Don
Gusti Rao[1]
"Nak, berhentilah jangan sekolah
bapakmu sudah tak kerja,
Nak, jangan menangis, memang
begini keadaannya
Pangkalan jatah di toko-toko dan
diparkiran,
sudah bukan milik bapak lagi"
sudah bukan milik bapak lagi"
(Senandung
Istri Bromocorah, Iwan Fals)
Terlahir sebagai ibu kota dan pusat
kegiatan administrasi pemerintahan membuat DKI Jakarta sebagai magnet dalam
destinasi utama masyarakat Indonesia. Lewat berbagai kisah klise perantauan,
picisan dalam roman televisi, hingga citra yang terlanjur lekat menjadikan DKI sebagai
sorotan utama konteks perantauan. Disana menjadi titik temu beragam faktor
prosedur dengan satu orientasi: hidup lebih layak dibanding tinggal di
daerahnya. Ini yang kemudian menjadi fenomena tersendiri, orientasi dengan
realita yang tidak seimbang menjadikan adanya gesekan dalam tata kehidupan,
destinasi terlalu tinggi ketika sampai di ibu kota tidak diimbangi dengan
faktor yang mendukung destinasi tersebut, sebut saja pendidikan, kecakapan dalam
relasi, hingga keahlian dibidang tertentu. Hal-hal itu kemudian bermetamorfosa
menjadi embrio kriminalisasi yang dinilai dapat menutupi kealfaan hal-hal yang
semestinya diperlukan untuk survive. Berbagai
bentuk kriminalisasi yang membuat masyarakat resah tidak sesederhana yang
dibayangkan, tak jarang mereka sudah terstruktur dengan baik, tersistem, hingga
kedok sebagai organisasi legal formal.
Relevansi dengan kekuasaan
Lirik pada prolog diatas
menggambarkan realita kerasnya kehidupan Jakarta dengan kemajemukannya yang
kontras dengan apa yang dibutuhkan ibu kota, titel “bromocorah” yang terkadung
lekat pada preman menjadi asumsi tersendiri perihal tindak tanduk yang beringas
dan non-kooperatif.
Luasnya gema demokratisasi ditambah
dengan legalisasi Undang-Undang bebasnya berkumpul dan berserikat membuat
semakin menjamurnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang kadang malah
mencederai nilai esensial demokrasi. Kriminalisasi yang terstruktur dengan baik
ditambah packaging sebagai ormas
legal formal menjadikan ini sebagai fenomena yang sulit ditengahi oleh produk hukum.
Belum lagi adanya kontrak politik dengan partai yang mempunyai underbow atau sayap partai yang
memerlukan suara besar, ormas dinilai menjadi jawaban karena tidak perlu
memerlukan energi tambahan untuk membentuk wadah baru, hanya tinggal fusi atau
menikmati kuantitas sebagai massa bayaran kampanye.
Masalah baru lagi muncul ketika
ormas yang bertindak premanisme justru hadir dengan doktrin agamis! Bayangkan,
disaat produk hukum tidak bisa menengahi ormas bermasalah dengan adanya
perlindungan partai politik sebagai bargain,
kali ini justru muncul dengan membawa sisi relijiusitas yang tabu bila
dikoreksi, apalagi dengan kultur masyarakat yang cenderung kolot. Isu politis
pun mengemuka ketika ormas berbalut relijiusitas tersebut dijadikan attack dog kepolisian, juga sebagai
tameng besar para jenderal yang mempunyai agenda khusus 2014. Dapat dibayangkan
ketika setiap parpol dan para Jenderal penuh sesak dengan agenda 2014, seberapa
banyak lagi ormas dengan berbagai bentuk muncul? Belum lagi dengan desain
politik yang dibuat untuk para mahasiswa, terjadi dikotomi antara aliansi satu
dengan lainnya, hingga setiap pertemuan selalu muncul aliansi dengan isu
bahasan politis.
Kisah heroik para “bromocorah”
Unik, itulah yang terbersit ketika
melihat sepak terjang preman yang mempunyai karier (politik) menjulang.
Dianggap sebagai “jagoan” yang mempunyai massa, mampu memobilisir suara dan
fanatisme akar rumput membuat terlena para aktor politik dengan memberikan
mereka wadah dalam partai, dari sana mulai dibentuk strategi khusus agar dapat
merambat hegemoni dalam lingkup politis lain. Manuver dalam pilkada, OKP hingga
anggota dewan mampu menjadi semacam bargain
politik dalam menghimpun suara. Mari lupakan kapasitas akademis karena yang
terpenting bagi sistem adalah bagaimana aktor politik yang terlajur masuk dalam
recruitment dapat menghimpun suara
yang massif.
Mereka yang menjadi tameng para
preman adalah preman yang berganti status sosial, menjadi kisah heroik ketika
mereka yang dahulu bergumul dalam labirin hitam sekarang menikmati empuknya
menjadi kolabortor sistem politik. Tidak ada yang salah memang. Implikasi yang
riil adalah preman dengan strata sosial tinggi ini cenderung menjadi aktor intelektual
yang membekingi segala kegiatan yang bernuansa politis. Preman dengan strata
sosial lebih tinggi ini mengambil “jatah” yang seharusnya dirawat oleh oknum
hukum dan attack dog para jenderal,
nilai yang lebih adalah dengan adanya tingkat emosional dan solidaritas sesama pelaku
dan mantan aktor lembah hitam.
DKI yang sudah ditasbihkan sejak
awal sebagai ibu kota tetap menjadi bahan perbincangan menarik, isu-isu sentral
seperti Pemilukada, premanisme hingga sosio kultural kebudayaan masih relevan
untuk didiskusikan. So, tinggal bagaimana sikap masyarakat menyikapi fenomena pilu
yang digambarkan Iwan Fals dengan satir sebagai titel dalam lagu Senandung
Istri Bromocorah.