Rabu, 25 November 2015

Gus Dur, Semangat Rekonsiliasi dan Pengadilan Rakyat

Don Gusti Rao*

Pagi itu di Jakarta, 10 November 2015, dunia maya begitu gegap gempita, bagaimana tidak, hari itu adalah hari pahlawan. Hari dimana terdapat apresiasi dan seremonial-simbolik terhadap perjuangan anti kolonialisme-imperialisme bagi bangsa ini. Disisi lain, dunia maya terbelah, ada yang cukup tajam mengkritik suatu peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama, yakni pengadilan rakyat internasional (International People Tribunal) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda oleh para aktivis dan pegiat HAM Indonesia. Agenda itu, semacam pengadilan in absentia atas kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965, dimana ratusan hingga ribuan orang dibunuh dengan dalih sayap kiri dan atau yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia, bahkan komandan RPKAD waktu itu, Letnan Jenderal Sarwo Edhie mengklaim telah membunuh 3 Juta orang yang terindikasi PKI [Rum Aly : 1966]. Pengadilan rakyat itu menuntut Negara Indonesia dengan presidennya waktu itu yakni Jenderal Soeharto untuk bertanggung jawab.

Akhirnya saya pun mafhum terkait beberapa twitwar di twitter pada 10 November itu, sensifitas pengadilan rakyat mengalir deras, bak musim hujan yang sebentar lagi datang. Bangsa ini masih begitu phobia terhadap segala hal yang berbau PKI dan komunismenya, thesis Huntington tentang benturan peradaban yang “diklaim” merupakan antitesa atas the end of ideology Fukuyama pun dipecundangi. Ya, ramalan Huntington terkait benturan peradaban yang mendominasi konflik di dunia dewasa ini menjadi minor tatkala pergolakan ideologi ternyata masih menjadi magnit, magnit yang dipupuk selama puluhan tahun oleh sebuah orde yang sistemik di Indonesia.

Mengingat komunisme dan dinamika diskriminasinya mengingatkan kita akan Gus Dur, mantan presiden yang punya konsepsi paradigmatik yang begitu futuristik. Baginya, konsepsi pemikiran haruslah implementatif, apalagi bila kemudian ada values penting, yakni kemanusiaan. Gus Dur acapkali menciptakan polemik, tentunya dengan rasionalisasi yang berpegang teguh dengan Undang-Undang Dasar. Bahkan, sebelum hiruk pikuk pengadilan rakyat di Belanda, Gus Dur sudah memulai wacana mulia itu dengan semangat rekonsiliasi anak bangsa.

“Belum tentu orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi”. (kompas, 15 maret 2000)
“Karena banyak orang menganggap PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar. (Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Elsam , 2004)
Supremasi hukum harus menjadi panglima, dimana keadilan sosial pada sila ke lima Pancasila mengakomodir itu. Namun tentu saja akan menjadi bias bila sentimentil ideologis dijadikan traumatik yang mencekam. Gus Dur sadar akan hal itu, quote nya yang terkenal itu, yakni  “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi” adalah bukti nyata bahwa keadilan menjadi urgensi bila integrasi bangsa adalah cita-cita luhur bersama.

-o0o-

Semangat rekonsilisasi pun tak pernah sirna bagi Gus Dur, meski mendapat kritik keras dari Ketua Umum PBNU saat itu KH. Hasyim Muzadi terkait sikapnya terhadap PKI, Gus Dur tetap keukeuh ingin mecabut TAP MPRS XXV/1966 yang tentu saja merupakan bentuk legitimasi yang diskriminatif, semangat kebebasan berfikir dan berpendapat tentu saja tercederai.

Pada suatu ketika di acara Kick Andy Metro TV, ketika dicecar pertanyaan tentang keinginan Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966, Gus Dur menjawab :

“Yang terpenting itu, bahwa tugas mengucilkan PKI itu bukan tugas negara, itu yang penting. Apa artinya pemisahan agama dari negara kalau negara ngurusin segala hal. Padahal yang menentang PKI kan cuma beberapa gelintir orang aja.”
Dari statement Gus Dur itu, saya jadi teringat tentang buku putih Benturan PKI-NU yang diterbitkan oleh PBNU tahun 2013 lalu. Buku yang disinyalir sebagai pembelaan terhadap manuver dari apa yang dinamakan Neo-PKI atau PKI baru itu menuai beberapa kritik. Kritik paling substantif bukan karena materi atau persinggungan PKI-NU yang memang masih menjadi kontroversi, tetapi frasa terakhir dari statement Gus Dur diatas bahwa yang menentang PKI sebenarnya hanya beberapa gelintir orang (kelompok) saja. Karena mayoritas orang pasti menginginkan rekonsiliasi, tentunya berharap agar polemik serupa dimasa lalu tak terulang. Buku itu disinyalir menjadi tunggangan militer yang kerap melakukan cuci tangan atas pembantaian kemanusiaan yang terjadi, provokasi militer menjadi perang sipil dengan mengagungkan frasa to kill or to be killed! dengan sangat hegemonik, membunuh atau dibunuh!, akibatnya, sipil membunuh sipil dengan dalih jihad, ya, jihad membela agama dan negara. Maka tak heran bila konon katanya, buku itu tak dicetak lagi.

Banyak tugas negara yang lebih penting dari pada mengurusi diskriminasi ideologi yang pada suatu kasus belum tentu kebenarannya, ya meski memang keinginan Gus Dur urung dilaksanakan, namun keinginannya patut dijadikan teladan bahwa bagaimanapun kepentingan bersama jauh diatas dari kepentingan politik. Kepentingan politik menjadikan presiden selanjutnya tidak begitu menaruh perhatian penting terhadap berbagai produk undang-undang yang diskriminatf. Membahas isu komunisme sama saja menjadikan presiden tidak populer, karena begitu sensitif, ini contoh bahwa Indonesia belum siap menerima kebebasan berpendapat dalam bingkai demokrasi.

Tapi, Gus Dur siap untuk tidak populer, bahkan berseberangan dengan NU sekalipun. Meminjam KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), bahwa bila orang lain rela mati demi keluarga dan kelompoknya, Gus Dur justru rela mati demi orang lain.

“Saya minta TAP (MPRS XXV/1966) ini dicabut, bukan mencabut soal politiknya, tetapi jangan sampai hak hukum orang kita langgar karena kita jengkel. Itu bukan seorang muslim. Seorang muslim yang benar, apapun senang atau tidak senang kebenaran adalah kebenaran. Nah disini yang penting, kenapa saya ngotot.” (Kompas 1 april 2000).
“Disamping itu, saya hanya mengajukannya (kepada MPR). MPR lah yang berhak untuk mempertimbangkan apakah menerima atau menolaknya. Jika MPR menolaknya, maka itu adalah tanggung jawab MPR itu sendiri. Tidak lagi menjadi tanggung jawab saya. Setelah klarifikasi ini, saya akan berhenti berbicara tentang gagasan ini.” (Kompas 30 Mei 2000)
Nasib pengadilan rakyat

Meski Pengadilan rakyat yang dihujat di Indonesia itu tidak mempunyai kekuatan hukum, namun hasil yang dicapai bukan hanya sekedar pembuktian Indonesia dibawah Jenderal Soeharto yang terbukti melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, pelecehan seks, perkosaan, penghilangan paksa, dan penganiyaan melalui propaganda. Namun lebih dari itu, yakni bahwa semangat rekonsiliasi yang digaungkan Gus Dur hampir dua windu lalu itu, tetap ada dan mempunyai perkembangan yang signifikan. Den Haag-Belanda pun dipilih karena mempunyai kenangan manis saat sidang kasus Rawagede, akhirnya pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bersedia mengganti rugi kepada keluarga korban. Selan itu, Den Haag dipilih karena merupakan simbol keadilan dan perdamaian internasional yang mana bermarkas Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice). Pengadilan terkait Yugoslavia juga pernah digelar disana.

Pengadilan Rakyat Internasional juga pernah digelar pada Juli 2015 di Washington, Amerika Serikat yang menuntut Presiden Filipina Benigno Aquino III dan pemerintah AS atas tuduhan kejahatan, pembantaian dan pelanggaran HAM kepada rakyat Filipina. Pada 2014 Pengadilan Rakyat juga digelar di Columbia University Law School, New York, AS menuntut pemerintah AS, Perancis, Inggris, Italia, Kanada dan Sekutu NATO atas tudingan kejahatan perang dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Libya, Pantai Gading, Zimbabwe, Haiti dan orang-orang kulit hitam.

Akhirnya, dengan tetap penuh masygul, saya menilai walaupun semangat rekonsiliasi tetap menggema, ia akan tetap ringkih akibat sekelompok orang reaksioner yang konserfatif, yang menganggap bahwa polemik masa lalu harus dipelihara dengan dalih apapun.

“Setolol-tololnya orang adalah yang tak tau apa itu sejarah,                                                                      dan sehina-hinanya orang ialah yang memalsukan sejarah” (Mahbub Djunaidi)

*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Kampung Rambutan, 11 November 2015
Pict : Istimewa