Selasa, 22 Juli 2014

Deklarasi Lembaga Survey*



 *Doni Rao

Syahdan, Rabu 9 Juli 2014, Indonesia baru saja melaksanakan pesta demokrasi pemilihan langsung Presiden dan wakil presiden untuk ketiga kalinya. Menengok kebelakang forum suksesi kepemimpinan ini, pemilihan pertama kali tahun 2004 memang begitu spesial, untuk yang pertama kalinya rakyat memilih kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan secara langsung. Pemilihan kedua pun demikian, calon petahana begitu percaya diri maju kembali hingga mengajukan wakilnya dari luar partai politik, dan akhirnya terpilih kembali. Dalam rentang waktu tersebut, tentu saja yang paling menarik adalah pemilihan presiden secara langsung untuk ketiga kalinya. Mengapa demikian? Tidak bisanya calon petahana untuk maju yang ketiga kalinya membuat kesempatan capres baru muncul, sesudah itu, calon yang maju hanya dua kandidat yang membuat MK memutuskan bahwa pilpres kali ini hanya satu putaran.
Kandidat yang hanya dua, mekanisme pemilihan yang satu putaran dan pecahnya “koalisi antar oposisi” PDIP dan Gerindra membuat pilpres tahun ini begitu prestisius. Belum lagi konstelasi politik yang memungkinkan terjadinya perang antar media dan tentu saja “budaya politik yang sedang tren” yakni – apalagi kalau bukan – lembaga survey.

Alhasil, seluruh masyarakat yang awam politik pun tiba-tiba terbelalak, bagaimana tidak, capres nomor urut dua Joko Widodo mendeklarasikan kemenangan setelah mengamati hasil penghitungan cepat lembaga survey dengan kemenangannya sekitar 2 - 5%. Sedang Prabowo setali tiga uang, capres nomor urut dua itu pun “menang” via hitung cepat  lembaga survey yang lain dengan selisih yang tidak terlalu jauh.
Pertanyaannya kemudian sudah bisa ditebak, mengapa ada perbedaan hasil  penghitungan cepat? Baru kali ini lembaga survey berbeda hasil (dalam konteks kemenangan di pilpres) dan didiagnosa sebagai rilis yang tendensius.

Kemenangan presiden, kemenangan lembaga survey

Pasca rilis survey, ada pemandangan menarik, tatkala kedua capres saling kalim kemenangan.  Deklarasi dilakukan seyakin-yakinnya. Substansinya satu, yakni kemenangan lembaga survey. Kemenangan industri yang sudah melekat menjadi budaya politik.

Lembaga survey menjadi magnit, juga “memainkan perasaan” masyarakat. Bahkan psikologi para politisi pun dimainkannya. Gertak sambal ala capres pun membuat kemenangan lembaga survey semakin vulgar, apalagi dengan bantuan televisi koalisi, jadi semakin bias, antara “survey ilmiah” dengan “survey inilah”.

Ya, sejak kemunculannya pada pemilu 2004 lembaga survey memang bak primadona. Untuk itu ungkapan Winston Churchill bahwa “Politik bukanlah permainan, tapi bisnis yang paling menguntungkan” adalah tidak keliru. Bila dulu politik dijadikan sebagai “ketiak pelindung” para pebisnis, sekarang politik justru lebih instrumental, menjadi alat dan values bahwa politik menjadi bisnis yang benar-benar menguntungkan. Lembaga survey, konsultan politik, marketing politik, hingga massa dalam lingkup politik menjadi hal yang begitu vulgar untuk dijadikan mesin penanak nasi.

Tercatat, ada 37 lembaga survey berskala nasional dan 200an yang berskala lokal, yang kemudian akan terpublikasi dengan berbagai macam nama saat forum suksesi legislative dan eksekutif terselenggara. Boleh jadi, Indonesia patut tercengang tatkala Negara dengan demokrasi mapan macam Amerika Serikat tidak menempatkan Lembaga suvey pada posisi yang mempunyai “otoritas yang tinggi”, meski sudah ada sejak medio 1940-an disana (Irsyad Ali).

Fenomena deklarasi lembaga survey kemarin menjadi pengingat bahwa industri politik sudah sangat seksi, pun menjadi strategi politik guna menggiring opini ataupun hanya sekedar mencari perhatian. 
Ya, jangan sampai dengan menangnya lembaga survey, dualisme presiden Indonesia benar-benar terjadi, setidaknya sampai tanggal 22 Juli nanti saat KPU menyampaikan hasil pemilu presiden. Jangan sampai Indonesia kembali kemasa Republik Indonesia Serikat saat ada “dualisme" (dengan tanda kutip) Mr. Assa’at sebagai presiden Republik Indonesia dan Ir. Soekarno sebagai presiden RIS. Atau saat Mr. Syafruddin Prawiranegara menjadi ketua (baca: presiden) Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Kampung Rambutan. Rabu sore, 9 Juli 2014
Pict : Istimewa

Jumat, 14 Februari 2014

Musso, Peristiwa Madiun dan Djalan Baru untuk Indonesia

*Tugas pada Budaya dan Pemikiran Politik Indonesia, Pascasarjana Ilmu Politik UNAS. 2013
 
ABSTRAK

            Munawar Musso (Lahir di Kediri, 12 Agustus 1897 – 31 Oktober 1948) adalah seorang aktifis pergerakan Indonesia, berlatar belakang dari keluarga taat beragama di Desa Pagu Kediri, Jawa Timur. Masa mudanya dilalui dengan aktif diberbagai organisasi gerakan seperti Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Sarekat Rakyat, ISDV dan organisasi-organisasi perburuhan pada pra kemerdekaan. Lewat gerakannya yang dikenal radikal terhadap imperial dan kolonial, gerakannya pun sampai ke Rusia yakni di Komunisme Internasional (komintern) sebagai induk organisasi komunis dunia. Ia pun dekat dengan Stalin, pemimpin gerakan komunis yang juga penguasa Rusia.
            Diluar gerakannya yang hegemonik, Musso pun menelurkan satu gagasan yang menjadi pedoman kaum komunis masa itu. Konsepsi paradigmatiknya itu kemudian dikenal dengan sebutan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Jalan Baru pun menggema dan dijadikan sebagai landasan bergerak bagi PKI, setelah kembali dari Rusia, Musso semakin radikal terhadap imperialisme, untuk itu ia pun tidak mengenal kompromi terhadap segala macam bentuk imperial dan feodalisme. Atas dasar itulah Musso dituding terlibat dalam peristiwa Madiun yang konon disebut sebagai pemberontakan.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Gambaran Umum
Membicarakan Musso sebagai seorang tokoh kontroversial tidak lepas dari berbagai peran yang ia jalankan. Dalam lingkup pergerakan pra-kemerdekaan, ia disanjung sedemikian rupa tatkala aktif sebagai aktor gerak melawan imperialisme. Berbagai pemberontakan dan pemogokan buruh yang membuat geram pemerintahan kolonial membuatnya sebagai buruan utama,[1] hingga ia melanglang buana ke luar negeri dan meninggalkan tanah kelahirannya untuk menghindari endusan intelejen dan pengawasan keamanan kolonial. Pengalamannya dalam dunia pergerakan dalam negeri pun cukup fenomenal, selain cukup berperan menjadi inisiator pemogokan buruh dan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial –  salah satunya adalah pemberontakan Afdeling-B di Cimareme Garut,[2] Jawa Barat yang membuatnya di bui bersama Alimin,  ia juga menikmati pendidikan di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya, di kota pahlawan ini ia indekos dirumah H.O.S. Tjokroaminoto bersama Soekarno, Alimin, Semaoen dan Kartosoewirjo.[3] Dirumah Tjokroaminoto inilah ia bertemu dengan Sneevliet, seorang Marxian dari Belanda yang kerap berdiskusi dengan Tjokroaminoto dan para muridnya yang indekos disana. Sneevliet juga yang mengkader Musso, Alimin, Haji Misbach, Darsono, Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo dan mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang berhaluan Marxisme. Sneevliet juga memasukkan gagasan sosialis dalam tubuh Sarekat Islam hingga pada akhirnya Tjokro mendikotomi Sarekat Islam Merah dan Putih sebagai disiplin partai, juga karena adanya dualisme keanggotaan antara Sarekat Islam dan ISDV yang kemudian menjadi PKI. Sneevliet jeli melihat Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat yang memiliki basis massa besar, itu sebabnya Sneevliet masuk dan menanamkan pengaruhnya dengan membangun blok merah di tubuh Sarekat Islam, apalagi Sneevliet adalah orang yang berani menyuarakan gagasan “Hindia Belanda Merdeka” – gagasan yang revolusioner untuk masa itu ketika Belanda kuat menancapkan imperialisme.[4]
            Diluar perannya sebagai aktivis gerakan – setidaknya setelah melanglang buana hingga ke Uni Soviet, Musso aktif sebagai aktor politik. Ia dianggap berbakat dan mempunyai peranan besar dalam gerakan komunis Asia Tenggara, karier politiknya pun menjulang di Komintern (Komunis Internasional) berkat keikutsertaannya pada Kongres ke-6 di Moskow medio Juli 1928 dan didampuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional.[5] Lengkaplah sudah komparasi pergerakan dan politik dalam hidupnya yang paradoks.
            Aktifis gerakan kiri progresif-revolusioner Indonesia cukup memegang peranan dalam konstelasi Komunis dunia, tokoh - tokoh seperti Tan Malaka, Alimin, Semaoen dan Darsono cukup berpengaruh, setidaknya dalam Komintern. Nama-nama tersebut juga turut hadir dalam Kongres Komintern ke-6, kecuali Tan yang diwakili oleh Tadjudin. Semuanya fasih menggunakan nama samaran sebagai respon untuk mengelabuhi kejaran pemerintah kolonial.
            Sebagai bagian dari gerakan Komintern yang ingin mengukuhkan hegemoni Komunis ke seluruh dunia,[6] Musso mafhum akan hal itu, ia pun pulang ke Indonesia awal Agustus 1935 – sejak pemberontakan 1926 –  dengan membawa konsep kompromistis komunis atau yang dikenal dengan Doktrin Dimitrov.[7] Cinderamata Musso dari Soviet setelah ia pulang pasca pemberontakan 1926 ini cukup dijadikan pedoman kaum Komunis tanah air, kaum progresif revolusioner pun tidak berkeberatan mengulurkan tangan dengan kaum kolonialis untuk melawan kekuatan Fasis yang mulai menggeliat di Asia dengan Jepang sebagai garda terdepan gerakan ultra nasionalis tersebut.
            Sejak dibakukannya Doktrin Dimitrov oleh Komintern, secara implisit Komunisme mulai menggurita khususnya di Eropa seperti Perancis dan Italia yang pada tahun 1946 Partai Komunis setempat berhasil memenangi pemilu.[8] Eropa Barat yang Komunis sekaligus mengkomuniskan tanah-tanah  jajahannya, dan atas dasar ini Partai Komunis Vietnam dan Indonesia sampai awal 1948 mengikuti garis lunak induknya di Eropa.[9] Namun sejak pertengahan tahun 1947 kekuatan nonkomunis pun mulai sadar akan bahaya Komunis dan mereka mulai mengadakan langkah-langkah preventif yang sinambung, salah satunya apa yang dikenal dengan Marshall Plan,[10] kemudian yang fenomenal adalah pada tahun 1948 disaat hangatnya peristiwa Madiun dikenal juga istilah Red Drive Proposal atau pembasmian kelompok merah.[11]
Medio akhir 1947, saat embrio perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur mulai berkembang,[12] saat itu pula tantangan bagi kaum Komunis mulai semakin berat. Dan ini adalah relevansi besar atas perang dingin AS-Uni Soviet, embrio awal dari peristiwa Madiun pembersihan kaum kiri di Indonesia yang konon adalah sebuah desain Amerika Serikat lewat kebijakan Hatta yang moderat dengan bargain pengakuan de jure kemerdekaan Indonesia yang di nakhodai Amerika dan sekutunya.[13] Salah satu efek dari dari derasnya perang dingin yaitu utopianya harapan-harapan kaum Komunis satu persatu untuk mengkomuniskan Eropa, sehingga mereka meninggalkan garis lunak, dan kembali ke garis keras.[14] Garis keras tersebut “kembali ke jalurnya” setelah Dua Belas tahun menekuni doktrin Dimitrov. Adalah Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan Joseph Stalin. Doktrin Zhdanov pada hakikatnya menganjurkan kaum Komunis untuk mengambil jarak dari kubu Imperialis, Kapital-Liberalis  yang dimotori AS. Era kompromistis pun sudah berakhir, hal ini juga didukung oleh melemahnya hegemoni Fasis yang sempat membawa perubahan garis perjuangan di Komintern – komintern kemudian berubah menjadi Kominform atau Communist Information Bureau pada saat Zhdanov menyerukan Doktrin ini.
Musso kali ini pulang membawa bekal doktrin Zhdanov pada awal Agustus 1948, keahliannya dalam penyamaran cukup baik dilakukannya saat itu, menyamar sebagai Soeparto asisten Soeripno pemuda kiri yang saat itu menjabat sebagai Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Kharisma dan rekam jejak yang cukup mentereng pun menjadi nilai bagi eksistensi Musso sebagai pemegang peran sentral PKI, apalagi setelah jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin yang notabene disokong kubu kiri, juga semakin terjepitnya posisi Republik Indonesia pasca perjanjian Renville. Hal-hal tersebut semakin membuat gairah politik Musso menjadi-jadi, apalagi dia langsung mencetuskan konsepsi paradigmatiknya yang kemudian dikenal dengan Djalan Baru untuk Republik Indonesia pada sidang politbiro PKI tanggal 13 dan 14 Agustus 1948 di Yogyakarta. Untuk menyebarkan gagasan revolusioner Djalan Baru-nya, Musso mengadakan safari politik berupa rapat-rapat akbar di alun-alun kota dan lapangan besar, dalam setiap rapat akbar tersebut ia mengkritik kebijakan pemerintahan Hatta yang mau berdiplomasi dengan kaum imperial-kolonialis. Dia mendesak rakyat untuk mengangkat senjata melawan penjajah, tak jarang Musso membuka pidatonya dengan teriakan “menang perang!”.[15] Dikisahkan pada suatu rapat di Yogya, Djalan Baru Musso dikritisi dengan skeptis oleh seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada: “Apa kita mampu melawan Belanda dalam kondisi kita seperti ini?” Musso langsung menyingsingkan lengan bajunya dan menjawab dengan cekatan: “Kenapa tidak? Ini Musso kawanku! Yang pernah berperang melawan kaum Fasis di Italia!”[16]
Djalan Baru Musso pun cukup mendapat perhatian dari kawan maupun lawan politik sang Oude Heer.[17] Musso (dalam Djalan Baru-nya) menganggap bahwa PKI tidak mengakar kuat pada buruh, tani, pemuda dan tentara. Kader PKI terpecah-belah dan sosialisasi ideologi kurang optimal. Banyak sekali hal-hal kontemporer dan masalah populis-kerakyatan yang disinggung dalam Djalan Baru antara lain tentang keorganisasian, partai politik, politik dalam dan luar negeri, kepolisian Negara, pengadilan negeri, ketentaraan, adanya Front Nasional, ideologi dan alat-alat Negara lainnya.[18] Salah satu gagasan Djalan Baru yang cukup dikenal adalah adanya fusi tiga partai kiri yaitu Parti Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia menjadi Partai Komunis Indonesia.
Kharisma seorang Musso membuatnya cukup diperhitungkan dalam kancah pergerakan dan politik pasca kemerdekaan, banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir Syarifuddin, Setyadjit Soegondo dan beberapa orang yang tergabung dalam kelompok diskusi Patuk.[19] Bahkan Soemarsono, tokoh Pesindo dan saksi hidup Peristiwa Madiun dalam bukunya dan berbagai wawancara mengungkapkan bahwa ia adalah pengikut setia Musso atau sebut saja seorang “Mussois”.
Tak dinyana, kembalinya Musso menjadi ceritera kelam yang saat ini menjadi misteri, sekelam misteri murid-murid Tjokroaminoto yang saling membunuh dengan koridor ideologi berbeda-beda, Musso-Alimin-Semaoen dengan Komunis, Soekarno kukuh dengan Nasionalisme-nya dan Kartosoewirjo dengan Islam sebagai ideologi. Ya, mereka baku hantam dengan harapan sama: memajukan Indonesia sebagai Negara berdaulat! Terlepas dari berbagai mekanisme ideologi untuk merengkuhnya, yang pasti mereka menginginkan Indonesia yang sempurna versi mereka sendiri, dan Tjokro tidak sempat melihat muridnya bergumul dengan ide-ide revolusioner. Lalu bagaimana dengan pertemuan hangat Soekarno-Musso yang dikisahkan Soe Hok Gie dengan sangat haru biru? Menjadi ambiguitas ketika Tiga Puluh Tujuh hari kemudian mereka saling bunuh lewat pidato Radio, mencaci maki dengan saling tuduh sebagai renegat!, ambigu apakah itu pertemuan politis atau memang pertemuan dua sahabat yang berpisah selama Tiga dasawarsa. Tapi sejarah akhirnya bicara, mereka sangat antipati hingga akhirnya pecah peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19 September  1948, dalam pidato yang dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.[20]
Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
B. Alasan Pemilihan Judul
            Tak dipungkiri, “aliran kiri” begitu seksi dimata aktivis mahasiswa, baik dari segi gerakan maupun pemikiran. Di sisi lain tokoh yang dikaji melulu Marx atau tokoh luar seperti Gramsci, Trotsky, Nietzche sampai Zizek. Tokoh lokal tidak jauh dari Soekarno, Tan Malaka, Aidit sampai Syahrir. Musso tidak begitu familiar, hal tersebut menurut penulis adalah karena adanya pemahaman keliru terkait pemikiran dan gerakannya. “Jalan Baru” tidak sesederhana yang dilihat meskipun menggunakan kata-kata yang mudah dicerna oleh awam sekalipun, hal itu memang ditujukan sebagai pedoman rakyat sampai kemudian Biro Propaganda CC PKI menstensilkannya hinga beribu-ribu kopi demi disebarluaskan kepada kaum buruh, tani dan rakyat secara umum.
            Di sisi lain, sosok Musso sangat misterius. Tim Buku Tempo, yang merupakan satu-satunya buku yang membahas sosok Musso – penulis lain banyak menulis sosok Musso lebih jeneral, bahkan cenderung mengisahkan Peristiwa Madiun – menuliskan bahwa Musso adalah anak pegawai Bank, sedang PBNU lewat buku putihnya “melegalisir” bahwa Musso adalah cucu Kyai Kasan Muhyi dan “ponakan tiri” K.H Hasyim Asy’ari. Itulah lika-liku kisah hidup Musso yang menjadi misteri.
            Kemudian adalah Peristiwa Madiun yang kemudian di era Orde Baru disebut sebagai Pemberontakan, peristiwa yang menjadi magnet karena banyak tudingan bahwa peristiwa tersebut adalah agenda Amerika demi membumihanguskan kaum kiri di Indonesia pasca Fasis hancur. Terakhir adalah konsepsi paradigmatiknya, Jalan Baru yang merupakan konsepsi pedagog untuk mengedepakan “pendidikan teoritik” yang bersifat implementatif untuk kaum buruh tani, dan hal itu dinilai “langka” dalam tubuh pemikir komunis karena bahkan lebih condong ke sosialis “soska” ala Syahrir.
            Itulah alasan-alasan mengapa Musso adalah sosok menarik untuk kemudian dikaji secara komperhensif, baik dari segi gerakan, pemikiran hingga biografi hidupnya yang berliku.


BAB II
MUSSO, SEPAK TERJANG DAN GERAKANNYA

A. Latar Belakang Musso
            Musso lahir dengan nama Munawar Musso pada 12 Agustus 1897[21] di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ayahnya Mas Martoredjo,[22] pegawai kantoran pada Bank di Kecamatan Wates, tak jauh dari rumah. Sedang ibunya bekerja dirumah mengelola kebun Kelapa dan kebun Mangga. Sumber lain[23] menulis bahwa bapaknya bernama Datar yang bekerja setiap hari, sehari penuh di sawah. Ibunya bernama Khasanah yang kesehariannya membatik yang kemudian hasilnya ditukar dengan bahan-bahan keperluan sehari-hari.
            Musso yang memang berasal dari keluarga yang taat, ketika kecil dikenal rajin mengaji. Selain itu, pria bertubuh gempal ini juga amat aktif dalam berorganisasi sejak saat remaja, bahkan di Buku Tempo disebutkan atas aktivitasnya itu hubungan antara dia dan adiknya Sidik merenggang.[24] Hal tersebut dikarenakan Sidik amat keberatan kakanya menggunakan rumah orangtua mereka sebagai basis kader PKI. Kader-kader PKI dari Blitar, Trenggalek dan Madiun pun sering singgah untuk berdiskusi, silaturahim sampai bermalam dirumahnya.
            Ada dua ulasan menarik tentang latar belakang keluarga Musso, setidaknya ada dua buku yang berlainan menerangkan kapasitas keluarga Musso. Buku Tempo menyebutkan bahwa Musso termasuk keluarga berada pada zamannya, dengan saudara yang “hanya” dua kakak-beradik, ditambah dengan pekerjaan ayahnya yang pegawai kantoran Musso bahkan sudah mengendarai sepeda motor pada zaman itu. Sepeda motor kebo merek Ural buatan Soviet. Sedangkan pada Buku karya Sutopo[25] menyebut bahwa Musso adalah anak sederhana yang pergi ke Batavia untuk mencari pekerjaan. Di Batavia, pada umur 20 tahun ia pun berhasil bekerja sebagai pegawai pos. Namun tidak lama bekerja ia pun dipecat karena aktif dalam serikat buruh (SB Postel, Pos dan Telegrap). Sejak itu pula ia meretas jalan sendiri dengan keras, tidak mau lagi bekerja pada pemerintah kolonial.
Tim Buku Tempo menulis, dengan latar belakang yang lumayan, Musso hijrah ke Batavia untuk masuk kesekolah guru. Disekolah itulah Musso mulai mendapat ide-ide pencerahan wal tentang sosialisme dan komunisme. Perkawanan Musso dengab Alimin pun dimulai dari sekolah ini, keduanya dipertemukan oleh G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Bumi Putera.[26] Ada juga D. Van Hinloopen Labberton, seorang reformis politik etis yang juga ketua Theosofische Vereeniging di Batavia, Musso juga dekat dengannya.
            Setelah tamat sekolah pendidikan guru di Batavia, Musso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg atau Bogor. Kampus inilah cikal bakal Institute Pertanian Bogor.[27] Versi Soemarsono menyebutkan Musso bersekolah di Hogere Burger School (HBS). Ia juga menyebutkan bahwa Musso dua tingkat lebih senior dibanding Soekarno, yang masuk HBS Surabaya pada 1915.[28] HBS adalah sekolah lanjutan menengah untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi.
Di Surabaya, Musso kos dirumah tokoh pergerakan yang juga tokoh SI Tjokroaminoto.[29] Kos yang dikelola oleh Suharsikin, istri Tjokro ini juga ditempati oleh tokoh-tokoh muda pergerakan yang kelak mengambil peranan dalam dinamika pergerakan kemerdekaan Republik, yakni Soekarno, Alimin dan Kartosoewirjo. Dirumah ini juga Musso bertemu dengan Sneevliet yang menetap di Surabaya. Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokro yang notabene juga sebagai anak kos, salah satu murid yang intens berdiskusi dengannya adalah Musso. Belakangan Musso bersama Alimin, Semaoen, Darsono, Mas Marco Kartodiromo dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet di ISDV yang tentunya memegang peranan penting.
Soe Hok Gie dalam orang-orang dipersimpangan kiri jalan mewawancarai Darsono, senior Musso yang juga tokoh PKI pada 1964.[30] Bagi Darsono, Musso muda adalah orang yang garang dan senang amuk-amukan. Pada usia 20 misalnya Musso sudah terlibat dalam gerakan Sarekat Islam Afdeling B di Cimareme, Garut, Jawa Barat. Afdeling ini didirikan oleh tokoh Sarekat Islam Raden Pandji Sosrokardono. Pada 1919 ratusan petani dan kader PKI berontak melawan penguasa kolonial, banyak yang tewas dan ditangkap.
Menarik, bila dikemudian hari kita melihat murid-murid Tjokro berjibaku satu sama lain dengan ekspektasi sama, yakni menaikkan derajat Republik dengan kemerdekaan. Tak dinyana, Tjokro meninggal sebelum indonesia merdeka, ia pun tidak sempat melihat murid-muridnya clash satu sama lain dengan interpretasi ideologinya masing-masing. Mereka “saling membunuh” lewat pemahamn berbeda dengan tujuan sama, Musso fasih dengan komunismenya, Soekarno dengan jalan nasionalis yang elegan dan Kartosoewirjo dengan faham Islam yang fundamental. Dan, gelanggang konflik murid Tjokro menegaskan bahwa Soekarnolah yang ditakdirkan untuk menang.

B. Aktifitas gerakan-politik
            Seperti diungkapkan diatas, Musso mudah sudah menceburkan diri dalam dunia pergerakan baik gerakan buruh maupun gerakan sosial politik. Ia pun tak lupa melengkapi gerakan itu dengan pendidikan mumpuni sebagai parameter kadar intelektualnya. Di dunia akademik itulah ia mendapat teman-teman seperjuangan saat kos dirumah Tjokro. Belum lagi persinggungannya dengan Sneevliet.
            Ia memulainya dengan aktif Sarekat Islam, organisasi terbesar waktu itu. Setelah cukup memakan pemahaman radikal Sneevliet, ia pun masuk ISDV yang sebelumnya cukup berperan dalam pemberontakan di Cimareme. Setelah ditangkap bersama Alimin pasca pemberontakan Cimareme SI afdeling B, Musso pun membentuk PKI cabang Jakarta yang dinilai sebagai pelampiasan terhadap sikap dan perlakuan buruk yang diterimanya saat dipenjara. Itu melampiaskan itu secara elegan, ia membuka pos legitimasi untuk menghantam kolonial dan PKI Jakarta pun berdiri.
              Di ISDV yang kemudian menjadi PKI, Musso menjadi tokoh. Apalagi setelah ia bisa menembus lingkaran komintern. Muso bersama Tan Malaka, Alimin, Semaoen dan Darsono menjadi orang Indonesia yang namanya cukup diperhitungkan dikomintern (Rusia). Kecuali Tan yang sedang sakit dan diwakili Tadjudin, kelima aktifis kiri tersebut pun hadir dalam kongres komintern ke-6. Berkat keikutsertaanya itu pula lah Musso didampuk mejadi komite eksekutif komunis internasional. Walau tak selesai saat mendapat beasiswa kuliah di Universitas Lenin, konsepsi paradigmatik akademiknya ternyata cukup menarik dianalisis. Setidaknya oleh konsep penawaran dan koreksi kritis terhadp pemerintahan waktu itu, konsepsi paradigmatiknya yang kemudian dikenal dengan “Djalan Baroe oentoek Repoeblik Indonesia” cukup laris lewat sosialisasinya diberbagai daerah. Jalan baru kemudian distensil untuk diperbanyak oleh CC PKI sebagai pedoman kaum kiri yang mayoritas menggantungkan gerakan populis kepada kaum buruh dan tani.
            Musso yang sejak menjadi buronan intelejen kolonial pasca pemberontakan 1926, mencoba peruntungan untuk kembali membela bangsanya. Medio 1935 ia pun pulang dengan membawa cinderamata dari komintern. Cinderamata Musso yang tak lain adalah garis perjuangan Dimitrov yang kompromistis kepada elemen lain diluar komunis. Doktrin yang menganjurkan kaum revolusioner kiri untuk berkooperasi dengan kaum kapital- liberlisme dan kolonialisme ini menjadi garis baru yang diminati di Indonesia, apalagi bila doktrin tersebut dengan tegas melawan hegemoni fasis-naziisme yang mulai menggurita. Doktrin ini mampu bertahan sampai 12 tahun, ketika hegemoni fasis-naziisme mulai terkikis dan perang dingin dimulai. Doktrin kembali ke garis keras karena musuh utama sudah hancur, kaum komunisme kembali mengambil jarak dengan kaum kapital-liberalisme dan kolonialisme. Doktrin garis keras tersebut kemudian dikenal dengan doktrin Zdhanov.

C. Ihwal Peristiwa Madiun
Bak sebuah puzzle yang tercecer begitu banyak dan sukar disusun dengan rapi, Peristiwa Madiun menjadi niscaya besar dalam analogi tersebut. Begitu banyak variabel yang ditenggarai menjadi penyebab utama terjadinya Peristiwa ini membuatnya cukup menantang untuk ditelaah. Setidaknya dalam rangka membangun perspektif disertai referensi yang relevan juga “objektif”. Ada beberapa hal seperti konflik internal politik militer lewat kebijakan yang keliru yang dipahami sebagai faktor fundamental terjadinya Peristiwa ini.[31] Juga pergolakan ideologi dalam kacamata perang dingin,[32] hingga Poezze mengisahkan bahwa oportunistis Musso lewat ungkapan Ik kom hier om orde te scheppen! (Saya datang kesini untuk menciptakan ketertiban!) adalah sasmita buruk[33] yang diintepretasikan bahwa Peristiwa Madiun adalah sebuah desain dari Soviet untuk menghegemoni Indonesia dengan faham komunisme lewat visi besar Musso mengakuisisi Republik dari tangan Soekarno.  Belum sampai situ saja, medio 90-an sampai sekarang setidaknya ada empat buku yang hakul yakin bahwa Peristiwa Madiun murni pemberontakan seperti halnya yang kita baca pada pada buku-buku pelajaran sejarah Sekolah Dasar. Keempat buku tersebut yakni karya Suratmin, Himawan Soetanto (dua jilid) dan Agus Sunyoto cs.[34] Selain buku Suratmin, Harry Poezze[35] dan Tim Buku Tempo yang terbit pasca reformasi, ada juga buku karya Soemarsono yang dinilai sebagai sebuah buku perlawanan terhadap distorsi sejarah yang menurutnya juga subjektif.[36] Buku-buku tersebut menghasilkan pergumulan perspektif menarik yang juga disertai dengan khasanah paradigma dan kekayaan data yang lengkap, ini sebagai pembuktian bahwa walaupun pemerintah sudah mengembalikan redaksional Madiun sebagai sebuah peristiwa (bukan pemberontakan) namun masih ada yang “tidak sepakat”, hal tersebut dituangkan secara elegan lewat karya ilmiah. Dan hal tersebut sangat baik dalam rangka menyambut zaman yang sudah semakin terbuka dan toleran – tidak dengan kekerasan.
Dari fenomena tersebut, bisa dikatakan Peristiwa Madiun semakin berada dalam ruang ambiguitas. Mengapa demikian?  Karena memang peristiwa tersebut dipahami dalam dua teropong, pertama dari segi sebagai sebuah setting sejarah akan kesentimentilan faham komunisme, dan kedua dari segi melawan kesimentilan tersebut. Setiap karya yang ditulis tanpa melepaskan dua faktor tadi, akan ada semacam subjektifitas juga perspektif yang tendensius dalam hipotesa yang di tuangkan. Sebagai contoh dua saksi hidup yang menulis dua karya tentang Peristiwa Madiun pasca reformasi yang cukup baik versi kesaksian mereka. Saksi hidup tersebut yakni Soemarsono yang mantan elit Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan ketua Badan Pekerja BPKRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) dan Himawan Soetanto mantan Pangdam VI Siliwangi dan juga mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indinesia. Keduanya membuat karya yang menantang, sekaligus cukup menjadi referensi mainstream dalam setiap buku dan artikel yang terbit kemudian.

D. Musso dalam Peristiwa Madiun
            Pertanyaan yang fundamental, bagaimana peran Musso? Apakah ia memberontak? Apakah ia mendirikan negara Soviet Madiun? Apakah ia membawa agenda khusus Soviet?
            Lazim bila pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan multi intepretasi yang tendensius. Kita mulai dengan peranan Musso pada saat ia pulang dari Moskow. Saat Musso pulang medio 1935, ia membawa agenda penting perubahan garis politik. Sesudah itu ia pun khusyuk untuk melawan imperialisme lewat faham komunisme dan PKI nya. Sampai disini jelas kepentingan dan peranan Musso dalam rangka melawan kolonialisme. Kemudian pasca membawa garis politik komintern ia un kembali ke Moskow untuk menghindari endusan intelejen kolonial, saat Indonesia merdeka pun Musso masih diluar negeri, dan yang disesalinya yang kemudian dituliskannya di “Jalan Baru” adalah terlambatnya PKI untuk bangkit dan mengambil peran penting saat kemerdekaan. Ia mafhum bahwa tokoh-tokoh elit masih dalam pembuangan sebagai interniran akibat tragedi 1926, pun dengan kader yang dipenjara bahkan dihukum mati. Penyesalan Musso terlebih ketika PKI-Jusuf muncul tanpa koordinasi dan mengklaim sebagai penerus cita-cita revolusi PKI 1926, PKI-Jusuf pun berontak terhadap pemerintah Republik dan dapat dituntas. Walaupun ada literatur yang menyebutkan Jusuf tidak mempunyai peran dalam pemberontakan di Cirebon,[37] namun miskoordinasi yang membuat gerakan kader Musso itu cukup dilihat sebelah mata.
            Setelah Indonesia merdeka, medio Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia dengan bekal doktrin Zdhanov. Doktrin garis keras yang dibenci Amerika karen non-kooperatif. Musso pun langsung sibuk dengan gagasannya “Jalan Baru”. Jalan Baru yang akhirnya cukup diterima PKI akhirnya diimplementasikan dengan meleburnya unsur-unsur kiri menjadi PKI. Musso pun menjadi pimpinan PKI. Sementara polemik dalam negeri pun membuat PKI geram dengan terus mengkritik pemerintah, klimaksnya tatkala Amir jatuh dari kursi perdana menteri. Amir merapat bersam Partai Sosialisnya ke PKI dan membentuk poros oposisi bernama FDR yang berafiliasi jelas ke PKI.
            Sementara itu diluar kisruh politik terjadi juga olemik ketentaraan, Pesindo dan laskar-laskar kiri yang tidak puas atas kebijakan Hatta seakan mendapat intimidasi lewat penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan elitnya. Pesindo dibawah Soemarsono pun murka. Pasukan Siliwangi yang dinilai tidak kooperatif pun dilucuti, begitu juga CPM dan laskar-laskar pro pemerintah. Madiun diamankan. Sementara itu Muso masih keliling pulau Jawa dalam rangka rapat-rapat akbar dilapangan dan tempat terbuka demi mensosialisikan Jalan Baru. Untuk memastikan keadaan, Jenderal Soedirman mengirim Letnan Kolonel Soeharto ke Madiun, ia pun disambut Soemarsono selaku pimpinan Pesindo. Soeharto pun melihat keadaan Madiun yang aman terkendali, namun Soemarsono tidak yakin bahwa Soeharto menyampaikan pesan ke Soedirman bahwa Madiun aman. Pasukan pemerintah yang mengira Madiun bergejolak pun berbondong-bondong datang dan menyerang Pesindo. Ketidakjelasan surat yang seharusnya disampaikan Soeharto itu pun menambah spekulasi bahwa Madiun tidak aman, ditambah lagi pidato Soemarsono yang diakhiri dengan kata “dari Madiun kita mulai kemenangan”. Soemarsono berdalih bahwa itu adalah pidato pembelaan terhadap penculikan yang dilakukan oleh pasukan tak dikenal sebagai provokasi.[38] Selanjutnya tentara Republik pun segera mengamankan Madiun sesuai instruksi. Apalagi setelah pidato Soekarno yang dinilai sebagai legitimasi penuh untuk bertindak.
Pidato Soekarno yang dinilai provokatif adalah bahwa para pengacau menyulitkan jalannya pemerintahan, Musso mendirikan negara Soviet Madiun.[39]

“... Tetapi segala tindakan anarkhi dari mana juga datangnya dan pengacau-pengacau yang membahayakan negara dan menggganggu keselamatan umum akan dibasmi”.

           Soekarno menilai Musso dan PKI melakukan tindakan anarki, padahal versi Soemarsono mereka hanya membela diri dengan melucuti tentara yang menculik dan menembak tentara dan laskar afiliasi PKI. Kata “basmi” memang menuai kontroversi, setidaknya pasca peristiwa Madiun terjadi pembunuhan bagi kader, simpatisan ataupun mereka yang dianggap PKI secara besar-besaran.
           Soekarno mengambil kesimpulan bahwa PKI melakukan pemberontakan dengan melucuti senjata tentara pemerintah, selanjutnya ada pembentukan negara Soviet Madiun.

“...Kemarin pagi PKI-Musso telah mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana satu pemerintahan Sovyet dibawah pimpinan Musso”.

Ada anomali disini, bahwa pernyataan Soekarno keliru tentang pernyataan bahwa Musso-lah yang mendirikan negara Soviet Madiun. Pada buku Soemarsono, Suar Suroso, (keduanya pro komunis). Himawan Soetanto (pro pemerintah), Tim Buku Tempo (bisa dinilai netral), dan Harry Poeze (secara implisit menyudutkan komunis bahwa Peristiwa Madiun adalah pemberontakan) disebutkan bahwa pada saat kemelut Madiun, Musso justru sedang berada di Purwodadi dalam rangka sosialisasi Jalan Baru.[40] Versi lain dari buku Suratmin, guru sejarah yang bukunya pro pemerintah menyebutkan bahwa yang memproklamirkan dan membentuk negara Soviet Madiun adalah Supardi, tokoh Pesindo di halaman Karesidenan Madiun.[41] 
Banyak pendapat baik dari buku yang pro ataupun kontra dengan pemerintah bahwa saat kemelut Madiun Musso justru berada di Purwodadi, berdasarkan analisis dan kekayaan data yang lengkap tentunya. Ini menimbulkan spekulasi bahwa Soekarno terburu-buru melakukan pidato dengan panik, tanpa mengetahui duduk perkaranya. Soemarsono menilai bahwa Soekarno termakan provokasi Hatta.[42] Dan bahkan, lanjut Soemarsono, Musso tidak tau apa-apa tentang peristiwa itu sebelum diberi tahu anggotanya.
Pidato Soekarno yang dinilai Soemarsono janggal dan provokatif adalah:

“...Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia kita ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negeri apa pun juga.”

            Perspektif Soekarno dalam pidatonya sudah jelas bahwa baginya, Musso membawa agenda khusus Soviet. Berafiliasi dengan soviet sama saja dngan dijajah kembali. Apakah Soekarno berpidato terburu-buru secara emosional? Tentu bisa diperdebatkan secara komperhensif. Soekarno pun langsung meminta rakyat untuk memilih antara dirinya atau Musso. Soemarsono menilai, bagi rakyat pada masa itu pemerintah adalah wakil tuhan, dan rakyat belum mengerti tentang apa yang terjadi sebenarnya. Sudah jelas bahwa rakyat akan ikut Soekarno.
            Musso yang merasa disudutkan dan ingin dibasmi sebagai pengacau pun tidak tinggal diam. Dia merasa tersudutkan setelah mengetahui diserang secara terbuka oleh teman seperguruannya sendiri. Hanya berselang tiga jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika.

“Merdeka! Pada tanggal 18 September 1948, penduduk kota Madiun telah mengambil oper kekuasaan negara di tangannya. Dengan kekuatan itu rakyat Madiun telah melaksanakan kewajiban mereka dalam revolusi nasional kta yang sebenarnya. Revolusi harus dipimpin oleh rakyat dan tidak oleh kelas lain!”[43]

            Musso menganggap bahwa rakyat yang mengambil kekuasaan di Madiun itu adalah bagian dari revolusi nasional, Madiun adalah serangkaian dari revolusi yang akan dijalankan. Terlebih bila revolusi itu dijalankan oleh kelas lain dan bukan rakyat yang sebenarnya. Ya, Musso mengkritik Soekarno-Hatta yang baginya adalah kaum borjuasi nasional.

“...Sebenarnya mereka yang ada di dalam pemerintahan telah menggunakan revolusi untuk memperkaya diri mereka sendiri. Selama masa pendudukan Jepang orang-orang tersebut bertindak sebagai kolaborator-kolaborator, sebagai pemimpin Romusya dan propagandis-propagandis Heiho. ...Dan kini orang-orang itu juga akan berusaha untuk menjual Indonesia dan rakyatnya sekali lagi kepada imperialis Amerika.”

Musso mengklaim bahwa Soekarno-Hatta dan para politisi dipemerintahan  memanfaatkan revolusi sebagai ajang memperkaya diri sendiri. Terlebih lagi bahwa mereka adalah kolaborator yang menjual rakyat kepada kaum fasis tersebut. PKI saat itu juga telah mencium bahwa pemerintah main mata terhadap Amerika sebagai penangkal hegemoni komunisme yang dinakhodai Uni Soviet (perang dingin). Untuk itu Musso beranalisis bahwa ada arah untuk menjual Republik kepada Amerika, dengan berbagai bargain tentunya. Lebih lajut Musso berkata pada pidatonya:

“Soekarno menggunakan tuduhan dan bukti-bukti palsu, menuduh Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Partai Komunis Pak Musso sebagai kaum pengacau. Lupakah Soekarno bahwa di Solo ia menggunakan kau komunis Trotskis untuk menteror dan menculik semua kaum komunis? Lupakah Soekarno bahwa ia membantu dan pura-pura tidak tahu akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Divisi Siliwangi dan kaum teror itu? Apakah yang menjadi tujuan Soekarno yang pernah menjadi agen Romusya dengan membebaskan Tan Malaka, seorang penjahat yang pernah mencomba untuk menggulingkan kepresidenan?

Musso berang, dan menyerang Soekarno bertubi-tubi. Ia pun mengungkapkan realita yang terjadi yang menurutnya hasil konspirasi Hata dan Tan Malaka. Pembebasan Tan Malaka setelah ia dipenjara akibat dituduh turut andil dalam peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir – yang terjadi di Solo, 27 Juni  dan peristiwa kudeta 3 Juli 1946 – adalah upaya adu domba, PKI mencium itu setelah tahu bahwa hubungan PKI dan Murba yang condong ke Tan Malaka tidak harmonis. Mereka berspekulasi bahwa Tan dibebaskan dengan syarat agar menyerang PKI. Tapi kemudian setelah PKI hancur Tan Malaka dan kelompoknya pun hilang, diduga dibunuh oleh tentara pemerintah.
Musso juga menuding bahwa Divisi Siliwangi, yang merupakan anak emas pemerintah bertanggung jawab bersama kaum Trotskis Murba atas penculikan dan teror terhadap Divisi Panembahan Senopati yang berafiliasi ke Pesindo dan PKI. Terhadap tragedi itu, Soekarno hanya diam dan pura-pura tidak tahu, PKI lagi-lagi menuduh Hatta yang mencoba mengarahkan sikap Soekarno waktu itu.
Pertikaian keduanya pun menarik bukan main,seperti yang sudah pernah penulis ungkapkan implisit pada halaman sebelumnya. Saat itu Agustus 1948, Musso mengunjungi Soekarno di istana negara. berbeda dengan sebelum-sebelumnya, Musso menemui teman seperjuangannya itu dalam kapasitas sebagai presiden Republik Indonesia. Dalam pertemuan itu yang ditulis singkat oleh Tim Buku Tempo, yang juga mengambil referensi dari Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan Soe Hok Gie:[44]
Berpisah selama hampir tiga Dasawarsa, Soekarno dan Musso bertemu lagi pada 13 Agustus 1948 pukul 10 pagi di Istana Negara. Musso menyamar sebagai Suparto, sekretris Soeripno – dubes RI untuk Cekoslovakia di masa Amir Sjarifoeddin. Dalam bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie melukiskan betapa mengharukan pertemuan itu. “Bung Karno memeluk Muso dan Musso memeluk Sekarno. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu,” demikian kesaksian Soepeno, pemimpin surat kabar Revolusioner, yang hadir dalam pertemuan itu, seperti dikutip Soe Hok Gie.
Dengan bangga Bung Karno bercerita kepada Soeripno tentang masa lalunya dengan Musso. “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jago pencak,” kata Soekarno. Soekarno juga bercerita tentang hobi Musso bermain musik dan bila berpidato akan menyingsingkan lengan baju.
Soekarno pun menyindir soal perkembangan politik komunis internasional. Pengetahuan Soekarno tentang komunis sempat membuat Musso ternganga. Bung Karno menjawab keheranan Musso dengan pengakuannya, “saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto dan Pak Musso!”
Soekarno menunjukkan kekiriannya dengan memperlihatkan buku karangannya, Sarinah. Dalam buku itu, Soekarno mengutip ucapan-ucapan Lenin dan Stalin. Buku itu diberikan kepada Musso sebagai tanda mata.
Tiga puluh tujuh hari setelah pertemuan itu, pecah Peristiwa Madiun. Keduanya saling memaki. Meski begitu, rasa hormat Soekarno kepada Musso sebagai guru tak luntur. Dalam wawancara dengan Cindy Adam, Soekarno berkata, “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua.”
Pertemuan haru biru itu memang menarik, menisbikan pertikaian ideologi yang kuat pada masa itu. Sebagai kawan lama, adalah wajar keduanya saling menyapa dan melepas rindu. Soekarno yang mandiri memandang Musso yang punya banyak pengalaman gerakan diluar negeri, Soekarno pun tanpa ragu menyebut Musso sebagai gurunya. Guru politik yang ketika remaja juga sama-sama kos di rumah Tjokroaminoto, pada waktu kemudian, Soekarno justru gemar berfaham kiri. Setelah Sarinah yang diberikannya kepada Musso, ide sosio-nasionalisnya pun hadir tatkala mengeluarkan konsepsi Marhaenisme. Untuk dikemudian hari PNI dan kaum Marhaen tadi cukup loyal mendukung Soekarno, setidaknya saat sedang dimasa jaya. Ide-ide kiri sosialis pun didapat Soekarno dari Tjokroaminoto yang pada medio 1920-an menulis buku Islam dan Sosialisme, belum lagi pengaruh Musso, Alimin dan Semaoen yang notabene juga sering berdiskusi tentang ide-ide sosialisme revolusioner dengan Sneevliet.
Selain itu, pada halaman lain Tim Buku Tempo juga menulis sedikit tentang pertemuan dua tokoh ini.[45]
“...Musso menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta. Mereka berpelukan lama. “Lho, kok masih awet muda?” tanya Bung Karno sambil tersenyum lebar. Musso menjawab tangkas, oh ya, ini semangat Moskow. Semangat Moskow selamanya muda.”

Setelah bercakap-cakap panjang, di akhir pertemuan, Soekarno mengajak Musso membantu meredam pertikaian antar kelompok dalam tubuh Republik. Seperti dicatat wartawan Revolusioner, Soepeno, Presiden berujar takzim, “Saya harap Pak Musso, setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en orde.” Musso menjawab dalam bahasa Belanda, “Ik kom hier om orde te scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan ketertiban).”
Soekarno memang sangat membutuhkan Musso karena kiharismanya yang besar diantara kaum komunis, untuk itu Soekarno pun mengajak Musso untuk membantu menjaga ketertiban. Nmun analisis Harry Poeze, sejarawan Belanda  bahwa ungkapan Musso Ik kom hier om orde te scheppenadalah bentuk oportunistis Musso yang ingin menguasai Republik lewat PKI nya. Itu adalah “sasmita buruk” ujarnya dalam wawancara dengan penulis di Universitas Paramadina. Peran politik Musso pun sudah jelas, Bonnie Triyana menyebutkan bahwa peran Musso besar. “pada beberapa hari sebelum Siliwangi menyerbu dan juga terlibat dalam pertempuran dan juga terjadi yang dinamakan itu peristiwa Madiun, Musso sempat mengumpulkan orang-orang di pendopo Madiun. Dia menanyakan keadaan dan kekuatan. Semua orang disana punya peran tersendiri, tidak tunggal”. Ujarnya dalam wawancara dengan penulis di Newseum cafe. Sedang Asvi Warman Adam, meskipun tidak setuju Peristiwa Madiun disebut sebagai pemberontakan, namun ia berspekulasi bahwa peran besar Musso di Madiun sebesar omongannya pada saat Musso menantang Soekarno di radio lewat pidatonya.


BAB III
KONSEPSI PARADIGMATIK PEMIKRAN MUSSO:  
 “JALAN BARU UNTUK REPUBLIK INDONESIA”
Jalan Baru Musso
            Jalan Baru Musso mempunyai tiga poin substantif yang orisinil dalm konteks Indonesia, hal tersebut yakni: Konsep Pedagogi, yakni pendidikan politik terhadap rakyat. Dimana rakyat dijadikan Subjek gerakan (R=S, Rakyat sama dengan Subjek)  diluar doktrinasi mainstream komunisme yakni Rakyat yang sangat rentan dijadikan Objek mobilisir yang mempunyai kecenderungan untuk tidak otonom (R=O, Rakyat sama dengan Objek).
            Berikut Jalan Baru Musso[46] – analisis di BAB selanjutnya – yang membicarakan tentang semua kenegaraan dan kerakyatan.
A. Lapangan Organisasi
Untuk dapat memahamkan kesalahan-kesalahan PKI di lapangan organisasi, sebaiknya diuraikan lebih dahulu sedikit riwayat PKI.
Dalam tahun 1935 PKI dibangunkan kembali secara illegal atas inisiatif Kawan Musso. Selanjutnya PKI illegal inilah yang memimpin perjuangan anti-fasis selama pendudukan Jepang. Kesalahan pokok di lapangan organisasi yang dibuat oleh PKI illegal ialah, tidak dimengertinya perubahan-perubahan keadaan politik di dalam negeri sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya pada saat itulah, PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul dalam masyarakat Indonesia Merdeka dengan terang-terangan.
Akan tetapi karena pada saat itu dan seterusnya bentuk yang illegal ini masih dipegang teguh, maka dengan demikian PKI telah mendorong orang-orang yang menghendaki adanya PKI, untuk mendirikan PKI legal, dan telah memberi kesempatan kepada anasir-anasir avonturir yang berhaluan Trotskis untuk mendirikan PBI. Dengan berdirinya PKI legal dan PBI ini, maka timbullah keharusan bagi PKI illegal untuk merebut selekas-lekasnya pimpinan atas partai-partai ini, supaya perjuangan klas buruh jangan sampai menyimpang dari rel revolusioner. Dengan sendirinya keharusan ini mengakibatkan terbagi-baginya kader illegal kita, yang sudah tentu melemahkan organisasi.
Oleh sebagian kawan-kawan dari PKI illegal, didirikan Partai Sosialis Indonesia, yang, kemudian membuat kesalahan besar karena mengadakan fusi dengan Partai Rakyat Sosialis dari Sutan Syahrir dan menjelma menjadi Partai Sosialis. Dengan adanya fusi ini, maka terbukalah jalan bagi Sutan Syahrir dan kawan-kawannya untuk memperkuda Partai Sosialis. Kejadian ini dimungkinkan oleh kurang sadar dan kurang waspadanya kawan-kawan dari PKI illegal yang turut mengemudikan Partai Sosialis.
Kemudian tidak sedikit jumlah kader-kader illegal kita yang diperlukan baik di dalam Pemerintahan maupun di dalarn Badan Pekerja KNIP. Sehingga dengan sendirinya tidak mungkin lagi bagi kawan-kawan ini mencurahkan segenap tenaganya kepada pekerjaan dalam ketiga Partai tersebut diatas (PKI legal, PBI, Partai Sosialis). Hal ini lebih melemahkan organisasi.
Berhubung dengan semua ini, maka kedudukan dan rol Partai Komunis Indonesia sebagai partai klas buruh dan pelopor revolusi telah diperkecil. PKI ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya, sehingga sebagai partai dan organisasi sama sekali tidak mewujudkan kekuatan yang berarti. Dengan demikian sangat berkuranglah tradisi baik dan popularitas PKI dalam waktu sebelum dan selama perang dunia ke-II. Kesalahan besar dalam lapangan organisasi ini diperbesar lagi, karena kaum Komunis sangat mengecilkan kekuatan klas buruh dan rakyat seluruhnya dan karena kaum Komunis terpengaruh oleh propaganda dan ancaman Amerika. Oleh sebab itu telah menjadi takut dan kurang percaya kepada kekuatan tenaga anti-imperialis yang dipelopori oleh Uni Soviet. Dengan demikian PKI membesar-besarkan kekuatan imperialisme umumnya dan imperialisme Amerika khususnya. Dengan demikian pula PKI memberikan terlampau banyak konsesi kepada imperialisme dan klas borjuis.
Adanya tiga partai klas buruh sampai sekarang (PKI legal, PBI dan Partai Sosialis), yang semuanya dipimpin oleh Partai Komunis illegal, mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme dan sekarang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, telah mengakibatkan ruwetnya gerakan buruh seumumnya. Hal ini sangat menghalangi kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi klas buruh, juga sangat menghalangi meluas dan mendalamnya ideologi Marxisme-Leninisme yang konsekwen. Dengan demikian telah memberi banyak kesempatan kepada musuh klas buruh untuk menghalangi kemajuan gerakan Komunis dengan jalan mendirikan bermacam-macam partai kiri yang palsu dan yang memakai semboyansemboyan yang semestinya menjadi semboyan PKI (diantaranya : "Perundingan atas dasar Kemerdekaan 100%").
Oleh karena sikap yang anti-Leninis dalam hal politik organisasi ini, maka di lapangan serikat buruh pun kaum Komunis dengan demikian telah sangat menghalangi tumbuhnya keinsafan politik kaum buruh seumumnya sebagai pemimpin Revolusi Nasional. Kaum Komunis yang memimpin gerakan buruh (serikat buruh) lupa, bahwa menurut Lenin serikat buruh itu adalah sekolahan untuk Komunisme. Melalaikan propaganda Komunisme di kalangan kaum buruh, berarti dengan langsung menghalangi bertambah sadarnya kaum buruh sebagai pemimpin Revolusi Nasional yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Berarti melupakan arti gerakan kaum buruh sebagai sumber yang terpenting bagi PKI untuk mendapat kader-kadernya.
Pengaruh daripada kesalahan dalam lapangan organisasi yang telah dilakukan oleh kaum Komunis dengan jelas dan terang nampak juga di kalangan perjuangan tani, dimana pengaruh PKI juga sangat lemah. Padahal kaum tani amat besar artinya sebagai sekutu kaum buruh dalam Revolusi Nasional. Dengan tidak adanya bantuan yang aktif dari kaum tani, Revolusi Nasional tentu akan kalah.
Dari sudut organisasi kaum Komunis mempunyai pengaruh yang tidak kecil di kalangan pemuda, terutama dalam Pesindo. Akan tetapi karena gerakan ini tidak langsung terkenal sebagai massa organisasi PKI, sedangkan PKI sebagai Partai tidak terang-terangan memeloporinya, maka ideologi Komunisme di kalangan pemuda terbukti kurang terang dan ruwet, sehingga pendirian pemuda ragu-ragu. Akibat yang langsung dari politik organisasi semacam ini ialah, terhalangnya kemajuan perkembangan propaganda Komunisme di kalangan pemuda.
Pun di kalangan wanita, kaum Komunis tidak mempunyai pengaruh yang agak penting. Terang bahwa kaum Komunis mengecilkan rol kaum wanita dalam Revolusi sekarang.
Di kalangan prajurit, kaum Komunis mempunyai pengaruh yang agak penting juga. Akan tetapi karena adanya tiga Partai kaum buruh, maka kaum proletar dan kaum tani yang bersenjata ini dalam prakteknj\ya tidak bersikap terang terhadap PKI dan dengan demikian simpati golongan prajurit pada Komunisme tidak dapat diperluas.
Di lapangan organisasi, PKI tidak mempunyai akar yang kuat dan dalam di kalangan prajurit.
Semua keruwetan dalam lapangan organisasi juga menyebabkan tidak kuatnya PKI dalam gerakan sosial dan kebudayaan seperti sport, kesenian, dll, baik dalam lapangan organisasi maupun dalam lapangan ideologi.
Berhubung dengan kesalahan-kesalahan yang mengenai azas dalam lapangan organisasi seperti tersebut diatas dan menarik pelajaran dengan sebaik-baiknya dari kejadian di Yugoslavia, maka rapat Polit-Biro PKI memutuskan untuk mengadakan perubahan yang radikal, yang bertujuan supaya :
1. Selekas-lekasnya mengembalikan kedudukan PKI sebagai pelopor klas buruh.
2. Selekas-lekasnya mengembalikan tradisi PKI yang baik pada waktu sebelum dan selama perang dunia ke-II.
3. PKI mendapat HEGEMONI (kekuasaan yang terbesar) dalam pimpinan Revolusi Nasional ini.
Dalam pekerjaan yang maha sukar ini, Polit-Biro yakin, bahwa PKI akan dapat melakukan perubahan radikal tersebut di atas dengan cepat. Waktu akhir-akhir ini, kalangan kaum Komunis sendiri, oleh karena pekerjaan sehari-hari di kalangan rakyat lebih diperhatikan dan bertambah terasanya keruwetan dan kekacauan, telah mulai mencari jalan untuk keluar dari jurang reformisme dengan mengadakan kritik dan self-kritik, terutama di dalam rapat pleno CC PKI tanggal 10-11 Juni 1948 dan dalam rapat Polit-Biro tanggal 2 Juli 1948. Akan tetapi oleh karena kritik dan self-kritik ini belum benar-benar merdeka dan bersifat bolshevik, maka rapat tersebut belum dapat mengetahui kesalahan-kesalahan yang benar-benar mengenai strategi dalam lapangan organisasi maupun politik. Akan tetapi selama pertukaran pikiran dengan Kawan Musso dalam rapat Polit-Biro kritik dan self-kritik dijalankan dengan leluasa. Semua anggota Polit-Biro seiya-sekata mengakui kesalahan-kesalahannya dengan terus terang dan sanggup akan memperbaiki selekas-lekasnya.
Jalan satu-satunya untuk melikwidasi kesalahan pokok itu dengan cara radikal ialah mengadakan hanya SATU Partai yang LEGAL daripada klas buruh. Ini berarti dihapuskannya pimpinan PKI yang illegal. Seperti tersebut diatas, PKI yang dibangunkan kembali oleh Kawan Musso secara illegal pada tahun 1935 itu melanjutkan perjuangannya pada waktu penjajahan Jepang sampai zaman Republik, dan hingga waktu ini masih memimpin gerakan anti-imperialis.
PKI illegal ini hingga sekarang dijadikan sasaran oleh kaum Trotskis yang langsung atau tidak langsung tergabung dalam Pari, dengan maksud untuk mengacaukan gerakan Rakyat dengan mengatakan, bahwa PKI itu adalah PKI yang diperkuda oleh Belanda atau "PKI Van der Plas", artinya PKI yang didirikan untuk kepentingan Belanda. Tuduhan ini lebih-lebih lagi menunjukkan kecurangan golongan Trotskis untuk membusukkan PKI illegal, yang benar dibangunkan kembali oleh Kawan Musso dengan kawan-kawan yang lain, diantaranya kawan-kawan almarhum Pamuji, Sukajat, Abdul Aziz, Abdul Rakhim dan kawan-kawan jokosujono, Akhmad Sumadi, Ruskak, Marsaid, kemudian diteruskan oleh kawan-kawan Amir Sjarifuddin, Wikana, Sudisman, Sarjono, Subijanto almarhum, Sutrisno, Aidit, dll.
Semua kesalahan-kesalahan di lapangan politik organisasi yang tersebut di atas, pada pokoknya ialah mengecilkan rol Partai Komunis Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan yang seharusnjya memegang pimpinan daripada klas buruh dalam menjalankan revolusi. Berdasarkan itu, maka rapat Polit-Biro PKI telah memutuskan, bahwa seterusnya harus hanya ada satu Partai yang berdasarkan Marxisme-Leninisme dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI memutuskan mengajukan usul, supaya di antara tiga Partai yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan), sehingga menjadi SATU Partai klas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia, disingkat PKI. Hanya Partai sedemikian itulah yang akan dapat memegang rol sebagai pelopor dalam gerakan kemerdekaan sekarang ini.
Revolusi kita adalah Revolusi Nasional atau Revolusi Demokrasi Borjuis dalam zaman imperialisme dan Revolusi Proletar dunia. Menurut kodratnya dan dipandang dari sudut sejarah maka hanya klas buruhlah, sebagai klas yang paling revolusioner dan konsekwen anti-imperialisme, yang semestinya memimpin revolusi ini, dan bukan klas lain.
Adapun cara mewujudkan fusi ini dengan selekas-lekasnya hendaknya sebagai berikut:
1. Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang tidak baik.
2. Membentuk Komite Fusi yang berkewajiban:                                                  
  a. Mendaftar anggota-anggota PBI dan Partai Sosialis yang dapat diusulkan dengan segera menjadi anggota PKI.
  b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu, dsb.
3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan Kongres Fusi daripada ketiga Partai, dimana ketiga Partai dilebur menjadi satu dengan memakai nama Partai Komunis Indonesia dan dipilih Central Comite yang baru secara demokratis.
Dengan adanya hanya satu partai klas buruh yaitu PKI, maka pekerjaan akan menjadi lebih sederhana dan rasional.
Adanya satu PKI yang legal, memudahkan dan menegaskan pekerjaan tiap-tiap Komunis dalam serikat buruh, dalam perjuangan tani, pemuda, wanita, dalam gerakan sosial, dll.
Oleh karena PKI adalah partai klas yang miskin dan yang tertindas, seharusnya susunan pimpinan dan susunan partai seluruhnya sebagian besar terdiri dari elemen-elemen proletar sedangkan kaum intelektual seharusnya menjadi pembantu yang tidak dapat diabaikan dalam semua hal terutama dalam pekerjaan pembentukan kader-kader dan dalam mempertinggi tingkatan teori anggota PKI. Kesalahan-kesalahan pokok hingga sekarang, disebabkan pula oleh karena kurangnya elemen-elemen proletar dalam pimpinan Partai.
Rapat Polit-Biro memperkuat putusan CC PKI untuk membentuk suatu organisasi-massa baru, ialah : "Lembaga Persahabatan Indonesia-Uni Soviet ". Ini perlu sekali, oleh karena di Indonesia terdapat sangat banyak orang yang bersimpati kepada Uni Soviet dan yang masih segan memasuki PKI. Perlu sekali adanya lembaga itu, supaya rakyat jelata mengetahui lebih banyak tentang Uni Soviet, supaya rakyat jelata mempunyai kepercayaan lebih besar kepada gerakan demokrasi rakyat yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kekuatan Uni Soviet dan kekuatan-kekuatan anti-imperialis lainnya di seluruh dunia sebenarnya adalah jauh lebih besar daripada kekuatan blok imperialisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat, yang juga berniat menjajah kembali tanah air kita.
B. Lapangan politik
Politik luar negeri
Dalam lapangan politik luar negeri, rapat Polit-Biro berpendapat, bahwa kesalahan-kesalahan besar yang telah dibuat oleh kaum Komunis Indonesia selama tiga tahun ini tidak bersifat kebetulan, melainkan mempunyai akar yang berasal semenjak meletusnya perang dunia II dan pendudukan tanah air kita oleh Jepang dan yang selanjutnya dipengaruhi oleh pendirian yang salah dari partai-partai sekawan, yaitu Partai-partai Komunis Eropa Barat (Perancis, Inggris dan Belanda).
Pendirian politik yang salah dari Partai-Partai Komunis di Eropa Barat ini pada umumnya, ialah karena tidak dimengertinya perubahan-perubahan yang besar di lapangan politik internasional dan perubahan-perubahan keadaan di negerinya masing-masing sesudah perang dunia II berakhir dengan hancurnya negeri-negeri fasis Jerman, Italia dan Jepang. Semenjak perang dunia II meletus, maka gerakan kaum buruh revolusioner di negeri-negeri kapitalis, untuk sementara waktu, harus melakukan politik bekerja sama dengan semua tenaga anti-fasis di negerinya masing-masing termasuk pemerintah Amerika, Inggris, Perancis, Belanda, dsb. Pun juga gerakan revolusioner dari rakyat di negeri-negeri jajahan, untuk sementara harus melakukan politik semacam itu.
Setelah Uni Soviet terlibat dalam perang dunia II karena serangan fasis Jerman, maka bagi Uni Soviet juga timbul keharusan untuk erat bekerja bersama dengan negara-negara besar yang bersekutu melawan negeri-negeri fasis.
Semuanya bermaksud memperhebat perlawanan terhadap penyerang-penyerang fasis, musuh yang paling berbahaya pada waktu itu, bukan saja bagi negeri-negeri kapitalis dan imperialis, tetapi juga bagi Soviet Uni, bagi gerakan buruh revolusioner di negeri-negeri kapitalis dan imperialis dan bagi gerakan revolusioner dari rakyat di negeri jajahan. Setelah perang dunia II berakhir dengan hancurnya ketiga negeri fasis tadi, maka bagi Partai-Partai Komunis di negeri-negeri kapitalis dan imperialis dan bagi perjuangan revolusioner di negeri-negeri jajahan sudah tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan kerjasama dengan pemerintahnya masing-masing. Apalagi sesudah ternyata, bahwa kaum borjuis sudah mulai menggunakan cara-cara untuk menindas gerakan kemerdekaan di negeri jajahannya.
Kesalahan dari Partai-Partai Komunis Perancis dan Inggris dan juga Partai Komunis Belanda yang terpengaruh oleh Partai Komunis Perancis, ialah karena tidak dimengertinya perubahan besar yang telah berlaku dalam lapangan politik internasional sesudah perang dunia, terutama yang mengenai perjuangan kemerdekaan dari rakyat di negeri-negeri jajahan.
Pada saat perang dunia II berakhir dengan hancurnya negeri-negeri fasis, maka perjuangan kemerdekaan di negeri-negeri jajahan harus dikobar-kobarkan lagi dengan sehebat-hebatnya dan Partai-Partai Komunis di negeri-negeri penjajah harus menyokong sekuat-kuatnya. Kerjasama dalam perjuangan kemerdekaan Rakyat yang dijajah dengan negeri-negeri imperialis sudah tidak lagi pada tempatnya!
Akan tetapi, karena tidak paham tentang perubahan keadaan politik ini, maka CPN (Partai Komunis Belanda) beranggapan, bahwa perjuangan Rakyat Indonesia tidak boleh keluar dari batas dominion status dan oleh karenanya semboyan yang paling baik untuk Indonesia menurut pendirian mereka ialah: "Uni-verband", atau dengan perkataan lain : tetap tinggal dalam lingkungan "Commonwealth" Belanda. Jadi Rakyat Indonesia harus terus-menerus "kerjasama" dengan imperialisme Belanda. Demikian pula pendirian Partai Komunis Perancis terhadap perjuangan kemerdekaan Vietnam.
Hal yang tidak boleh dilupakan ialah, bahwa di Indonesia selama pendudukan Jepang sudah ada komunis-komunis palsu dan komunis-komunis renegat (pengkhianat), yang suka menjalankan kerjasama di lapangan politik dengan fasis Jepang.
Politik yang reformis dari Partai-Partai Komunis di negeri-negeri Eropa Barat, disebabkan karena tidak fahamnya akan perubahan-perubahan keadaan internasional yang penting sesudah perang dunia II berakhir. Oleh kawan-kawan bekas anggota CPN yang tiba di Indonesia, dengan otomatis dengan tidak dipikirkan dalam-dalam, juga dengan tidak dicocokkan dengan keadaan objektif (proklamasi kemerdekaan tanggal 17-8 tahun 1945), politik reformis ini telah dipraktekkan, sehingga akibatnya sangat membahayakan kemajuan Revolusi Nasional kita.
Perlu ditegaskan, bahwa politik reformis yang berasal dari luar negeri ini justru memberi kesempatan berkembangnya aliran reformis yang menguasai politik luar negeri Republik dan yang dipimpin oleh kaum sosialis kanan (Sutan Syahrir). Politik reformis ini dapat dinyatakan dengan dua hal :
1.          Mencari keuntungan dan bantuan dengan kerjasama, bukan dengan golongan anti-imperialis melainkan dengan golongan imperialis. Yaitu dengan menggunakan pertentangan-pertentangan di antara imperialisme Inggris dan Amerika dan di antara imperialisme Inggris dan imperialisme Belanda. Pada permulaannya imperialisme Inggrislah yang diajaknya bermain-mata. Dasar daripada politik reformis ini diletakkan dalam Manifes Politik Pemerintah Republik November 1945.
2.          Menghadapi imperialisme Belanda tidak dengan perjuangan yang konsekwen revolusioner dan anti-imperialis, melainkan dengan politik reaksioner atau politik kompromis yang bersemboyan: "bukan kemenangan militer yang dimaksudkan, melainkan kemenangan politik". Jadi bukannya perjuangan dengan senjata yang diutamakan, melainkan perjuangan politik, sedangkan, imperialisme Belanda terus-menerus berusaha memperkuat tenaga militernya.
Kaum Komunis yang membiarkan berkembangnya dan merajalelanya politik reaksioner ini, malahan turut serta menyokongnya, telah membuat dua macam kesalahan :
a.           Lupa akan pelajaran teori revolusioner kita, bahwa Revolusi Nasional anti-imperialis di zaman sekarang ini sudah menjadi bagian daripada Revolusi Proletar dunia. Kesimpulan daripada pelajaran ini ialah, bahwa Revolusi Nasional di Indonesia harus berhubungan erat dengan tenaga-tenaga anti-imperialis lainnya di dunia, yaitu perjuangan revolusioner di seluruh dunia, baik di negeri-negeri jajahan atau negeri setengah jajahan, maupun di negeri-negeri kapitalis-imperialis. Sebab semua ini adalah sekutu daripada Revolusi Nasional kita. Negeri Uni Soviet sebagai tenaga anti-imperialis yang terbesar dan terkuat harus dipandang sebagai pangkalan, sebagai benteng yang terkuat, atau sebagai pemimpin dan pelopor daripada semua perjuangan anti-imperialis di seluruh dunia. Sebab hanya ada dua golongan di dunia yang berhadapan dan berlawanan satu sama lainnya, yaitu golongan imperialis dan golongan anti-imperialis. Bagi Revolusi Nasional Indonesia,tidak ada tempat lain selainnya di pihak golongan anti-imperialis! Hanya dari pihak golongan anti-imperialis sebagai sekutu yang sejati, Revolusi Nasional Indonesia dapat memperoleh keuntungan dan bantuan yang diperlukan, dan bukan dari pihak golongan imperialis.
b.          Kesalahan yang kedua ialah, bahwa tidak cukup dimengerti perimbangan kekuatan antara Uni Soviet dan imperialisme Inggris-USA, setelah Uni Soviet berhasil dengan sangat cepatnya menduduki seluruh Tung Pai (Mancuria). Pada waktu itu sudah ternyata kedudukan Uni Soviet yang sangat kuat di benua Asia, yang mengikat banyak tenaga militer daripada imperialisme USA, Inggris dan Australia dan dengan demikian memberi kesempatan baik bagi Rakyat Indonesia untuk memulai revolusinya. Pada saat itu kaum Komunis Indonesia sudah membesar-besarkan kekuatan Belanda dan imperialisme lainnya dan mengecilkan kekuatan Revolusi Indonesia serta golongan anti-imperialis lainnya.
Konsekwensi yang sudah semestinya dari politik kaum sosialis kanan (Sutan Syahrir) yang reaksioner itu, ialah penanda-tanganan truce agreement 1946 dan selanjutnya penanda-tanganan persetujuan Linggajati yang memungkinkan imperialisme Belanda menyiapkan perang kolonial, yang meletus pada tanggal 21 Juli 1947.
Akibat kesalahan pokok dalam lapangan politik tidak habis disitu saja; konsekwensi yang lebih mencelakakan lagi ialah tidak lain daripada penanda-tanganan persetujuan Renville. Persetujuan Renville ini adalah puncak akibat kesalahan-kesalahan yang reaksioner, yang telah membawa Republik pada tepi jurang kolonialisme. Tanggung jawab yang berat ini terletak di pundak kaum Komunis.
Kesalahan selanjutnya yang besar pula ialah bahwa kabinet Amir Syarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali. Kaum Komunis pada waktu itu tidak ingat akan pelajaran Lenin: "Soal pokok daripada tiap revolusi adalah soal kekuasaan negara". Dengan bubarnya kabinet Amir Syarifuddin terbukalah jalan bagi elemen-elemen borjuis komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan dan dengan demikian juga pimpinan Revolusi Nasional kita, sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi. Dapat dikatakan, bahwa saat itulah Revolusi Nasional kita benar-benar berada dalam bahaya, yang makin lama makin menjadi besar. Sejak saat itulah Revolusi Nasional kita makin lama makin jelas merosot ke dalam jurang kapitulasi (penyerahan) kepada imperialisme Belanda cs, akibat politik kompromis yang sangat reaksioner daripada elemen-elemen borjuis Indonesia yang memegang pimpinan pemerintahan.
Politik kompromis yang reaksioner ini makin menguntungkan imperialisme Belanda dan makin membesarkan bahaya bagi Republik kita.
Sesudah kaum Komunis tidak lagi duduk di dalam pemerintahan dan setelah mereka, mulai giat bekerja di kalangan Rakyat jelata, maka mereka mulai sedar akan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, di antara lain kelemahan-kelemahan organisasi Partai serta organisasi massa, terutama di kalangan kaum buruh dan tani. Mereka mulai insaf, bahwa terutama harus diusahakan penyelesaian soal agraria dengan selekas-lekasnya, yang dahulunya sangat kurang mendapat perhatian mereka, padahal masaalah tani adalah masalah yang penting bagi Revolusi Nasional Indonesia.
Juga mulai diinsafi, bahwa dengan tidak adanya sokongan, terutama dari Rakyat pekerja (buruh, tani-pekerja dan pekerja lainnja) yang berorganisasi rapi, tidaklah mungkin mewujudkan hegemoni klas buruh dalam Revolusi National kita ini, dan tidak mungkin pula membentuk suatu pemerintahan kerakyatan yang kuat dan stabil (yang berdiri tegak). Oleh karenanya kaum Komunis berdaya-upaya dengan segiat-giatnya mengorganisasi massa rakyat pekerja, agar dalam waktu yang pendek dapat menyusun massa organisasi yang rapi dalam berbagai kalangan Rakyat pekerja, yang berkewajiban menjalankan rol sebagai tulang-punggung Revolusi Nasional kita.
Ternyata bahwa di dalam 6 bulan yang belakangan ini, sejak pimpinan negara dipegang oleh elemen-elemen borjuis komprador, tumbuhnya politik yang reaksioner berjalan dengan cepatnya. Malahan pada beberapa bulan yang belakangan sudah tampak tanda-tanda, bahwa politik pemerintah yang reaksioner itu akan tumbuh ketingkatan kontra-revolusioner.
Hal ini sebagian disebabkan, karena agitasi dan propaganda dari pihak kaum Komunis untuk menyadarkan massa rakyat pekerja tentang kekeliruan-kekeliruan politik pemerintah, disana-sini telah dijalankan dengan cara yang kurang bijaksana, hingga menyinggung perasaan. Akan tetapi sebagian lagi disebabkan, karena tindakan-tindakan yang reaksioner dari pihak pemerintah terhadap hak-hak demokrasi Rakyat pekerja, sedangkan Rakyat pekerja sudah makin sadar akan rol dan kewajibannya serta hak-haknya dalam Revolusi Nasional. Tindakan-tindakan reaksioner yang telah nyata diantaranya ialah :
a.           Penghapusan hak-hak demokrasi yang pokok misalnya hak berdemonstrasi, walaupun buat sementara.
b.          Niat untuk mengekang hak mogok bagi kaum buruh, dengan tidak mengindahkan sama sekali faktor-faktor yang nyata, yaitu yang memaksa kaum buruh menggunakan senjata perjuangannya yang paling tajam itu untuk membela nasibnya dan membela Revolusi Nasional.
c.           Politik dalam lapangan ekonomi yang terang-terangan reaksioner, yang menentang dan memperkosa UUD Republik kita pasal 33 dan yang sangat merugikan penghidupan Rakyat pekerja, serta kedudukan negara dan Revolusi Nasional kita. Ini semua hanya menguntungkan beberapa orang borjuis komprador yang dengan terang-terangan menunjukkan sikap anti-nasional.
d.          Politik di lapangan agraria yang reaksioner dan ancaman terhadap kaum tani yang sudah sadar akan rol dan kewajibannya sebagai tenaga yang penting dalam pelaksanaan Revolusi Nasional dan karenanya telah bergerak menghilangkan segala sisa feodalisme di lapangan agraria.
e.           Perintah untuk mendaftar nama-nama dan mengamat-amati tindakan-tindakan pemimpin-pemimpin Rakyat pekerja.
Teranglah, bahwa tindakan pemerintah yang reaksioner itu, yang bermaksud mempertahankan kedudukannya dan menguntungkan beberapa kelompok kaum borjuis, tidak boleh tidak tentu makin meruncingkan pertentangan antara Rakyat pekerja dan pemerintah. Jadi bukannya kaum buruh yang meruncingkan pertentangan klas, melainkan kaum borjuis sendiri.
Sudah menjadi kewajiban kaum Komunis untuk menyadarkan Rayat pekerja dan kaum progresif terhadap berkembangnya politik reaksioner yang berbahaya dari pemerintah jyang akhirnya pasti akan menjerumuskan Revolusi Nasional kita ke jurang kegagalan dan kemusnahan. Dengan demikian dimaksudkan supaya tenaga massa Rakyat pekerja bersama dengan tenaga progresif lainnya dapat merubah haluan politik pemerintah yang tidak sehat dan berbahaya itu ke arah jurusan yang sehat.
Walaupun kaum Komunis sekarang telah mendapat pengaruh lebih besar daripada di waktu sebelum meninggalkan pemerintah, akan tetapi oleh karena tidak tahu tentang kesalahannya yang pokok dalam lapangan politik, maka sikap sebagian besar daripada Rakyat terhadap Komunisme juga masih belum cukup terang dan tegas.
Berhubung dengan itu, rapat Polit-Biro menetapkan, bahwa PKI dalam susunan yang baru dengan tegas harus membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, yang dalam prakteknya telah menjadi sumber daripada bermacam-macam keruwetan di antara pemimpin-pemimpin dan Rakyat jelata. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti bahwa Republik Indonesia merdeka sepenuhnya dan Rakyat tidak terikat lagi oleh persetujuan-persetujuan yang mengikat dan memperbudak. Dengan demikian Rakyat di daerah pendudukan akan mendapat kemerdekaan luas untuk beraksi terhadap Belanda. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga, bahwa orang Indonesia boleh menganggap adanya kekuasaan Belanda di Indonesia sebagai pelanggaran kedaulatan Republik yang merdeka, dan oleh karena itu tentara Belanda harus diusir selekas-lekasnya. Hapusnya persetujuan Linggajati dan Renville menghilangkan segala kebimbangan di kalangan beberapa partai lain untuk memperluas dan meneguhkan hubungan Republik dengan negeri-negeri asing. Dengan demikian Republik juga mendapat kesempatan untuk menerobos blokade Belanda yang mengisolasi Republik dari negeri-negeri luar dalam lapangan ekonomi dan politik.
Kaum Komunis menolak persetujuan Linggajati dan Renville, bukannya karena Belanda terbukti tidak setia dan telah menginjak-injak persetujuan itu. Tidak! Sekali-kali tidak! Komunis prinsipil menolak persetujuan Linggajati dan Renville, oleh karena persetujuan-persetujuan itu jikalau dipraktekkan, akan mewujudkan negara yang pada hakekatnya sama saja dengan jajahan, yang berbeda dengan India, Birma, Filipina dan jajahan lain-lain hanyalah kulitnya saja. Sebab itu PKI tetap bersemboyan: "Merdeka sepenuh-penuhnya".
Penolakan persetujuan Linggajati dan Renville berarti juga self kritik yang keras di kalangan PKI. Dan pengakuan salah ini harus dipopulerkan juga kepada rakyat-banyak.
PKI menolak perundingan dengan Belanda yang tidak didasarkan atas hak yang sama. Komunis prinsipil tidak menolak perundingan, akan tetapi harus didasarkan atas hak-hak yang sungguh-sungguh sama. Dalam perundingan sekali-kali tidak boleh disinggung soal kedaulatan Republik atas seluruh Indonesia.
Dalam perundingan-perundingan ini PKI sanggup memberikan sekedar kondisi di lapangan ekonomi dan kebudayaan kepada orang-orang Belanda yang tidak menentang Revolusi kita, lebih daripada yang sekarang biasa diberikan di negeri-negeri kapitalis.
Dalam politiknya terhadap Uni Soviet PKI menganjurkan sebulat-bulatnya supaya diadakan perhubungan langsung antara Republik Indonesia dengan Soviet Uni dalam segala lapangan. Uni Soviet adalah sekutu yang semestinya dari rakyat Indonesia yang melawan imperialisme oleh karena Soviet Uni memelopori perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Cukup jelas bagi kita bahwa Amerika Serikat membantu dan mempergunakan Belanda untuk mencekek Republik kita yang demokratis. PKI harus menerangkan kepada rakyat banyak, bahwa pengakuan Uni Soviet membawa kebaikan semata-mata, sebab Uni Soviet sebagai negara kaum buruh tidak mungkin bersifat lain daripada anti-imperialis. Dengan demikian Uni Soviet tidak mempunyai kepentingan lain terhadap Indonesia kecuali membantu Indonesia dalam perjuangannya yang juga bersifat anti-imperialis.
Dalam perjuangannya melawan irnperialisme, PKI harus menghubungkan diri dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan rakyat negeri Belanda yang progresif, yang sebagian besar dari mereka dipimpin oleh CPN. Partai ini walaupun sudah membuat kesalahan-kesalahan, adalahsatu-satunya Partai klas buruh di negeri Belanda yang sungguh-sungguh membantu gerakan kemerdekaan kita pada waktu sebelum dan sesudah peperangan dunia kedua. CPN adalah juga menjadi sekutu kita yang semestinya, dan perhubungan kita dengan CPN harus lebih dikokohkan lagi. Lain daripada itu PKI harus terus-menerus mendesak CPN supaya benar-benar meninggalkan politik yang bersemboyan: "Unie-verband" yang jahat itu dan menggantinya dengan politik "INDONESIA MERDEKA SEPENUH-PENUHNYA". Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia berdasarkan Demokrasi rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan yang bebas dari pengaruh imperialisme serta tentaranya.
Politik Dalam negeri
Soal yang penting ialah, bahwa PKI dengan semua jalan harus menghalangi pemerintah sekarang ini jangan sampai terus-menerus memberi konsesi kepada imperialisme karena ini berarti menyerahkan Republik ke dalam tangan imperialisme.
Lagi pula dalam pekerjaannya sehari-hari PKI harus dengan giat membela kepentingan-kepentingan kaum buruh dan kaum tani.
Selanjutnya PKI harus juga berusaha, selekas-lekasnya melikwidasi segala kelemahan Revolusi kita. Kelemahan itu ialah :
1.          Klas buruh dengan pelopornya, yaitu PKIbelum memegang hegemoni daripada pimpinan Revolusi Nasional kita. Untuk mewujudkan hegemoni ini dengan tegas dan teguh, maka perlu sekali dipenuhi syarat-syarat yang penting, yaitu adanya organisasi Partai yang rapi dan kuat yang meliputi tiap-tiap pabrik, perusahaan, bengkel, kantor, kampung dan desa, dengan anggota dan kader-kader bagian yang sebagian besar terdiri dari kaum, buruh dan tani-pekerja. Selanjutnya juga adanya organisasi-organisasi massa yang kuat yang meliputi sebagian besar daripada rakyat pekerja dari berbagai golongan, terutama dari kalangan kaum buruh dan tani, sedangkan pimpinannya harus di tangan Partai.
2.          Pimpinan Revolusi Nasional kita, walaupun hegemoninya harus ada di tangan klas buruh, harus diwujudkan oleh PKI bersama-sama dengan partai-partai atau elemen-elemen lain yang progresif berdasarkan sebuah program nasional yang revolusioner, yang disetujui oleh bagian terbesar daripada rakyat kita. Dengan demikian dapat terbentuk suatu pimpinan revolusi yang seiya-sekata dan yang erat bekerja bersama dengan dan disokong oleh seluruh rakyat atau setidak-tidaknya oleh sebagian terbesar daripadanya. Hingga sekarang hal ini belum tercapai.
3.          Hingga sekarang Revolusi Nasional kita belum melandasi alat-alat kekuasaan negara yang lama, yang jiwa, susunan ataupun cara bekerjanya masih sangat berbau penjajahan. Dalam hal ini PKI tidak boleh melupakan pelajaran Marx yang mengatakan, bahwa kewajiban tiap revolusi ialah menghancurkan alat kekuasaan negara yang lama dan menyusun alat kekuasaan negara yang baru. Dengan demikian dapatlah dicegah usaha musuh untuk merebut kembali kekuasaan negara. Revolusi kita dengan melalaikan kewajiban ini telah membahayakan nasibnya sendiri. Oleh karena itu menjadi kewajiban yang penting bagi PKI dan semua tenaga progresif untuk selekas-lekasnya memperbaiki kesalahan yang besar ini. Alat-alat kekuasaan negara yang dengan segera harus dirubah dan disusun kembali ialah :
a. Pemerintahan dalam negeri
Hingga sekarang alat ini boleh dibilang masih hampir sama sekali alat lama yang bersifat feodal-kolonial, baik dalam susunan maupun dalam cara bekerjanya. Pun orang-orangnya sebagian besar adalah orang-orang lama. Harus segera diusahakan agar supaya susunan pemerintahan desa sampai kabupaten dirubah sama sekali secara radikal, berdasarkan pemerintahan kolegial (kedewanan) yang dipilih langsung oleh rakyat. Yang penting terutama ialah pemerintahan desa, agar rakyat tani segera dapat dibebaskan dari belenggu-belenggu feodalisme yang hingga sekarang masih mengikatnya. Perubahan ini harus dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dengan sendirinya anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner harus segera disingkirkan dari kalangan pemerintahan dalam negeri.
b. Kepolisian negara
Baik anggota-anggota maupun kader-kadernya harus diberi pendidikan yang sesuai dengan arti dan isi Revolusi Nasional kita dan kewajiban kepolisian negara sekarang, ialah membela kepentingan Revolusi Nasional, yang berarti juga membela kepentingan rakyat pekerja khususnya. jadi kewajiban mereka sekarang adalah bertentangan sama sekali dengan kewajiban mereka dahulu di zaman penjajahan. Terang, bahwa bagi anasir-anasir yang reaksioner atau kontra-revolusioner tidak ada tempat lagi di dalam kepolisian negara. Kepolisian harus dipimpin oleh kader-kader yang progresif.
c. Pengadilan negeri
Cara bekerjanya pengadilan negeri. harus tidak lagi secara lama, yang hingga sekarang masih berlaku, melainkan harus dirubah dan didasarkan atas kepentingan Revolusi Nasional kita. Terutama yang mengenai perkara-perkara politik. Anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner harus segera disingkirkan dari aparat ini.
d. Ketentaraan
'I'entara sebagai alat kekuasaan negara yang terpenting harus istimewa mendapat perhatian. Kader-kader dan anggota-anggotanya harus diberi pendidikan istimewa yang sesuai dengan kewajiban tentara sebagai aparat terpenting untuk membela Revolusi Nasional kita, yang berarti pula membela kepentingan rakyat pekerja. Tentara harus bersatu dengan dan disukai oleh rakyat. Tentara harus dipimpin oleh kader-kader yang progresif. Dengan sendirinya dan terutama di kalangan kader-kadernya harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner.
e. Alat-alat negara lainnya yang penting-penting seperti jawatan-jawatan yang mengurus keuangan negara, alat-alat produksi dan distribusi, pada umumnya harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner, terutama dalam pimpinannya, agar supaya kepentingan negara dan rakyat dapat terjamin.
4.          Kelalaian memberikan jaminan kepada anggota-anggota ketentaraan dan kepolisian negara khususnya, dan kepada rakyat pekerja umumnya (buruh dan pegawai negeri), hingga menyebabkan terlantarnya nasib mereka ini.
PKI harus memperjuangkan selekas-lekasnya tercapainya jaminan sekurang-kurangnya keperluan hidup sehari-hari bagi rakyat pekerja tersebut diatas.
Selain itu harus diperjuangkan pula segera terlaksananya :
a.           bagi kaum buruh : hak-hak demokrasi di segala lapangan, oleh karena mereka sebagai pelopor revolusi harus terutama di beri keuntungan banyak.
b.          bagi kaum tani : hapusnya sisa-sisa peraturan zaman feodal dan peraturan-peraturan imperialis di lapangan pertanian, yang bagi rakyat tani merupakan rintangan hebat untuk mendapat perbaikan nasib. Adapun politik PKI untuk kaum tani di seluruh Indonesia ialah : "Tanah untuk kaum tani". Jadi tiap orang tani harus diberi tanah, supaya ia merasakan benar-benar buah revolusi. Akan tetapi kaum Komunis harus ingat, bahwa sekarang dan dalam beberapa tahun yang akan datang belum mungkin melaksanakan semboyan ini, berhubung dengan kurangnya luas tanah di Jawa dan Madura, sedangkan jumlah kaum tani terlampau besar. Oleh karena itu buat sementara waktu, rakyat tani dapat diberi pertolongan yang lebih baik tidak dengan membagi-bagikan kepada mereka tanah-tanah yang dapat dibagikan kepadanya sebagai hasil penghapusan sisa-sisa peraturan feodal di lapangan agraria. Tetapi tanah ini diserahkan kepada desa dan desalah yang mengatur penggarapannya oleh buruh-tani dengan cara yang menguntungkan mereka.
c.           Bagi pekerja intelektual : penghargaan yang layak oleh pemerintah, sebab banyak pekerja intelektual yang merasa diri dan pekerjaannya sama sekali tidak dihargai oleh pemerintah.
1.          Kelalaian dalam memperluas alat-alat produksi yang lama dan membangun alat-alat produksi yang baru yang dikuasai negara serta mengerjakannya dengan se-hebat-hebatnya untuk mempertinggi kemakmuran rakyat.
2.          Kelalaian dalam mengadakan aparat distribusi negara yang baik yang dapat memenuhi kewajibannya dengan beres.
3.          Kelalaian di lapangan keuangan negara yang ternyata dengan memuncaknya kesukaran-kesukaran tentang hal uang, yang betul-betul dirasai oleh seluruh masyarakat, terutama di kalangan rakyat pekerja.
4.          Kelalaian dalam membangun koperasi-koperasi rakyat, tentang koperasi di lapangan kerajinan tangan dan perusahaan kecil, di lapangan kredit dan distribusi yang dapat bekerja bersama dengan pemerintah, baik dalam usaha pengumpulan bahan-bahan makanan, maupun dalam usaha distribusi barang-barang dari pemerintah.
5.          Kelalaian di lapangan sosial, yaitu terutama yang mengenai pemberian pertolongan kepada tentara yang berhijrah, pengungsi, juga yang mengenai perumahan yang layak bagi kaum buruh, perawatan kesehatan dan pemberian obat kepada rakyat.
6.          Tidak adanya perhatian sama sekali dari pihak pemerintah kepada masalah golongan minoritas, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang yang memiliki perusahaan-perusahaan kecil dan dari orang-orang intelektual.
Harus diperjuangkan oleh PKI supaya segala kelemahan ini dengan selekas-lekasnya dapat diatasi. Yang mengenai hal produksi dilapangan industri harus dianjurkan kepada kaum buruh, bahwa produksi harus diperbesar sebanyak-banyaknya dengan syarat, bahwa produksi dan distribusi serta perdagangan barang-barang milik negara harus diawasi oleh serikat buruh.
Dengan pendek dapat dikatakan, bahwa dalam pekerjaan sehari-hari PKI harus membela dengan giat kepentingan-kepentingan rakyat pekerja umumnya. Kepada pemerintah harus dituntut dengan tegas oleh PKI, supaya sebab-sebab yang dapat menimbulkan pemogokan segera dihilangkan.
Dalam menetapkan kewajiban tersebut diatas, ditambah dengan kewajiban melawan imperialisme yang mana saja dengan cara yang sehebat-hebatnya, maka kaum Komunis sekali-kali tidak boleh melupakan bahwa kewajiban PKI pada saat ini dalam tingkatan revolusi sekarang ini ialah tidak melebihi daripada penyelesaian REVOLUSI NASIONAL atau REVOLUSI DEMOKRASI BORJUIS TYPE BARU, sebagai tingkatan persediaan untuk revolusi yang lebih tinggi yaitu Revolusi Sosialis atau Revolusi Proletar.
Pendorong Revolusi Nasional sekarang ini ialah rakyat progresif dan anti-imperialis seluruhnya terutama sekali klas buruh sebagai pemimpinnya dan kaum tani sebagai sekutu klas buruh yang terpenting. Jikalau di antara rakyat progresif itu tidak ada persatuan, maka revolusi tidak akan menang! Sebaliknya, hanya persatuan yang kuat di antara seluruh rakyat yang anti-imperialis itu akan membawa Revolusi kita kepada kemenangan.
Wujud satu-satunya daripada persatuan itu, ialah Front Nasional yang disusun dari bawah yang disokong oleh semua Partai dan golongan serta orang-orang yang progresif.
 
C. Front Nasional
Setelah meninjau riwayat gerakan kemerdekaan semenjak permulaan pendudukan negeri kita oleh jepang hingga kini, maka Polit-Biro menetapkan dengan menyesal bahwa kaum Komunis telah lalai mengadakan Front Nasional sebagai senjata Revolusi Nasional terhadap imperialisme. Walaupun kemudian mereka mulai sadar akan kepentingan Front Nasional itu, akan tetapi kaum Komunis belum paham sungguh-sungguh tentang hakekat Front Persatuan Nasional dan tentang cara membentuknya. Beberapa macam bentuk Front Nasional selama tiga tahun ini telah didirikan, akan tetapi selalu tinggal di atas kertas belaka, bahwa hanya berupa konvensi di antara organisasi-organisasi atau di antara pemimpin-pemimpin saja, sehingga jikalau ada sedikit perselisihan di antara pemimpin-pemimpin Front Nasional itu lalu menyebabkan bubarnya. PKI berkeyakinan, bahwa pada saat ini Partai klas buruh tidak dapat menyelesaikan sendiri revolusi demokrasi burjuis ini dan oleh karena itu PKI harus bekerja bersama dengan partai-partai lain. Kaum Komunis sudah semestinya berusaha mengadakan persatuan dengan anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain. Satu-satunya persatuan semacam itu ialah FRONT NASIONAL. Dalam menyusun ini PKI harus mengambil inisiatif dan dalam Front Nasional itu PKI harus juga memainkan rol yang memimpin. Ini sekali-kali tidak berarti, bahwa kaum Komunis memaksa partai lain atau orang lain supaya mengikutinya, melainkan PKI harusmeyakinkan dengan secara sabar kepada orang-orang yang tulus hati, bahwa satu-satunya jalan untuk mendapat kemenangan ialah membentuk Front Nasional yang disokong oleh semua rakyat yang progresif dan anti-imperialis. Tiap-tiap Komunis harus yakin benar-benar, bahwa dengan tidak adanya Front Nasional kemenangan tidak akan datang.
Oleh karena pada dewasa ini telah ada program nasional yang sudah disusun, disetujui dan diterima pula oleh semua partai, maka tidak salah jika program nasional ini dipakai dengan segera sebagai dasar untuk mewujudkan Front Nasional. Front Nasional yang tulen harus disusun dari bawah, semua anggota partai-partai yang sudah menyetujui Front Nasional seharusnya memasukinya, secara individual. Selain daripada itu diberi juga kesempatan kepada beribu orang yang tidak berpartai dan yang progresif turut serta dalam Front Nasional. Komite-komite Front Nasional, baik di daerah maupun di pusat, harus dipilih secara demokratis dari bawah. Front Nasional semacam ini, sekali berdiri, tidak akan mudah hancur, bahkan tidak terlalu bergantung lagi kepada kehendak pemimpin-pemimpin partai. Front Nasional semacam itu memungkinkan juga pengurangan perselisihan politik dan juga memperkecil adanya oposisi sampai pada batas minimum.
Bersamaan dengan itu, PKI harus berdaya-upaya supaya pemerintah sekarang selekas-lekasnya diganti dengan pemerintah FRONT NASIONAL yang berdasar atas program nasional dan yang, bertanggung jawab. Hanya pemerintah semacam itulah yang akan berakar kuat di kalangan rakyat dan sanggup mengatasi kesukaran-kesukaran dalam negeri serta meneruskan perlawanan anti-imperialis secara konsekwen.
D. PKI dan daerah pendudukan
Polit-Biro menganggap perlu dan memutuskan, bahwa PKI harus sungguh-sungguh mengatur dan memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah pendudukan. Strategi PKI di daerah pendudukan terutama harus menghalangi Belanda dalam usahanya memperteguh kekuasaannya dan memperbesar produksinya. Kalau Belanda berhasil dalam usahanya itu, maka lambat laun Belanda dapat memadamkan semangat perlawanan rakyat jelata. Perlawanan yang selalu bertambah, yang dilakukan oleh kaum gerilya di daerah-daerah pendudukan di jawa, di Sumatera dan di pulau-pulau lain harus menjadi tanda bagi semua Komunis untuk aktif dan berani menyokong dan memimpin perlawanan-perlawanan itu.
E. Ideologi
Polit-Biro berpendapat, bahwa kesalahan-kesalahan prinsipil tersebut diatas terutama disebabkan karena lemahnya ideologi Partai. Kelemahan-kelemahan tersebut diatas harus lekas diperbaiki. Dengan tidak adanya teori revolusioner tidak ada gerakan revolusioner kata Lenin. Pendapat Lenin ini terbukti kebenarannya dalam pekerjaan kita. Oleh karena teori Marxisme-Leninisme adalah suatu ilmu (wetenschap) yang tertingi, maka ia pun harus dipelajari sebagai wetenschap juga. Teori kita ini meneguhkan keyakinan, menajamkan kewaspadaan, membesarkan keberanian dan memudahkan pekerjaan kita dalam keadaan yang sulit. Partai Komunis yang benar-benar berdasar atas pelajaran-pelajaran MARX, ENGELS, LENIN dan STALIN tidak akan mudah jatuh dalam keadaan kebingungan, dan bagaimanapun juga sulitnya keadaan dan suasana politik Partai Komunis selalu akan mendapat jalan yang tepat untuk mengatasinya. Berhubung dengan itu, mulai sekarang juga tiap Komunis DIWAJIBKAN membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani, agar supaya dengan jalan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan praktek dengan erat. Teori yang tidak dihubungkan dengan massa, tidak dapat merupakan kekuatan, akan tetapi sebaliknya teori yang berhubungan erat dengan massa, merupakan kekuatan yang maha hebat.
Kawan Stalin mengatakan, bahwa tidak ada satu bentengpun juga yang tidak dapat direbut oleh kaum Bolshevik. Maka itu yakinlah, bahwa kaum Bolshevik Indonesia akan dapat merebut benteng yang terancam bahaya di hadapan mereka, yaitu benteng Indonesia Merdeka.

BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN MUSSO
            Pemikiran Musso cenderung memakai konsepsi kerakyatan, dimana rakyat adalah sumber dasar terbentuknya paradigma tersebut. Bila teori adalah abstraksi dari fenomena, konsepsi Musso secara teoritik adalah buah dari adanya hegemoni kuat imperialisme dan – berdasar konstelasi politik dunia waktu itu – fasisme. Dari sana muncul realitas yang dikaji, tentunya dengan “objek” (dengan tanda kutip) yang dikaji adalah rakyat dengan fenomena sosial yang terkebiri akibat eksistensi imperialisme.  
            Bak sebuah khazanah yang luas, pemikiran manusia merupakan irisan dari mozaik yang berserakan. Kemudian muncullah sosok yang kemudian mengkulminasikannya menjadi nilai yang bisa dibilang menjadi orisinil. Dalam tataran tersebut, pemikiran Musso sangat tendensius untuk disebut sebagai pemikiran normatif dan bahkan “masih dibawah” Tan Malaka dan Syahrir, namun dibalik tata bahasa yang sederhana – sekaliber pemikir Indonesia – guna mudah dicerna, konsepsi paradigmatic Musso mempunyai tataran nilai yang orisinil meski terdiri dari beberapa irisan pemikiran.
            Alur pemikiran Musso juga bersifat sentrifugal, artinya tetap berorientasi keluar, apalagi dengan jaringan komintern (komunis inernasional) yang luas dan relevan.
            Dalam konteks Indonesia, Jalan Baru Musso mempunyai tiga poin substantif yang orisinil, hal tersebut yakni: Konsep Pedagogi, yakni pendidikan gerakan-politik terhadap rakyat.[47]
…Berhubung dengan itu, mulai sekarang juga tiap Komunis DIWAJIBKAN membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani, agar supaya dengan jalan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan praktek dengan erat. Teori yang tidak dihubungkan dengan massa, tidak dapat merupakan kekuatan, akan tetapi sebaliknya teori yang berhubungan erat dengan massa, merupakan kekuatan yang maha hebat.
            Musso memposisikan rakyat sebagai bagian dari gerakan guna melawan dua musuh sekaligus, yakni kemiskinan (yang diakibatkan oleh lintah darat di desa atau kapitalisme lokal dan barat, dan feodalisme) dan kebodohan (akibat hegemoni imperialisme yang monopolistik) dimana rakyat dijadikan Subjek gerakan (R=S, Rakyat sama dengan Subjek) diluar doktrinasi mainstream komunisme yakni Rakyat yang sangat rentan dijadikan Objek mobilisir yang mempunyai kecenderungan untuk tidak otonom (R=O, Rakyat sama dengan Objek).
            Pendidikan rakyat ala Musso yang layak juga disebut sebagai pendidikan gerakan-politik merupakan manifestasi dari kesadaran politik yang dirangsang berdasar doktrinasi partisipatif. Rangsangan pada zaman itu yang cenderung digunakan lewat agitasi dan orasi kadang juga membuat rakyat termobilisasi, karena pada awalnya hanya sedikit yang mempunyai kesadaran politik. Namun, bila meminjam teori partisipasi politik Samuel Huntington, kesadaran politik kaum buruh tani dirangsang secara simultan, dengan kata lain dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik karena adanya kesadaran politik. Kesadaran itu adalah adanya rasa kebersamaan yang menimbulkan empati, ini juga bisa dipadukan dengan doktrin komunis yaitu egalitarianisme.
            Perspektif Musso yang mewajibkan rakyat revolusioner – terdiri dari buruh dan tani – untuk mengadakan kursus-kursus teoritik memang bak menara gading, namun kekuatan empati masyarakat akan nasib hidupnya menjadi rangsangan mumpuni. Dari hal tersebut baru kemudian menjalar kepada rasa nasionalisme kepada negara yang dimulai dari besarnya rasa “haus belajar” tersebut, dan juga sungkan terhadap solidaritas yang dibangun PKI. Musso membangun kesadaran ide seperti Weber yang berpendapat bahwa bangunan ideas dapat menjadi amunisi dari adanya perubahan sosial, maka itu rakyat yang diasupi ide-ide revolusioner akan dengan mudah menghapus arogansi imperialisme, ini merupakan determinasi ide yang substantif.
            Selanjutnya yakni hegemoni partai, Musso mengungkapkannnya secara gamblang.

…bahwa seterusnya harus hanya ada satu Partai yang berdasarkan Marxisme-Leninisme dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI memutuskan mengajukan usul, supaya di antara tiga Partai yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan), sehingga menjadi SATU Partai klas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia, disingkat PKI. Hanya Partai sedemikian itulah yang akan dapat memegang rol sebagai pelopor dalam gerakan kemerdekaan sekarang ini.
Adapun cara mewujudkan fusi ini dengan selekas-lekasnya hendaknya sebagai berikut:
1. Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang tidak baik.
2. Membentuk Komite Fusi yang berkewajiban:                                                         a. Mendaftar anggota-anggota PBI dan Partai Sosialis yang dapat diusulkan dengan segera menjadi anggota PKI.
            b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu, dsb.
3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan Kongres Fusi daripada ketiga Partai, dimana ketiga Partai dilebur menjadi satu dengan memakai nama Partai Komunis Indonesia dan dipilih Central Comite yang baru secara demokratis.

Bagi Musso, dengan adanya satu partai politik, pekerjaan menjadi lebih mudah dan rasional. Untuk itu Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia yang merupakan tiga partai yang berlandaskan pada Marxisme-Leninisme meleburkan diri menjadi Partai Komunis Indonesia. Analisis Musso terhadap fusi ini adalah mengingat kuatnya pengaruh kapital-liberalisme pasca Perang Dunia II, apalagi gejolak politik Indonesia yang cenderung bahwa elit-elit politik masa itu begitu condong ke Amerika – yang konon melahirkan Peristiwa Madiun – dan kontra dengan komunisme.
Satu partai politik menjadi lebih hegemonik, karena kekuatan yang kemudian terintegrasi dengan destinasi yang kooperatif. Musso membaca hal tersebut, apalagi Partai Sosialis mempunyai underbouw Pesindo yang mempunyai barisan laskar tentara yang kuat. Namun, diluar tujuan dengan menjadikan kekuatan militer sebagai alat, Musso tetap berorientasi dengan prinsip pedagog, meminjam teori hegemoni Gramsci, Musso mengedepankan hegemonik dibanding dominasi. Gramsci membagi teori hegemoninya pada hegemoni sebagai kekuatan yang mengedepankan ideas dan dominasi sebagai basis penunjang, yakni dengan dominasi militeristik atau manuver politik yang bersifat hard.
Berikut alur pemikiran Gramsci dalam teori hegemoni yang coba direlevansikan dengan perspektif fusi partai politik yang dilakukan Musso lewat Jalan Baru.
 




            Tak dinyana, Musso mengelaborasi dan merelevansikan keduanya, pertanyaannya kemudian mengapa Gramsci? Kesamaan cara pandang dan fenomena gerakan di negeri “terjajah ideology” adalah jawabannya, belum lagi konsepsi tersebut adalah pisau analisis dalam gerakan melawan imperial-kolonialisme. Meski mengedepankan hegemoni, karena PKI merupakan partai doktriner yang menggunakan ideology sebagai alat memobilisir massa dengan isu realitas dan perubahan social, Musso juga menggunakan dominasi sebagai basis kekuatan. Bila Peristiwa Madiun dijadikan sebagai perspektif “pemberontakan”, maka dominasi yang dicerna Musso dalam teori hegemoni adalah menggunakannya (militer) sebagai martir menuju perebutan kekuasaan (coup de et’at) yang dimulai dari membentuk kekuatan basis oposisi pemerintah Front Nasional menuju kekuasaan kelompok. Bila tidak (memberontak), dominasi diperlukan guna ultimatum terhadap imperialisme-kolonialisme Belanda yang rencana melakukan agresi militer jilid II. Selanjutnya adalah ideas, hal itu sudah barang tentu tersaji dalam butiran Jalan Baru, karena menekankan pada ide-ide, tentunya dengan mengedepankan pendidikan rakyat, maka Musso pun terkategorisasi pada agitator pedagogis. Namun disisi lain, sebagai personal yang menjunjung tingi prinsip komunisme, Musso juga seorang agitator demagogis yang pandai memobilisir massa. Tapi dalam konteks Jalan Baru, sangatlah pas bila ia hanya di masukkan dalam kanal pedagog. Memang dalam konteks hegemoni-dominasi, Jalan Baru Musso selaras pada keduanya namun memang lebih tepat kearah hegemoni. Peleburan partai dan pendidikan rakyat adalah bukti nyata asumsi tersebut.
            Yang terakhir adalah Socialism is one state, ya, memang itu merupakan deklarasi Stalin terhadap tujuan utama Komunisme. Itu adalah irisan besar terhadap konsepsi paradigmatic Jalan Baru, Musso memang Stalinis sejati, maka itu ia cenderung tidak sejalan dengan Tan Malaka yang dituding sebagai Trotskys, Trotsky yang merupakan musuh politik Stalin yang berperangai seperti Tan Malaka yang lebih berhati-hati dalam bertindak.
          Secara implementatif, Musso pun ingin mengaplikasikann socialism is one state (di Indonesia) dimana ada pakem bahwa Rusia sebagai induk organisasi komunisme dunia sebagai bagian sentral. Jadi, semua Negara komunis tetap harus mengikuti garis induknya. Inilah yang kemudian dikritik mentah-mentah oleh Leon Trotsky – dan kemudian Tan Malaka, khususnya pada konvensi Prambanan 1926 – yang mengeluarkan konsepsi Permanent revolution yaitu revolusi serempak diseluruh dunia dengan memperhatikan peta politik lokal. Konsepsi teoritik Trotsky pun seakan “menjadi nyata” tatkala PKI kalah dalam pemberontakan 1926.
            Musso mengaplikasikannya dengan warna sendiri, untuk mengakomodir hal tersebut ia tetap melihat situasi lokal, itu dibuktikan dengan dibuatnya Front Demokrasi Rakyat, poros oposisi yang tetap menunggu arahan komintern. Untuk itu perihal Madiun menjadi bias bila kita menelaah socialism is one state, karena tidak ada arahan langsung dari Rusia untuk mengganggu jalannya pemerintahan Bung Karno.
 
BAB V
PENUTUP
            “Nilai” Musso adalah dalam tataran gerakan dan pemikiran, dari kacamata gerakan ia adalah aktifis Indonesia yang mempunyai tempat penting di Komintern Rusia, tentunya bersama Tan Malaka meski Tan tidak begitu kental karena sangat tendensius kearah Trotsky yang merupakan musuh politik Stalin.

            Uniknya Musso adalah ketika “Jalan Baru”, yang dinilai kalah dengan “Madilog” dan “Perjuangan Kita” namun sangat mengena bila diterapkan pada masanya. Juga lebih sederhana bila diterapkan dengan doktrin komunisme dan mempunyai relevansi besar terhadap realitas social waktu itu.  

            Itulah Musso, yang menelurkan pemikiran yang pas dan implementatif. Meski begitu jalan hidupnya pun jauh dari kata pas, tudingan terhadapnya pun bagian dari sejarah kelam bangsa. Tersebutlah Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Sjahrir dan tentunya Musso yang sinarnya menjadi kelam disaat terang benderangnya pancasila.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku:
Abdulgani, Roeslan, Sosialisme Indonesia, Jajasan Prapantja, 1964

Aidit, D.N., Sosialisme Indonesia: dan Sjarat-sjarat pelaksanaanya, Djakarta:
Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”, 1962
                                                                                                
Ananta Toer, Pramoedya, Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV-1948, Jakarta:
            Kepustakaan Populer Gramedia, 2003

Anderson, David Charles, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal
Tentara? Penerjemah Dwi Pratomo Yulianto & Lilik Suryo Nugrohojati dengan judul asli: The Aspects of The Madiun Affair. (Indonesia Magazine #21 April 1974, Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, USA). Yogyakarta: Media Pressindo, 2003

Caldwell, Malcolm dan Ernst Utrecht, Sejarah Alternatif Indonesia,Yogyakarta:
Djaman Baroe, bekerjasama dengan Sajogyo Institute Bogor, 2011

Hiqmah, Nor, H.M. Misbach; Kisah Haji Merah (1876-1924), Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008

Huntington, Samuel. P., Joan M. Nelson, Partisipasi Politik, Jakarta: Pt Sangkala
Pulsar 1984

Leclerc, Jacques, Mencari Kiri; Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi
Mereka, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2011

Munasichin, Zainul, Berebut Kiri; Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-
1926, Yogyakarta: LKIS, 2005

Notosusanto, Nugroho dkk, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta; Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1975

Patria, Nezar, Andi Arief, Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka pelajar,
1999

Pozze, Harry, Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011

Raho, Bernard, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007

Rambe, Safrizal, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
1905-1942, Jakarta:Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia, 2008

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September; Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Editor Yusmar Basri, Jakarta; Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994

Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak; Radikalisasi Rakyat Jawa 1912-1926. Terj.
Hilmar Farid. Jakarta: Grafiti, 1997

Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Jakarta: Frantz Fanon Foundation, 1990

_________ , Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta: Yayasan  
Bentang Budaya, 1999

Soemarsono, Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Transkip &
Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008

Soerojo, Soegiarso Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai. G30S PKI dan
Peran Bung Karno, Jakarta, 1988

Soetanto, Himawan, Madiun, dari Republik ke Republik. Jakarta: Kata Hasta
Pustaka, 2006

________________ , Perintah Perintah Presiden Soekarno: “Rebut Kembali
Madiun...,; Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948, Jakarta: Sinar Harapan, 1994

Sunyoto, Agus, Zainudin A, Maksum, Lubang-lubang Pembantaian. Petualangan
PKI di Madiun. Tim Penyusun Jawa Pos. Jakarta, Pustaka Utaa, Grafiti, 1990

Suratmin, Kronik Peristiwa Madiun PKI 1948. Yogyakarta: Mata Padi Presindo,
2012

Tim Buku Tempo, Muso, SI Merah di Simpang Republik, Penyunting Wahyu
Dyatmika & Redaksi KPG, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011

Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Djakarta: Lembaga Penggali dan
Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, 1966

Townshend, Jules, Politik Marxisme, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003

Varma, S.P., Teori Politik Modern, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007

Wulansari, Dewi, Sosiologi Konsep dan Teori, Bandung : PT Refika Aditama,
2009


Jurnal - Paper:

Adam, Asvi Warman, 2011, Hatta Kambing Hitam Madiun. Paper pada Tim
Buku Tempo, Muso, SI Merah di Simpang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011. Hal 128-134

Aidit, D.N., D.N. Aidit menggugat Peristiwa Madiun. Tulisan untuk pidato sidang
DPR 11 Februari 1957 untuk menjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin dari Masyumi. Komisi Pilihan Tulisan D.N. Aidit CC PKI

Buletin IQRA PMII UNAS, Edisi IX / Oktober – November 2010. Peran Pemuda

Easton, John, Kisah Perjuangan Hatta 1948. Diterbitkan untuk Yayasan
Indonesia Membangun. Paper pada seminar ”Sejarah Politik Asia Tenggara”. Tokyo, Jepang. 20 Desember 1987

Rao, Don Gusti, 2012, Kekuasaan Politik, Hegemoni Ideologi Partai: Republik
Indonesia Dasawarsa Pertama, Sebuah Analisis. Paper pada tugas mata kuliah Teori-Teori Politik. Ilmu Politik FISIP UNAS

_____________, 2013, Peran Politik Musso pada Peristiwa Madiun. Skripsi pada
Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Nasional. Jakarta :Universitas Nasional.

_____________, 2012, Para Pemikir Indonesia: Beda Metode, Satu Orientasi.
(Refleksi Clash Ideologi Musso – Soekarno). Paper pada diskusi Sekolah                  Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute

_____________, 2012, Soekarno vs Musso: Konflik Ideologi atau Politik
Kekuasaan? Paper pada forum diskusi Kelompok Diskusi 49 UNAS

Salim, Agus, 2005, Peran Politik Haji Agus Salim dalam Kongres VI Central
Sarekat Islam Tahun 1921. Skripsi pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Nasional. Jakarta: Universitas Nasional

Sunyoto, Agus, 2012, Paper: Kebiadaban Gerakan Makar FDR/PKI 1948 Madiun

Triyana, Bonnie, 2011, Jalan Berliku Tuan Mussotte. Paper pada Tim Buku
Tempo, Muso, SI Merah di Simpang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011. Hal 135-141


[1] Selain pemberontakan Sarekat Islam Afdeling-B di Cimareme Garut melawan pemerintahan kolonial, Musso juga berperan besar dalam pemberontakan 1926 juga kepada pemerintahan kolonial. Pemberontakan 1926 ini diwarnai dengan ketidaksetujuan Tan Malaka, inilah awal mula perseteruan Tan dan Musso. Pemberontakan 1926 terjadi diberbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Banten, kota-kota di Jawa Tengah (gagal terlaksana karena rencana aksi bocor) dan Silungkang Sumatera Barat. Lebih lengkapnya lihat: Tim Buku Tempo, Muso, SI Merah di Simpang Republik. Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011. Hal 12 – 22. Harry Poezze secara implisit juga menerangkan peristiwa tersebut dalam Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011. Hal 1-4. Selain itu juga ada pemogokan buruh di Delanggu, dekat kota Solo. Ihwal pemogokan ini dapat dilihat di John Easton, Kisah Perjuangan Hatta 1948. Paper seminar ”Sejarah Politik Asia Tenggara” di Tokyo, Jepang 20 Desember 1987: Yayasan Indonesia Membangun hal 8-11. Lalu Harry Poezze dibukunya yang tebal mengisahkan pemogokkan Delanggu pada halaman 12-3, 56, 83, 100, 107, 123, 141, 144, 258, 271, 357, 361, dan 379. Ada juga Himawan Soetanto dalam Madiun dari Republik ke Republik. Jakarta, Kata Hasta Pustaka, 2006 hal 39-42. Dan juga Suar Suroso, et. al dalam “Peristiwa Madiun” - PKI Korban Pertama Perang Dingin dalam Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar “Peristiwa Madiun”. Penerbit Pustaka Pena, mengisahkan “heroisme” pemogokan Delanggu dalam rangkaian kronologi konstelasi ideologi dalam kacamata perang dingin di halaman 10-21.
[2] Tim Buku Tempo, Ibid, hal 10.
[3] Ibid, hal 7.
[4] Ibid, hal 10.
[5] Ibid, Hal 30-31.
[6] Tentunya yang tetap berada dalam kontrol Uni Soviet, sesuai dengan deklarasi Stalin tentang tujuan utama Komunisme. Hal ini kemudian dikritik oleh Trotsky dengan perspektinya yang dikenal dengan Revolusi permanen atau Permanent Revolution.
[7] Georgi Dimitrov adalah Skertaris Jenderal Komunis Internasional, berdasarkan analisa konstelasi geo-politik dunia, Dimitrov mengubah taktik perjuangan kaum komunis. Taktik tersebut mengharuskan kaum komunis untuk berkooperasi dengan kaum Kapital-Liberalis untuk melawan Fasisme yang di asosiasikan sebagai musuh bersama. Doktrin ini akhirnya berubah sesuai dengan substansi perjuangan kaum komunis 12 tahun kemudian, yang dikenal dengan Doktrin Zdhanov pada 1947. Lihat Tim Buku Tempo, Op Cit, Hal 17-18.
[8] Himawan Soetanto, Op.Cit,  Hal 71.
[9] Inilah kelemahan strategi Lenin – terlepas dari doktrin lunak atau garis keras – tentang Socialism is One State yang membuat Komunisme cenderung sentral mengikuti arah Komintern (Soviet), padahal peta politik dimasing-masing negara berbeda. Sebagai parameter pada peta politik Indonesia yang saat itu kekuatan muslim cukup diperhitungkan dan sangat antipati oleh isu-isu sensitif seputar agama dan atheisme.
[10] Salah satunya adalah bantuan kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa yang berhaluan Komunis. Lihat Tim Buku Tempo, Op.cit, Hal 62.
[11] Red Drive Proposal adalah hasil pertemuan antara petinggi-petinggi Indonesia (Soekarno, Hatta, Soekiman, Natsir, Roem dan Kepala Polisi Soekanto yang juga binaan AS) dengan pimpinan delegasi Amerika (Merle Cochran dan Gerard Hopkins, penasihat Presiden AS Harry Truman) pada 21 Juli 1948 di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, Plaosan, Magetan. Dimana AS menjanjikan US$ 56 Juta asalkan PKI dibasmi, maka itu terbentuklah Peristiwa Madiun yang dinilai sebagai sebuah desain dan provokasi belaka. Namun, hal ini masih menjadi kontroversi karena banyak peneliti sejarah yang pro-kontra dan juga membeberkan semua perspektif dalam karyanya, juga disertai argumen dan validitas data, mereka antara lain: Ann Swift dan Roger Vailland. Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa Red Drive Proposal adalah bargain atas legitimasi kemerdekaan yang saat itu masih dipersoalkan oleh Belanda. Entah ada atau tidak, yang jelas pasca penumpasan PKI, Perekonomian Indonesia berangsur membaik, Belanda tergusur dari Indonesia dan Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun sebagai “kekalahan pertama komunis”. Lihat Harry Poezze, Op.Cit, hal 141-142, 307, 311, 320, 322, 325 dan 333. Lihat juga di Tim Buku Tempo, Op.Cit, hal 58-63.
[12] Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999. Hal 213.
[13] S. Suroso, Op.Cit, hal 13.
[14] Himawan Soetanto, Op.cit, Hal 72.
[15] Tim Buku Tempo, Op.cit, Hal 46.
[16] Soal karakteristik Musso, Bung Karno juga pernah mengatakannya kepada Soeripno: “Musso ini dari dulu memang jago, ia paling suka berkelahi, jago pencak, dan kalau berpidato akan menyingsingkan lengan baju. Pada kesempatan yang sama, Bung Karno pun berkata bahwa Musso adalah gurunya: “Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto dan Pak Musso!”. Percakapan itu juga dimuat pada buku Soe Hok Gie Orang-orang dipersimpangan Kiri Jalan. Bahkan dalam wawancara dengan Cindy Adams, Bung Karno berkata: “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua”. Lihat Tim Buku Tempo, Op.Cit, hal 9 dan 46-47.
[17] Oude Heer atau Sang Bapak Tua, begitulah mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin memanggilnya sebagai bentuk “penghormatan yang tidak lazim”. Secara tersirat lihat di Tim Buku Tempo, Ibid, Hal 48.
[18] Untuk melihat ulasan tentang Djalan Baru untuk Republik Indonesia secara detail dan substantif, lihat: Soemarsono, Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008. Hal 396-422. Ada juga paper stensilan pidato D.N. Aidit dalam D.N. Aidit menggugat peristiwa Madiun (Tulisan untuk pidato sidang DPR 11 Februari 1957 untuk menjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin dari Masyumi. Komisi Pilihan Tulisan D.N. Aidit CC PKI.). Yang diambil dari Redaksi Bintang Merah, Jakarta, 23 Mei 1951. Hal 141-171. Versi lain (pemerintah/TNI) lihat juga di Himawan Soetanto, Op.Cit hal 73-85.
[19] Kelompok Diskusi Patuk, kelompok diskusi yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief (kolonel) Abdul Latief dan Kapten oentoeng Samsoeri. Soemarsono, menyebut bahwa kelompok Pemuda Patuk adalah pemuda-pemuda didikan Sutan Sjahrir. Lihat Soemarsono, Ibid, Hal 10.
[20] Tim Buku Tempo, Op.cit, Hal 97-98. Untuk lebih lengkap tentang pidato Soekarno dan Musso, lihat Harry Poezze, Op.Cit, Hal 180-184. Himawan Soetanto (Op.cit, 2006:133-136) dan Soemarsono, ibid. Hal 132-144. Himawan dan Soemarsono menyebutkan bahwa jarak rentang Musso merespon pidato Soekarno hanya Satu setengah jam.
[21] Lihat Tim Buku Tempo. Op.Cit. Hal 2. Sutopo, dalam Provokasi Madiun. Op.Cit. Hal 59. Menyebut Musso lahir pada 12 Agustus 1898.
[22] Agus Sunyoto (Lesbumi NU) menyebut Musso adalah cucu Kyai KH Kasan Muhyi pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, desa Kapu, Pagu, Kediri, Jawa Timur. Putri KH Kasan Muhyi, Nyai Masruroh, adalah istri Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Lebih lengkap lihat ww.nu.or.id atau @wartaNU. Asumsi lain mengatakan bahwa Musso adalah anak Kyai Hasan (bukan Kasan) Muhyi, KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan salah satunya adalah Musso. KH Hasan Muhyi, yang asli Mataram mempunyai nama asli yakni Rono Wijoyo. Lihat http://serbasejarah.wordpress.com/2013/02/04/cerita-musso-tokoh-pki-yang-ternyata-anak-kiai-besar/
[23] Sutopo, ibid. hal 59. Sutopo juga menyebutkan bahwa Musso mempunyai 7 kakak beradik. Sedangkan di Tim Buku Tempo, Ibid. Hal 2. Disebutkan Musso hanya dua orang bersaudara bersama Sidik, adiknya.
[24] Tim Buku Tempo. Ibid. Hal 4.
[25] Lihat Sutopo. Op.Cit. Hal 59.
[26] Lihat Tim Buku Tempo. Ibid. hal 6-7. Hazeu lah yang mengangkat Alimin sebagai anak. Dia pertama kali berjumpa dengan Alimin sebagai bocah gembel di alun-alun Solo. Hazeu memberi dia beberapa keping uang dan Alimin langsung membagi rata kepada temannya. Hazeu terkesima oleh Alimin kecil yang punya bibit sosialisme.
[27] Ibid. hal 7-8.
[28] Soemarsono, Loc.Cit.
[29] Lihat Tim Buku Tempo. Op.Cit. Hal 8-9.
[30] Lihat Tim Buku Tempo. Op.Cit. Hal 10-11. Sedangkan menurut Soemarsono dalam wawancara dengan Kusalah Subgo Turn dalam buku Suar Suroso, Op. Cit hal 96. Bahwa Musso adalah orang yang tidak mudah marah. “dia itu kalo istilah bahasa Belandanya beheerst, terkendali sekali”, tukasya.
[31] David Charles Anderson, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal Tentara?. Penerjemah Dwi Pratomo Yulianto & Lilik Suryo Nugrohojati dengan judul asli: The Military Aspects of The Madiun Affair. (Indonesia Magazine #21 April 1974, Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, USA). Yogyakarta: Media Pressindo, 2003. Dalam bukunya tersebut, David Charles Anderson menjelaskan begitu detail perihal Peristiwa Madiun dalam perspektifnya yang substantif pada bab penutup halaman 127-129,  bahwa Peristiwa Madiun murni pergolakan internal militer.
[32] Perspektif tersebut tertuang dalam buku Suar Suroso. Op.Cit.
[33] Harry Poezze, Op.Cit hal 29.
[34] Keempat buku tersebut yakni karya Suratmin, Kronik Peristiwa Madiun PKI 48, Op.Cit. Himawan Soetanto, Madiun, dari Republik ke Republik Op.Cit dan Perintah Presiden Soekarno: “Rebut Kembali Madiun...,; Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. Jakarta: Sinar Harapan, 1994. Dan Agus Sunyoto, et. al: lewat Lubang-lubang Pembantaian. Petualangan PKI di Madiun. Tim Penyusun Jawa Pos. Jakarta, Pustaka Utama, Grafiti, 1990.
[35] Dalam bukunya, Op.Cit. Poezze mengungkapkan bahwa Madiun adalah pemberontakan. Namun lain dengan buku versi pemerintah yang terlalu menohok, Poeze mengutarakannya dengan elegan, dalam, dan kekayaan referensi sehingga orang yang membacanya akan dengan mudah berfikir bahwa karyanya tidak tendensius.
[36] Buku Soemarsono – yang juga saksi hidup dan pelaku Peristiwa Madiun – Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Op.Cit, yang dinilai sebagai buku tandingan dalam konteks akademik ternyata tidak diterima dengan baik. Setidaknya ada penolakan dengan aksi pembakaran bukunya oleh ormas islam dan beberapa akademisi yang turut serta dalam aksi tersebut.
[37] Majalah Historia nomor 9. Loc.Cit.
[38] Lihat Soemarsono. Loc.Cit.
[39] Pidato Soekarno di Radio menyikapi apa yang terjadi di Madiun. Pidato pada tanggal 19 September 1948 pukul 20.00. Lihat Soemarsono. Op.Cit. Hal 132-135.
[40] Soemarsono, Ibid, hal 139. Suar Suroso, Op.Cit, hal 29. Himawan Soetanto, Op.Cit, hal 130. Tim Buku Tempo, Op.Cit, hal 84. Harry Poeze. Op.Cit, hal 165.
[41] Suratmin, Op.Cit, hal 106.
[42] Lihat Soemarsono, Ibid.
[43] Untuk lebih lengkap tentang pidato Soekarno dan Musso, lihat Tim Buku Tempo, Op.cit, hal 97-98. Harry Poezze, Op.Cit. Hal 180-184. Himawan Soetanto (Op.cit, 2006:133-136) dan Soemarsono, ibid. Hal 132-144.
[44] Lihat Tim Buku Tempo, Ibid, hal 9.
[45] Lihat Tim Buku Tempo, Ibid, hal 41.
[46] Lihat Soemarsosno, Op.Cit. lampiran  terakhir
[47] Apakah pedagogi Musso merupakan irisan dari Paulo Freire? Masih membutuhkan kajian mendalam