Sabtu, 04 Juli 2015

STRATEGI MEREBUT KEPEMIMPINAN NASIONAL

Sebuah pengantar

Don Gusti Rao*

“NU (harus) ada dimana-mana, tapi gak akan kemana-mana.”
-Gus Dur-

Ya, saya memulai paper ini dengan quote Gus Dur yang lebih senang saya sebut sebagai frasa penyemangat. Bila frasa secara definitif adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat non-prediktif, Gus Dur menjadi antitesanya. Sebagai seorang yang mempunyai paradigma futuristik, adalah mafhum Gus Dur mengemukakan frasa tersebut menjadi opini yang bila diinterpretasikan, anak muda NU harus bisa berdiaspora dan ikut serta menjawab tantangan zaman yang justru sudah di prediksi Gus Dur sebelumnya. Tentunya dengan rasa memiliki NU yang kental, kemudian ada timbal balik dalam bentuk yang bermanfaat (konsolidasi policy) sebagai organisasi dan atau kader.

PMII yang tidak lain adalah anak kandung ideologis NU tentu mempunyai kewajiban melihat ini sebagai hal yang patut diperhitungkan dengan seksama, bagaimana tidak, diaspora kader pasca struktural PMII semakin banyak terlihat pada dua sektor, yakni dibidang sosial-politik (LSM/parpol) dan akademik. Tentunya dengan asumsi bahwa, katakanlah bidang sosial-politik mempunyai andil besar. Maka dari itu, melebarnya jangkauan kader-kader PMII – dalam konteks politik – tatkala berdinamisasi di partai politik menjadi tren yang positif, harus ada stimulan dimana tak melulu kader PMII harus ber-PKB atau ber-PPP, melihat pada frasa Gus Dur diatas, mestinya kader PMII harus ber-Gerindra, ber-Golkar, ber-PDIP atau lain sebagainya. Ini dilihat sebagai strategi merebut kepemimpinan nasional, kemudian kebutuhan dan perubahan fase, dan analisis geo-politik yang komperhensif, semua fenomena politik tersebut harus disambut dengan baik dan gembira.

Kemudian dalam konteks akademik, perebutan kekuasaan dibidang akademik tentu menjadi arena yang penuh substansi perjuangan, hal itu mengingat nafas perjuangan PMII yang merupakan organisasi kader dari para manusia terdidik. Dengan metode Bottom-up, pos-pos akademik internal menjadi lahan perjuangan awal kader PMII, mulai dari ketua Himpunan Jurusan, Senat Mahasiswa, BPM, UKM, hinggga BEM. Meminjam teori patisipasi politik Huntington [1984], bahwa organisasi merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang nyata. Dengan demikian, eksistensi PMII sebagai organisasi pun semakin meningkat, hal positif lainnya, tentu dengan naiknya popularitas kader yang menduduki jabatan tersebut yang berimbas pada massifnya kaderisasi. Selain itu, pendistribusian perjuangan kader menjadi dosen hingga birokrat kampus dan bahkan rektor menjadi tantangan yang menantang, apalagi bila melihat realitas tersebut dikampus umum.

Nyatanya, dua hal tadi belum dilihat sebagai “usaha serius” guna merebut kepemimpinan nasional yang akan datang. Mengapa demikian? Tentunya kita harus samakan persepsi bahwa kepemimpinan nasional tak bisa hanya direbut secara implementatif dengan variabel sos-pol dan akademik (multy variable, leading sector). Apakah kemudian kita berfikir bahwa : ada tidak kader yang saat ini menjabat struktur strategis (atau secara sederhana : prajurit) di TNI-Polri? Atau menjadi pengusaha nasional?  NU sebagai ormas islam terbesar yang mempunyai jamaah yang masif tentu menjadi garda terdepan dalam upaya melerai gerakan yang memicu disintegrasi bangsa, bila NU dituding sebagai ormas yang mempunyai “saham mayoritas” di republik ini dengan sejarah dan massanya, apakah relevan bila NU hanya menjadi penonton dalam gelanggang kepemimpinan nasional?

Masalah tentu bukan sampai disitu saja,  kekuatan NU/PMII yang mempunyai ideologi, tradisi, nasionalisme dan akar rumput akan terkikis tanpa adanya rasa kepemilikan yang hakiki. Akan menjadi anomali bila ada kader yang kemudian duduk pada posisi strategis dan prestisius di lingkup sos-pol, akademik, hankam, profesional, dan wirausaha namun tidak mempunyai rasa kepemilikan yang hakiki. Tentunya harus ada ikatan emosional yang kuat, PMII sebagai salah satu organisasi mahasiswa islam terbesar tentu dinamis, dalam perjalanan suksesi, tentu akan ada manuver dan intrik. Hal tersebut akan menjadi bagian dari perjalanan organisasi yang lumrah bila ada kepemilikan hakiki, membuat hal tersebut menjadi pendewasaan berpolitik misalnya, imbas yang terjadi yakni adanya kesadaran personal untuk membesarkan organisasi, tidak ada dendam politik pasca suksesi kepemimpinan. Sumbangsih ide, jaringan, bahkan finansial menjadi berkesinambungan. Dalam pendekatan analisis konfllik tersebut, masih dalam rangka meliberasi kepemilikan hakiki, kader harus menjadi subjek personal yang otonom. Subjek yang tidak digerakkan menjadi objek, mandiri, dan mempunyai kedewasaan organisasi yang sudah selesai tanpa ada perdebatan. Maka dari itu, rasa memiliki organisasi adalah keniscayaan, kata kuncinya meminjam Zaini Rahman : PMII sebagai komunitas. Yakni PMII yang mempunyai kesamaan tata cara berfikir dan bergerak, tanpa perlu ada perdebatan yang tidak produktif.

Magnet kekuasaan

Bagi Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan harus mempunyai orientasi, tantangan dan lawan. Ketika sudah berjuang merebut kekuasaan, apakah langkah selanjutnya? Dengan orientasi yang matang, pertanyaan tersebut tentunya tak harus muncul. Tantangan yang akan dihadapi pasca suksesi kepemimpinan pun sudah dipetakan dengan baik, kapan harus meng-counter isu, peta konflik dan lain sebagainya. Kemudian lawan, tanpa adanya lawan (ideologisasi, peran politik, nasionalisme, dll), kekuasaan akan statis, non-evaluatif, non-korektif dan tentu menjadi ranah konflik baru. Adanya ideologi yang merongrong keutuhan NKRI dan kritik keras terhadap ritual ke-NU-an adalah beberapa “hal positif” dalam konteks analisis kawan dan lawan. Dengan kata lain, dengan tidak adanya lawan, PMII atau NU akan melawan saudaranya sendiri. Bahkan dalam tataran resolusi konflik yang ekstrim, musuh harus selalu ada dan bahkan dipelihara sebagai bagian dari integritas organisasi.

Dalam realitas konstelasi kekuasaan tanah air, piramida kekuasaan memang runcing keatas. Hal itu membuktikan bahwa ada sekelompok kecil yang menguasai sendi-sendi strategis, kelompok minoritas yang menakhodai mayoritas sebagai aktor intelektual. Hal itu bisa dilihat dari kelompok minoritas China yang menguasai lalu lintas ekonomi Indonesia, disusul Katholik, dan kelompok PSI yang kita sebut sebagai kelompok dominan atau rekayasa elit [Zaini Rahman, PKN PB PMII : 23/06/15]. Pertanyaannya menjadi spesifik, NU sebagai mayoritas akan menjadi lumbung rekayasa elit?  

Kekuasaan pun tidak lain menjadi magnet, kekuasaan dinilai sebagai muara dari partisipasi dan eksistensi politik. Maka dari itu mustahil bila NU/PMII tidak berpolitik – dengan wadah lain.
Sebagai kekuatan besar, menjadi mafhum bila NU bisa membawa kekuasaan tersebut, meski bertentangan dengan hukum besi kekuasaan yang bersifat piramid. Tentu bukan dengan melihat NU sebagai ormas, karna bila demikian, tesis yang diajukan akan menjadi kontraproduktif.

Kaderisasi mumpuni

Secara umum, tipologi kader PMII dilihat dari latar belakang kampus yang dijadikan ajang mapaba ada dua, yakni kampus umum dan agama. Dalam konteks nasional, kampus agama mendominasi kaderisasi, namun dengan liniernya jurusan dikampus agama membuat PMII bagaimanapun harus melihat tantangan zaman kedepan. Kampus umum yang kental dengan jurusan ilmu sosial (umum) dan sains disinyalir sebagai elemen penting yang inovatif dalam kaderisasi. Lumbung penempatan kader dalam konteks itu yakni profesional (BUMN) diluar jabatan politik yang lebih relevan bisa dijangkau dari jurusan yang heterogen. Kedepan, Indonesia menjadi ladang kekuasaan bagi pemuda, tentu dengan perspektif bonus demografi, sedangkan NU sebagai organisasi terbesar wajib hukumnya memanen bonus demografi sebagai tongkat estafet kepemimpinan bangsa lewat PMII.

Maka dari itu, harus ada diferensiasi metodologis dalam kaderisasi PMII di kampus umum yang bahkan dalam beberapa realitas terdiri dari islam abangan. Menjadi diferensiasi mempunyai dua variabel yang mendukung, variabel pertama yakni unik. Ke-unik-an kehidupan dan life style kampus umum menjadi tantangan tersendiri bagaimana PMII harus akulturatif dan eklektik. Variabel kedua yakni mempunyai nilai (values), bagaimana nilai kampus umum menjadi prestisius guna mengambil alih kepemimpinan nasional.

Leading sector adalah keniscayaan besar bagi PMII, penguatan kampus agama dan mendobrak “kultur” kampus umum secara akulturatif menjadi dua poin utama dalam paper ini. Meminjam Hayek dalam liberalisme klasik, spontaneous order atau keteraturan spontan adalah bagaimana kader PMII sebagai subjek yang otonom mampu memposisikan kader sebagai basis tabungan kebutuhan kaderisasi kepemimpinan bangsa, bukan “objek yang dimobilisir” untuk kemudian mengemis kuasa pada penguasa.

* Bendahara Umum PKC PMII DKI Jakarta 14-16.
Disampaikan pada Pelatihan Kader Nasional (PKN) PB PMII, Jakarta, 22-26 Juni 2015








Tidak ada komentar:

Posting Komentar