Don Gusti Rao*
Pagi
itu di Jakarta, 10 November 2015, dunia maya begitu gegap gempita, bagaimana
tidak, hari itu adalah hari pahlawan. Hari dimana terdapat apresiasi dan
seremonial-simbolik terhadap perjuangan anti kolonialisme-imperialisme bagi
bangsa ini. Disisi lain, dunia maya terbelah, ada yang cukup tajam mengkritik
suatu peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama, yakni pengadilan rakyat
internasional (International People Tribunal) yang diselenggarakan di Den Haag,
Belanda oleh para aktivis dan pegiat HAM Indonesia. Agenda itu, semacam
pengadilan in absentia atas kejahatan
kemanusiaan pada tahun 1965, dimana ratusan hingga ribuan orang dibunuh dengan
dalih sayap kiri dan atau yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia,
bahkan komandan RPKAD waktu itu, Letnan Jenderal Sarwo Edhie mengklaim telah
membunuh 3 Juta orang yang terindikasi PKI [Rum Aly : 1966]. Pengadilan rakyat
itu menuntut Negara Indonesia dengan presidennya waktu itu yakni Jenderal
Soeharto untuk bertanggung jawab.
Akhirnya
saya pun mafhum terkait beberapa twitwar di
twitter pada 10 November itu, sensifitas pengadilan rakyat mengalir deras, bak
musim hujan yang sebentar lagi datang. Bangsa ini masih begitu phobia terhadap segala hal yang berbau
PKI dan komunismenya, thesis Huntington tentang benturan peradaban yang “diklaim”
merupakan antitesa atas the end of
ideology Fukuyama pun dipecundangi. Ya, ramalan Huntington terkait benturan
peradaban yang mendominasi konflik di dunia dewasa ini menjadi minor tatkala
pergolakan ideologi ternyata masih menjadi magnit, magnit yang dipupuk selama
puluhan tahun oleh sebuah orde yang sistemik di Indonesia.
Mengingat
komunisme dan dinamika diskriminasinya mengingatkan kita akan Gus Dur, mantan
presiden yang punya konsepsi paradigmatik yang begitu futuristik. Baginya,
konsepsi pemikiran haruslah implementatif, apalagi bila kemudian ada values penting, yakni kemanusiaan. Gus Dur
acapkali menciptakan polemik, tentunya dengan rasionalisasi yang berpegang
teguh dengan Undang-Undang Dasar. Bahkan, sebelum hiruk pikuk pengadilan rakyat
di Belanda, Gus Dur sudah memulai wacana mulia itu dengan semangat rekonsiliasi
anak bangsa.
“Belum tentu
orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati.
Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi”. (kompas, 15
maret 2000)
“Karena banyak
orang menganggap PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah,
karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar.
(Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Elsam , 2004)
Supremasi
hukum harus menjadi panglima, dimana keadilan sosial pada sila ke lima
Pancasila mengakomodir itu. Namun tentu saja akan menjadi bias bila sentimentil
ideologis dijadikan traumatik yang mencekam. Gus Dur sadar akan hal itu, quote nya yang terkenal itu, yakni “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi”
adalah bukti nyata bahwa keadilan menjadi urgensi bila integrasi bangsa adalah
cita-cita luhur bersama.
-o0o-
Semangat
rekonsilisasi pun tak pernah sirna bagi Gus Dur, meski mendapat kritik keras
dari Ketua Umum PBNU saat itu KH. Hasyim Muzadi terkait sikapnya terhadap PKI,
Gus Dur tetap keukeuh ingin mecabut
TAP MPRS XXV/1966 yang tentu saja merupakan bentuk legitimasi yang
diskriminatif, semangat kebebasan berfikir dan berpendapat tentu saja
tercederai.
Pada
suatu ketika di acara Kick Andy Metro
TV, ketika dicecar pertanyaan tentang keinginan Gus Dur untuk mencabut TAP MPRS
XXV/1966, Gus Dur menjawab :
“Yang terpenting
itu, bahwa tugas mengucilkan PKI itu bukan tugas negara, itu yang penting. Apa
artinya pemisahan agama dari negara kalau negara ngurusin segala hal. Padahal yang menentang PKI kan cuma beberapa gelintir orang aja.”
Dari
statement Gus Dur itu, saya jadi
teringat tentang buku putih Benturan PKI-NU yang diterbitkan oleh PBNU tahun
2013 lalu. Buku yang disinyalir sebagai pembelaan terhadap manuver dari apa
yang dinamakan Neo-PKI atau PKI baru itu menuai beberapa kritik. Kritik paling
substantif bukan karena materi atau persinggungan PKI-NU yang memang masih
menjadi kontroversi, tetapi frasa terakhir dari statement Gus Dur diatas bahwa yang menentang PKI sebenarnya hanya
beberapa gelintir orang (kelompok) saja. Karena mayoritas orang pasti
menginginkan rekonsiliasi, tentunya berharap agar polemik serupa dimasa lalu
tak terulang. Buku itu disinyalir menjadi tunggangan militer yang kerap
melakukan cuci tangan atas pembantaian kemanusiaan yang terjadi, provokasi
militer menjadi perang sipil dengan mengagungkan frasa to kill or to be killed! dengan sangat hegemonik, membunuh atau
dibunuh!, akibatnya, sipil membunuh sipil dengan dalih jihad, ya, jihad membela
agama dan negara. Maka tak heran bila konon katanya, buku itu tak dicetak lagi.
Banyak
tugas negara yang lebih penting dari pada mengurusi diskriminasi ideologi yang
pada suatu kasus belum tentu kebenarannya, ya meski memang keinginan Gus Dur
urung dilaksanakan, namun keinginannya patut dijadikan teladan bahwa
bagaimanapun kepentingan bersama jauh diatas dari kepentingan politik.
Kepentingan politik menjadikan presiden selanjutnya tidak begitu menaruh
perhatian penting terhadap berbagai produk undang-undang yang diskriminatf.
Membahas isu komunisme sama saja menjadikan presiden tidak populer, karena
begitu sensitif, ini contoh bahwa Indonesia belum siap menerima kebebasan
berpendapat dalam bingkai demokrasi.
Tapi,
Gus Dur siap untuk tidak populer, bahkan berseberangan dengan NU sekalipun.
Meminjam KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), bahwa bila orang lain rela mati demi
keluarga dan kelompoknya, Gus Dur justru rela mati demi orang lain.
“Saya minta TAP
(MPRS XXV/1966) ini dicabut, bukan mencabut soal politiknya, tetapi jangan
sampai hak hukum orang kita langgar karena kita jengkel. Itu bukan seorang
muslim. Seorang muslim yang benar, apapun senang atau tidak senang kebenaran
adalah kebenaran. Nah disini yang penting, kenapa saya ngotot.” (Kompas 1 april 2000).
“Disamping itu,
saya hanya mengajukannya (kepada MPR). MPR lah yang berhak untuk
mempertimbangkan apakah menerima atau menolaknya. Jika MPR menolaknya, maka itu
adalah tanggung jawab MPR itu sendiri. Tidak lagi menjadi tanggung jawab saya.
Setelah klarifikasi ini, saya akan berhenti berbicara tentang gagasan ini.” (Kompas
30 Mei 2000)
Nasib pengadilan rakyat
Meski
Pengadilan rakyat yang dihujat di Indonesia itu tidak mempunyai kekuatan hukum,
namun hasil yang dicapai bukan hanya sekedar pembuktian Indonesia dibawah
Jenderal Soeharto yang terbukti melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, pelecehan
seks, perkosaan, penghilangan paksa, dan penganiyaan melalui propaganda. Namun
lebih dari itu, yakni bahwa semangat rekonsiliasi yang digaungkan Gus Dur
hampir dua windu lalu itu, tetap ada dan mempunyai perkembangan yang
signifikan. Den Haag-Belanda pun dipilih karena mempunyai kenangan manis saat sidang
kasus Rawagede, akhirnya pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bersedia
mengganti rugi kepada keluarga korban. Selan itu, Den Haag dipilih karena
merupakan simbol keadilan dan perdamaian internasional yang mana bermarkas
Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice). Pengadilan
terkait Yugoslavia juga pernah digelar disana.
Pengadilan
Rakyat Internasional juga pernah digelar pada Juli 2015 di Washington, Amerika
Serikat yang menuntut Presiden Filipina Benigno Aquino III dan pemerintah AS
atas tuduhan kejahatan, pembantaian dan pelanggaran HAM kepada rakyat Filipina.
Pada 2014 Pengadilan Rakyat juga digelar di Columbia University Law School, New
York, AS menuntut pemerintah AS, Perancis, Inggris, Italia, Kanada dan Sekutu
NATO atas tudingan kejahatan perang dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Libya,
Pantai Gading, Zimbabwe, Haiti dan orang-orang kulit hitam.
Akhirnya,
dengan tetap penuh masygul, saya menilai walaupun semangat rekonsiliasi tetap
menggema, ia akan tetap ringkih akibat sekelompok orang reaksioner yang konserfatif,
yang menganggap bahwa polemik masa lalu harus dipelihara dengan dalih apapun.
“Setolol-tololnya
orang adalah yang tak tau apa itu sejarah, dan
sehina-hinanya orang ialah yang memalsukan sejarah” (Mahbub Djunaidi)
*Gusdurian yang lagi nyantri di PMII
Kampung
Rambutan, 11 November 2015
Pict : Istimewa
Pict : Istimewa