Minggu, 22 Mei 2016

Kita, dalam Labirin Isu

*Don Gusti Rao

Adalah Samuel Huntington, salah satu ilmuwan politik yang perspektifnya dinilai cukup otoritatif dalam locus teori Ilmu politik. Ia membuat analisis terkait partisipasi politik lewat thesisnya bersama Joan Nelson. Baginya, berorganisasi merupakan salah satu elemen penting dalam partisipasi politik. Organisasi adalah salah satu bagian dari partisipasi politik bersamaan dengan pemilu, demonstrasi, koneksi, lobi, dan violence (kudeta) [Huntington, 1984:14]. Tentu harus digarisbawahi bahwa organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang kental dengan nuansa sosial dan politk, karena meminjam Aristoteles, manusia adalah Zoon Politicon, makhluk sosial yang gemar berinteraksi, yang saya terjemahkan menjadi gemar berorganisasi. Dalam fase yang spesifik, manusia menjadi “gemar politik” dan urung dilepaskan dari kegiatan politik. Lebih radikal, Hobbes malah menegasikan tingkah sosial manusia dengan Homo Homini Lupus, ya, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Asosiasi kebinatangan manusia juga disindir Nietzche, yang menganggap bahwa manusia merupakan spesies lain dari binatang, bedanya, ia termasuk varian yang super. Sampai sini tentu ada semacam upaya untuk menggiring opini bahwa sifat kebinatangan manusia selalu ada, tidak lain juga bila dilihat dari lingkup sosial dan partisipasi politik, yang kata Huntington tadi salah satunya adalah berorganisasi. Tepatnya, bukan binatang yang diorganisir, tapi binatang-binatang yang berorganisasi. Gambaran itu, sindir Mahbub Djunaidi, adalah Binatangisme, merujuk pada novel Animal Farm karya Orwell yang diterjemahkannya [Alfan Alfian, Koran Tempo, 7/2/2014]. Lebih lawas, Mahbub tak segan langsung membandingkan politik dengan binatang lewat tulisannya berjudul Dinamisasi via Binatang [Tempo, 26/3/1972]. Itu semua, dari Aristoteles sampai Mahbub bukan merupakan bentuk kepasrahan dan fatalisme politik, tapi justru realitas valid yang untuk membersihkannya, meminjam Soe Hok Gie, mau tak mau kita harus turun.

Setelah menyepakati bahwa berorganisasi adalah berpolitik, tentu akan luas dimensi dalam berorganisasi. Dinamika tersebut bisa terkait polemik hingga konflik, yang berawal dan kemudian diracik dalam isu yang dibangun. Isu, bagaimanapun digulirkan demi kepentingan individu atau kelompok tertentu demi mencapai eksistensi dan destinasinya. Atau disisi lain bahkan dibuat agar terciptanya stagnansi, status quo, ambiguitas atau bahkan disintregasi. Praktiknya yang menohok, isu justru dimainkan untuk kebutuhan perut dan dalam organisasi berwatak feodal, isu dimanfaatkan oleh personal yang dituakan sebagai bargain position untuk melahap keuntungannya saja di masa depan. Menunggangi organisasi menjadi cara ampuh bagi corak feodalistik & “sentralistik figur” tersebut.

Betapa pentingnya isu dimainkan menunjukkan bahwa begitu prestisius isu dibuat demi sebuah momen. Karena bagaimanapun dalam sebuah kontestasi politik, isu adalah keniscayaan. Tengok saja ketika isu Komunisme atau PKI – yang notabene sudah bangkrut dalam konteks organisasi dan bahkan ideologi – dibangkitkan seiring dengan adanya suksesi kepemimpinan di Ibu Kota, atau tatkala Presiden RI melawat ke Uni Soviet, negeri biangnya Komunisme itu. Ya benar, isu menunggu momentum!

Tercatat, isu ideologis selalu diiringi dengan menjelangnya kontestasi pemilihan umum atau akan terbit tatkala adanya skandal besar di negeri ini. Bisa jadi itu adalah semacam isu yang digulirkan demi mengalihkan isu, atau bahkan mengaburkan fakta lain.

Isu dalam organisasi

Bila kita sudah menyepakati thesis Huntington bahwa berorganisasi adalah bentuk partisipasi politik, tentu kita mafhum bahwa ruang-ruang organisasi tentu bertaut erat dengan isu-isu yang sengaja digulirkan. Logikanya begini, bila organisasi mempunyai political values, sudah barang tentu ia akan memuat isu. Bahkan isu dan organisasi adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dapat dipisahkan, meski di dua sisi yang berbeda.

Saya lebih suka menyebutnya sebagai labirin isu. Labirin yang dalam KBBI disebutkan sebagai “Tempat yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan simpang siur” menjadi anomali dalam organisasi, ini jelas, mengingat isu kadang simpang siur. Jadi, isu belum tentu faktual. Personal yang dilibas isu kadang merasa ia ada dalam lingkar labirin, namun, bila isu itu dianggap sebagai yang “jauh panggang dari api,” malah menjadi peluru sebagai manajemen isu yang konon akan membuat si personal yang dihakimi isu akan menjadi famous serta menambah elektabilitas.

Dalam teori manajemen isu, isu digunakan justru untuk melindungi organisasi – Howard Chase, sang pencetus justru awalnya menganalisis manajemen isu demi pragmatisasi korporasi – dan mengelola isu demi sebuah manfaat. Dimunculkan isu, lalu ada counter isu sebagai agenda setting agar kemudian lebih dikenal.
Dalam sebuah kontestasi, poinnya adalah bahwa organisasi atau individu yang diisukan adalah mereka yang dianggap sebagai rival yang paling kuat. Dalam konstelasi politik kontemporer, Ahok adalah salah satu contoh konkret rival kuat, selain adalah petahana, ia punya nilai dikalangan kelas menengah lewat kepemimpinannya yang – katanya – disiplin dan berkarakter. Lihat saja, ketika ada parpol yang ingin meminangnya sebagai kandidat balon Gub DKI, – bukan sebaliknya, saat individu yang lazim daftar ke parpol – ia justru ingin maju dijalur independen. Fenomena Ahok menjadi bukti sahih bahwa dengan seksinya ia, politisi Tionghoa ini menjadi kandidat yang diperhitungkan. Otomatis ia pun menjadi pesakitan isu, mulai dari publikasi skandal korupsi hingga SARA. Tandem Ahok dalam Pilgub pun demikian, Jokowi mendapat badai isu yang luar biasa, mulai dari keturunan China hingga PKI. Rival Jokowi tak kalah mendapat serangan, Prabowo Subianto diterpa isu HAM masa lalu yang menjadi santapan empuk media dan lawan politik. Benar, itu bukti bahwa mereka sangat diperhitungkan berdasarkan elektabilitas, sosok, dan mesin politik atau masifnya relawan.

Melihat jauh kebelakang, ada yang lebih heboh. Yakni ketika Bung Karno sempat ingin mendapat setting isu yang sungguh menggemparkan. Badan intelijen Amerika, CIA memanfaatkan sosok Bung Karno yang begitu menjadi magnet di mata kaum hawa, Bung Karno pun dikenal sebagai sosok yang dengan citra maskulinnya sangat flamboyan bila didepan wanita. CIA lantas membuat film porno sebagai upaya untuk menjatuhkan muruah Soekarno yang dinilai menjadi sangat kooperatif dengan Komunis Soviet dibanding Amerika. Maka dari itu, dicarilah orang yang mirip dengan putra Sang Fajar tersebut. Yudi Anugrah dalam Majalah Historia Online [2013] menulis, karena sukar dicari, CIA sampai membuat topeng wajah buatan Soekarno yang dipakai oleh bintang porno, dalam skenario itu replika Presiden pertama Indonesia tersebut melakukan affair dengan gadis pirang yang berperan sebagai agen Rusia yang menyamar sebagai pramugari. Meski film tersebut tak jadi diedarkan walau sudah dibuat, setidaknya ada bukti bahwa isu digunakan sebagai pembunuhan karakter yang maha dahsyat, tentu dengan muara agar Soekarno habis.

Isu dalam Pergerakan

Sjahrir menulis our struggle [Perjuangan Kita : 1945] sebagai cambuk para pejuang pergerakan demi melawan dominasi imperialis. Perjuangan yang dimaksud yakni membuang kepentingan pribadi dan golongan demi melawan kolonialisme dan imperialisme. Padahal, masa itu sentimentil ideologis antar tokoh pejuang kemerdekaan pun sangat kental. Pemerintah kolonial yang tak rela jajahannya lepas itu pun memainkan isu demi men-devide et impera-kan dengan isu ideologis dan berkooperasi dengan ideologi lain.

Sjahrir, bukan hanya kapasitas sebagai ketua PSI atau Perdana Menteri saja, melainkan sebagai rakyat demi mempertahankan kemerdekaan dengan menghapus sekat-sekat ideologis. Pada masa ini, Gus Dur mungkin tokoh yang tepat melihat perjuangan Sjahrir, bahkan lebih futuristic dan integratif.

Sjahrir dan Gus Dur mafhum betul, menghancurkan pergerakan adalah sama dengan menghancurkan Republik ini, sementara pergerakan adalah kawah candradimukanya beberapa ideologi. 

Maka tak heran bila dunia pergerakan pasca zaman Sutan ”Bung Kecil” Sjahrir makin komplikatif dan ribet.

Teringat saya dengan senior gerakan, Bung Denny Agiel mantan Ketua Umum GMNI DKI Jakarta tahun 2000, ia menceriterakan bagaimana dahsyatnya isu “GMNI adalah komunis” saat ia menjadi kader-kader awal GMNI di masa Orde baru. GMNI masa itu memang salah satu elemen gerakan vokal yang lantang mengkritik pemerintah. Tak heran, ia sempat mengalami dilempari massa dengan batu di sekretariatnya, ya, itu tak lain karena hebatnya suatu isu. Bila Bung Denny menceriterakan isu dalam skala benturan dengan pemerintah, adalagi kisruh internal HMI yang ketua umumnya saat itu, Noer Fajrieansyah, diterpa isu miring terkait skandal affair-nya dengan Kader Kohati yang sudah clear serta diklarifikasi. Dari kasus tersebut sempat ada upaya pemakzulan dan dualisme kepengurusan sampa ke level cabang. Isu dalam ruang internal organisasi justru tak kalah hebat dan tragisnya.

Lain GMNI dan HMI, lain juga PMII. Saat kongres di Banjarmasin Kalimantan Selatan 2011, terdapat isu yang juga menjadi perhatian. Sahabat Addin Jauharudin, madataris kongres XVII menjadi pesakitan isu. Setelah sehari pasca kongres seingat saya, Koran lokal pun memuat sebuah berita yakni penemuan alat kontrasepsi di kamar aktivis PMII yang kemudian menjadi Ketua Umum terpilih. Ini sangat jelas menyerang sahabat Addin Jauharudin. Benang merahnya, isu-isu tersebut digunakan oleh lawan internal maupun eksternal demi tujuan tertentu, bahkan yang lebih fatal, menyerang kapasitas pribadi. Ya, bersama kelompok Cipayung lain, ketiga Ormek tadi merupakan organisasi kritis-progresif yang pasti dihantui isu yang sengaja dibuat-buat.

Isu adalah masalah yang dikedepankan; kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya; kabar angin; desas-desus [KBBI]. Dalam Islam – bahkan agama lainnya – isu dimaknai sebagai hal yang harus dibuktikan kebenarannya sebelum kita tanggapi. Kita diharuskan Tabayyun atau mengkonfirmasi, mencari kebenaran, teliti terlebih dahulu atau menyeleksi dan tidak tergesa-gesa (reaksioner). Bila tidak, tentu akan timbul fitnah dan disintegrasi. Soal lain bila kita tak mau menanggapi isu tersebut dan menganggapnya angin lalu. Untuk urusan ini, Gus Dur dengan “gitu aja kok repot”-nya adalah panutan, bagaimana tidak, hempasan isu mulai dari skandal Buloggate-Bruneigate hingga skandal affair dengan Aryanti Sitepu tak membuatnya masygul. Kyai yang juga tokoh prularisme itu tetap cuek dan bersikap “slow-lah” karena ia tahu, semua itu adalah isu yang tak perlu ditanggapi berlebih.

Lalu, bagaimana dengan isu yang menghunusmu? Yah, apa boleh buat, kita sedang berpolitik!

Kampung Rambutan, 22 Mei 2016
*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Pict : Istimewa