*Don Gusti Rao
Adalah Samuel Huntington, salah satu ilmuwan politik yang perspektifnya dinilai cukup otoritatif dalam locus teori Ilmu politik. Ia membuat analisis terkait partisipasi politik lewat thesisnya bersama Joan Nelson. Baginya, berorganisasi merupakan salah satu elemen penting dalam partisipasi politik. Organisasi adalah salah satu bagian dari partisipasi politik bersamaan dengan pemilu, demonstrasi, koneksi, lobi, dan violence (kudeta) [Huntington, 1984:14]. Tentu harus digarisbawahi bahwa organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang kental dengan nuansa sosial dan politk, karena meminjam Aristoteles, manusia adalah Zoon Politicon, makhluk sosial yang gemar berinteraksi, yang saya terjemahkan menjadi gemar berorganisasi. Dalam fase yang spesifik, manusia menjadi “gemar politik” dan urung dilepaskan dari kegiatan politik. Lebih radikal, Hobbes malah menegasikan tingkah sosial manusia dengan Homo Homini Lupus, ya, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Asosiasi kebinatangan manusia juga disindir Nietzche, yang menganggap bahwa manusia merupakan spesies lain dari binatang, bedanya, ia termasuk varian yang super. Sampai sini tentu ada semacam upaya untuk menggiring opini bahwa sifat kebinatangan manusia selalu ada, tidak lain juga bila dilihat dari lingkup sosial dan partisipasi politik, yang kata Huntington tadi salah satunya adalah berorganisasi. Tepatnya, bukan binatang yang diorganisir, tapi binatang-binatang yang berorganisasi. Gambaran itu, sindir Mahbub Djunaidi, adalah Binatangisme, merujuk pada novel Animal Farm karya Orwell yang diterjemahkannya [Alfan Alfian, Koran Tempo, 7/2/2014]. Lebih lawas, Mahbub tak segan langsung membandingkan politik dengan binatang lewat tulisannya berjudul Dinamisasi via Binatang [Tempo, 26/3/1972]. Itu semua, dari Aristoteles sampai Mahbub bukan merupakan bentuk kepasrahan dan fatalisme politik, tapi justru realitas valid yang untuk membersihkannya, meminjam Soe Hok Gie, mau tak mau kita harus turun.
Setelah
menyepakati bahwa berorganisasi adalah berpolitik, tentu akan luas dimensi
dalam berorganisasi. Dinamika tersebut bisa terkait polemik hingga konflik,
yang berawal dan kemudian diracik dalam isu yang dibangun. Isu, bagaimanapun
digulirkan demi kepentingan individu atau kelompok tertentu demi mencapai
eksistensi dan destinasinya. Atau disisi lain bahkan dibuat agar terciptanya
stagnansi, status quo, ambiguitas
atau bahkan disintregasi. Praktiknya yang menohok, isu justru dimainkan untuk
kebutuhan perut dan dalam organisasi berwatak feodal, isu dimanfaatkan oleh
personal yang dituakan sebagai bargain
position untuk melahap keuntungannya saja di masa depan. Menunggangi
organisasi menjadi cara ampuh bagi corak feodalistik & “sentralistik figur”
tersebut.
Betapa
pentingnya isu dimainkan menunjukkan bahwa begitu prestisius isu dibuat demi
sebuah momen. Karena bagaimanapun dalam sebuah kontestasi politik, isu adalah
keniscayaan. Tengok saja ketika isu Komunisme atau PKI – yang notabene sudah
bangkrut dalam konteks organisasi dan bahkan ideologi – dibangkitkan seiring
dengan adanya suksesi kepemimpinan di Ibu Kota, atau tatkala Presiden RI
melawat ke Uni Soviet, negeri biangnya
Komunisme itu. Ya benar, isu menunggu momentum!
Tercatat,
isu ideologis selalu diiringi dengan menjelangnya kontestasi pemilihan umum
atau akan terbit tatkala adanya skandal besar di negeri ini. Bisa jadi itu
adalah semacam isu yang digulirkan demi mengalihkan isu, atau bahkan
mengaburkan fakta lain.
Bila
kita sudah menyepakati thesis
Huntington bahwa berorganisasi adalah bentuk partisipasi politik, tentu kita
mafhum bahwa ruang-ruang organisasi tentu bertaut erat dengan isu-isu yang
sengaja digulirkan. Logikanya begini, bila organisasi mempunyai political values, sudah barang tentu ia
akan memuat isu. Bahkan isu dan organisasi adalah dua sisi mata uang yang tak
mungkin dapat dipisahkan, meski di dua sisi yang berbeda.
Saya
lebih suka menyebutnya sebagai labirin isu. Labirin yang dalam KBBI disebutkan
sebagai “Tempat yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan
simpang siur” menjadi anomali dalam organisasi, ini jelas, mengingat isu kadang
simpang siur. Jadi, isu belum tentu faktual. Personal yang dilibas isu kadang
merasa ia ada dalam lingkar labirin, namun, bila isu itu dianggap sebagai yang
“jauh panggang dari api,” malah
menjadi peluru sebagai manajemen isu yang konon akan membuat si personal yang
dihakimi isu akan menjadi famous serta
menambah elektabilitas.
Dalam
teori manajemen isu, isu digunakan justru untuk melindungi organisasi – Howard
Chase, sang pencetus justru awalnya menganalisis manajemen isu demi
pragmatisasi korporasi – dan mengelola isu demi sebuah manfaat. Dimunculkan
isu, lalu ada counter isu sebagai
agenda setting agar kemudian lebih
dikenal.
Dalam
sebuah kontestasi, poinnya adalah bahwa organisasi atau individu yang diisukan
adalah mereka yang dianggap sebagai rival yang paling kuat. Dalam konstelasi
politik kontemporer, Ahok adalah salah satu contoh konkret rival kuat, selain
adalah petahana, ia punya nilai dikalangan kelas menengah lewat kepemimpinannya
yang – katanya – disiplin dan berkarakter. Lihat saja, ketika ada parpol yang ingin
meminangnya sebagai kandidat balon Gub DKI, – bukan sebaliknya, saat individu
yang lazim daftar ke parpol – ia justru ingin maju dijalur independen. Fenomena
Ahok menjadi bukti sahih bahwa dengan seksinya ia, politisi Tionghoa ini menjadi
kandidat yang diperhitungkan. Otomatis ia pun menjadi pesakitan isu, mulai dari
publikasi skandal korupsi hingga SARA. Tandem Ahok dalam Pilgub pun demikian,
Jokowi mendapat badai isu yang luar biasa, mulai dari keturunan China hingga
PKI. Rival Jokowi tak kalah mendapat serangan, Prabowo Subianto diterpa isu HAM
masa lalu yang menjadi santapan empuk media dan lawan politik. Benar, itu bukti
bahwa mereka sangat diperhitungkan berdasarkan elektabilitas, sosok, dan mesin
politik atau masifnya relawan.
Melihat
jauh kebelakang, ada yang lebih heboh. Yakni ketika Bung Karno sempat ingin
mendapat setting isu yang sungguh
menggemparkan. Badan intelijen Amerika, CIA memanfaatkan sosok Bung Karno yang
begitu menjadi magnet di mata kaum hawa, Bung Karno pun dikenal sebagai sosok
yang dengan citra maskulinnya sangat flamboyan bila didepan wanita. CIA lantas
membuat film porno sebagai upaya untuk menjatuhkan muruah Soekarno yang dinilai
menjadi sangat kooperatif dengan Komunis Soviet dibanding Amerika. Maka dari
itu, dicarilah orang yang mirip dengan putra Sang Fajar tersebut. Yudi Anugrah
dalam Majalah Historia Online [2013]
menulis, karena sukar dicari, CIA sampai membuat topeng wajah buatan Soekarno
yang dipakai oleh bintang porno, dalam skenario itu replika Presiden pertama
Indonesia tersebut melakukan affair
dengan gadis pirang yang berperan sebagai agen Rusia yang menyamar sebagai
pramugari. Meski film tersebut tak jadi diedarkan walau sudah dibuat,
setidaknya ada bukti bahwa isu digunakan sebagai pembunuhan karakter yang maha dahsyat,
tentu dengan muara agar Soekarno habis.
Sjahrir
menulis our struggle [Perjuangan Kita
: 1945] sebagai cambuk para pejuang pergerakan demi melawan dominasi
imperialis. Perjuangan yang dimaksud yakni membuang kepentingan pribadi dan
golongan demi melawan kolonialisme dan imperialisme. Padahal, masa itu sentimentil
ideologis antar tokoh pejuang kemerdekaan pun sangat kental. Pemerintah kolonial
yang tak rela jajahannya lepas itu pun memainkan isu demi men-devide et impera-kan dengan isu
ideologis dan berkooperasi dengan ideologi lain.
Sjahrir,
bukan hanya kapasitas sebagai ketua PSI atau Perdana Menteri saja, melainkan sebagai
rakyat demi mempertahankan kemerdekaan dengan menghapus sekat-sekat ideologis. Pada
masa ini, Gus Dur mungkin tokoh yang tepat melihat perjuangan Sjahrir, bahkan lebih
futuristic dan integratif.
Sjahrir
dan Gus Dur mafhum betul, menghancurkan pergerakan adalah sama dengan
menghancurkan Republik ini, sementara pergerakan adalah kawah candradimukanya
beberapa ideologi.
Maka
tak heran bila dunia pergerakan pasca zaman Sutan ”Bung Kecil” Sjahrir makin
komplikatif dan ribet.
Teringat
saya dengan senior gerakan, Bung Denny Agiel mantan Ketua Umum GMNI DKI Jakarta
tahun 2000, ia menceriterakan bagaimana dahsyatnya isu “GMNI adalah komunis”
saat ia menjadi kader-kader awal GMNI di masa Orde baru. GMNI masa itu memang
salah satu elemen gerakan vokal yang lantang mengkritik pemerintah. Tak heran,
ia sempat mengalami dilempari massa dengan batu di sekretariatnya, ya, itu tak
lain karena hebatnya suatu isu. Bila Bung Denny menceriterakan isu dalam skala
benturan dengan pemerintah, adalagi kisruh internal HMI yang ketua umumnya saat
itu, Noer Fajrieansyah, diterpa isu miring terkait skandal affair-nya dengan Kader Kohati yang sudah clear serta diklarifikasi. Dari kasus tersebut sempat ada upaya pemakzulan
dan dualisme kepengurusan sampa ke level cabang. Isu dalam ruang internal
organisasi justru tak kalah hebat dan tragisnya.
Lain
GMNI dan HMI, lain juga PMII. Saat kongres di Banjarmasin Kalimantan Selatan
2011, terdapat isu yang juga menjadi perhatian. Sahabat Addin Jauharudin, madataris
kongres XVII menjadi pesakitan isu. Setelah sehari pasca kongres seingat saya,
Koran lokal pun memuat sebuah berita yakni penemuan alat kontrasepsi di kamar
aktivis PMII yang kemudian menjadi Ketua Umum terpilih. Ini sangat jelas
menyerang sahabat Addin Jauharudin. Benang merahnya, isu-isu tersebut digunakan
oleh lawan internal maupun eksternal demi tujuan tertentu, bahkan yang lebih
fatal, menyerang kapasitas pribadi. Ya, bersama kelompok Cipayung lain, ketiga
Ormek tadi merupakan organisasi kritis-progresif yang pasti dihantui isu yang
sengaja dibuat-buat.
Isu
adalah masalah yang dikedepankan; kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak
terjamin kebenarannya; kabar angin; desas-desus [KBBI]. Dalam Islam – bahkan
agama lainnya – isu dimaknai sebagai hal yang harus dibuktikan kebenarannya
sebelum kita tanggapi. Kita diharuskan Tabayyun
atau mengkonfirmasi, mencari kebenaran, teliti terlebih dahulu atau menyeleksi
dan tidak tergesa-gesa (reaksioner). Bila tidak, tentu akan timbul fitnah dan
disintegrasi. Soal lain bila kita tak mau menanggapi isu tersebut dan
menganggapnya angin lalu. Untuk urusan ini, Gus Dur dengan “gitu aja kok
repot”-nya adalah panutan, bagaimana tidak, hempasan isu mulai dari skandal Buloggate-Bruneigate
hingga skandal affair dengan Aryanti
Sitepu tak membuatnya masygul. Kyai yang juga tokoh prularisme itu tetap cuek
dan bersikap “slow-lah” karena ia tahu, semua itu adalah isu yang tak perlu
ditanggapi berlebih.
Lalu,
bagaimana dengan isu yang menghunusmu? Yah, apa boleh buat, kita sedang
berpolitik!
Kampung Rambutan, 22 Mei 2016
*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Pict : Istimewa
*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Pict : Istimewa