kemudian fenomena kelompok intoleran yang “berjuang” dari berbagai medan juangnya. Ada yang berbentuk ormas, partai, lembaga reljius, organisasi mahasiswa bahkan gerakan individual. Tapi disini, bisa kita sortir bahwa intoleran yang punya relevansi besar terhadap kekuatan sosial-politik di Indonesia.

Yang kedua, implementasi intoleran yang dijadikan legitimasi dan “sistemik” dalam kuasa tirani. Contohnya yakni parktik intoleran yang dikodifikasi. Lebih jelasnya udang-undang, perppu, perpres, perda dan lainnya. Ada banyak peraturan yang tendensius dengan itoleran, tentunya dengan alasan klasik agama, pancasila dan tentu saja : Politik. Tapi, bagi saya, yang paling nyata tentu Tap MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan pengembangan faham Komunisme-Marxisme-Leninisme dan pembubaran PKI. Hal yang mengerikan dari Tap ini adalah – selain jelas-jelas intoleran—melegitimasi kekerasan terhadap faham tersebut, mewariskan kebencian, tidak demokratis, dan tentu saja, masalah moral dan Hak Asasi Manusia dengan korban yang tidak sedikit. Untuk itu, Gus Dur sangat vokal untuk menghapus TAP tersebut karna baginya, rekonsiliasi anak bangsa adalah alasan utama, bukan kebencian, tirani, dan klaim sok paling suci. Ketika dikonfirmasi terkait hal ini pada acara Kick Andy di Metro TV, Gus Dur bicara enteng : “Kenapa harus takut sama PKI? PKI kok ditakutin. Yang terpenting itu, undang-undang melindungi sesama.”

-o0o-

Tulisan singkat guna memenuhi dahaga Sahabat Amirudin Zahri ini tidak serta merta menjadi jawaban mutlak tentang Frasa “Politik Intoleran”. Yang jelas, Sahabat Amir berhasil merangsang saya untuk membuka kembali beberapa literatur yang sudah lama tidak saya buka. Dan mungkin akan berkembang secara adaptif bila suatu saat saya menulis sinambung dengan tema ini lagi.
Ketika ingin menyelesaikan tulisan ini, ada rasa mafhum bahwa bagaimanapun politik intoleran adalah dua sisi mata uang yang berbeda dalam konteks Negara. Negara (demokratis), di satu sisi mengharamkannya,  namun disisi lain akan tetap ada. Jadi walau berbeda, Negara demokratis dan politik intoleran akan tetap ada dan menyatu sampai kapanpun.

*Don Gusti Rao, Ketua Mabinkom PMII UNAS.
Dimuat di Buletin IQRA PMII UNAS edisi Desember 2014
Pict : Istimewa