Sebuah
pengantar
Don Gusti Rao*
“NU (harus) ada dimana-mana, tapi gak akan kemana-mana.”
-Gus Dur-
Ya, saya memulai paper ini dengan quote Gus Dur yang lebih senang saya
sebut sebagai frasa penyemangat. Bila frasa secara definitif adalah gabungan
dua kata atau lebih yang bersifat non-prediktif, Gus Dur menjadi antitesanya.
Sebagai seorang yang mempunyai paradigma futuristik, adalah mafhum Gus Dur
mengemukakan frasa tersebut menjadi opini yang bila diinterpretasikan, anak
muda NU harus bisa berdiaspora dan ikut serta menjawab tantangan zaman yang
justru sudah di prediksi Gus Dur sebelumnya. Tentunya dengan rasa memiliki NU
yang kental, kemudian ada timbal balik dalam bentuk yang bermanfaat
(konsolidasi policy) sebagai
organisasi dan atau kader.
PMII yang tidak lain adalah anak
kandung ideologis NU tentu mempunyai kewajiban melihat ini sebagai hal yang
patut diperhitungkan dengan seksama, bagaimana tidak, diaspora kader pasca
struktural PMII semakin banyak terlihat pada dua sektor, yakni dibidang sosial-politik
(LSM/parpol) dan akademik. Tentunya dengan asumsi bahwa, katakanlah bidang sosial-politik
mempunyai andil besar. Maka dari itu, melebarnya jangkauan kader-kader PMII –
dalam konteks politik – tatkala berdinamisasi di partai politik menjadi tren
yang positif, harus ada stimulan dimana tak melulu kader PMII harus ber-PKB
atau ber-PPP, melihat pada frasa Gus Dur diatas, mestinya kader PMII harus
ber-Gerindra, ber-Golkar, ber-PDIP atau lain sebagainya. Ini dilihat sebagai
strategi merebut kepemimpinan nasional, kemudian kebutuhan dan perubahan fase,
dan analisis geo-politik yang komperhensif, semua fenomena politik tersebut
harus disambut dengan baik dan gembira.
Kemudian dalam konteks akademik,
perebutan kekuasaan dibidang akademik tentu menjadi arena yang penuh substansi
perjuangan, hal itu mengingat nafas perjuangan PMII yang merupakan organisasi
kader dari para manusia terdidik. Dengan metode Bottom-up, pos-pos akademik internal menjadi lahan perjuangan awal
kader PMII, mulai dari ketua Himpunan Jurusan, Senat Mahasiswa, BPM, UKM,
hinggga BEM. Meminjam teori patisipasi politik Huntington [1984], bahwa
organisasi merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang nyata. Dengan
demikian, eksistensi PMII sebagai organisasi pun semakin meningkat, hal positif
lainnya, tentu dengan naiknya popularitas kader yang menduduki jabatan tersebut
yang berimbas pada massifnya kaderisasi. Selain itu, pendistribusian perjuangan
kader menjadi dosen hingga birokrat kampus dan bahkan rektor menjadi tantangan
yang menantang, apalagi bila melihat realitas tersebut dikampus umum.
Nyatanya, dua hal tadi belum
dilihat sebagai “usaha serius” guna merebut kepemimpinan nasional yang akan datang.
Mengapa demikian? Tentunya kita harus samakan persepsi bahwa kepemimpinan
nasional tak bisa hanya direbut secara implementatif dengan variabel sos-pol
dan akademik (multy variable, leading
sector). Apakah kemudian kita berfikir bahwa : ada tidak kader yang saat
ini menjabat struktur strategis (atau secara sederhana : prajurit) di
TNI-Polri? Atau menjadi pengusaha nasional?
NU sebagai ormas islam terbesar yang mempunyai jamaah yang masif tentu
menjadi garda terdepan dalam upaya melerai gerakan yang memicu disintegrasi
bangsa, bila NU dituding sebagai ormas yang mempunyai “saham mayoritas” di
republik ini dengan sejarah dan massanya, apakah relevan bila NU hanya menjadi
penonton dalam gelanggang kepemimpinan nasional?
Masalah tentu bukan sampai disitu
saja, kekuatan NU/PMII yang mempunyai
ideologi, tradisi, nasionalisme dan akar rumput akan terkikis tanpa adanya rasa
kepemilikan yang hakiki. Akan menjadi anomali bila ada kader yang kemudian
duduk pada posisi strategis dan prestisius di lingkup sos-pol, akademik,
hankam, profesional, dan wirausaha namun tidak mempunyai rasa kepemilikan yang
hakiki. Tentunya harus ada ikatan emosional yang kuat, PMII sebagai salah satu organisasi
mahasiswa islam terbesar tentu dinamis, dalam perjalanan suksesi, tentu akan
ada manuver dan intrik. Hal tersebut akan menjadi bagian dari perjalanan
organisasi yang lumrah bila ada kepemilikan hakiki, membuat hal tersebut
menjadi pendewasaan berpolitik misalnya, imbas yang terjadi yakni adanya
kesadaran personal untuk membesarkan organisasi, tidak ada dendam politik pasca
suksesi kepemimpinan. Sumbangsih ide, jaringan, bahkan finansial menjadi
berkesinambungan. Dalam pendekatan analisis konfllik tersebut, masih dalam
rangka meliberasi kepemilikan hakiki, kader harus menjadi subjek personal yang
otonom. Subjek yang tidak digerakkan menjadi objek, mandiri, dan mempunyai
kedewasaan organisasi yang sudah selesai tanpa ada perdebatan. Maka dari itu,
rasa memiliki organisasi adalah keniscayaan, kata kuncinya meminjam Zaini
Rahman : PMII sebagai komunitas. Yakni PMII yang mempunyai kesamaan tata cara
berfikir dan bergerak, tanpa perlu ada perdebatan yang tidak produktif.
Magnet kekuasaan
Bagi Weber, kekuasaan adalah
kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.
Kekuasaan harus mempunyai orientasi, tantangan dan lawan. Ketika sudah berjuang
merebut kekuasaan, apakah langkah selanjutnya? Dengan orientasi yang matang,
pertanyaan tersebut tentunya tak harus muncul. Tantangan yang akan dihadapi
pasca suksesi kepemimpinan pun sudah dipetakan dengan baik, kapan harus meng-counter isu, peta konflik dan lain
sebagainya. Kemudian lawan, tanpa adanya lawan (ideologisasi, peran politik,
nasionalisme, dll), kekuasaan akan statis, non-evaluatif, non-korektif dan
tentu menjadi ranah konflik baru. Adanya ideologi yang merongrong keutuhan NKRI
dan kritik keras terhadap ritual ke-NU-an adalah beberapa “hal positif” dalam
konteks analisis kawan dan lawan. Dengan kata lain, dengan tidak adanya lawan,
PMII atau NU akan melawan saudaranya sendiri. Bahkan dalam tataran resolusi
konflik yang ekstrim, musuh harus selalu ada dan bahkan dipelihara sebagai
bagian dari integritas organisasi.
Dalam realitas konstelasi kekuasaan
tanah air, piramida kekuasaan memang runcing keatas. Hal itu membuktikan bahwa
ada sekelompok kecil yang menguasai sendi-sendi strategis, kelompok minoritas
yang menakhodai mayoritas sebagai aktor intelektual. Hal itu bisa dilihat dari
kelompok minoritas China yang menguasai lalu lintas ekonomi Indonesia, disusul
Katholik, dan kelompok PSI yang kita sebut sebagai kelompok dominan atau rekayasa
elit [Zaini Rahman, PKN PB PMII : 23/06/15]. Pertanyaannya menjadi spesifik, NU
sebagai mayoritas akan menjadi lumbung rekayasa elit?
Kekuasaan pun tidak lain menjadi
magnet, kekuasaan dinilai sebagai muara dari partisipasi dan eksistensi
politik. Maka dari itu mustahil bila NU/PMII tidak berpolitik – dengan wadah
lain.
Sebagai kekuatan besar, menjadi
mafhum bila NU bisa membawa kekuasaan tersebut, meski bertentangan dengan hukum
besi kekuasaan yang bersifat piramid. Tentu bukan dengan melihat NU sebagai
ormas, karna bila demikian, tesis yang diajukan akan menjadi kontraproduktif.
Kaderisasi mumpuni
Secara umum, tipologi kader PMII
dilihat dari latar belakang kampus yang dijadikan ajang mapaba ada dua, yakni
kampus umum dan agama. Dalam konteks nasional, kampus agama mendominasi
kaderisasi, namun dengan liniernya jurusan dikampus agama membuat PMII
bagaimanapun harus melihat tantangan zaman kedepan. Kampus umum yang kental
dengan jurusan ilmu sosial (umum) dan sains disinyalir sebagai elemen penting
yang inovatif dalam kaderisasi. Lumbung penempatan kader dalam konteks itu
yakni profesional (BUMN) diluar jabatan politik yang lebih relevan bisa
dijangkau dari jurusan yang heterogen. Kedepan, Indonesia menjadi ladang
kekuasaan bagi pemuda, tentu dengan perspektif bonus demografi, sedangkan NU
sebagai organisasi terbesar wajib hukumnya memanen bonus demografi sebagai
tongkat estafet kepemimpinan bangsa lewat PMII.
Maka dari itu, harus ada
diferensiasi metodologis dalam kaderisasi PMII di kampus umum yang bahkan dalam
beberapa realitas terdiri dari islam abangan. Menjadi diferensiasi mempunyai
dua variabel yang mendukung, variabel pertama yakni unik. Ke-unik-an kehidupan
dan life style kampus umum menjadi
tantangan tersendiri bagaimana PMII harus akulturatif dan eklektik. Variabel
kedua yakni mempunyai nilai (values), bagaimana nilai kampus umum menjadi
prestisius guna mengambil alih kepemimpinan nasional.
Leading sector adalah keniscayaan besar bagi PMII, penguatan kampus
agama dan mendobrak “kultur” kampus umum secara akulturatif menjadi dua poin
utama dalam paper ini. Meminjam Hayek dalam liberalisme klasik, spontaneous order atau keteraturan
spontan adalah bagaimana kader PMII sebagai subjek yang otonom mampu
memposisikan kader sebagai basis tabungan kebutuhan kaderisasi kepemimpinan
bangsa, bukan “objek yang dimobilisir” untuk kemudian mengemis kuasa pada
penguasa.
* Bendahara Umum PKC PMII DKI Jakarta 14-16.
Disampaikan pada Pelatihan
Kader Nasional (PKN) PB PMII, Jakarta, 22-26 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar