Don Gusti Rao*
Filosofi hidup kadang selalu
mempunyai jalan yang bertaut erat dengan aspek ideologi lain. Bila ideologi
adalah ide yang substantif, gaya hidup akan terkontaminasi, atau minimal, ada
hal tercakup meski tersirat. Maka jangan heran bila filosofi dan gaya hidup
adalah salah satu sumbangan terbesar dari ide selain peradaban, aku berfikir
maka aku ada kata Descartes. Ide itu yang dalam konteks akulturatif menjadi
kebudayaan. Praktik kejawen, sunda wiwitan, dan kepercayaan lokal lain adalah
ide yang bertransformasi menjadi estetik dan penuh penghayatan substansi. Patut
dipahami bahwa ia bukan merupakan hal murni yang sekonyong-konyong ada.
Adalah Straight Edge, faham menarik yang menjadi tema besar dalam esai
ini, meski bukan merupakan barang baru, faham ini punya values ide dan semangat kemandirian yang mumpuni.
Straight Edge adalah faham yang asal mulanya terjadi di Inggris
dan Amerika, pada masa itu musik Underground (Punk/Hardcore) sangat booming, banyak remaja dan musisi
menyukainya, tapi di sisi lain musik beraliran keras dengan gaya fasionnya yang
sangat mudah ditemui dan di kenali ini selalu berkonotasi negatif dan kriminal,
bahkan ratu Inggris pernah berkata bahwa musik Underground itu adalah
musik setan –– pada jaman itu, Underground juga identik dengan kriminal,
alkohol, drugs dan free sex, dari sebab itulah mereka risih
dengan pandangan masyarakat yang selalu memandang negatif pasukan hitam-hitam
ini, maka untuk merespon anggapan masyarakat tersebut mereka sepakat untuk
bermusik dan berkarya dengan cara yang lebih baik [Lihat Doni Rao – Idealisme dari Sudut Pandang Lain,
Kapitalisme KSM-UNAS, Edisi tahun 2009]. Untuk itu, muncullah apa yang
dinamakan dengan Straight Edge,
sebagai gerakan gaya hidup yang diinisiasi semangat berkarya dengan bersih,
tanpa Drugs, Alkohol, Free Sex dan juga Nikotin. Ide ini
dicetuskan dari lagu Minor Threat dengan judul yang sama yang bila diartikan
bisa berarti gerakan yang lurus, namun sebelumnya, embrio gerakan ini terilhami
dari lagu-lagu band Protopunk The
Modern Love medio 70-an [Buletin IQRA PMII UNAS 2010 : 4]. Banyak yang
mengklaim menjadi penganut faham ini dengan dalih memberontak dari upaya cara
pandang gaya hidup (Punk/Hardcore) yang negatif, dengan asumsi bahwa mereka
menyaksikan dan juga menyangsikan hancurnya hidup orang-orang sekitarnya,
disisi lain juga hancurnya hubungan kekerabatan, bisnis dan lainnya [Alfansuri
2007].
Ditilik dari semangat dan sejarahnya, tentu Straight Edge sangat revolusioner. Begitu mafhum kiranya kita
menyandingkannya dengan ideologi kaum kiri yang kerap dipandang kontroversial
jua. Sosialisme atau dalam konteks yang fundamental, yakni komunisme. PKI yang
secara general mewakilkan partai
politik di Indonesia dengan ideologi Komunisme tentu revolusioner, bagaimana
tidak, dalam konteks pemikiran dan pandangan yang melawan arus tentu, namun
siapa sangka dalam gaya dan pandangan hidup yang impelementatif juga demikian.
Bila Straight Edge sebagai ide
yang besar kemudian memunculkan banyak varian, tentu demikian juga dengan PKI. Straight Edge dengan pemikiran
fundamentalisme beranggapan bahwa menjadi vegetarian
adalah sebersih-bersihnya kaum dengan simbol ”X” ini. Diluar itu, merupakan Straigh Edge yang absurd, karbitan dan layak dimarjinalkan. Pun dengan PKI, varian
komunisme Indonesia tentu berbeda dengan Eropa yang sarat dengan pertentangan
kelas. Sedangkan di Indonesia mempunyai titik tekan pada nilai perjuangan
melawan Kolonialisme dan imperialisme, bahkan sedikit irisan dengan kapitalisme
internasional dan borjuasi lokal. Maka dari itu, dalam ”Jalan Baru”-nya, Musso
mengkritik habis partai Komunis sekawan di Belanda dan Perancis yang bukannya
men-support perjuangan PKI untuk
merdeka dari Belanda, tapi malah menganjurkan agar Indonesia menjadi
persemakmuran atau common wealth
negeri Kincir Angin tersebut.
-o0o-
Bagi kita yang hidup atau mengalami sekolah zaman propagandis orde baru,
ada hal yang akan diingat. Menjelang 30 September, beberapa sekolah dasar
mewajibkan siswanya menonton film Pengkhianatan
G30S/PKI karya Arifin C. Noer dengan layar lebar dari kain, juga disiarkan
di TVRI secara maraton. Sudah pasti ada rasa kengerian yang mendalam, orba
berhasil menanamkan kebencian yang bukan main dahsyat berikut implikasinya,
bahkan saking kontroversialnya, ada
kejanggalan dimana Arifin Noer dan Umar Kayam, seniman Idealis yang dikenal tak
takut lapar itu justru menggarap dan jadi pemainnya. Dan, mudah ditebak,
anggaran 800 Juta Rupiah menjadikannya sebagai film termahal yang disponsori
orde baru. Tapi bukan itu yang saya bahas, saya lebih tertarik membahas DN
Aidit, ketua CC PKI yang diperankan oleh wartawan senior Tempo Syu’bah Asa. Ya,
Aidit digambarkan sebagai seorang ketua partai pemberontak yang memimpin rapat
dengan kepulan asap di forum rapat yang amat sumpek. Kontan, ketika reformasi
hadir dengan kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar, kawan-kawan seperjuangan,
eks tapol sampai sejarawan memandang itu sebagai bagian dari campaign orba. Murad Aidit, adik sang
ketua lantas menyangkalnya, Aidit tidak merokok. Bahkan, masa itu, syarat
khusus untuk menjadi anggota PKI adalah dua, yakni tidak merokok dan
berpoligami. Hal itu lantang disampaikan Sri Sulistyawati, mantan wartawan
Bakti dari Grup Sinpo yang mendekam selama 11 tahun enam bulan di RTM Bukit
Duri [Beritasatu.com , Kamis, 26 Juli 2012].
Meski rokok dianalogikan sebagai
candu para aktivis politik dan para Thinker
demi mendapat inspirasi, Aidit melawan mainstream
itu. Dalam skala general, PKI
yang melawan itu. Lain lagi dengan Musso, ketua PKI pasca Republik merdeka yang
menganjurkan kadernya untuk menghormati perempuan. Bahkan, Musso pernah
menonjok Alimin, tokoh PKI yang diangkat Soekarno sebagai pahlawan dan dimakamkan
di Kalibata itu akibat suka main perempuan [Musso, Si Merah di Simpang
Republik. Tim Buku Tempo 2011 : 116]. Ada penghormatan bagi PKI kepada Gerwani,
organisasi sayap keperempuanan PKI yang masa itu aktif mengadvokasi hak-hak
perempuan, khususnya jaman Aidit (terkait larangan rokok & poligami).
Singkatnya, ada titik temu antara Straight Edge dan PKI dalam nilai
perjuangan melawan mainstream “status
quo”. Banyak dari kita yang meyakini nilai perjuangan kedua faham tadi sebagai
filosofi hidup, meski tak fair
kiranya kita dianggap sebagai bagian dari kedua faham itu pula. Ya, kita yang
meyakini faham tadi bukanlah Pramoedya, Kartosoewirjo atau malah Jenderal
Soedirman yang aktifitas dan permintaan terakhirnya sebelum meninggal adalah
merokok. Namun patut dicatat, nilai perjuangan adalah hak personal yang
didasari dengan ide, perjuangan dan gaya hidup dan values yang filosofis. Aidit, Musso, Pram, Karto dan Dirman punya
filosofi hidup yang diyakininya.
Saya jadi berandai-andai, bila Aidit
dan Musso tidak mati sia-sia dan hidup sampai dengan zaman Staright Edge begitu hegemonik, tentu akan ada akulturasi dari
ranah gaya hidup aktivisme-politik kaum kiri dan para musisi Underground dalam melawan mainstream dan stigmatisasi kelompok
oposan. Dan ini paradoks. Tentu juga bila tidak ada propaganda sistemik yang
ditentang Gus Dur itu (baca : Orde Baru) kita akan leluasa mendengar
Genjer-Genjer karya Muhammad Arief tanpa harus diprotes keras oleh FPI. Atau,
kita akan mendengar syahdunya para seniman Lekra menyanyikan Anti Nekolim di
radio-radio kesayangan anda:
Mari kita
bergembira, suka ria bersama
Hilangkan sedih
dan duka, mari nyanyi bersama
Lenyapkan duka
lara, bergembira semua
La la la la la la
la la, mari bersuka ria
Terakhir, tentu kita masygul, kendati
faham-faham tadi adalah ide, tapi ia akan mengalami sebuah fase dimana
perjuangan akan terjal. Straight Edge
akan dimusuhi oleh kaum Underground
lain yang menganggapnya cengeng, dan kaum kiri akan terus didiskriminasi karena
dianggap sebegitu nistanya, ya, orba berhasil mencuci otak kita.
Kampung Rambutan, 24
November 2015.
*Gusdurian
yang lagi nyantri di PMII
Esai ini juga dimuat di Zine SPATKAPITALISMUS Sosiologi UNAS - Edisi Desember 2015
Pict : Istimewa