Rabu, 25 Juli 2012

Preman dan Politik, dalam Bingkai Ibu Kota


Don Gusti Rao[1]


"Nak, berhentilah jangan sekolah bapakmu sudah tak kerja,
­Nak, jangan menangis, memang begini keadaannya
Pangkalan jatah di toko-toko dan diparkiran, 
sudah bukan milik bapak lagi"
(Senandung Istri Bromocorah, Iwan Fals)

            Terlahir sebagai ibu kota dan pusat kegiatan administrasi pemerintahan membuat DKI Jakarta sebagai magnet dalam destinasi utama masyarakat Indonesia. Lewat berbagai kisah klise perantauan, picisan dalam roman televisi, hingga citra yang terlanjur lekat menjadikan DKI sebagai sorotan utama konteks perantauan. Disana menjadi titik temu beragam faktor prosedur dengan satu orientasi: hidup lebih layak dibanding tinggal di daerahnya. Ini yang kemudian menjadi fenomena tersendiri, orientasi dengan realita yang tidak seimbang menjadikan adanya gesekan dalam tata kehidupan, destinasi terlalu tinggi ketika sampai di ibu kota tidak diimbangi dengan faktor yang mendukung destinasi tersebut, sebut saja pendidikan, kecakapan dalam relasi, hingga keahlian dibidang tertentu. Hal-hal itu kemudian bermetamorfosa menjadi embrio kriminalisasi yang dinilai dapat menutupi kealfaan hal-hal yang semestinya diperlukan untuk survive. Berbagai bentuk kriminalisasi yang membuat masyarakat resah tidak sesederhana yang dibayangkan, tak jarang mereka sudah terstruktur dengan baik, tersistem, hingga kedok sebagai organisasi legal formal.

Relevansi dengan kekuasaan

            Lirik pada prolog diatas menggambarkan realita kerasnya kehidupan Jakarta dengan kemajemukannya yang kontras dengan apa yang dibutuhkan ibu kota, titel “bromocorah” yang terkadung lekat pada preman menjadi asumsi tersendiri perihal tindak tanduk yang beringas dan non-kooperatif.

            Luasnya gema demokratisasi ditambah dengan legalisasi Undang-Undang bebasnya berkumpul dan berserikat membuat semakin menjamurnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang kadang malah mencederai nilai esensial demokrasi. Kriminalisasi yang terstruktur dengan baik ditambah packaging sebagai ormas legal formal menjadikan ini sebagai fenomena yang sulit ditengahi oleh produk hukum. Belum lagi adanya kontrak politik dengan partai yang mempunyai underbow atau sayap partai yang memerlukan suara besar, ormas dinilai menjadi jawaban karena tidak perlu memerlukan energi tambahan untuk membentuk wadah baru, hanya tinggal fusi atau menikmati kuantitas sebagai massa bayaran kampanye.

            Masalah baru lagi muncul ketika ormas yang bertindak premanisme justru hadir dengan doktrin agamis! Bayangkan, disaat produk hukum tidak bisa menengahi ormas bermasalah dengan adanya perlindungan partai politik sebagai bargain, kali ini justru muncul dengan membawa sisi relijiusitas yang tabu bila dikoreksi, apalagi dengan kultur masyarakat yang cenderung kolot. Isu politis pun mengemuka ketika ormas berbalut relijiusitas tersebut dijadikan attack dog kepolisian, juga sebagai tameng besar para jenderal yang mempunyai agenda khusus 2014. Dapat dibayangkan ketika setiap parpol dan para Jenderal penuh sesak dengan agenda 2014, seberapa banyak lagi ormas dengan berbagai bentuk muncul? Belum lagi dengan desain politik yang dibuat untuk para mahasiswa, terjadi dikotomi antara aliansi satu dengan lainnya, hingga setiap pertemuan selalu muncul aliansi dengan isu bahasan politis.

Kisah heroik para “bromocorah”

            Unik, itulah yang terbersit ketika melihat sepak terjang preman yang mempunyai karier (politik) menjulang. Dianggap sebagai “jagoan” yang mempunyai massa, mampu memobilisir suara dan fanatisme akar rumput membuat terlena para aktor politik dengan memberikan mereka wadah dalam partai, dari sana mulai dibentuk strategi khusus agar dapat merambat hegemoni dalam lingkup politis lain. Manuver dalam pilkada, OKP hingga anggota dewan mampu menjadi semacam bargain politik dalam menghimpun suara. Mari lupakan kapasitas akademis karena yang terpenting bagi sistem adalah bagaimana aktor politik yang terlajur masuk dalam recruitment dapat menghimpun suara yang massif.

            Mereka yang menjadi tameng para preman adalah preman yang berganti status sosial, menjadi kisah heroik ketika mereka yang dahulu bergumul dalam labirin hitam sekarang menikmati empuknya menjadi kolabortor sistem politik. Tidak ada yang salah memang. Implikasi yang riil adalah preman dengan strata sosial tinggi ini cenderung menjadi aktor intelektual yang membekingi segala kegiatan yang bernuansa politis. Preman dengan strata sosial lebih tinggi ini mengambil “jatah” yang seharusnya dirawat oleh oknum hukum dan attack dog para jenderal, nilai yang lebih adalah dengan adanya tingkat emosional dan solidaritas sesama pelaku dan mantan aktor lembah hitam.

            DKI yang sudah ditasbihkan sejak awal sebagai ibu kota tetap menjadi bahan perbincangan menarik, isu-isu sentral seperti Pemilukada, premanisme hingga sosio kultural kebudayaan masih relevan untuk didiskusikan. So, tinggal bagaimana sikap masyarakat menyikapi fenomena pilu yang digambarkan Iwan Fals dengan satir sebagai titel dalam lagu Senandung Istri Bromocorah.




[1] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS

Soekarno vs Musso:


 Konflik Ideologi atau Politik Kekuasaan?[1]

Don Gusti Rao[2]

            Semua orang mafhum tatkala membicarakan polemik Musso dan Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun, tempat dimana bertemunya dua kutub kekuatan ideologis dunia di Indonesia. Keduanya memang mempunyai mentor politik sama yang dianggap sebagai ‘Ratu Adil’ pada masa itu yakni Cokroaminoto. Musso cukup konsisten dengan ideologi Komunis-nya hingga ia mendapat beasiswa di universitas Lenin, juga melanglang buana sampai namanya cukup diperhitungkan di komintern di Uni Soviet. Soekarno menjalankan politik elegan dengan ketokohannya yang masyur, nasionalisme yang kerap bersinggungan dengan ide-ide sosialis pencerahan – kemudian disebut Marhaen – seakan menjadi jawaban relevan terhadap konstelasi pada masa itu.

            Medio 40-an pasca Indonesia merdeka, dunia terbagi menjadi dua kutub yang terbelah secara ideologis, Fasisme yang direpresentasikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia dan Jepang mencoba menginvasi dunia lewat berbagai jalur. Kutub kedua digawangi AS dan Soviet yang berkooperasi ideologis lewat doktrin Dimitrov yang dikeluarkan oleh Komintern (menyatukan kaum Komunis).

            Dampak doktrin Dimitrov yang secara substantif memaklumi kooperasi Komunisme dengan Liberal-Kapitalis untuk melawan musuh bersama yaitu Fasisme akhirnya dibawa Musso ketika datang ke Indonesia. Musso yang merupakan salah satu tokoh yang disegani didunia pergerakan masa itu pun cukup fasih menerapkannya, Indonesia lewat kaum pergerakannya justru bahu membahu dengan Belanda untuk melawan infiltrasi Jepang. Akhirnya setelah dunia mengakui kehebatan dua kolaborator tersebut melawan Fasisme yang dapat dipukul habis muncullah doktrin radikal dari komintern, yaitu doktrin Zdhanov.

            Doktrin Zdhanov yang cenderung radikal yakni menghapus kooperasi dengan kapital-liberalis karena musuh bersama saat itu sudah hancur. Musso pun dengan cepat melakukan putaran 180 derajat. Inilah fenomena komunis yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi terpimpinnya Soekarno yang kontoversial itu. Komunis walau bagaimanapun harus “patuh” oleh instruksi komintern yang merupakan wadah tertinggi secara hierarkis.

            Musso mulai bersinggungan dengan Soekarno setelah kabinet Amir Syarifudin jatuh yang kemudian dikritik olehnya lewat konsepsi paradigmatisnya yang terkenal “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Bagi Musso – yang mulai membawa doktrin Zdhanov – lewat Jalan Baru-nya, meletakkan jabatan perdana menteri yang sudah di pegang kaum kiri kepada kaum Nasionalis borjuis (Soekarno-Hatta) adalah sebuah kesalahan besar.

Jalan Baru Musso dan strategi politik-ideologis

            Perspektif Musso yang kemudian distensil puluhan ribu kopi untuk para kader komunis membuktikan bahwa konsepsi tersebut sudah dipikirkan masak-masak. Lewat safari politiknya ia berpidato dengan gaya retorik-demagog yang sanggup menghipnotis massa. 

Setelah Amir jatuh akibat perjanjian Renvile, kubu kiri kemudian membentuk poros oposisi kiri yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Lewat FDR inilah kritik terhadap Soekarno dan Hatta yang merepresentasikan kebijakan pemerintah mengemuka, apalagi terhadap Masyumi dan PNI yang jelas-jelas berputar arah lewat manuver politiknya yang semula mendukung Amir dengan perjanjian Renvilenya namun pada akhirnya menyalahkan Amir dan belok mendukung Hatta sebagai perdana Menteri.

Salah satu isi Jalan Baru adalah melebur partai-partai berhaluan Marxis-Sosialis seperti Partai Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia menjadi partai yang memiliki historia panjang secara empirik yakni Partai Komunis Indonesia.

Lewat FDR dan Jalan Baru, Musso mengkritik Soekarno sebagai kolaborator Jepang dan juga sebagai Nasionalis-borjuis yang notabene tidak layak memimpin Indonesia. Indonesia yang dinilai terlalu berpihak kepada Amerika sebagai bargain pengakuan kemerdekaan dianggap telah mencederai estetika kemerdekaan. Dan disinilah embrio konflik keduanya setelah mereka berpisah dari tempat kos Cokroaminoto.

            Soekarno yang menganggap Musso sebagai guru politiknya setelah Marx dan Cokroaminoto itu ternyata terjebak dalam kekalutan dilema keberpihakan antara Amerika dan Soviet. Walaupun ia pernah berpidato dengan kata-kata yang sangat terkenal waktu itu yakni “Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis”. Soekarno juga pernah menyindir Amerika dengan “Go to Hell with your aid”. Namun gerakan Non-Blok Soekarno yang dikemudian hari terkenal itu awalnya manjalani jalan yang terjal. Banyak yang mengira bahwa legitimasinya kalah oleh Hatta sebagai perdana menteri yang condong ke Amerika. Rumor yang beredar adalah apa yang disebut dengan marshall plan yang merupakan rencana pembumi hangusan kaum kiri, Indonesia kemudian diberi apa yang kita kenal sebagai Red Drive Proposal sebagai bargain pengakuan kemerdekaan Indonesia yang saat itu sedang di goyang oleh agresi militer Belanda ke II, juga bantuan ekonomi Indonesia yang saat itu sedang krisis hingga perdana menteri Hatta melakukan kebijakan yang ditentang habis-habisan oleh FDR yaitu Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) pada tubuh Tentara Republik Indonesia.

            Di Jalan Barunya, secara implisit Musso mengkritik Re-Ra sebagai taktik pembumi hangusan eksistensi kaum kiri yang memang memiliki laskar-laskar pemuda dan militer yang cukup disegani. Bagi Musso, Hatta dan Soekarno hendak menjual kemerdekaan ini kepada Amerika, sebaliknya pemerintah menilai Musso dan FDR hendak mendirikan negara Negara Soviet di Indonesia lewat Polemik Madiun.

Ik kom hier om orde te scheppen!

            Saat pertemuan yang haru biru antara Soekarno-Musso pada Agustus 1948, Soekarno mengajak Musso untuk turut serta membantu jalannya kemerdekaan Indonesia dari berbagai ancaman, Musso menjawab dengan singkat dengan bahasa Belanda “Ik kom hier om orde te scheppen” (saya datang kesini untuk menciptakan ketertiban). Harry Poeze dalam “Madiun 1948, PKI Bergerak” (2011) mengungkapkan bahwa jawaban itu menunjukkan oportunistis Musso yang ingin menjadi Presiden bila Madiun berhasil direbut.

            Aidit dalam pidato pembelaannya di pengadilan dengan gamblang menyebutkan bahwa Hatta-lah provokator yang bertanggung jawab men-design peristiwa Madiun – yang pada masa Orde Baru di sebut sebagai Pemberontakan Madiun – sehingga PKI dihabisi dari elit sampai akar rumput. Aidit pun menyebut Musso sebagai “komunis patriotis”.

            Amerika pada saat itu memang sedang mengamati perkembangan komunisme yang sangat pesat di Asia (Tenggara), ini yang menjadi dalih utama kaum kiri bahwa Hatta adalah biang keladi Peristiwa Madiun, dan tanpa disadari atau tidak setelah PKI hancur lebur pada 1948, Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia.

-o0o-

            Hemat saya, Musso dan Soekarno sama-sama mempunyai kepentingan terkait kemerdekaan Indonesia, Soekarno yang terlanjur harum semenjak membacakan teks proklamasi menjadi magnit politik bagi kawan maupun lawannya. Ia pun terjebak dalam permainan polemik ideologis Amerika-Soviet karena Indonesia adalah wilayah seksi untuk diperebutkan, kepentingan Amerika jelas, menghancurkan Hegemoni Komunisme di Asia setelah China dan kemudian Filipina menjadi sarang Komunisme setelah Uni Soviet. Sedang Soviet, memutar taktik bagaimana – setelah Amir jatuh – merebut kembali Republik lewat kader-kader komunis yang militan. Apalagi dari segi peta ideologi Komunisme dan Liberal-Kapitalisme hanya bisa disatukan lewat doktrin Dimitrov dengan musuh bersama Fasis. Namun realitanya berbalik ketika doktrin Zdhanov muncul kepermukaan terkait runtuhnya Fasisme.

Selain itu, keduanya memang mempunyai akar rumput fanatik dari ketokohannya. Kendaraan politik mereka pun merupakan partai-partai besar, PNI dan PKI. Kedua partai tersebut fasih mengkolaborasi eksistensi hegemoni dan dominasi, meminjam Gramsci dalam Teori Hegemoninya, dimana perpaduan antara ideologi yang cenderung soft dengan kekuatan barisan dominasi fisik yang hard, partai-partai tersebut mempunyai barisan paramiliter hingga kepemudaan-mahasiswa yang cukup solid.

Bila kita apriori, kedua tokoh ini pun seperti dijadikan “boneka” ideologis dalam memperebutkan kekuasaan yang sinambung. Amerika melalui Hatta ke Soekarno dan Soviet melalui Komintern ke Musso. 

            Sejarah akhirnya bicara, mereka sangat antipati hingga akhirnya pecah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19 September  1948, dalam pidato yang dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.

Dan, akhirnya Musso dipersangkakan sebagai pemberontak dan mati terbunuh dalam tembak menembak dengan tentara pemerintah. Setelah itu giliran Amir Syarifudin, Soeripno dan kawan-kawan lainnya yang dibunuh tanpa diadili.

Setelah keran demokrasi terbuka lebar, banyak yang berpendapat bahwa konflik Musso-Soekarno adalah polemik Madiun yang didalamnya terdapat konflik hebat Amerika-Soviet, Siliwangi-Senopati, dan tentunya Komunisme-Liberal Kapitalisme.




Sumber bacaan:
-          Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart, 2011.
-          Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-          Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-          Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



[1] Disampaikan sebagai pengantar pada agenda diskusi ‘Kelompok Diskusi 49’. Selasa, 19 Juni 2012, ruang 002 Blok 4 UNAS.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS.

Kekuasaan Politik, Hegemoni Ideologi Partai


(Republik Indonesia Dasawarsa Pertama, Sebuah analisis)[1]

Don Gusti Rao[2]

            Sejarah membuktikan bahwa identifikasi kekuasaan politik jelas dipengaruhi secara massif oleh gerakan pemuda - mahasiswa, militer, partai politik dan ideologi. Tanpa menafikan eksistensi keseluruhan, menarik untuk menelaah hegemoni kekuasaan politik yang di”kooptasi” oleh hegemoni ideologi dan partai politik. Ideologi dan partai politik adalah dua hal yang paradoks, keduanya dianggap sebagai fondasi konstruktif dari adanya sebuah negara yang mencita-citakan perfect state dalam konteks kebijakan populis. Meminjam Cak Nur bahwa idelogi tidak akan pernah mati dan terus bermetamorfosa mengikuti alur zaman, bisa dikatakan potret seperti itu yang hari ini mulai berkembang, China dengan ideologi Komunis-nya yang mengikuti kebutuhan dan alur zaman cukup fasih bersinggungan dengan Kapitalis-Liberalis yang selama ini sudah cukup lekat terdoktrinasi menjadi lawan proletariat yang menjadi nafas ideologi Komunisme. Cak Nur sudah meneropong akan kebutuhan tersebut, hal tersebut lumrah bagi Republik ini terkait dasawarsa pertama kemerdekaan, yaitu ketika Musso yang juga sebagai wakil di komintern membawa apa yang dikenal dengan doktrin Dimitrov ke Indonesia, – selanjutnya, sesuai instruksi komintern ia memperkenalkan doktrin Zdanov yang radikal – inti dari doktrin tersebut adalah ketika kaum progresif revolusioner kiri harus berkooperasi dengan kaum kapitalis-imperialis untuk melawan congkaknya kekuatan fasisme pada saat itu.

            Konstelasi politik pasca kemerdekaan mendikotomikan partai politik berdasarkan ideologi mainstream pada masanya, tiga ideologi besar Nasionalis, Agamais dan Komunis dicerna partai-partai yang mempunyai akar rumput fanatik. Perolehan empat besar pemilu tahun 1955 menegaskan hal tersebut, PKI dengan klaim sebagai wadah yang mewakili kaum buruh tani bergesekan dengan Masyumi dan NU yang merupakan representasi kaum muslim dan para santri, lalu ada sebagaian cendikiawan yang merangkum kaum Nasionalis-modern dalam partai PNI.

Oligarki dalam “bingkai ideologi”

            Robert M. MacIver mengemukakan bahwa kekuasaan dalam negara (masyarakat) selalu berbentuk piramida, ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul dari pada yang lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu itu lebih kuat dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan lainnya itu.[3] Dalam peta ideologi partai pun demikian, PKI yang merupakan partai komunis terbesar di Asia setelah partai komunis Tiongkok mau tidak mau “tunduk” dengan komintern yang menurut Robert M. MacIver adalah sebagai puncak piramida.[4]

            Stigmatisasi ideologi sebagai oligarki politik dalam konteks parpol pun semakin menggema luas, apalagi dalam konstelasi yang dinamis, diperlukan panutan sebagai pedoman bertindak. Tidak jarang hal-hal tersebut justru mengkhultuskan tokoh yang bagi mereka bersifat paradoks. Pengkhultuskan tersebut merambat ke Republik ketika Musso yang di klaim sebagai agen Moskow sangat berapi-api menjabarkan gagasan Stalin tentang Socialsm in one country, lalu pecah dengan Tan Malaka yang disebut sebagai kaum Tortskyst dengan pandangan revolusi berjalan terus menerus diseluruh dunia secara general yaitu permanent revolution

            Kekuasaan tersebut terbukti cukup ampuh, meminjam Gramsci dengan teori hegemoninya yang membuat analisis dikotomi antara dominasi dan hegemoni, dominasi diasosiasikan dengan topangan kekuatan fisik, sedangkan hegemoni merupakan konseptual yang lebih halus, secara ideologis.

Komparasi Gramsci, analisis Indonesia dasawarsa pertama 

            Dikotomi Gramsci tentang dominasi dan hegemoni juga mewarnai konstelasi politik Indonesia pra kemerdekaan dasawarsa pertama, kekuatan politik partai pada saat itu mengkomparasikan dominasi dan hegemoni sebagai kekuatan pada akar rumput. Partai Komunis Indonesia menjadi telaah menarik terkait hal ini. PKI yang kental dengan nuansa ideologis karena memang menjadikan kaum proletar sebagai doktrinasi ampuh melawan tuan tanah yang disebut-sebut sebagai kepajangtanganan kaum kapital-kolonialisme menjadikan ideologinya sebagai kekuatan dalam campaign dan orasi politik, untuk melengkapinya, mereka membuat laskar-laskar sebagai dominasi dan legitimasi kekuatan.[5]

            Strategi politik semacam itu terbukti ampuh dalam memobilisasi massa, walaupun terbentur dengan pro kontra dosa politik dalam tagedi Madiun 1948, perolehan suara PKI mencapai empat besar pada pemilu 1955.

            Komparasi Gramsci juga mempengaruhi partai progresif kiri lain sebelum fusi dengan PKI lewat jalan baru Musso, Partai Sosialis mempunyai Pesindo sebagai garda terdepan dalam dominasi politik, hal ini terlihat jelas ketika Soemarsono sebagai elit Pesindo terlibat dalam Peristiwa Madiun. Juga dengan NU yang mempunyai Banser sebagai laskarnya, bersama GP Ansor, yang cukup berperan dalam mewarnai konstelasi laskar underbow parpol.

            Kekuatan-kekuatan laskar tersebut yang pada tahun 1948 bersinggungan dengan kebijakan yang dikeluarkan Perdana Menteri Hatta berupa pengurangan jumlah tentara lewat reorganisasi-rasionalisasi tentara atau Re-Ra, clash tersebut merupakan salah satu latar belakang meletusnya peristiwa Madiun.

-o0o-

            Tak dapat dipungkiri bahwa ideologi mempunyai andil besar dalam kekuasaan politik. Gerakan mahasiswa dan militerisme pun demikian, selalu bertaut erat dengan ideologi dan manifestasinya. Ideologi menjadi fondasi utama dalam menggerakkan roda negara, yaitu sebagai motorik dalam teori dan terapan. Meminjam Weber, yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau kelompok untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu. Secara tidak langsung hal yang paling paradoksial tentang apa yang dikatakan Weber adalah bagaimana kekuasaan tersebut bertindak menyadarkan masyarakat dan menjadi sebuah perlawanan implementatif, prosesnya adalah dengan ideologi – karena dinilai sebagai kombinasi teori dan terapan.





Sumber bacaan:
-          Daniel Dakhidae, Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia. Pilihan Artikal Prisma. LP3ES 1988. Hal 189.
-          George H. Sabine, Teori-Teori Politik, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Binacipta 1992.
-          Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia 2005.
-          _____________, Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai.Gramedia 1981.



[1] Dipresentasikan sebagai tugas mata kuliah Teori-Teori Politik, Rabu 11 April 2012..
[2] Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional
[3] Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Poltik. Jakarta, 2005. Hal.36
[4] Terlepas dari pernah membangkangnya PKI ketika di nakhodai Tan Malaka, namun sistem hierarkis kepartaian sangat mencolok, sebagai contoh ialah doktrin-doktrin kooperasi yang dihimbau oleh Stalin cs dalam komintern.
[5] Laskar-laskar sebagai dominasi dari komparasi ideologis juga dijadikan senjata ampuh bagi kaum NAZI, mereka menganggap bahwa kekuatan manusia sebagai kehendak untuk berkuasa. Perspektif ini mirip dengan apa yang dikatakan Nietsche bahwa manusia adalah spesies binatang super dengan orientasi mainstream yaitu kekuasaan.

Para Pemikir Indonesia: Beda Metode, Satu Orientasi (Refleksi Clash Ideologi Musso-Soekarno)[1]


Don Gusti Rao[2]

Prolog

Plato (427 - 347 SM) dalam hikayat kuno yang menggemparkan, pernah menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu secara serentak, terjadi berbagai letusan gunung berapi yang menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir yang maha dahsyat. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Akibat dari semua itu adalah hilangnya sebuah “dataran surga” nan makmur yang ia sebut sebagai benua Atlantis. Beratus tahun kemudian, hikayat tersebut diadopsi dan diteliti oleh Fisikawan Nuklir dan Geolog dari Brasil Prof. Arsyio Nunes Dos Santos, tak kalah menggemparkan, penelitian tersebut menghasilkan tesis mencengangkan bagi dunia intelektual. Dari hasil penelitian ilmiah yang kemudian dibukukan, ia fasih mengungkapkan bahwa dataran surga yang hilang yang juga pusat peradaban, kemaharajaan dan asal-usul manusia adalah Indonesia, mari lupakan Mesir, Cina, Yunani hingga Mesopotamia. Hasil penelitian tersebut memang tidak sedikit pun mempunyai efek berarti bagi kehidupan dalam konteks ke-Indonesiaan, diskusi ilmiah yang merupakan sinambung dari buku tersebut juga hanya seru pada awal mula, namun output praktis yang dihasilkan juga menjadi bias tatkala kita mencoba membuat analisis dampak dari peristiwa yang menurut Plato adalah kiamat madya tersebut.

Ternyata secara substantif, kekeliruan besar kita yang berfikir bahwa kekayaan Indonesia hanya terletak pada sumber daya alam merupakan momok yang cukup serius untuk menjadi diskursus akademik, analisis Prof Santos – terlepas dari rasionalisasi siapapun – sedikit membuktikan bahwa Inonesia bagaimanapun juga merupakan dunia peradaban yang kemudian ber-evolusi mencari trah peradaban yang di rasuki oleh pemikiran para tokohnya dengan tinjauan idealisme, mencoba mencari pembenaran dari Prof Santos bahwa secara historis, orang-orang Indonesia yang dianggap pelacur memalukan bagi kaum imperialis mempunyai darah peradaban yang ratusan tahun kemudian melahirkan para pemikir handal yang bisa saja membuat kita berfikir bahwa Indonesia sedang ingin mengembalikan Atlantis versi Plato kerumahnya. Jangan heran ketika saat Indonesia gencar mencari sinar kemerdekaan, aroma Atlantis dengan peradaban dan asal muasal mahluk berakalnya dipancarkan oleh tokoh-tokoh Indonesia lewat fikiran, gerakan, dan diplomasinya. Mereka seakan ingin membuktikan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang hilang.

Indonesia pasca Atlantis

            Mafhum ketika dalam diskursus akademik ilmu-ilmu sosial, menelaah terminologi politik dari ujung kiri sampai kanan yang terpetakan menjadi ideologi dari berbagai metode hingga orientasi. Perang ideologi yang berkontinuasi menjadi medan laga personal adalah efek mainstream dari digdaya ideologi yang dibawa oleh embrio perspektif, kepentingan ideal dan praktis.

            Indonesia yang memang harus tabah menerima takdir ketika dalam realitanya diinfiltrasi oleh tindakan monopolistik imperialisme, tanpa disadari melahirkan kisah-kisah heroik etno-nasionalisme kedaerahan. Etno-nasionalisme inilah yang menjadi tonggak awal terhimpunnya ide-ide ingin bebas dan mandiri menjadi negara yang utuh, disana perlukan perjuangan, fikiran, gerakan dan berbagai diplomasi yang relevan. Disamping itu putra-putri terbaik bangsa yang memperoleh pendidikan layak di banding pribumi lain juga menjadi sumbangan terbesar kemerdekaan. Seakan menjadi bumerang bagi sang imperialis, yang dulu memberi kelonggaran bagi mereka untuk belajar, dikemudian hari bergerak melawan dengan berbagai mekanisme yang punya satu tujuan, Indonesia merdeka.

Negara madya, fundamen pemikiran

            Polemik dan titik cerah itu bermula dari rumah bercat putih di Jalan Peneleh VII Nomor 29 dan 31 Surabaya. Rumah tersebut adalah milik “bapak diantara bapak bangsa“ Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Seperti diketahui bersama, rumah tersebut dihuni orang-orang yang dikemudian hari mempunyai andil besar dalam pembentukan Republik Indonesia, mereka yang indekos disana adalah tokoh-tokoh yang mempunyai akar rumput massif di masa jayanya, sebut saja Soekarno, Musso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo.
            Bergunul dalam ide disertai diskusi hangat penuh suka cita menjadi makanan hari hari mereka, juga pembelajaran politik dalam lingkup gerakan dan cakupan ideologi oleh sang mentor politik Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sebagai mana disebutkandalam literatur tidak begitu tendensius dalam memetakan ideologi bagi para anak muda binaanya, terbukti mereka akhirnya mengambil jalan sendiri-sendiri, Soekarno dengan ideologi Nasionalis-nya[3], trio Musso-Alimin-Semaoen dengan semangat Komunisme, dan Kartosoewirjo dengan Islamisme-nya.

            Mereka merepresentasikan pemikiran Tjokro dari apa yang mereka yakini, kemudian merasa benar secara pemikiran dan terapan. Hingga kemudian hari Tjokro tidak melihat bagaimana murid-muridnya itu “saling bunuh” untuk mebuka jalan fikirannya demi apa yang mereka maksudkan dengan negara ideal versi ideologi yang mereka anggap rasional.

            Papper ini mencoba menganalisis betapa menariknya pertarungan ideologi yang diperankan oleh dua tokoh seperguruan Soekarno dan Musso, pertarungan dua ideologi besar di Indonesia yang mempunyai massa fanatik selain golongan agama, yaitu Komunis dan Nasionalis. Pergesekan keduanya menjadi klimaks ketika terjadi peristiwa Madiun, peristiwa yang menghancurkan puja puji di antara keduanya setelah hampir tiga dasawarsa tidak bertemu dan saling membunuh dengan pidato demagogis tiga puluh hari kemudian lewat corong radio. Peristiwa yang memang masih menjadi misteri hingga detik ini digambarkan sebagai awal keretakan para murid-murid Tjokroaminoto, setelah itu, beberapa tahun kemudian Soekarno yang clash dengan Kartosoewirjo.

            Konflik itu (secara personal Musso-Soekarno) dihembuskan Soekarno ketika mendengar bahwa Musso memberontak dan hendak mendirikan negara Soviet Madiun dengan Musso sebagai presidennya. Dalam pidatonya di RRI Jogjakarta, Soekarno menyudutkan Musso sebagai agen Moskow yang hendak mendirikan negara Soviet Madiun, “negara kita hendak dihancurkan. Mari basmi pengacau-pengacau itu”, lalu diikuti dengan pilihan untuk memilih Soekarno-Hatta atau Musso dengan PKI nya. Mereka saling mencaci, membunuh dengan kata-kata. Tiga jam berselang melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno dengan menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan daerah-daerah lain harus melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”. 

            Masih tendensiusnya sejarah yang diartikan oleh para sejarawan dengan  latar belakang tertentu membuat peristiwa ini menjadi ceritera yang penuh ambiguitas. Setidaknya ada dua pengarang buku yang saling bersinggungan lewat karya-karyanya, Rebut Kembali Madiun dan Madiun, dari Republik ke Republik karya Himawan Soetanto yang begitu banyak dijadikan referensi dari konflik Musso-Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun dinilai sebagai representasi versi pemerintah dalam menyikapi peristiwa tersebut. Sebagai mana diketahui, Himawan Soetanto adalah Purnawirawan Letnan Jenderal yang turut serta merasakan pekiknya kemelut yang bersejarah tersebut. Ada juga buku Revolusi Agustus nya Soemarsono yang memang terlihat sebagai kepanjang-tanganan PKI dalam menyikapi peristiwa Madiun dan konflik Musso-Soekarno ini.

            Perbedaan mendasar dari dua tokoh besar ini sebenarnya tidak terlalu mencolok, ke duanya adalah retorik handal, demagog dan agitator yang mampu membangkitkan emosi massa, bagi saya, jiwa-jiwa oportunistis yang ia perankan dalam kasus Moskow-kesepakatan Prambanan  hingga peristiwa Madiun cukup membuktikan oportunistis tokoh tersebut. Orientasi besar menjadikan negara Indonesia sebagai negara sejahtera adalah kesamaan para tokoh bangsa, tak terkecuali Musso-Soekarno, namun itu tadi, perbedaan ideologi yang menjadikannya berseberangan mekanisme namun satu orientasi untuk mempertahankan kemerdekaan menjadikannya saling hantam. Ironis memang, karena tatkala keduanya bersatu padu untuk mengisi relung kemerdekaan, akan banyak nilai plus yang didapat negara ini dari dua tokoh yang banyak mempunyai massa hingga akar rumput. Sebagaimana ketika ditanya oleh Soekarno untuk berperan aktif dalam kemerdekaan Indonesia, Musso menjawab singkat: Ik kom hier om orde to scheppen.

Dampak bagi bangsa

            Peristiwa Madiun yang merupakan awal perselisihan keduanya kemudian menggurita menjadi stigma yang amat kejam bagi kaum komunis, mereka dibasmi dengan cara-cara tidak manusiawi, di asosiasikan oleh kelompok agamais sebagai sekelompok manusia tidak bertuhan, dan pengkhianat bangsa bagi kaum nasionalis.

            Bentrok keduanya pun menjadi kerugian besar bagi Indonesia yang kemudian mendapat agresi militer dari Belanda medio akhir 1948, konflik Musso-Soekarno pun tanpa disadari menjadi pemicu utama disintegrasi bangsa. Kaum simpatisan buruh tani yang sangat fanatik kepada agitasi egalitarian komunis, kemudian dibasmi dan dikenai sangsi sosial. Fenomena tersebut berdampak pada adanya dikotomi parsial dalam kelompok masyarakat. 

          Musso-soekarno juga mewarisi perang seru dalam peta ideologi, karena bagaimanapun, NASAKOM yang dicita-citakan Soekarno tidak akan mengena dengan dalih apapun. Begitu kejamnya ideologi yang digambarkan dari banyaknya korban dalam suatu clash, membuktikan bahwa bagaimanapun ideologi adalah tonggak fondasi yang tersekat dalam bingkai kenegaraan.


Sumber bacaan:

-          Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart, 2011.
-          Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-          Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-          Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



[1] Disampaikan sebagai pengantar diskusi pada kelas Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) Megawati Institute. Kamis, 16 Februari 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS, Aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Selatan, Siswa SPPB Megawati Institute.
[3] Yang kemudian bersinggungan dengan semangat sosialisme melahirkan apa yang ia sebut sebagai Marhaenisme atau ada yang menyebutnya dengan Soekarnoisme berdasarkan perspektif kekinian.

Filsafat Politik Indonesia


(Statement tentang Filsafat Politik Indonesia, asuhan Dr. Darlis Mahmud. FISIP UNAS)

Bila filsafat secara general adalah tentang bagaimana menganalisis sebuah kebenaran (dialektika) atau kepastian yang logis, filsafat secara kontekstual lebih kepada usaha untuk mencari struktur umum sesuatu secara substantif atau hakikatnya.
            Dalam filsafat politik, adalah bagaimana tentang mencari kedaulatan rakyat dalam lingkup Negara secara normatif, filsafat politik sebagai “alat pembenaran” yang bersifat materiil digunakan sebagai pisau bedah untuk mencari sesuatu.
            Filsafat politik Indonesia secara esensial bagaimana mencari kedaulatan rakyat yang normatif dengan tindakan politik yang implementatif dalam konteks pengambilan keputusan atau kebijakan. Hal tersebut tertuang dalam kegiatan yang dikenal secara sederhana dengan “konsep” musyawarah mufakat yang merupakan kearifan lokal ke-Indonesiaan. Secara substantif, musyawarah ini juga tertuang dalam konstitusi dan Pancasila.
Jadi, filsafat politik Indonesia erat hubungannya dengan konstitusi dan Pancasila, konsep musyawarah tersebut memang sudah menjadi tradisi dalam kebudayaan Indonesia, kearifan lokal tersebut bersifat kekeluargaan dengan ber-kooperasi secara gotong royong.
            Lalu, bagaimana filsafat politik Indonesia memandang agama sebagai bagian dari Indonesia – yang diasosiasikan sebagai un matter dalam konteks filsafat? Bagi saya, membuat dikotomi antara agama (un matter) dengan Indonesia (filsafat) adalah kekeliruan. Agama bagi Indonesia adalah bagian dari khasanah kebudayaan yang terstruktur sedemikian rupa, meminjam Tan Malaka yang menganggap bahwa konsep materialisme tidak cocok diterapkan di Indonesia dalam konteks agama. Bagi Tan, masyarakat Indonesia bagaimanapun tetap percaya akan hal gaib meski agama adalah un matter dan Tan mengkritisinya. Masyarakat Indonesia tidak pernah mengalami sekularisasi pemikiran dan memiliki kultur kuat.
            Walaupun sangat kritis tentang agama, Tan berdialektika dan menganggap agama adalah sisi originalitas ke-Indonesiaan.
            Filsafat politik Indonesia memandang bahwa agama sebagai fondasi kuat Indonesia, terlepas dari kritikan Tan dalam Madilog lewat logika mistika, agama menjadi tulang punggung filsafat politik Indonesia disamping musyawarah dalam lingkup konstitusi dan Pancasila. Tulang punggung dalam kebudayaan dan isu-isu kontemporer. 

Don Gusti Rao