Minggu, 22 Juli 2012

Teknik dan Mekanisme Persidangan[1]



Don Gusti Rao[2]

Apa itu persidangan ?

            Secara substantif, persidangan adalah tempat berkumpulnya ide-ide dan gagasan dalam sebuah forum, untuk mencapai keputusan bersama dan di rangkum dalam regulasi formal yang berasaskan musyawarah mufakat (demokrasi).
            Berkumpulnya ide dan gagasan disini diartikan sebagai bentuk penyatuan gagasan-gagasan pro kontra yang sebenarnya mempunyai orientasi sama. Di pimpin oleh presidium sidang yang independen, dijalankan dan diawasi oleh peserta sidang yang mengerti regulasi, dan di implementasikan – apa-apa yang dihasilkan – dalam persidangan membuat proses pengambilan keputusan mengandung validitas dan hasil yang optimal.
            Meskipun dalam persidangan keputusan yang mayoritas bukanlah selalu keputusan yang paling benar, namun, dalam implementasinya kelemahan tersebut menjadi parameter bahwa untuk menghasilkan keputusan mayoritas dibutuhkan rasionalisasi rasional untuk meyakinkan forum mengikuti pokok fikiran yang akan ditawarkan.
            Walaupun berasaskan pada musyawarah mufakat, prinsip-prinsip demokrasi seperti Votting dan Lobying juga menjadi ciri tersendiri dalam persidangan. Votting dan Lobying – secara berturut turut – dilakukan setelah terjadi deadlock pada musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.

Macam-macam persidangan (organisasi)

1. Sidang pleno :
Sidang yang dihadiri oleh seluruh peserta sidang. Termasuk kedalam kategori  sidang ini adalah; Sidang pendahuluan yang biasanya untuk menetapkan jadwal tata tertib dan pemilihan presidium sidang. Sidang pleno juga ada di tengah persidangan untuk mengesahkan laporan pertanggungjawaban yang dipimpin oleh presidium sidang.
2. Sidang paripurna :
Persidangan lengkap yang dihadiri oleh unsur-unsur representatif yang memiliki kekuatan yang lebih besar dan kuat, baik dari segi masalah ataupun peserta persidangan, biasanya berisi tentang pengesahan hasil-hasil sidang.
3. Sidang komisi :
Sidang yang diikuti oleh peserta terbatas (anggota komisi), sidang ini diadakan untuk pematangan materi sebelum diplenokan, dipimpin oleh pimpinan komisi.
4. Sidang sub komisi :
Sidang ini lebih terbatas dalam sidang komisi guna mematangkan materi lanjut.
5. Sidang istimewa :
Sidang Istimewa merupakan persidangan yang dilakukan oleh suatu organisasi dalam kerangka pengambilan keputusan yang bersifat mendesak dan berada dalam keadaan genting. Misalnya dalam negara kita, sidang istimewa guna menurunkan Gus- Dur dari kursi Presiden. (dalam konteks tujuan dalam organisasi, siding ini bisa di analogikan juga sebagai MUSMALUB).

Sifat-sifat persidangan

Karena Persidangan pada prinsipnya untuk mengambil keputusan, maka dalam prosesnya tidak jarang terjadi dinamika yang mengarah pada sifat yang terpola pada kepentingan para peserta sidang. Ada dua macam sifat persidangan, diantaranya adalah :
- Persidangan profesional
Persidangan Profesional dilakukan sebagai bentuk aplikasi kerja organisasi, misalnya : Rapat Kerja, Rapat Koordinasi, Rapat Evaluasi, dsb. Hal ini dilakukan dalam model-model Persidangan. Dikatakan professional, karena biasanya pembahasan yang berkembang diforum tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dari penyelenggaraannya.
- Persidangan politis
Suatu Persidangan, dapat dikatakan Politis karena adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan dari sekelompok orang yang ada didalamnya dan kebutuhan itu tidak menjadi kebutuhan bersama, sehingga terjadi proses yang cenderung politis. Misalnya : Pemilihan Pemimpin Organisasi, baik untuk Organisasi Profesional maupun Organisasi Politik

Kebutuhan persidangan

Kebutuhan yang harus dipenuhi dalam persidangan, yaitu :
-          Pimpinan Sidang
-          Quorum ( (½ + 1 dari Jumlah peserta sidang)
-          Berkas-berkas dan peralatan yang diperlukan (Susunan Agenda Acara, Tata Tertib, AD/ART, Palu Sidang, dll)

Istilah-istilah dalam persidangan


- Skorsing adalah penundaan acara sidang untuk sementara waktu atau dalam waktu tertentu pada waktu sidang berlangsung.
-  Pending adalah penundaan acara sidang untuk waktu yang tidak ditemntukan.
- Lobbying adalah penentuan jalan tengah atas konflik dengan skorsing waktu untuk
menyatukan pandangan melalui obrolan antara dua pihak atau lebih yang bersebrangan secara informal.
- Interupsi adalah memotong pembicaraan, ditempuh dengan menggunakan kata "interupsi" yang pada hakekatnya meminta kesepakatan untuk berbicara.

Pimpinan sidang

Pimpinan sidang adalah salah satu unsur yang sangat menentukan dalam proses persidangan. Karena berfungsi menetapkan kesepakatan yang berkembang dan terkadang harus memilih satu diantara kesepakatan yang berkembang, maka pimpinan sidang harus berjumlah ganjil (3 orang, 5 orang, 7 orang, atau bahkan cukup hanya dengan 1 orang saja). Hal ini untuk menghindari terjadinya keputusan yang imbang. Struktur Pimpinan Sidang dapat diatur dan dibicarakan oleh para pimpinan sidang, sesuai dengan kebutuhan.
Kriteria Pimpinan Sidang:
- Pimpinan Sidang Harus ganjil
- Pimpinan sidang harus berwibawa, tegas dan tidak gagap
- Pimpinan sidang harus tahu kapan waktu yang tepat untuk menghentikan, mempending, dan membubarkan persidangan apabila suasana sudah tidak kondusif
            Hal yang menarik dalam persidangan formal (organisasi) adalah, keputusan ada pada kesepakatan peserta sidang, sedangkan pimpinan sidang hanya sebagai fasilitator untuk membuat dan menetapkan keputusan berdasarkan atas kesepakatan peserta sidang. Pimpinan sidang dianalogikan seperti cermin yang memantulkan / mengembalikan usulan yang di ajukan flor kepada flor juga.

Bagaimana seseorang menjadi pimpinan sidang ?

Ada dua kategori Pimpinan Sidang, yaitu Pimpinan Sidang sementara dan Pimpinan Sidang tetap. Pimpinan Sidang Sementara memimpin sidang sampai terpilihnya Pimpinan Sidang Tetap dan Pimpinan Sidang Tetap memimpin Persidangan sampai dengan selesai.
Ada beberapa cara untuk memilih dan mengangkat seseorang menjadi Pimpinan Sidang. diantaranya adalah :

1.      Berdasarkan votting.
Mekanisme votting dapat dilakukan, dengan sebelumnya, dilakukan proses pencalon-an, kesediaan calon dan penetapan calon, jika calon yang mengajukan diri atau diajukan lebih dari jumlah yang dibutuhkan, maka dilakukan pemilihan, tetapi jika sudah mencukupi tidak perlu diadakan voting. Biasanya pemilihan dipandu dengan kriteria-kriteria calon dan tata tertib.
2.      Musyawarah mufakat/aklamasi
Penunjukan pimpinan sidang secara aklamasi oleh peserta sidang kepada orang-orang yang dianggap pantas.
3.      Penunjukan formal
Misalnya, penunjukan oleh negara atas kasus hukum warga negaranya, penunjukan pimpinan sidang skripsi.

Kriteria pimpinan sidang

1.      Faktor usia
2.      Kemampuan dalam memimpin
3.      Pengalaman dalam berorganisasi
4.      Memahami Masalah
5.      Adil, independen, transparan dan tidak memaksakan kehendak

Etika Persidangan

1.      Hadir tepat waktu
2.      Menghormati kuorum
3.      Menghargai perbedaan pendapat
4.      Tidak menjatuhkan lawan bicara
5.      Menyampaikan pendapat dengan singkat dan padat
6.      Berbicara dengan prinsip-prinsip interupsi
7.      Mampu mengontrol emosi

Model-Model Interupsi

Sebelum mengajukan interupsi, peserta di haruskan memperkenalkan diri dan institutsi – agar apa-apa yang di ajukan bisa dipertanggungjawabkan, mengajukan point yang ditawarkan dan mengajukan pertanyaan yang lugas dan jelas (tidak berputar-putar).
            Adapun model-model interupsi sebagai berikut:
1.      Point of Order
            Memberikan Saran, yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas dalam persidangan.
2.      Point of Information
Memberikan informasi / kabar tentang sesuatu yang sangat penting dan mendesak, terutama yang berkaitan dengan teknis penyelenggaraan sidang. Atau bahkan pembahasan sidang yang blunder dan membutuhkan informasi untuk meluruskannya.
3.      Point of Clarification
Memberikan penjelasan untuk menjernihkan pembahasan yang blunder dan meng-kondusifkan suasana ketika agak kacau karena pendapat atau informasi yang simpang siur. Point in sangat bijak dan dapat memberikan citra baik bagi penggunanya.
4.      Point of Personal Prevelege
Point ini dapat digunakan oleh peserta sidang dan pimpinan sidang apabila dalam pembahasan sidang terdapat perusakan nama baik dan yang bersangkutan merasa tersinggung, sehingga permasalahan yang berkembang antara peserta sidang dan atau dengan pimpinan sidang dapat diselesaikan dan sidang dapat dilanjutkan.
5.   Peninjauan Kembali
      Mencoba untuk mengulang kembali poin yang disahkan untuk analisa kembali 
Tata Tertib
Tata tertib persidangan merupakan hasil kesepakatan seluruh peserta pada saat persidangan dengan memperhatikan aturan umum organisasi dan nilai-nilai universal dimasyarakat.
Sanksi-sanksi
Peserta yang tidak memenuhi persyaratan dan kewajiban yang ditentukan dalam tata tertib persidangan akan dikenakan sanksi dengan mempertimbangkan saran, dan usulan peserta siding yang lain. Biasanya, mekanisme dalam pemberian sanksi didahului oleh peringatan kepada peserta (biasanya sampai 3 kali), kemudian dengan kesepakatan bersama, presidium sidang boleh mengeluarkan peserta tersebut dari forum, atau mengambil kebijakan lain dengan atau tanpa kesepakatan peserta sidang yang lain. Sanksi dimulai dari level sederhana seperti di peringatkan, di cabut hak bicara dan suaranya hingga di keluarkan dari persidangan.
Alat untuk mengesahkan persidangan

1.      Palu sidang
2.      Surat keputusan pengesahan hasil-hasil persidangan
3.      Dalam keadaan darurat ketika tidak ada palu sidang, dapat digunakan alat - alat  yang menghasilkan bunyi (sepatu, pulpen, kepalan tangan, dll)

Cara pengetukan palu sidang dan fungsinya

1.      Ketukan 3 kali, untuk :
a.       Membuka dan Menutup Persidangan
b.      Mengesahkan keputusan final / akhir persidangan (biasanya dalam konsideran)

2.      Ketukan 2 kali, untuk :
a.       Untuk menunda persidangan sesuai dengan waktu yang ditentukan, misalnya 2x15 menit atau diatas waktu 30 menit.
b.      Untuk menunda persidangan dengan batas waktu yang tidak ditentukan.

3.      Ketukan 1 kali, untuk :
a.       Memindahkan palu sidang dari pimpinan sidang satu kepada pimpinan sidang yang lain.
b.      Penundaan sidang dibawah 30 menit.
c.       Pengesahan point per point

4.      Ketukan berkali-kali :
a.       Menandakan permasalahan darurat.
b.      Mengkondusifkan peserta sidang (setelah didahului oleh peringatan lisan).
c.       Untuk membubarkan persidangan.

Layout (tata letak) dalam persidangan

            Ada beberapa tipe tata letak teknis meja persisangan diantaranya adalah:

1.      Model baris berbanjar :


Model baris berbanjar adalah model lay out persidangan yang paling populer. Model ini mengesankan persidangan yang teramat formal, sebab model ini menyebabkan para peserta sidang akan sangat terfokus langsung pada pimpinan sidang. Contoh : sidang dipengadilan, persidangan politis.

2.      Model tapal Kuda (setengah lingkaran) :


 
Biasanya dilakukan pada ruang sidang yang sempit, sehingga peserta sidang diposisikan dalam bentuk setengah lingkaran. Model ini sangat interaktif sebab pimpinan sidang berada dalam model interaktif yang tegas. Kedekatan pimpinan sidang dengan peserta juga dapat dirasakan dalam model ini. 

3.      Model lingkaran penuh :



Pimpinan sidang terletak ditengah-tengah peserta sidang, model ini diartikan sebagai “centered of power”, jadi peserta sidang betul-betul berada diatas kekuasaannya.
Contoh: Persidangan di Forum PBB.


4.      Model spontan :


Biasanya dilakukan pada sidang kilat atau spontan, pimpinan sidang langsung berhadapan dengan peserta sidang secara fokus (tatap muka langsung).
Contoh: sidang pelanggaran lalu lintas, sidang KTP.


[1] Disampaikan dalam Masa Penerimaan Anggota Baru Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (MAPABA PMII) Komisariat Persiapan Institut Sains & Teknologi Nasional (ISTN). 19 Mei 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS, Sekertaris I PC PMII Jakarta Selatan 2011-2012 .

Debat[1]

Don Gusti Rao[2]

Debat adalah seni untuk mempengaruhi orang – dalam konteks adu argumen – dengan disertai alasan yang rasional juga validitas data yang ditawarkan. Dalam wikipedia, debat diasumsikan sebagai kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan menghargai perbedaan pendapat.
Di negara demokrasi yang kental dengan sistem oposisi, debat secara formal dilakukan di lembaga legislatif seperti parlemen hingga lembaga eksekutif seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Iklim di Indonesia yang menghargai kebebasan berpendapat membuat debat menjadi fenomena tersendiri dalam lingkup akademis, argumen yang disertai analisis kuat sebagai pisau bedah untuk mengupas isu-isu kontemporer menjadi substansi mengapa debat dijadikan sebagai seni berbicara diluar retorika politis. Dalam kultur kampus yang penuh dengan atmosfir organisasi yang kompetitif, debat dan segala macam bentuknya ditelaah secara mendalam, bahkan tidak jarang diperlombakan sebagai seni berbicara untuk mempengaruhi keputusan sang lawan bicara atau dengan rasionalisasi yang ditawarkan sehingga lawan bicara terpengaruh. Disini dapat dilihat bahwa seni berdebat dipupuk dari awal untuk menghadapi realitas sosial yang semakin membutuhkan analisis komperhensif yang valid, baik dimasyarakat atau kalangan elit.

Debat dalam pendidikan
Orang yang berdebat disebut juga sebagai debater, tema general yang ditawarkan umumnya isu kontemporer dan mekanismenya di atur sedemikian rupa dan merupakan mekanisme yang otoritatif. Topik atau sub isu yang di perdebatkan disebut mosi. Debat dalam pendidikan bertujuan untuk menghasilkan keputusan namun lebih diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu di kalangan pesertanya, seperti kemampuan untuk mengutarakan pendapat secara logis, jelas dan terstruktur, mendengarkan pendapat yang berbeda, dan kemampuan berbahasa asing (bila debat dilakukan dalam bahasa asing).
Namun demikian, beberapa format yang digunakan dalam debat pendidikan didasarkan atas debat formal yang dilakukan di parlemen. Dari sinilah muncul istilah "debat parlementer" sebagai salah satu gaya debat pendidikan yang populer. Ada berbagai format debat parlementer yang masing-masing memiliki aturan dan organisasinya sendiri.

Debat Parlementer
Debat memiliki banyak macam, namun yang familiar dalam kompetisi pendidikan adalah debat sistem parlementer. Dalam debat ini juga – secara eksplisit – digunakan kefasihan berbicara dan beranalisis sebagai skill untuk mematahkan argumen lawan. Sisi lainnya, debat jenis ini juga mengajarkan kepada debater bagaimana menghargai perbedaan pendapat, juga menghargai dan memberi waktu orang untuk berbicara mengutarakan pendapatnya.
Dalam debat parlementer, sebuah format mengatur hal-hal antara lain (Wikipedia):
§  Jumlah tim dalam satu debat.
§  Jumlah pembicara dalam satu tim.
§  Giliran berbicara.
§  Lama waktu yang disediakan untuk masing-masing pembicara.
§  Tatacara interupsi.
§  Mosi dan batasan-batasan pendefinisian mosi.
§  Tugas yang diharapkan dari masing-masing pembicara.
§  Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pembicara.
§  Jumlah juri dalam satu debat.
§  Kisaran penilaian.
Format debat parlementer sering menggunakan peristilahan yang biasa dipakai di debat parlemen sebenarnya (Wikipedia):
§  Topik debat disebut mosi (motion).
§  Tim Afirmatif (yang setuju terhadap mosi) sering disebut juga Pemerintah (Government), tim Negatif (yang menentang mosi) disebut Oposisi (Opposition).
§  Pembicara pertama dipanggil sebagai Perdana Menteri (Prime Minister), dan sebagainya.
§  Pemimpin/wasit debat (chairperson) dipanggil Speaker of The House.
§  Penonton/juri dipanggil Members of the House (Sidang Dewan yang Terhormat).
§  Interupsi disebut Points of Information (POI).

Kesimpulan
Debat harus dilakukan dengan mengikuti aturan yang telah disepakati atau sesuai prosedur. Tehnik dalam berdebat adalah bagaimana mengatur ritme bicara, gestur tubuh, tekanan suara dan mimik wajah yang pas. Debat yang disertai aturan juga berguna untuk menghindari gesekan-gesekan yang terjadi secara emosional, maka itu tidak diperkenankan berdebat dengan membawa dalil-dalil agama karena masing-masing mempunyai penilaian dan keyakinan terhadap agamanya. Terlebih dalam berdebat tidak diperkenankan menyinggung SARA, karena selain akan menjadi hal yang provokatif, hal tersebut sudah pasti akan mengurangi skor di mata juri debat.
Debat hanya diperkenankan dalam forum-forum akademik-ilmiah atau arena lomba, karena debat warung kopi tanpa aturan main akan membuat gesekan memanas dan tidak jarang berujung pada clash fisik.
Secara sederhana, efek positif dari mempelajari materi debat secara komprehensif adalah:
§  Lebih menghargai perbedaan pendapat.
§  Berani berbicara, terutama untuk mahasiswa agar lebih fasih berbicara di dalam kelas, presentasi, atau pun forum-forum akademis lainnya.
§  Menyelesaikan perbedaan pendapat dengan argumen yang rasional, frontal namun terarah.
§  Memberi waktu lawan bicara dengan memotong pembicaraan secara teratur.
§  Mengasah kemampuan untuk menganalisis dan menelaah isu.
§  Sebagai stimulan untuk lebih giat membaca hal-hal akademik, karena hal tersebut sangat diperlukan dalam menganalisis isu-isu kontemporer yang dijadikan tema atau mosi dalam debat.



“Siapa yang tidak bisa mendinginkan pikirannya, jangan memasuki panasnya perdebatan”
-Nietzche-

“Selamat Berdebat”


[1] Disampaikan pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Universitas Nasional (PMII KOM UNAS). Puncak, Jawa Barat. 8 - 10 Juni 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS, Sekretaris I PC PMII Jakarta Selatan 2011 – 2012.

Ragam Telaah Konsepsi Agama-Bangsa*



“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer (pengorbanan) ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia merdeka lekas damai”.
 
                Meminjam K.H Firdaus A.N.[1], “rayuan Soekarno” yang fasih tersebut berhasil mengelabui kubu Islam dalam pengurangan tujuh kata sakral piagam Jakarta, yang kemudian bersama kubu nasionalis lain seperti Bung Hatta meyakinkan KI Bagus Hadikusumo yang dianggap mewakili tokoh-tokoh Islam lain pada pagi hari sebelum sidang PPKI.
                Meski tdak bisa dikatakan sebagai awal konflik antara “kubu” Nasionalis – Islam, namun ini di yakini cukup menjadi embrio yang kemudian sebagai parameter polemik klasik keduanya.
              Kubu nasionalis-sekular, dengan prularitasnya memang menginginkan negara inklusif yang bersahaja, walaupun di peruntukkan bagi pemeluknya, syariat Islam dalam piagam Jakarta dinilai akan menjadi sebuah sentimental agama dan gurita disintegrasi dalam negara yang masih hijau. Mereka peka bahwa ini bisa di jadikan sebagai senjata ampuh untuk kemudian menggalang kekuatan menjadi sebuah negara teokrasi eksklusif. Beberapa cendikia muslim yang dianggap radikal terbukti mengimplementasikannya lewat beberapa kup tatkala Indonesia masih merasakan hegemoni kemerdekaan awal. Padahal, awam pun mahfum, negara teokrasi dengan ke-khalifah-annya adalah utopia besar di tengah pemikiran-pemikiran kecil bila di terapkan di Indonesia. Sebuah hal yang mubazir, tatkala memaksakkan khalifah di negara bhineka yang notabene terdiri dari berbagai umat, mengapa tidak serta merta membuat paradigma kritis tentang konsepsi negara Rasul? Negara dengan tingkat relijiusitas tinggi yang mengakomodir berbagai umat. Indonesia pun dulu di yakini adalah ejawantah dari negara Rasul, yang menjadi wadah lintas umat.
                Kembali ke piagam Jakarta, yang menarik, disela pertentangan kubu yang dianggap radikal dan tidak bisa menerima pencoretan tujuh kata tersebut dengan kaum nasionalis-sekuler, terselip kisah SARA yang dinamis, kisah (konon) tendensi sepihak akibat sentimentil ke - agamaan. Adalah Dr. Sam Ratulangi, politisi Kristiani Manado yang dikatakan mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan normatif tersebut.[2] Sebelumnya, politisi kristiani lain, A.A. Maramis, turut dengan tulus menandatangani piagam bersejarah bersama sembilan orang perwakilan agama dan golongan lain. Diyakini, hal tersebut – peran Sam Ratulangi – masih simpang siur, mungkin karena cukup sensitif dan riskan. Selain itu, validitasnya tidak kuat karena satu-satunya buku yang mengulas kejadian tersebut adalah terbitan Cornell University,[3] Amerika Serikat, terkesan provokatif.

Disintegrasi laten
                Prof. Dr. Hamka Haq, penulis buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam ketika berkunjung ke Makassar dan berkomunikasi dalam sebuah forum dengan pemeluk Hindu,[4] mendapatkan sebuah argumen yang menarik, si pemeluk Hindu itu berkata, “kami tidak berkeberatan dengan syariat Islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya, tapi jangan terkejut, ketika nanti begitu banyak muslim yang berbondong pindah keagama kami”. Ya, dengan begitu, mudah bagi kaum muslim untuk menjadi sebuah klaim pada saat persidangan kejahatannya, bahwa pada saat itu juga berpindah agama, agar terhindar dari syariat islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya. Ini menggelikan, niscaya agama dijadikan sebagai wahana bermain dalam konsepsi kejahatan, dalam taktik kriminalitas. Membebaskan mereka memainkan agama tanpa sebuah manifestasi yang solutif adalah fikiran kerdil.
                Faktor fundamental pemikiran Piagam Jakarta mungkin tidak terlalu kritis mengarah kesana, menganggap hal itu wajar adanya. Padahal adalah sebuah kekeliruan besar disaat negara madya sibuk mengurusi jatidiri dalam ruang relijiusitas di campuri oleh praktek-praktek konyol.

“Terpelihara” dengan baik         
                Konflik tersebut pun bermetamorfosa hingga kini, bak bola salju yang semakin besar, polemik meluas dan semakin mengena pembahasannya terkait sebuah ideologi yang disakralkan pada Orde Baru: Pancasila. Meminjam Gus Dur, bahwa pancasila adalah manifestasi-implisit dari berbagai ideologi besar dunia yang hegemonial di Indonesia, Agamais yang memang condong ke Islam lewat frasa “Ketuhanan yang Maha Esa”-nya diwakili oleh sila pertama,. Sosialisme yang merupakan fundamental dari seluruh ideologi dunia ada pada sila ke dua, sila ketiga manifestasi dari Nasionalisme, sila ke-empat mewakili prinsip-prinsip demokrasi, dan komunisme lewat egalitariannya termaktub pada keadilan sosial pada sila pamungkas.
                Pancasila yang secara substantif dilahirkan pada masa Majapahit, akibat salah persepsi, memang terkesan menjadi tameng bagi kaum Nasionalis. Sakralisasi Pancasila – yang memang tidak perlu – menjadikan kaum Islamis konservatif merasa jijik dan wajib melakukan koreksi mendalam pada sebuah fenomena yang parsial. Semua kemelut keagamaan-kebangsaan pada saat dan pasca Orde Baru di nakhodai oleh isu seksi Pancasila dan asas tunggalnya menjadi hal yang sensitif.
                Lahir pula berbagai organisasi yang secara ideologi bersikap korektif terhadap pancasila, konsekuensi demokratisasi pasca berakhirnya rezim otoritarian. Kelompok-kelompok radikal yang memang alergi terhadap Pancasila terus bergerak secara under ground, bermain bersih secara persuasif, doktrinasi yang dilakukan secara komperhensif tidak jarang menjadikan regenerasi-kaderisasi yang optimal, yang menghasilkan kader-kader akademis. Sasaran jelas, pada akar rumput yang masih hijau, karakteristik yang dibentuk sejak dini untuk kemudian mendikte asas tunggal.
                Kekeliruan yang masih terpelihara dalam track Pancasila adalah produk-produk Orde Baru, seperti asas tunggal misalnya, asas yang lahir dari sebuah ketakutan rezim dinilai sudah kadaluarsa bila diterapkan saat ini. Kata kuncinya hanya satu: setiap asas yang secara ideologi maupun implementasi tidak kontraproduktif dengan nilai-nilai Pancasia. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI,[5] sedikit mengkoreksi, menurutnya perlu dipertimbangkan kembali penerapan asas tunggal Pancasila pada organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Pada masa Orde Baru, hal itu dipaksakan dengan tekanan. Apakah sekarang dapat dilakukan dengan sukarela? Bila Undang-Undang mengenai politik, kepartaian, dan organisasi kemasyarakatan membolehkan adanya ideologi lain di luar Pancasila (Asal tidak kontraproduktif), bukankah itu memberi peluang munculnya kembali perdebatan lama yang sesungguhnya tidak produktif? Memang diakui, selain dari keran kebebasan pers, di buka seluasnya kebebasan berdemokrasi.
           Yang memang perlu sedikit di wanti adalah banyaknya ormas islam yang tidak kaku mempertontonkan keradikalannya, padahal sudah jelas secara nilai jauh dari Pancasila. Inilah yang sukar terealisasi, mau di teropong dari sudut pandang manapun, tidak ada kontraproduktif anatara Islam dan Pancasila, meminjam pak Tjokro, pengarang buku Islam dan Sosialisme yang mahsyur itu, kerangka fundamental islam adalah sosialisme. Secara esensi pasti mempunyai prinsip adil dan sama rata-sama rasa, egaliter. Pun dengan Pancasila yang gandrung akan nilai sosialisme. HTI, yang menurut Ulil Abshar Abdalla adalah ancaman serius bagi NKRI dibanding NII.[6] Ormas yang dikenal gemar long march ini memang secara terang-terangan menegaskan ingin mendirikan Khilafah Islamiah di negara majemuk ini. Bagaimana dengan Front Pembela Islam yang memang cukup tegas membela prinsip islam? Habib Muksin dalam sebuah diskusi di Megawati Institue menjelaskan bahwa FPI dari dulu tidak menolak Pancasila, ia mengatakan FPI hanya menolak dengan tegas oknum-oknum yang mensakralkannya.
                Asas tunggal memang sebuah kekeliruan yang wajib di koreksi, namun dengan munculnya ormas yang bisa menjadi sebuah ultimatum kontekstual, koreksi tersebut tidak mudah, butuh waktu dan konsesus bersama.
                Bangsa adalah sebuah spektrum besar yang di dalamnya terdapat manusia yang mempunyai hak hidup dan hak berideologi, analogi sebuah laut, tidak hanya Hiu saja yang dengan keperkasaan dan keangkuhannya hidup di dalam dengan sewenangnya, ikan-ikan kecil yang sudah ditakdirkan menjadi mangsa pun berhak untuk mencicipi asinnya air laut, terserah bagaimana Hiu itu dapat menjaga ritme kapan dan dimana untuk menyantap ikan-ikan kecil tersebut, butuh jarak dan dimensi waktu yang sinambung untuk menikmatinya, agar tersedia esok hari bagi keluarga dan spesiesnya.
                Tulisan ini tidak menjadi sebuah elaborasi mendalam terkait historia agama dan nasionalisme (bangsa) dari masa ke masa, namun menjadi tinjauan praktis sebagai sebuah refleksi. Tak dinyana, pertarungan ideologi bak teka-teki “telur atau ayam” pada masa kecil dulu, sukar di tebak. Meminjam cendikia lokal bahwa ideologi tidak akan pernah habis, ia akan terus berproses dan berkontinyuasi, datang dalam segala bentuk, berbagai wajah dan wacana.

*Oleh: Don Gusti Rao
Sabtu130811.15:31 @ Ruang Tengah 
(Paper ini juga dimuat di “Politika”, Pers Mahasiswa FISIP UNAS. Tahun terbit 2011-2012


[1] Dalam “Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi” Hal.64
2 Ibid. hal 67
3 Ibid
4 Dalam diskusi dan bedah buku, “Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam” karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. di Megawati Institute, 10 Agustus 2011
[5] “Berpancasila Jangan Tanggung” Koran Tempo, edisi 31 Mei 2011, hal A 10
[6] Diskusi “Gerakan Tangkal NII”, Kamis 26 Mei 2011 di PB PMII