Sekira Selasa malam pukul 10, Sembilan Desember, pesan BlackBerry saya berbunyi.
“Bang Don, minta tulisannya terkait politik intoleransi.
Kalau dalam kajian politik itu namanya apa ya? Bisa lah ya? :D”
Seketika saya balas.
“Kapan deadline?”
“Ditunggu secepatnya aja, kalau buat anak-anak sudah harus dikumpulkan
besok.”
Pesan tersebut dari Pemimpin Redaksi Buletin IQRA PMII UNAS, sahabat Amiruddin Zahri yang menodong saya
tiba-tiba. Tentunya sebagai aktivis “yang harus siap kapan saja ketika
dibutuhkan”, literatur Ilmu Politik yang menemani saya sejak 2007 pun kembali
dibuka. Ya, dengan asumsi sederhana bahwa : “apakah politik intoleran itu?”
Ternyata tidak mudah menemukan frasa “Politik Intoleran” sesuai
text book, setidaknya setelah saya
cari dalam sumber yang terbatas di perpustakaan pribadi yang sederhana itu. Ketidakmudahan
itu memaksa saya untuk, bagaimanapun, mencari cara agar frasa tersebut dapat
dibahas. Walaupun secara subtantif dapat dimasukan dalam pemahaman Budaya
Politik, pendekatan tingkah laku politik (Behavioralisme), Partisipasi
Politik-nya Samuel Huntington, bahkan Ideologisasi, dimana Politik Intoleran
menemui banyak persamaan. Yang paling mendekati adalah Budaya Politik, secara tekstual,
tipe Budaya Politik berdasar sikap didikotomikan dalam dalam dua hal, yakni
budaya politik militant dan budaya politik toleran. Budaya politik toleran,
yang menekankan pada sikap netral dan kesepakatan normatif, sementara militant
dapat dikatakan kebalikannya, dengan jalan alternatif tanpa solusi, yang ketika
terjadi krisis selalu sensitif dan emosional.
Sampai disini, “Politik Intoleran” belum saya dapati secara
utuh. Saya pun coba menggali Budaya Politik, mulai dari Papper Resume Yahya Muhaimin, dosen Ilmu Politik Fisipol UGM
(Peneliti ahli Budaya Politik Indonesia) sampai referensi utama para sarjana
Ilmu Politik terkait Budaya Politik macam Almond, Verba dan Ranney. Dalam
perkembangan masyarakat, pendapat Almond yang terkenal tentang Budaya Politik adalah
Budaya Politik Parokial, yakni masyarakat yang bersifat paroki, “apolitis”
(dengan tanda petik), dan sangat jarang membicarakan politik. Budaya Parokial
mempunyai partisipasi politik yang rendah, bahkan – meminjam Huntington –
sangat erat bila dikaitkan dengan partisipasi yang dimobilisir sebagai objek. Dan,
mulai ada cahaya terang tentang “Politik Intoleran”, tentunya dengan perspektif
Almond tentang Budaya Parokial.
Dengan asumsi Almond, Politik Intoleran adalah Budaya
Politik Parokial. Saya masih kurang puas terhadap klaim tersebut.
Langkah kedua, saya coba membuka buku babon Ilmu Politik
karya David Apter, Pengantar Analisa
Politik yang tebalnya 528 halaman itu. Sebab, di kitab suci mahasiswa Ilmu
Politik, yakni Dasar-Dasar Ilmu Politik Miriam
Budiarjo, pendekatan politik tingkah laku tidak ditemui secara eksplisit.
Disebutkan, akar intelektual paham tingkah laku menekankan pada empirisme,
voluntarisme, tindakan individual, serta hubungan antara kesadaran dan tujuan (Apter,
1977 : 210). Keterkaitan Apter dengan Almond sudah bisa diterawang dengan kata
kunci Parokial, voluntarisme (kehendak), tindakan individual, kesadaran dan
tujuan. Ditambah partisipasi politik Huntington dengan partisipasi politik
mobilisir (subjek).
Selanjutnya, saya coba memasuki fase ideologisasi dengan
acuan keadaan Negara Indonesia masa otoritarianisme, bahkan totalitarianisme
orde baru.
Masa itu, tentu tindakan politik harus dalam screening kekuasaan. Isu menjadi sangat sensitif,
dan mobilisasi rakyat dalam tindakan politik merupakan hal yang lumrah. Perang
terhadap ideologi tertentu dengan Pancasila sebagai alat yang dikhultuskan.
Maka dari itu, toleransi terhadap ideologi yang dianggap nista (baca :
Komunisme) dipastikan hilang, karna sudah masuk dalam keterkungkungan hak
pribadi yang didikte oleh Negara (Totalitarianisme). Untuk hal tersebut, saya
sarankan pembaca untuk menonton dua film karya Joshua Oppenheimer yang berjudul
Jagal (The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence).
Sebagai alat dan
strategi politik
Hal-hal yang saya jadikan alat untuk menerjemahkan Politik
Intoleran sudah ditulis secara implisit. Dari kacamata Budaya Politik ada
Parokial, dari Behavioralisme ada Voluntarisme, dari Partisipasi Politik
Huntington ada Mobilisir-subjek, dan dari ideologisasi rezim ada
otoritarianisme (bahkan totalitarianisme).
Lalu, bagaimana dengan pendekatan atau alat yang saya
gunakan untuk menerjemahkan Politik Intoleran secara implementatif? Tentunya ada
fenomena yang kemudian dijadikan dasar realitas untuk menganalisis hal itu.
Bila teori adalah abstraksi dari fenomena, maka fenomena dalam konteks realitas
politik yang harus kita elaborasi.
Ada dua fenomena sosial yang muncul begitu frasa politik
intoleran ini digaungkan. Yang pertama, bila kita terfokus pada kata Intoleran,
tentunya pluralisme agama akan muncul. Sampai kemudian fenomena kelompok
intoleran yang “berjuang” dari berbagai medan juangnya. Ada yang berbentuk
ormas, partai, lembaga reljius, organisasi mahasiswa bahkan gerakan individual.
Tapi disini, bisa kita sortir bahwa intoleran yang punya relevansi besar
terhadap kekuatan sosial-politik di Indonesia.
Yang kedua, implementasi intoleran yang dijadikan legitimasi
dan “sistemik” dalam kuasa tirani. Contohnya yakni parktik intoleran yang
dikodifikasi. Lebih jelasnya udang-undang, perppu, perpres, perda dan lainnya. Ada
banyak peraturan yang tendensius dengan itoleran, tentunya dengan alasan klasik
agama, pancasila dan tentu saja : Politik. Tapi, bagi saya, yang paling nyata
tentu Tap MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan pengembangan faham
Komunisme-Marxisme-Leninisme dan pembubaran PKI. Hal yang mengerikan dari Tap
ini adalah – selain jelas-jelas intoleran—melegitimasi kekerasan terhadap faham
tersebut, mewariskan kebencian, tidak demokratis, dan tentu saja, masalah moral
dan Hak Asasi Manusia dengan korban yang tidak sedikit. Untuk itu, Gus Dur
sangat vokal untuk menghapus TAP tersebut karna baginya, rekonsiliasi anak
bangsa adalah alasan utama, bukan kebencian, tirani, dan klaim sok paling suci. Ketika dikonfirmasi
terkait hal ini pada acara Kick Andy di
Metro TV, Gus Dur bicara enteng : “Kenapa harus takut sama PKI? PKI kok
ditakutin. Yang terpenting itu, undang-undang melindungi sesama.”
-o0o-
Tulisan singkat guna memenuhi dahaga Sahabat Amirudin Zahri
ini tidak serta merta menjadi jawaban mutlak tentang Frasa “Politik Intoleran”.
Yang jelas, Sahabat Amir berhasil merangsang saya untuk membuka kembali
beberapa literatur yang sudah lama tidak saya buka. Dan mungkin akan berkembang
secara adaptif bila suatu saat saya menulis sinambung dengan tema ini lagi.
Ketika ingin menyelesaikan tulisan ini, ada rasa mafhum
bahwa bagaimanapun politik intoleran adalah dua sisi mata uang yang berbeda
dalam konteks Negara. Negara (demokratis), di satu sisi mengharamkannya, namun disisi lain akan tetap ada. Jadi walau
berbeda, Negara demokratis dan politik intoleran akan tetap ada dan menyatu
sampai kapanpun.
*Don Gusti Rao, Ketua
Mabinkom PMII UNAS.
Dimuat di Buletin IQRA PMII UNAS edisi Desember 2014
Pict : Istimewa