*Tugas pada Budaya dan Pemikiran Politik Indonesia, Pascasarjana Ilmu Politik UNAS. 2013
ABSTRAK
Munawar
Musso (Lahir di Kediri, 12 Agustus 1897 – 31 Oktober 1948) adalah seorang
aktifis pergerakan Indonesia, berlatar belakang dari keluarga taat beragama di
Desa Pagu Kediri, Jawa Timur. Masa mudanya dilalui dengan aktif diberbagai
organisasi gerakan seperti Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Sarekat
Rakyat, ISDV dan organisasi-organisasi perburuhan pada pra kemerdekaan. Lewat
gerakannya yang dikenal radikal terhadap imperial dan kolonial, gerakannya pun
sampai ke Rusia yakni di Komunisme Internasional (komintern) sebagai induk
organisasi komunis dunia. Ia pun dekat dengan Stalin, pemimpin gerakan komunis
yang juga penguasa Rusia.
Diluar
gerakannya yang hegemonik, Musso pun menelurkan satu gagasan yang menjadi
pedoman kaum komunis masa itu. Konsepsi paradigmatiknya itu kemudian dikenal
dengan sebutan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Jalan Baru pun menggema
dan dijadikan sebagai landasan bergerak bagi PKI, setelah kembali dari Rusia,
Musso semakin radikal terhadap imperialisme, untuk itu ia pun tidak mengenal
kompromi terhadap segala macam bentuk imperial dan feodalisme. Atas dasar
itulah Musso dituding terlibat dalam peristiwa Madiun yang konon disebut
sebagai pemberontakan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Gambaran Umum
Membicarakan
Musso sebagai seorang tokoh kontroversial tidak lepas dari berbagai peran yang
ia jalankan. Dalam lingkup pergerakan pra-kemerdekaan, ia disanjung sedemikian rupa tatkala
aktif sebagai aktor gerak melawan imperialisme. Berbagai pemberontakan dan
pemogokan buruh yang membuat geram pemerintahan kolonial membuatnya sebagai
buruan utama,[1] hingga
ia melanglang buana ke luar negeri dan meninggalkan tanah kelahirannya untuk
menghindari endusan intelejen dan pengawasan keamanan kolonial. Pengalamannya
dalam dunia pergerakan dalam negeri pun cukup fenomenal, selain cukup berperan
menjadi inisiator pemogokan buruh dan pemberontakan terhadap pemerintahan
kolonial – salah satunya adalah
pemberontakan Afdeling-B di Cimareme Garut,[2]
Jawa Barat yang membuatnya di bui bersama Alimin, ia juga menikmati pendidikan di Hogere
Burger School (HBS) di Surabaya, di kota pahlawan ini ia indekos dirumah
H.O.S. Tjokroaminoto bersama Soekarno, Alimin, Semaoen dan Kartosoewirjo.[3]
Dirumah Tjokroaminoto inilah ia bertemu dengan Sneevliet, seorang Marxian dari
Belanda yang kerap berdiskusi dengan Tjokroaminoto dan para muridnya yang
indekos disana. Sneevliet juga yang mengkader Musso, Alimin, Haji Misbach,
Darsono, Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo dan mendirikan Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang berhaluan Marxisme. Sneevliet
juga memasukkan gagasan sosialis dalam tubuh Sarekat Islam hingga pada akhirnya
Tjokro mendikotomi Sarekat Islam Merah dan Putih sebagai disiplin partai, juga
karena adanya dualisme keanggotaan antara Sarekat Islam dan ISDV yang kemudian
menjadi PKI. Sneevliet jeli melihat Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat
yang memiliki basis massa besar, itu sebabnya Sneevliet masuk dan menanamkan
pengaruhnya dengan membangun blok merah di tubuh Sarekat Islam, apalagi
Sneevliet adalah orang yang berani menyuarakan gagasan “Hindia Belanda Merdeka”
– gagasan yang revolusioner untuk masa itu ketika Belanda kuat menancapkan
imperialisme.[4]
Diluar
perannya sebagai aktivis gerakan – setidaknya setelah melanglang buana hingga
ke Uni Soviet, Musso aktif sebagai aktor politik. Ia dianggap berbakat dan mempunyai peranan
besar dalam gerakan komunis Asia Tenggara, karier politiknya pun menjulang di
Komintern (Komunis Internasional) berkat keikutsertaannya pada Kongres ke-6 di
Moskow medio Juli 1928 dan didampuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis
Internasional.[5]
Lengkaplah sudah komparasi pergerakan dan politik dalam hidupnya yang paradoks.
Aktifis
gerakan kiri progresif-revolusioner Indonesia cukup memegang peranan dalam
konstelasi Komunis dunia, tokoh -
tokoh seperti Tan Malaka, Alimin, Semaoen dan Darsono cukup berpengaruh,
setidaknya dalam Komintern. Nama-nama tersebut juga turut hadir dalam Kongres
Komintern ke-6, kecuali Tan yang diwakili oleh Tadjudin. Semuanya fasih
menggunakan nama samaran sebagai respon untuk mengelabuhi kejaran pemerintah
kolonial.
Sebagai
bagian dari gerakan Komintern yang ingin mengukuhkan hegemoni Komunis ke
seluruh dunia,[6] Musso
mafhum akan hal itu, ia pun pulang ke Indonesia awal Agustus 1935 – sejak
pemberontakan 1926 – dengan membawa
konsep kompromistis komunis atau yang dikenal dengan Doktrin Dimitrov.[7]
Cinderamata Musso dari Soviet setelah ia pulang pasca pemberontakan 1926 ini
cukup dijadikan pedoman kaum Komunis tanah air, kaum progresif revolusioner pun
tidak berkeberatan mengulurkan tangan dengan kaum kolonialis untuk melawan
kekuatan Fasis yang mulai menggeliat di Asia dengan Jepang sebagai garda
terdepan gerakan ultra nasionalis tersebut.
Sejak
dibakukannya Doktrin Dimitrov
oleh Komintern, secara implisit Komunisme mulai menggurita khususnya di Eropa
seperti Perancis dan Italia yang pada tahun 1946 Partai Komunis setempat
berhasil memenangi pemilu.[8]
Eropa Barat yang Komunis sekaligus mengkomuniskan tanah-tanah jajahannya, dan atas dasar ini Partai Komunis
Vietnam dan Indonesia sampai awal 1948 mengikuti garis lunak induknya di Eropa.[9]
Namun sejak pertengahan tahun 1947 kekuatan nonkomunis pun mulai sadar akan
bahaya Komunis dan mereka mulai mengadakan langkah-langkah preventif yang
sinambung, salah satunya apa yang dikenal dengan Marshall Plan,[10]
kemudian yang fenomenal adalah pada tahun 1948 disaat hangatnya peristiwa
Madiun dikenal juga istilah Red Drive Proposal atau pembasmian kelompok
merah.[11]
Medio akhir
1947, saat embrio perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur mulai
berkembang,[12] saat
itu pula tantangan bagi kaum Komunis mulai semakin berat. Dan ini adalah
relevansi besar atas perang dingin AS-Uni Soviet, embrio awal dari peristiwa
Madiun pembersihan kaum kiri di Indonesia yang konon adalah sebuah desain
Amerika Serikat lewat kebijakan Hatta yang moderat dengan bargain pengakuan de jure
kemerdekaan Indonesia yang di nakhodai Amerika dan sekutunya.[13]
Salah satu efek dari dari derasnya perang dingin yaitu utopianya
harapan-harapan kaum Komunis satu persatu untuk mengkomuniskan Eropa, sehingga
mereka meninggalkan garis lunak, dan kembali ke garis keras.[14]
Garis keras tersebut “kembali ke jalurnya” setelah Dua Belas tahun menekuni
doktrin Dimitrov. Adalah Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis
Soviet yang dekat dengan Joseph Stalin. Doktrin Zhdanov pada hakikatnya menganjurkan
kaum Komunis untuk mengambil jarak dari kubu Imperialis, Kapital-Liberalis yang dimotori AS. Era kompromistis pun sudah
berakhir, hal ini juga didukung oleh melemahnya hegemoni Fasis yang sempat
membawa perubahan garis perjuangan di Komintern – komintern kemudian berubah
menjadi Kominform atau Communist Information Bureau pada saat Zhdanov
menyerukan Doktrin ini.
Musso kali ini
pulang membawa bekal doktrin Zhdanov pada awal Agustus 1948, keahliannya dalam
penyamaran cukup baik dilakukannya saat itu, menyamar sebagai Soeparto asisten
Soeripno pemuda kiri yang saat itu menjabat sebagai Kepala Perwakilan Republik
Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Kharisma dan rekam jejak yang cukup mentereng
pun menjadi nilai bagi eksistensi Musso sebagai pemegang peran sentral PKI,
apalagi setelah jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin yang notabene disokong kubu
kiri, juga semakin terjepitnya posisi Republik Indonesia pasca perjanjian Renville.
Hal-hal tersebut semakin membuat gairah politik Musso menjadi-jadi, apalagi dia
langsung mencetuskan konsepsi paradigmatiknya yang kemudian dikenal dengan
“Djalan Baru untuk Republik
Indonesia” pada sidang
politbiro PKI tanggal 13 dan 14 Agustus 1948 di Yogyakarta. Untuk menyebarkan
gagasan revolusioner Djalan Baru-nya, Musso mengadakan safari politik berupa
rapat-rapat akbar di alun-alun kota dan lapangan besar, dalam setiap rapat
akbar tersebut ia mengkritik kebijakan pemerintahan Hatta yang mau berdiplomasi
dengan kaum imperial-kolonialis. Dia mendesak rakyat untuk mengangkat senjata
melawan penjajah, tak jarang Musso membuka pidatonya dengan teriakan “menang
perang!”.[15]
Dikisahkan pada suatu rapat di Yogya, Djalan Baru Musso dikritisi dengan
skeptis oleh seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada: “Apa kita mampu melawan
Belanda dalam kondisi kita seperti ini?” Musso langsung menyingsingkan lengan
bajunya dan menjawab dengan cekatan: “Kenapa tidak? Ini Musso kawanku! Yang
pernah berperang melawan kaum Fasis di Italia!”[16]
Djalan Baru
Musso pun cukup mendapat perhatian dari kawan maupun lawan politik sang Oude
Heer.[17] Musso
(dalam Djalan Baru-nya) menganggap bahwa PKI tidak mengakar kuat pada buruh,
tani, pemuda dan tentara. Kader PKI terpecah-belah dan sosialisasi ideologi
kurang optimal. Banyak sekali hal-hal kontemporer dan masalah populis-kerakyatan
yang disinggung dalam Djalan Baru antara lain tentang keorganisasian, partai
politik, politik dalam dan luar negeri, kepolisian Negara, pengadilan negeri,
ketentaraan, adanya Front Nasional, ideologi dan alat-alat Negara lainnya.[18]
Salah satu gagasan Djalan Baru yang cukup dikenal adalah adanya fusi tiga
partai kiri yaitu Parti Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia
menjadi Partai Komunis Indonesia.
Kharisma
seorang Musso membuatnya cukup diperhitungkan dalam kancah pergerakan dan
politik pasca kemerdekaan, banyak politisi sosialis dan komandan pasukan
bergabung dengan Muso, antara lain Amir Syarifuddin, Setyadjit Soegondo dan
beberapa orang yang tergabung dalam kelompok diskusi Patuk.[19]
Bahkan Soemarsono, tokoh Pesindo dan saksi hidup Peristiwa Madiun dalam bukunya
dan berbagai wawancara mengungkapkan bahwa ia adalah pengikut setia Musso atau
sebut saja seorang “Mussois”.
Tak dinyana,
kembalinya Musso menjadi ceritera kelam yang saat ini menjadi misteri, sekelam
misteri murid-murid Tjokroaminoto yang saling membunuh dengan koridor ideologi
berbeda-beda, Musso-Alimin-Semaoen dengan Komunis, Soekarno kukuh dengan
Nasionalisme-nya dan Kartosoewirjo dengan Islam sebagai ideologi. Ya, mereka
baku hantam dengan harapan sama: memajukan Indonesia sebagai Negara berdaulat!
Terlepas dari berbagai mekanisme ideologi untuk merengkuhnya, yang pasti mereka
menginginkan Indonesia yang sempurna versi mereka sendiri, dan Tjokro tidak
sempat melihat muridnya bergumul dengan ide-ide revolusioner. Lalu bagaimana
dengan pertemuan hangat Soekarno-Musso yang dikisahkan Soe Hok Gie dengan
sangat haru biru? Menjadi ambiguitas ketika Tiga Puluh Tujuh hari kemudian
mereka saling bunuh lewat pidato Radio, mencaci maki dengan saling tuduh
sebagai renegat!, ambigu apakah itu pertemuan politis atau memang
pertemuan dua sahabat yang berpisah selama Tiga dasawarsa. Tapi sejarah
akhirnya bicara, mereka sangat antipati hingga akhirnya pecah peristiwa Madiun
pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19
September 1948, dalam pidato yang
dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat
Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau
dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga
jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso
menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis
Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan
melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.[20]
Maka pecahlah
konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs
(Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai
pemberontakan PKI.
B. Alasan Pemilihan Judul
Tak dipungkiri, “aliran kiri” begitu
seksi dimata aktivis mahasiswa, baik dari segi gerakan maupun pemikiran. Di
sisi lain tokoh yang dikaji melulu Marx atau tokoh luar seperti Gramsci,
Trotsky, Nietzche sampai Zizek. Tokoh lokal tidak jauh dari Soekarno, Tan
Malaka, Aidit sampai Syahrir. Musso tidak begitu familiar, hal tersebut menurut
penulis adalah karena adanya pemahaman keliru terkait pemikiran dan gerakannya.
“Jalan Baru” tidak sesederhana yang dilihat meskipun menggunakan kata-kata yang
mudah dicerna oleh awam sekalipun, hal itu memang ditujukan sebagai pedoman
rakyat sampai kemudian Biro Propaganda CC PKI menstensilkannya hinga
beribu-ribu kopi demi disebarluaskan kepada kaum buruh, tani dan rakyat secara
umum.
Di sisi lain, sosok Musso sangat
misterius. Tim Buku Tempo, yang merupakan satu-satunya buku yang membahas sosok
Musso – penulis lain banyak menulis sosok Musso lebih jeneral, bahkan cenderung
mengisahkan Peristiwa Madiun – menuliskan bahwa Musso adalah anak pegawai Bank,
sedang PBNU lewat buku putihnya “melegalisir” bahwa Musso adalah cucu Kyai
Kasan Muhyi dan “ponakan tiri” K.H Hasyim Asy’ari. Itulah lika-liku kisah hidup
Musso yang menjadi misteri.
Kemudian adalah Peristiwa Madiun
yang kemudian di era Orde Baru disebut sebagai Pemberontakan, peristiwa yang
menjadi magnet karena banyak tudingan bahwa peristiwa tersebut adalah agenda
Amerika demi membumihanguskan kaum kiri di Indonesia pasca Fasis hancur.
Terakhir adalah konsepsi paradigmatiknya, Jalan Baru yang merupakan konsepsi
pedagog untuk mengedepakan “pendidikan teoritik” yang bersifat implementatif
untuk kaum buruh tani, dan hal itu dinilai “langka” dalam tubuh pemikir komunis
karena bahkan lebih condong ke sosialis “soska” ala Syahrir.
Itulah alasan-alasan mengapa Musso
adalah sosok menarik untuk kemudian dikaji secara komperhensif, baik dari segi
gerakan, pemikiran hingga biografi hidupnya yang berliku.
BAB II
MUSSO, SEPAK TERJANG DAN GERAKANNYA
A. Latar Belakang Musso
Musso
lahir dengan nama Munawar Musso pada 12 Agustus 1897[21]
di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ayahnya Mas
Martoredjo,[22] pegawai
kantoran pada Bank di Kecamatan Wates, tak jauh dari rumah. Sedang ibunya
bekerja dirumah mengelola kebun Kelapa dan kebun Mangga. Sumber lain[23]
menulis bahwa bapaknya bernama Datar yang bekerja setiap hari, sehari penuh di
sawah. Ibunya bernama Khasanah yang kesehariannya membatik yang kemudian
hasilnya ditukar dengan bahan-bahan keperluan sehari-hari.
Musso yang memang berasal dari
keluarga yang taat, ketika kecil dikenal rajin mengaji. Selain itu, pria
bertubuh gempal ini juga amat aktif dalam berorganisasi sejak saat remaja,
bahkan di Buku Tempo disebutkan atas aktivitasnya itu hubungan antara dia dan
adiknya Sidik merenggang.[24]
Hal tersebut dikarenakan Sidik amat keberatan kakanya menggunakan rumah
orangtua mereka sebagai basis kader PKI. Kader-kader PKI dari Blitar,
Trenggalek dan Madiun pun sering singgah untuk berdiskusi, silaturahim sampai
bermalam dirumahnya.
Ada dua ulasan menarik tentang latar
belakang keluarga Musso, setidaknya ada dua buku yang berlainan menerangkan
kapasitas keluarga Musso. Buku Tempo menyebutkan bahwa Musso termasuk keluarga
berada pada zamannya, dengan saudara yang “hanya” dua kakak-beradik, ditambah
dengan pekerjaan ayahnya yang pegawai kantoran Musso bahkan sudah mengendarai
sepeda motor pada zaman itu. Sepeda motor kebo
merek Ural buatan Soviet. Sedangkan
pada Buku karya Sutopo[25]
menyebut bahwa Musso adalah anak sederhana yang pergi ke Batavia untuk mencari
pekerjaan. Di Batavia, pada umur 20 tahun ia pun berhasil bekerja sebagai
pegawai pos. Namun tidak lama bekerja ia pun dipecat karena aktif dalam serikat
buruh (SB Postel, Pos dan Telegrap). Sejak itu pula ia meretas jalan sendiri
dengan keras, tidak mau lagi bekerja pada pemerintah kolonial.
Tim Buku Tempo menulis, dengan
latar belakang yang lumayan, Musso
hijrah ke Batavia untuk masuk kesekolah guru. Disekolah itulah Musso mulai
mendapat ide-ide pencerahan wal tentang sosialisme dan komunisme. Perkawanan
Musso dengab Alimin pun dimulai dari sekolah ini, keduanya dipertemukan oleh
G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Bumi Putera.[26]
Ada juga D. Van Hinloopen Labberton, seorang reformis politik etis yang juga
ketua Theosofische Vereeniging di Batavia, Musso juga dekat dengannya.
Setelah tamat sekolah pendidikan
guru di Batavia, Musso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg atau Bogor.
Kampus inilah cikal bakal Institute Pertanian Bogor.[27]
Versi Soemarsono menyebutkan Musso bersekolah di Hogere Burger School (HBS). Ia
juga menyebutkan bahwa Musso dua tingkat lebih senior dibanding Soekarno, yang
masuk HBS Surabaya pada 1915.[28] HBS adalah sekolah lanjutan menengah
untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi.
Di Surabaya, Musso kos dirumah
tokoh pergerakan yang juga tokoh SI Tjokroaminoto.[29]
Kos yang dikelola oleh Suharsikin, istri Tjokro ini juga ditempati oleh
tokoh-tokoh muda pergerakan yang kelak mengambil peranan dalam dinamika
pergerakan kemerdekaan Republik, yakni Soekarno, Alimin dan Kartosoewirjo.
Dirumah ini juga Musso bertemu dengan Sneevliet yang menetap di Surabaya.
Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokro yang notabene juga sebagai
anak kos, salah satu murid yang intens berdiskusi dengannya adalah Musso.
Belakangan Musso bersama Alimin, Semaoen, Darsono, Mas Marco Kartodiromo dan
Haji Misbach menjadi kader Sneevliet di ISDV yang tentunya memegang peranan
penting.
Soe Hok Gie dalam orang-orang
dipersimpangan kiri jalan mewawancarai Darsono, senior Musso yang juga tokoh
PKI pada 1964.[30]
Bagi Darsono, Musso muda adalah orang yang garang dan senang amuk-amukan. Pada
usia 20 misalnya Musso sudah terlibat dalam gerakan Sarekat Islam Afdeling B di
Cimareme, Garut, Jawa Barat. Afdeling ini didirikan oleh tokoh Sarekat Islam
Raden Pandji Sosrokardono. Pada 1919 ratusan petani dan kader PKI berontak
melawan penguasa kolonial, banyak yang tewas dan ditangkap.
Menarik, bila dikemudian hari
kita melihat murid-murid Tjokro berjibaku satu sama lain dengan ekspektasi
sama, yakni menaikkan derajat Republik dengan kemerdekaan. Tak dinyana, Tjokro
meninggal sebelum indonesia merdeka, ia pun tidak sempat melihat murid-muridnya clash satu sama lain dengan
interpretasi ideologinya masing-masing. Mereka “saling membunuh” lewat pemahamn
berbeda dengan tujuan sama, Musso fasih dengan komunismenya, Soekarno dengan
jalan nasionalis yang elegan dan Kartosoewirjo dengan faham Islam yang
fundamental. Dan, gelanggang konflik murid Tjokro menegaskan bahwa Soekarnolah
yang ditakdirkan untuk menang.
B. Aktifitas gerakan-politik
Seperti
diungkapkan diatas, Musso mudah sudah menceburkan diri dalam dunia pergerakan
baik gerakan buruh maupun gerakan sosial politik. Ia pun tak lupa melengkapi
gerakan itu dengan pendidikan mumpuni sebagai parameter kadar intelektualnya.
Di dunia akademik itulah ia mendapat teman-teman seperjuangan saat kos dirumah
Tjokro. Belum lagi persinggungannya dengan Sneevliet.
Ia
memulainya dengan aktif Sarekat Islam, organisasi terbesar waktu itu. Setelah
cukup memakan pemahaman radikal Sneevliet, ia pun masuk ISDV yang sebelumnya
cukup berperan dalam pemberontakan di Cimareme. Setelah ditangkap bersama
Alimin pasca pemberontakan Cimareme SI afdeling B, Musso pun membentuk PKI
cabang Jakarta yang dinilai sebagai pelampiasan terhadap sikap dan perlakuan
buruk yang diterimanya saat dipenjara. Itu melampiaskan itu secara elegan, ia
membuka pos legitimasi untuk menghantam kolonial dan PKI Jakarta pun berdiri.
Di ISDV yang kemudian menjadi PKI, Musso
menjadi tokoh. Apalagi setelah ia bisa menembus lingkaran komintern. Muso
bersama Tan Malaka, Alimin, Semaoen dan Darsono menjadi orang Indonesia yang
namanya cukup diperhitungkan dikomintern (Rusia). Kecuali Tan yang sedang sakit
dan diwakili Tadjudin, kelima aktifis kiri tersebut pun hadir dalam kongres
komintern ke-6. Berkat keikutsertaanya itu pula lah Musso didampuk mejadi
komite eksekutif komunis internasional. Walau tak selesai saat mendapat
beasiswa kuliah di Universitas Lenin, konsepsi paradigmatik akademiknya
ternyata cukup menarik dianalisis. Setidaknya oleh konsep penawaran dan koreksi
kritis terhadp pemerintahan waktu itu, konsepsi paradigmatiknya yang kemudian
dikenal dengan “Djalan Baroe oentoek Repoeblik Indonesia” cukup laris lewat sosialisasinya
diberbagai daerah. Jalan baru kemudian distensil untuk diperbanyak oleh CC PKI
sebagai pedoman kaum kiri yang mayoritas menggantungkan gerakan populis kepada
kaum buruh dan tani.
Musso
yang sejak menjadi buronan intelejen kolonial pasca pemberontakan 1926, mencoba
peruntungan untuk kembali membela bangsanya. Medio 1935 ia pun pulang dengan
membawa cinderamata dari komintern. Cinderamata Musso yang tak lain adalah
garis perjuangan Dimitrov yang kompromistis kepada elemen lain diluar komunis.
Doktrin yang menganjurkan kaum revolusioner kiri untuk berkooperasi dengan kaum
kapital- liberlisme dan kolonialisme ini menjadi garis baru yang diminati di
Indonesia, apalagi bila doktrin tersebut dengan tegas melawan hegemoni
fasis-naziisme yang mulai menggurita. Doktrin ini mampu bertahan sampai 12
tahun, ketika hegemoni fasis-naziisme mulai terkikis dan perang dingin dimulai.
Doktrin kembali ke garis keras karena musuh utama sudah hancur, kaum komunisme
kembali mengambil jarak dengan kaum kapital-liberalisme dan kolonialisme.
Doktrin garis keras tersebut kemudian dikenal dengan doktrin Zdhanov.
C. Ihwal Peristiwa Madiun
Bak sebuah puzzle yang tercecer
begitu banyak dan sukar disusun dengan rapi, Peristiwa Madiun menjadi niscaya
besar dalam analogi tersebut. Begitu banyak variabel yang ditenggarai menjadi
penyebab utama terjadinya Peristiwa ini membuatnya cukup menantang untuk
ditelaah. Setidaknya dalam rangka membangun perspektif disertai referensi yang
relevan juga “objektif”. Ada beberapa hal seperti konflik internal politik
militer lewat kebijakan yang keliru yang dipahami sebagai faktor fundamental
terjadinya Peristiwa ini.[31]
Juga pergolakan ideologi dalam kacamata perang dingin,[32]
hingga Poezze mengisahkan bahwa oportunistis Musso lewat ungkapan Ik kom hier om orde te scheppen! (Saya
datang kesini untuk menciptakan ketertiban!) adalah sasmita buruk[33]
yang diintepretasikan bahwa Peristiwa Madiun adalah sebuah desain dari Soviet
untuk menghegemoni Indonesia dengan faham komunisme lewat visi besar Musso
mengakuisisi Republik dari tangan Soekarno.
Belum sampai situ saja, medio 90-an sampai sekarang setidaknya ada empat
buku yang hakul yakin bahwa Peristiwa Madiun murni pemberontakan seperti halnya
yang kita baca pada pada buku-buku pelajaran sejarah Sekolah Dasar. Keempat buku tersebut yakni
karya Suratmin, Himawan Soetanto (dua jilid) dan Agus Sunyoto cs.[34]
Selain buku Suratmin, Harry Poezze[35]
dan Tim Buku Tempo yang terbit pasca reformasi, ada juga buku karya Soemarsono
yang dinilai sebagai sebuah buku perlawanan terhadap distorsi sejarah yang
menurutnya juga subjektif.[36]
Buku-buku tersebut menghasilkan pergumulan perspektif menarik yang juga
disertai dengan khasanah paradigma dan kekayaan data yang lengkap, ini sebagai
pembuktian bahwa walaupun pemerintah sudah mengembalikan redaksional Madiun
sebagai sebuah peristiwa (bukan pemberontakan) namun masih ada yang “tidak
sepakat”, hal tersebut dituangkan secara elegan lewat karya ilmiah. Dan hal
tersebut sangat baik dalam rangka menyambut zaman yang sudah semakin terbuka
dan toleran – tidak dengan kekerasan.
Dari fenomena tersebut, bisa dikatakan Peristiwa Madiun semakin berada
dalam ruang ambiguitas. Mengapa demikian?
Karena memang peristiwa tersebut dipahami dalam dua teropong, pertama
dari segi sebagai sebuah setting
sejarah akan kesentimentilan faham komunisme, dan kedua dari segi melawan
kesimentilan tersebut. Setiap karya yang ditulis tanpa melepaskan dua faktor
tadi, akan ada semacam subjektifitas juga perspektif yang tendensius dalam
hipotesa yang di tuangkan. Sebagai contoh dua saksi hidup yang menulis dua
karya tentang Peristiwa Madiun pasca reformasi yang cukup baik versi kesaksian
mereka. Saksi hidup tersebut yakni Soemarsono yang mantan elit Pesindo (Pemuda
Sosialis Indonesia) dan ketua Badan Pekerja BPKRI (Badan Kongres Pemuda
Republik Indonesia) dan Himawan Soetanto mantan Pangdam VI Siliwangi dan juga
mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indinesia. Keduanya
membuat karya yang menantang, sekaligus cukup menjadi referensi mainstream dalam setiap buku dan artikel
yang terbit kemudian.
D. Musso dalam Peristiwa Madiun
Pertanyaan
yang fundamental, bagaimana peran Musso? Apakah ia memberontak? Apakah ia
mendirikan negara Soviet Madiun? Apakah ia membawa agenda khusus Soviet?
Lazim
bila pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan multi intepretasi yang
tendensius. Kita mulai dengan peranan Musso pada saat ia pulang dari Moskow.
Saat Musso pulang medio 1935, ia membawa agenda penting perubahan garis
politik. Sesudah itu ia pun khusyuk untuk melawan imperialisme lewat faham
komunisme dan PKI nya. Sampai disini jelas kepentingan dan peranan Musso dalam
rangka melawan kolonialisme. Kemudian pasca membawa garis politik komintern ia
un kembali ke Moskow untuk menghindari endusan intelejen kolonial, saat
Indonesia merdeka pun Musso masih diluar negeri, dan yang disesalinya yang
kemudian dituliskannya di “Jalan Baru” adalah terlambatnya PKI untuk bangkit
dan mengambil peran penting saat kemerdekaan. Ia mafhum bahwa tokoh-tokoh elit
masih dalam pembuangan sebagai interniran akibat tragedi 1926, pun dengan kader
yang dipenjara bahkan dihukum mati. Penyesalan Musso terlebih ketika PKI-Jusuf
muncul tanpa koordinasi dan mengklaim sebagai penerus cita-cita revolusi PKI
1926, PKI-Jusuf pun berontak terhadap pemerintah Republik dan dapat dituntas.
Walaupun ada literatur yang menyebutkan Jusuf tidak mempunyai peran dalam
pemberontakan di Cirebon,[37]
namun miskoordinasi yang membuat gerakan kader Musso itu cukup dilihat sebelah
mata.
Setelah
Indonesia merdeka, medio Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia dengan bekal
doktrin Zdhanov. Doktrin garis keras yang dibenci Amerika karen non-kooperatif.
Musso pun langsung sibuk dengan gagasannya “Jalan Baru”. Jalan Baru yang
akhirnya cukup diterima PKI akhirnya diimplementasikan dengan meleburnya
unsur-unsur kiri menjadi PKI. Musso pun menjadi pimpinan PKI. Sementara polemik
dalam negeri pun membuat PKI geram dengan terus mengkritik pemerintah,
klimaksnya tatkala Amir jatuh dari kursi perdana menteri. Amir merapat bersam
Partai Sosialisnya ke PKI dan membentuk poros oposisi bernama FDR yang
berafiliasi jelas ke PKI.
Sementara
itu diluar kisruh politik terjadi juga olemik ketentaraan, Pesindo dan
laskar-laskar kiri yang tidak puas atas kebijakan Hatta seakan mendapat
intimidasi lewat penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan elitnya.
Pesindo dibawah Soemarsono pun murka. Pasukan Siliwangi yang dinilai tidak
kooperatif pun dilucuti, begitu juga CPM dan laskar-laskar pro pemerintah.
Madiun diamankan. Sementara itu Muso masih keliling pulau Jawa dalam rangka
rapat-rapat akbar dilapangan dan tempat terbuka demi mensosialisikan Jalan
Baru. Untuk memastikan keadaan, Jenderal Soedirman mengirim Letnan Kolonel
Soeharto ke Madiun, ia pun disambut Soemarsono selaku pimpinan Pesindo. Soeharto
pun melihat keadaan Madiun yang aman terkendali, namun Soemarsono tidak yakin
bahwa Soeharto menyampaikan pesan ke Soedirman bahwa Madiun aman. Pasukan
pemerintah yang mengira Madiun bergejolak pun berbondong-bondong datang dan
menyerang Pesindo. Ketidakjelasan surat yang seharusnya disampaikan Soeharto
itu pun menambah spekulasi bahwa Madiun tidak aman, ditambah lagi pidato
Soemarsono yang diakhiri dengan kata “dari Madiun kita mulai kemenangan”.
Soemarsono berdalih bahwa itu adalah pidato pembelaan terhadap penculikan yang
dilakukan oleh pasukan tak dikenal sebagai provokasi.[38]
Selanjutnya tentara Republik pun segera mengamankan Madiun sesuai instruksi.
Apalagi setelah pidato Soekarno yang dinilai sebagai legitimasi penuh untuk
bertindak.
Pidato Soekarno yang dinilai
provokatif adalah bahwa para pengacau menyulitkan jalannya pemerintahan, Musso
mendirikan negara Soviet Madiun.[39]
“... Tetapi segala tindakan anarkhi dari mana juga datangnya dan
pengacau-pengacau yang membahayakan negara dan menggganggu keselamatan umum
akan dibasmi”.
Soekarno menilai Musso dan PKI melakukan tindakan anarki,
padahal versi Soemarsono mereka hanya membela diri dengan melucuti tentara yang
menculik dan menembak tentara dan laskar afiliasi PKI. Kata “basmi” memang
menuai kontroversi, setidaknya pasca peristiwa Madiun terjadi pembunuhan bagi
kader, simpatisan ataupun mereka yang dianggap PKI secara besar-besaran.
Soekarno mengambil kesimpulan bahwa PKI melakukan
pemberontakan dengan melucuti senjata tentara pemerintah, selanjutnya ada
pembentukan negara Soviet Madiun.
“...Kemarin pagi PKI-Musso telah mengadakan coup, mengadakan perampasan
kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana satu pemerintahan Sovyet dibawah
pimpinan Musso”.
Ada anomali disini, bahwa
pernyataan Soekarno keliru tentang pernyataan bahwa Musso-lah yang mendirikan
negara Soviet Madiun. Pada buku Soemarsono, Suar Suroso, (keduanya pro
komunis). Himawan Soetanto (pro pemerintah), Tim Buku Tempo (bisa dinilai
netral), dan Harry Poeze (secara implisit menyudutkan komunis bahwa Peristiwa
Madiun adalah pemberontakan) disebutkan bahwa pada saat kemelut Madiun, Musso
justru sedang berada di Purwodadi dalam rangka sosialisasi Jalan Baru.[40]
Versi lain dari buku Suratmin, guru sejarah yang bukunya pro pemerintah menyebutkan
bahwa yang memproklamirkan dan membentuk negara Soviet Madiun adalah Supardi,
tokoh Pesindo di halaman Karesidenan Madiun.[41]
Banyak pendapat baik dari buku
yang pro ataupun kontra dengan pemerintah bahwa saat kemelut Madiun Musso
justru berada di Purwodadi, berdasarkan analisis dan kekayaan data yang lengkap
tentunya. Ini menimbulkan spekulasi bahwa Soekarno terburu-buru melakukan
pidato dengan panik, tanpa mengetahui duduk perkaranya. Soemarsono menilai
bahwa Soekarno termakan provokasi Hatta.[42]
Dan bahkan, lanjut Soemarsono, Musso tidak tau apa-apa tentang peristiwa itu
sebelum diberi tahu anggotanya.
Pidato Soekarno yang dinilai
Soemarsono janggal dan provokatif adalah:
“...Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita
Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, yang insya Allah dengan bantuan
Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia kita ke Indonesia yang merdeka,
tidak dijajah oleh negeri apa pun juga.”
Perspektif
Soekarno dalam pidatonya sudah jelas bahwa baginya, Musso membawa agenda khusus
Soviet. Berafiliasi dengan soviet sama saja dngan dijajah kembali. Apakah
Soekarno berpidato terburu-buru secara emosional? Tentu bisa diperdebatkan
secara komperhensif. Soekarno pun
langsung meminta rakyat untuk memilih antara dirinya atau Musso. Soemarsono
menilai, bagi rakyat pada masa itu pemerintah adalah wakil tuhan, dan rakyat
belum mengerti tentang apa yang terjadi sebenarnya. Sudah jelas bahwa rakyat
akan ikut Soekarno.
Musso
yang merasa disudutkan dan ingin dibasmi sebagai pengacau pun tidak tinggal
diam. Dia merasa tersudutkan setelah mengetahui diserang secara terbuka oleh
teman seperguruannya sendiri. Hanya berselang tiga jam, melalui corong
Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa
Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika.
“Merdeka! Pada tanggal 18 September 1948, penduduk kota Madiun telah
mengambil oper kekuasaan negara di tangannya. Dengan kekuatan itu rakyat Madiun
telah melaksanakan kewajiban mereka dalam revolusi nasional kta yang
sebenarnya. Revolusi harus dipimpin oleh rakyat dan tidak oleh kelas lain!”[43]
Musso
menganggap bahwa rakyat yang mengambil kekuasaan di Madiun itu adalah bagian
dari revolusi nasional, Madiun adalah serangkaian dari revolusi yang akan
dijalankan. Terlebih bila revolusi itu dijalankan oleh kelas lain dan bukan
rakyat yang sebenarnya. Ya, Musso mengkritik Soekarno-Hatta yang baginya adalah
kaum borjuasi nasional.
“...Sebenarnya mereka yang ada di dalam pemerintahan telah menggunakan
revolusi untuk memperkaya diri mereka sendiri. Selama masa pendudukan Jepang
orang-orang tersebut bertindak sebagai kolaborator-kolaborator, sebagai
pemimpin Romusya dan propagandis-propagandis Heiho. ...Dan kini orang-orang itu
juga akan berusaha untuk menjual Indonesia dan rakyatnya sekali lagi kepada
imperialis Amerika.”
Musso mengklaim bahwa
Soekarno-Hatta dan para politisi dipemerintahan
memanfaatkan revolusi sebagai ajang memperkaya diri sendiri. Terlebih
lagi bahwa mereka adalah kolaborator yang menjual rakyat kepada kaum fasis
tersebut. PKI saat itu juga telah mencium bahwa pemerintah main mata terhadap
Amerika sebagai penangkal hegemoni komunisme yang dinakhodai Uni Soviet (perang
dingin). Untuk itu Musso beranalisis bahwa ada arah untuk menjual Republik
kepada Amerika, dengan berbagai bargain
tentunya. Lebih lajut Musso berkata pada pidatonya:
“Soekarno menggunakan tuduhan dan bukti-bukti palsu, menuduh Front
Demokrasi Rakyat (FDR) dan Partai Komunis Pak Musso sebagai kaum pengacau.
Lupakah Soekarno bahwa di Solo ia menggunakan kau komunis Trotskis untuk
menteror dan menculik semua kaum komunis? Lupakah Soekarno bahwa ia membantu
dan pura-pura tidak tahu akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Divisi
Siliwangi dan kaum teror itu? Apakah yang menjadi tujuan Soekarno yang pernah
menjadi agen Romusya dengan membebaskan Tan Malaka, seorang penjahat yang
pernah mencomba untuk menggulingkan kepresidenan?
Musso berang, dan menyerang
Soekarno bertubi-tubi. Ia pun mengungkapkan realita yang terjadi yang
menurutnya hasil konspirasi Hata dan Tan Malaka. Pembebasan Tan Malaka setelah
ia dipenjara akibat dituduh turut andil dalam peristiwa penculikan Perdana
Menteri Sjahrir – yang terjadi di Solo, 27 Juni
dan peristiwa kudeta 3 Juli 1946 – adalah upaya adu domba, PKI mencium
itu setelah tahu bahwa hubungan PKI dan Murba yang condong ke Tan Malaka tidak
harmonis. Mereka berspekulasi bahwa Tan dibebaskan dengan syarat agar menyerang
PKI. Tapi kemudian setelah PKI hancur Tan Malaka dan kelompoknya pun hilang,
diduga dibunuh oleh tentara pemerintah.
Musso juga menuding bahwa
Divisi Siliwangi, yang merupakan anak emas pemerintah bertanggung jawab bersama
kaum Trotskis Murba atas penculikan dan teror terhadap Divisi Panembahan
Senopati yang berafiliasi ke Pesindo dan PKI. Terhadap tragedi itu, Soekarno
hanya diam dan pura-pura tidak tahu, PKI lagi-lagi menuduh Hatta yang mencoba
mengarahkan sikap Soekarno waktu itu.
Pertikaian keduanya pun
menarik bukan main,seperti yang sudah pernah penulis ungkapkan implisit pada
halaman sebelumnya. Saat itu Agustus
1948, Musso mengunjungi Soekarno di
istana negara. berbeda dengan sebelum-sebelumnya, Musso menemui teman
seperjuangannya itu dalam kapasitas sebagai presiden Republik Indonesia. Dalam
pertemuan itu yang ditulis singkat oleh Tim Buku Tempo, yang juga mengambil
referensi dari Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan Soe Hok Gie:[44]
Berpisah selama hampir tiga
Dasawarsa, Soekarno dan Musso bertemu lagi pada 13 Agustus 1948 pukul 10 pagi
di Istana Negara. Musso menyamar sebagai Suparto, sekretris Soeripno – dubes RI
untuk Cekoslovakia di masa Amir Sjarifoeddin. Dalam bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan,
Soe Hok Gie melukiskan betapa mengharukan pertemuan itu. “Bung Karno memeluk
Muso dan Musso memeluk Sekarno. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat
mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka
menggambarkan kegembiraan itu,” demikian kesaksian Soepeno, pemimpin surat
kabar Revolusioner, yang hadir dalam
pertemuan itu, seperti dikutip Soe Hok Gie.
Dengan bangga Bung Karno
bercerita kepada Soeripno tentang masa lalunya dengan Musso. “Musso ini dari
dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jago pencak,” kata
Soekarno. Soekarno juga bercerita tentang hobi Musso bermain musik dan bila
berpidato akan menyingsingkan lengan baju.
Soekarno pun menyindir soal
perkembangan politik komunis internasional. Pengetahuan Soekarno tentang
komunis sempat membuat Musso ternganga. Bung Karno menjawab keheranan Musso
dengan pengakuannya, “saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto
dan Pak Musso!”
Soekarno menunjukkan
kekiriannya dengan memperlihatkan buku karangannya, Sarinah. Dalam buku itu, Soekarno mengutip ucapan-ucapan Lenin dan
Stalin. Buku itu diberikan kepada Musso sebagai tanda mata.
Tiga puluh tujuh hari setelah
pertemuan itu, pecah Peristiwa Madiun. Keduanya saling memaki. Meski begitu,
rasa hormat Soekarno kepada Musso sebagai guru tak luntur. Dalam wawancara
dengan Cindy Adam, Soekarno berkata, “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang
menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua.”
Pertemuan haru biru itu memang
menarik, menisbikan pertikaian ideologi yang kuat pada masa itu. Sebagai kawan
lama, adalah wajar keduanya saling menyapa dan melepas rindu. Soekarno yang
mandiri memandang Musso yang punya banyak pengalaman gerakan diluar negeri,
Soekarno pun tanpa ragu menyebut Musso sebagai gurunya. Guru politik yang
ketika remaja juga sama-sama kos di rumah Tjokroaminoto, pada waktu kemudian,
Soekarno justru gemar berfaham kiri. Setelah Sarinah yang diberikannya kepada Musso, ide sosio-nasionalisnya pun
hadir tatkala mengeluarkan konsepsi Marhaenisme. Untuk dikemudian hari PNI dan
kaum Marhaen tadi cukup loyal mendukung Soekarno, setidaknya saat sedang dimasa
jaya. Ide-ide kiri sosialis pun didapat Soekarno dari Tjokroaminoto yang pada
medio 1920-an menulis buku Islam dan Sosialisme, belum lagi pengaruh Musso,
Alimin dan Semaoen yang notabene juga sering berdiskusi tentang ide-ide
sosialisme revolusioner dengan Sneevliet.
Selain itu, pada halaman lain
Tim Buku Tempo juga menulis sedikit tentang pertemuan dua tokoh ini.[45]
“...Musso menemui Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta. Mereka
berpelukan lama. “Lho, kok masih awet muda?” tanya Bung Karno sambil tersenyum
lebar. Musso menjawab tangkas, oh ya, ini semangat Moskow. Semangat Moskow
selamanya muda.”
Setelah bercakap-cakap panjang, di akhir
pertemuan, Soekarno mengajak Musso membantu meredam pertikaian antar kelompok
dalam tubuh Republik. Seperti dicatat wartawan Revolusioner, Soepeno, Presiden
berujar takzim, “Saya harap Pak Musso, setelah kembali ke Tanah Air, bisa
membantu menciptakan rust en orde.”
Musso menjawab dalam bahasa Belanda, “Ik
kom hier om orde te scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan
ketertiban).”
Soekarno memang sangat
membutuhkan Musso karena kiharismanya yang besar diantara kaum komunis, untuk
itu Soekarno pun mengajak Musso untuk membantu menjaga ketertiban. Nmun analisis Harry Poeze, sejarawan
Belanda bahwa ungkapan Musso “Ik kom hier om orde te scheppen” adalah bentuk oportunistis Musso yang
ingin menguasai Republik lewat PKI nya. Itu adalah “sasmita buruk” ujarnya
dalam wawancara dengan penulis di Universitas Paramadina. Peran politik Musso
pun sudah jelas, Bonnie Triyana menyebutkan bahwa peran Musso besar. “pada
beberapa hari sebelum Siliwangi menyerbu dan juga terlibat dalam pertempuran
dan juga terjadi yang dinamakan itu peristiwa Madiun, Musso sempat mengumpulkan
orang-orang di pendopo Madiun. Dia menanyakan keadaan dan kekuatan. Semua orang
disana punya peran tersendiri, tidak tunggal”. Ujarnya dalam wawancara dengan penulis di Newseum cafe. Sedang Asvi Warman Adam, meskipun tidak
setuju Peristiwa Madiun disebut sebagai pemberontakan, namun ia berspekulasi
bahwa peran besar Musso di Madiun sebesar omongannya pada saat Musso
menantang Soekarno di radio lewat pidatonya.
BAB III
KONSEPSI PARADIGMATIK PEMIKRAN MUSSO:
“JALAN BARU UNTUK REPUBLIK INDONESIA”
Jalan Baru Musso
Jalan Baru Musso mempunyai tiga poin
substantif yang orisinil dalm konteks Indonesia, hal tersebut yakni: Konsep
Pedagogi, yakni pendidikan politik terhadap rakyat. Dimana rakyat dijadikan
Subjek gerakan (R=S, Rakyat sama dengan Subjek) diluar doktrinasi mainstream komunisme yakni Rakyat yang sangat rentan dijadikan
Objek mobilisir yang mempunyai kecenderungan untuk tidak otonom (R=O, Rakyat
sama dengan Objek).
Berikut Jalan Baru Musso[46]
– analisis di BAB selanjutnya – yang membicarakan tentang semua kenegaraan dan
kerakyatan.
A. Lapangan Organisasi
Untuk dapat memahamkan kesalahan-kesalahan PKI di lapangan organisasi,
sebaiknya diuraikan lebih dahulu sedikit riwayat PKI.
Dalam tahun 1935 PKI dibangunkan kembali secara illegal atas inisiatif
Kawan Musso. Selanjutnya PKI illegal inilah yang memimpin perjuangan anti-fasis
selama pendudukan Jepang. Kesalahan pokok di lapangan organisasi yang
dibuat oleh PKI illegal ialah, tidak dimengertinya perubahan-perubahan keadaan
politik di dalam negeri sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya
pada saat itulah, PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul dalam
masyarakat Indonesia Merdeka dengan terang-terangan.
Akan tetapi karena pada saat itu dan seterusnya bentuk yang illegal ini
masih dipegang teguh, maka dengan demikian PKI telah mendorong orang-orang yang
menghendaki adanya PKI, untuk mendirikan PKI legal, dan telah memberi
kesempatan kepada anasir-anasir avonturir yang berhaluan Trotskis untuk
mendirikan PBI. Dengan berdirinya PKI legal dan PBI ini, maka timbullah
keharusan bagi PKI illegal untuk merebut selekas-lekasnya pimpinan atas
partai-partai ini, supaya perjuangan klas buruh jangan sampai menyimpang dari
rel revolusioner. Dengan sendirinya keharusan ini mengakibatkan terbagi-baginya
kader illegal kita, yang sudah tentu melemahkan organisasi.
Oleh sebagian kawan-kawan dari PKI illegal, didirikan Partai Sosialis
Indonesia, yang, kemudian membuat kesalahan besar karena mengadakan fusi dengan
Partai Rakyat Sosialis dari Sutan Syahrir dan menjelma menjadi Partai Sosialis.
Dengan adanya fusi ini, maka terbukalah jalan bagi Sutan Syahrir dan
kawan-kawannya untuk memperkuda Partai Sosialis. Kejadian ini dimungkinkan oleh
kurang sadar dan kurang waspadanya kawan-kawan dari PKI illegal yang turut
mengemudikan Partai Sosialis.
Kemudian tidak sedikit jumlah kader-kader illegal kita yang diperlukan baik
di dalam Pemerintahan maupun di dalarn Badan Pekerja KNIP. Sehingga dengan
sendirinya tidak mungkin lagi bagi kawan-kawan ini mencurahkan segenap
tenaganya kepada pekerjaan dalam ketiga Partai tersebut diatas (PKI legal, PBI,
Partai Sosialis). Hal ini lebih melemahkan organisasi.
Berhubung dengan semua ini, maka kedudukan dan rol Partai Komunis Indonesia
sebagai partai klas buruh dan pelopor revolusi telah diperkecil. PKI
ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya, sehingga sebagai partai dan
organisasi sama sekali tidak mewujudkan kekuatan yang berarti. Dengan demikian
sangat berkuranglah tradisi baik dan popularitas PKI dalam waktu sebelum dan
selama perang dunia ke-II. Kesalahan besar dalam lapangan organisasi ini
diperbesar lagi, karena kaum Komunis sangat mengecilkan kekuatan klas buruh dan
rakyat seluruhnya dan karena kaum Komunis terpengaruh oleh propaganda dan
ancaman Amerika. Oleh sebab itu telah menjadi takut dan kurang percaya kepada
kekuatan tenaga anti-imperialis yang dipelopori oleh Uni Soviet. Dengan
demikian PKI membesar-besarkan kekuatan imperialisme umumnya dan imperialisme
Amerika khususnya. Dengan demikian pula PKI memberikan terlampau banyak konsesi
kepada imperialisme dan klas borjuis.
Adanya tiga partai klas buruh sampai sekarang (PKI legal, PBI dan Partai
Sosialis), yang semuanya dipimpin oleh Partai Komunis illegal, mengakui
dasar-dasar Marxisme-Leninisme dan sekarang tergabung dalam Front Demokrasi
Rakyat serta menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, telah
mengakibatkan ruwetnya gerakan buruh seumumnya. Hal ini sangat menghalangi
kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi klas buruh, juga sangat
menghalangi meluas dan mendalamnya ideologi Marxisme-Leninisme yang konsekwen.
Dengan demikian telah memberi banyak kesempatan kepada musuh klas buruh untuk
menghalangi kemajuan gerakan Komunis dengan jalan mendirikan bermacam-macam
partai kiri yang palsu dan yang memakai semboyansemboyan yang semestinya
menjadi semboyan PKI (diantaranya : "Perundingan atas dasar Kemerdekaan
100%").
Oleh karena sikap yang anti-Leninis dalam hal politik organisasi ini, maka
di lapangan serikat buruh pun kaum Komunis dengan demikian telah sangat
menghalangi tumbuhnya keinsafan politik kaum buruh seumumnya sebagai pemimpin
Revolusi Nasional. Kaum Komunis yang memimpin gerakan buruh (serikat buruh)
lupa, bahwa menurut Lenin serikat buruh itu adalah sekolahan untuk Komunisme.
Melalaikan propaganda Komunisme di kalangan kaum buruh, berarti dengan langsung
menghalangi bertambah sadarnya kaum buruh sebagai pemimpin Revolusi Nasional
yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Berarti melupakan arti gerakan kaum
buruh sebagai sumber yang terpenting bagi PKI untuk mendapat kader-kadernya.
Pengaruh daripada kesalahan dalam lapangan organisasi yang telah dilakukan
oleh kaum Komunis dengan jelas dan terang nampak juga di kalangan perjuangan
tani, dimana pengaruh PKI juga sangat lemah. Padahal kaum tani amat besar
artinya sebagai sekutu kaum buruh dalam Revolusi Nasional. Dengan tidak adanya
bantuan yang aktif dari kaum tani, Revolusi Nasional tentu akan kalah.
Dari sudut organisasi kaum Komunis mempunyai pengaruh yang tidak kecil di
kalangan pemuda, terutama dalam Pesindo. Akan tetapi karena gerakan ini tidak
langsung terkenal sebagai massa organisasi PKI, sedangkan PKI sebagai Partai
tidak terang-terangan memeloporinya, maka ideologi Komunisme di kalangan pemuda
terbukti kurang terang dan ruwet, sehingga pendirian pemuda ragu-ragu. Akibat
yang langsung dari politik organisasi semacam ini ialah, terhalangnya kemajuan
perkembangan propaganda Komunisme di kalangan pemuda.
Pun di kalangan wanita, kaum Komunis tidak mempunyai pengaruh yang agak
penting. Terang bahwa kaum Komunis mengecilkan rol kaum wanita dalam Revolusi
sekarang.
Di kalangan prajurit, kaum Komunis mempunyai pengaruh yang agak penting
juga. Akan tetapi karena adanya tiga Partai kaum buruh, maka kaum proletar dan
kaum tani yang bersenjata ini dalam prakteknj\ya tidak bersikap terang terhadap
PKI dan dengan demikian simpati golongan prajurit pada Komunisme tidak dapat
diperluas.
Di lapangan organisasi, PKI tidak mempunyai akar yang kuat dan dalam di
kalangan prajurit.
Semua keruwetan dalam lapangan organisasi juga menyebabkan tidak kuatnya
PKI dalam gerakan sosial dan kebudayaan seperti sport, kesenian, dll, baik
dalam lapangan organisasi maupun dalam lapangan ideologi.
Berhubung dengan kesalahan-kesalahan yang mengenai azas dalam lapangan
organisasi seperti tersebut diatas dan menarik pelajaran dengan sebaik-baiknya
dari kejadian di Yugoslavia, maka rapat Polit-Biro PKI memutuskan untuk
mengadakan perubahan yang radikal, yang bertujuan supaya :
1.
Selekas-lekasnya mengembalikan kedudukan PKI sebagai pelopor klas buruh.
2. Selekas-lekasnya mengembalikan tradisi PKI yang baik pada waktu sebelum dan selama perang dunia ke-II.
3. PKI mendapat HEGEMONI (kekuasaan yang terbesar) dalam pimpinan Revolusi Nasional ini.
2. Selekas-lekasnya mengembalikan tradisi PKI yang baik pada waktu sebelum dan selama perang dunia ke-II.
3. PKI mendapat HEGEMONI (kekuasaan yang terbesar) dalam pimpinan Revolusi Nasional ini.
Dalam pekerjaan yang maha sukar ini, Polit-Biro yakin, bahwa PKI akan dapat
melakukan perubahan radikal tersebut di atas dengan cepat. Waktu akhir-akhir
ini, kalangan kaum Komunis sendiri, oleh karena pekerjaan sehari-hari di
kalangan rakyat lebih diperhatikan dan bertambah terasanya keruwetan dan
kekacauan, telah mulai mencari jalan untuk keluar dari jurang reformisme dengan
mengadakan kritik dan self-kritik, terutama di dalam rapat pleno CC PKI tanggal
10-11 Juni 1948 dan dalam rapat Polit-Biro tanggal 2 Juli 1948. Akan tetapi
oleh karena kritik dan self-kritik ini belum benar-benar merdeka dan bersifat
bolshevik, maka rapat tersebut belum dapat mengetahui kesalahan-kesalahan yang
benar-benar mengenai strategi dalam lapangan organisasi maupun politik. Akan
tetapi selama pertukaran pikiran dengan Kawan Musso dalam rapat Polit-Biro
kritik dan self-kritik dijalankan dengan leluasa. Semua anggota Polit-Biro
seiya-sekata mengakui kesalahan-kesalahannya dengan terus terang dan sanggup
akan memperbaiki selekas-lekasnya.
Jalan satu-satunya untuk melikwidasi kesalahan pokok itu dengan cara
radikal ialah mengadakan hanya SATU Partai yang LEGAL daripada klas buruh. Ini
berarti dihapuskannya pimpinan PKI yang illegal. Seperti tersebut diatas, PKI
yang dibangunkan kembali oleh Kawan Musso secara illegal pada tahun 1935 itu
melanjutkan perjuangannya pada waktu penjajahan Jepang sampai zaman Republik,
dan hingga waktu ini masih memimpin gerakan anti-imperialis.
PKI illegal ini hingga sekarang dijadikan sasaran oleh kaum Trotskis yang
langsung atau tidak langsung tergabung dalam Pari, dengan maksud untuk
mengacaukan gerakan Rakyat dengan mengatakan, bahwa PKI itu adalah PKI yang
diperkuda oleh Belanda atau "PKI Van der Plas", artinya PKI yang didirikan
untuk kepentingan Belanda. Tuduhan ini lebih-lebih lagi menunjukkan kecurangan
golongan Trotskis untuk membusukkan PKI illegal, yang benar dibangunkan kembali
oleh Kawan Musso dengan kawan-kawan yang lain, diantaranya kawan-kawan almarhum
Pamuji, Sukajat, Abdul Aziz, Abdul Rakhim dan kawan-kawan jokosujono, Akhmad
Sumadi, Ruskak, Marsaid, kemudian diteruskan oleh kawan-kawan Amir Sjarifuddin,
Wikana, Sudisman, Sarjono, Subijanto almarhum, Sutrisno, Aidit, dll.
Semua kesalahan-kesalahan di lapangan politik organisasi yang tersebut di
atas, pada pokoknya ialah mengecilkan rol Partai Komunis Indonesia sebagai
satu-satunya kekuatan yang seharusnjya memegang pimpinan daripada klas buruh
dalam menjalankan revolusi. Berdasarkan itu, maka rapat Polit-Biro PKI telah
memutuskan, bahwa seterusnya harus hanya ada satu Partai yang berdasarkan
Marxisme-Leninisme dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI memutuskan
mengajukan usul, supaya di antara tiga Partai yang mengakui dasar-dasar
Marxisme-Leninisme yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat
serta telah menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama,
selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan), sehingga menjadi SATU Partai klas
buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia,
disingkat PKI. Hanya Partai sedemikian itulah yang akan dapat memegang rol
sebagai pelopor dalam gerakan kemerdekaan sekarang ini.
Revolusi kita adalah Revolusi Nasional atau Revolusi Demokrasi Borjuis
dalam zaman imperialisme dan Revolusi Proletar dunia. Menurut kodratnya dan
dipandang dari sudut sejarah maka hanya klas buruhlah, sebagai klas
yang paling revolusioner dan konsekwen anti-imperialisme, yang semestinya
memimpin revolusi ini, dan bukan klas lain.
Adapun cara mewujudkan fusi ini dengan selekas-lekasnya hendaknya sebagai
berikut:
1. Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang tidak baik.
2. Membentuk Komite Fusi yang berkewajiban:
a. Mendaftar
anggota-anggota PBI dan Partai Sosialis yang dapat diusulkan dengan segera
menjadi anggota PKI.
b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu, dsb.
b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu, dsb.
3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan Kongres Fusi daripada ketiga
Partai, dimana ketiga Partai dilebur menjadi satu dengan memakai nama Partai
Komunis Indonesia dan dipilih Central Comite yang baru secara demokratis.
Dengan adanya hanya satu partai klas buruh yaitu PKI, maka pekerjaan akan menjadi
lebih sederhana dan rasional.
Adanya satu PKI yang legal, memudahkan dan menegaskan pekerjaan tiap-tiap
Komunis dalam serikat buruh, dalam perjuangan tani, pemuda, wanita, dalam
gerakan sosial, dll.
Oleh karena PKI adalah partai klas yang miskin dan yang tertindas,
seharusnya susunan pimpinan dan susunan partai seluruhnya sebagian besar
terdiri dari elemen-elemen proletar sedangkan kaum intelektual seharusnya
menjadi pembantu yang tidak dapat diabaikan dalam semua hal terutama dalam
pekerjaan pembentukan kader-kader dan dalam mempertinggi tingkatan teori
anggota PKI. Kesalahan-kesalahan pokok hingga sekarang, disebabkan pula oleh
karena kurangnya elemen-elemen proletar dalam pimpinan Partai.
Rapat Polit-Biro memperkuat putusan CC PKI untuk membentuk suatu
organisasi-massa baru, ialah : "Lembaga Persahabatan Indonesia-Uni
Soviet ". Ini perlu sekali, oleh karena di Indonesia terdapat
sangat banyak orang yang bersimpati kepada Uni Soviet dan yang masih segan
memasuki PKI. Perlu sekali adanya lembaga itu, supaya rakyat jelata mengetahui
lebih banyak tentang Uni Soviet, supaya rakyat jelata mempunyai kepercayaan
lebih besar kepada gerakan demokrasi rakyat yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Kekuatan Uni Soviet dan kekuatan-kekuatan anti-imperialis lainnya di seluruh
dunia sebenarnya adalah jauh lebih besar daripada kekuatan blok imperialisme
yang dipimpin oleh Amerika Serikat, yang juga berniat menjajah kembali tanah
air kita.
B. Lapangan politik
Politik luar negeri
Dalam lapangan politik luar negeri, rapat Polit-Biro berpendapat, bahwa
kesalahan-kesalahan besar yang telah dibuat oleh kaum Komunis Indonesia selama
tiga tahun ini tidak bersifat kebetulan, melainkan mempunyai akar yang berasal
semenjak meletusnya perang dunia II dan pendudukan tanah air kita oleh Jepang
dan yang selanjutnya dipengaruhi oleh pendirian yang salah dari partai-partai
sekawan, yaitu Partai-partai Komunis Eropa Barat (Perancis, Inggris dan
Belanda).
Pendirian politik yang salah dari Partai-Partai Komunis di Eropa Barat ini
pada umumnya, ialah karena tidak dimengertinya perubahan-perubahan yang besar
di lapangan politik internasional dan perubahan-perubahan keadaan di negerinya
masing-masing sesudah perang dunia II berakhir dengan hancurnya negeri-negeri
fasis Jerman, Italia dan Jepang. Semenjak perang dunia II meletus, maka gerakan
kaum buruh revolusioner di negeri-negeri kapitalis, untuk sementara waktu,
harus melakukan politik bekerja sama dengan semua tenaga anti-fasis di
negerinya masing-masing termasuk pemerintah Amerika, Inggris, Perancis,
Belanda, dsb. Pun juga gerakan revolusioner dari rakyat di negeri-negeri
jajahan, untuk sementara harus melakukan politik semacam itu.
Setelah Uni Soviet terlibat dalam perang dunia II karena serangan fasis
Jerman, maka bagi Uni Soviet juga timbul keharusan untuk erat bekerja bersama
dengan negara-negara besar yang bersekutu melawan negeri-negeri fasis.
Semuanya bermaksud memperhebat perlawanan terhadap penyerang-penyerang
fasis, musuh yang paling berbahaya pada waktu itu, bukan saja bagi negeri-negeri
kapitalis dan imperialis, tetapi juga bagi Soviet Uni, bagi gerakan buruh
revolusioner di negeri-negeri kapitalis dan imperialis dan bagi gerakan
revolusioner dari rakyat di negeri jajahan. Setelah perang dunia II berakhir
dengan hancurnya ketiga negeri fasis tadi, maka bagi Partai-Partai Komunis di
negeri-negeri kapitalis dan imperialis dan bagi perjuangan revolusioner di
negeri-negeri jajahan sudah tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan kerjasama
dengan pemerintahnya masing-masing. Apalagi sesudah ternyata, bahwa kaum
borjuis sudah mulai menggunakan cara-cara untuk menindas gerakan kemerdekaan di
negeri jajahannya.
Kesalahan dari Partai-Partai Komunis Perancis dan Inggris dan juga Partai
Komunis Belanda yang terpengaruh oleh Partai Komunis Perancis, ialah karena
tidak dimengertinya perubahan besar yang telah berlaku dalam lapangan politik
internasional sesudah perang dunia, terutama yang mengenai perjuangan
kemerdekaan dari rakyat di negeri-negeri jajahan.
Pada saat perang dunia II berakhir dengan hancurnya negeri-negeri fasis,
maka perjuangan kemerdekaan di negeri-negeri jajahan harus dikobar-kobarkan
lagi dengan sehebat-hebatnya dan Partai-Partai Komunis di negeri-negeri
penjajah harus menyokong sekuat-kuatnya. Kerjasama dalam perjuangan kemerdekaan
Rakyat yang dijajah dengan negeri-negeri imperialis sudah tidak lagi pada
tempatnya!
Akan tetapi, karena tidak paham tentang perubahan keadaan politik ini, maka
CPN (Partai Komunis Belanda) beranggapan, bahwa perjuangan Rakyat Indonesia
tidak boleh keluar dari batas dominion status dan oleh karenanya semboyan yang
paling baik untuk Indonesia menurut pendirian mereka ialah:
"Uni-verband", atau dengan perkataan lain : tetap tinggal dalam
lingkungan "Commonwealth" Belanda. Jadi Rakyat Indonesia harus
terus-menerus "kerjasama" dengan imperialisme Belanda. Demikian pula
pendirian Partai Komunis Perancis terhadap perjuangan kemerdekaan Vietnam.
Hal yang tidak boleh dilupakan ialah, bahwa di Indonesia selama pendudukan
Jepang sudah ada komunis-komunis palsu dan komunis-komunis renegat (pengkhianat),
yang suka menjalankan kerjasama di lapangan politik dengan fasis Jepang.
Politik yang reformis dari Partai-Partai Komunis di negeri-negeri Eropa
Barat, disebabkan karena tidak fahamnya akan perubahan-perubahan keadaan internasional
yang penting sesudah perang dunia II berakhir. Oleh kawan-kawan bekas anggota
CPN yang tiba di Indonesia, dengan otomatis dengan tidak dipikirkan
dalam-dalam, juga dengan tidak dicocokkan dengan keadaan objektif (proklamasi
kemerdekaan tanggal 17-8 tahun 1945), politik reformis ini telah dipraktekkan,
sehingga akibatnya sangat membahayakan kemajuan Revolusi Nasional kita.
Perlu ditegaskan, bahwa politik reformis yang berasal dari luar negeri ini
justru memberi kesempatan berkembangnya aliran reformis yang menguasai politik
luar negeri Republik dan yang dipimpin oleh kaum sosialis kanan (Sutan
Syahrir). Politik reformis ini dapat dinyatakan dengan dua hal :
1.
Mencari
keuntungan dan bantuan dengan kerjasama, bukan dengan golongan anti-imperialis
melainkan dengan golongan imperialis. Yaitu dengan menggunakan
pertentangan-pertentangan di antara imperialisme Inggris dan Amerika dan di
antara imperialisme Inggris dan imperialisme Belanda. Pada permulaannya
imperialisme Inggrislah yang diajaknya bermain-mata. Dasar daripada politik
reformis ini diletakkan dalam Manifes Politik Pemerintah Republik November
1945.
2.
Menghadapi
imperialisme Belanda tidak dengan perjuangan yang konsekwen revolusioner dan
anti-imperialis, melainkan dengan politik reaksioner atau politik kompromis
yang bersemboyan: "bukan kemenangan militer yang dimaksudkan, melainkan
kemenangan politik". Jadi bukannya perjuangan dengan senjata yang
diutamakan, melainkan perjuangan politik, sedangkan, imperialisme Belanda
terus-menerus berusaha memperkuat tenaga militernya.
Kaum Komunis yang membiarkan berkembangnya dan merajalelanya politik
reaksioner ini, malahan turut serta menyokongnya, telah membuat dua macam
kesalahan :
a.
Lupa akan
pelajaran teori revolusioner kita, bahwa Revolusi Nasional anti-imperialis di
zaman sekarang ini sudah menjadi bagian daripada Revolusi Proletar dunia.
Kesimpulan daripada pelajaran ini ialah, bahwa Revolusi Nasional di Indonesia
harus berhubungan erat dengan tenaga-tenaga anti-imperialis lainnya di dunia,
yaitu perjuangan revolusioner di seluruh dunia, baik di negeri-negeri jajahan
atau negeri setengah jajahan, maupun di negeri-negeri kapitalis-imperialis.
Sebab semua ini adalah sekutu daripada Revolusi Nasional kita. Negeri Uni
Soviet sebagai tenaga anti-imperialis yang terbesar dan terkuat harus dipandang
sebagai pangkalan, sebagai benteng yang terkuat, atau sebagai pemimpin dan
pelopor daripada semua perjuangan anti-imperialis di seluruh dunia. Sebab hanya
ada dua golongan di dunia yang berhadapan dan berlawanan satu sama lainnya,
yaitu golongan imperialis dan golongan anti-imperialis. Bagi Revolusi Nasional
Indonesia,tidak ada tempat lain selainnya di pihak golongan
anti-imperialis! Hanya dari pihak golongan anti-imperialis sebagai
sekutu yang sejati, Revolusi Nasional Indonesia dapat memperoleh keuntungan dan
bantuan yang diperlukan, dan bukan dari pihak golongan imperialis.
b.
Kesalahan
yang kedua ialah, bahwa tidak cukup dimengerti perimbangan kekuatan antara Uni
Soviet dan imperialisme Inggris-USA, setelah Uni Soviet berhasil dengan sangat
cepatnya menduduki seluruh Tung Pai (Mancuria). Pada waktu itu sudah ternyata
kedudukan Uni Soviet yang sangat kuat di benua Asia, yang mengikat banyak
tenaga militer daripada imperialisme USA, Inggris dan Australia dan dengan
demikian memberi kesempatan baik bagi Rakyat Indonesia untuk memulai
revolusinya. Pada saat itu kaum Komunis Indonesia sudah membesar-besarkan
kekuatan Belanda dan imperialisme lainnya dan mengecilkan kekuatan Revolusi
Indonesia serta golongan anti-imperialis lainnya.
Konsekwensi yang sudah semestinya dari politik kaum sosialis kanan (Sutan
Syahrir) yang reaksioner itu, ialah penanda-tanganan truce agreement 1946 dan
selanjutnya penanda-tanganan persetujuan Linggajati yang memungkinkan
imperialisme Belanda menyiapkan perang kolonial, yang meletus pada tanggal 21
Juli 1947.
Akibat kesalahan pokok dalam lapangan politik tidak habis disitu saja;
konsekwensi yang lebih mencelakakan lagi ialah tidak lain daripada
penanda-tanganan persetujuan Renville. Persetujuan Renville ini adalah puncak
akibat kesalahan-kesalahan yang reaksioner, yang telah membawa Republik pada
tepi jurang kolonialisme. Tanggung jawab yang berat ini terletak di pundak kaum
Komunis.
Kesalahan selanjutnya yang besar pula ialah bahwa kabinet Amir Syarifuddin
mengundurkan diri dengan sukarela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali.
Kaum Komunis pada waktu itu tidak ingat akan pelajaran Lenin: "Soal pokok
daripada tiap revolusi adalah soal kekuasaan negara". Dengan bubarnya
kabinet Amir Syarifuddin terbukalah jalan bagi elemen-elemen borjuis komprador
untuk memegang pimpinan pemerintahan dan dengan demikian juga
pimpinan Revolusi Nasional kita, sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya
dalam oposisi. Dapat dikatakan, bahwa saat itulah Revolusi Nasional kita
benar-benar berada dalam bahaya, yang makin lama makin menjadi besar. Sejak
saat itulah Revolusi Nasional kita makin lama makin jelas merosot ke dalam
jurang kapitulasi (penyerahan) kepada imperialisme Belanda cs, akibat politik
kompromis yang sangat reaksioner daripada elemen-elemen borjuis Indonesia yang
memegang pimpinan pemerintahan.
Politik kompromis yang reaksioner ini makin menguntungkan imperialisme
Belanda dan makin membesarkan bahaya bagi Republik kita.
Sesudah kaum Komunis tidak lagi duduk di dalam pemerintahan dan setelah
mereka, mulai giat bekerja di kalangan Rakyat jelata, maka mereka mulai sedar
akan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, di antara lain
kelemahan-kelemahan organisasi Partai serta organisasi massa, terutama di
kalangan kaum buruh dan tani. Mereka mulai insaf, bahwa terutama harus
diusahakan penyelesaian soal agraria dengan selekas-lekasnya, yang dahulunya
sangat kurang mendapat perhatian mereka, padahal masaalah tani
adalah masalah yang penting bagi Revolusi Nasional Indonesia.
Juga mulai diinsafi, bahwa dengan tidak adanya sokongan, terutama dari
Rakyat pekerja (buruh, tani-pekerja dan pekerja lainnja) yang
berorganisasi rapi, tidaklah mungkin mewujudkan hegemoni klas buruh
dalam Revolusi National kita ini, dan tidak mungkin pula membentuk suatu
pemerintahan kerakyatan yang kuat dan stabil (yang berdiri tegak). Oleh karenanya
kaum Komunis berdaya-upaya dengan segiat-giatnya mengorganisasi massa rakyat
pekerja, agar dalam waktu yang pendek dapat menyusun massa organisasi yang rapi
dalam berbagai kalangan Rakyat pekerja, yang berkewajiban menjalankan rol
sebagai tulang-punggung Revolusi Nasional kita.
Ternyata bahwa di dalam 6 bulan yang belakangan ini, sejak pimpinan negara
dipegang oleh elemen-elemen borjuis komprador, tumbuhnya politik yang
reaksioner berjalan dengan cepatnya. Malahan pada beberapa bulan yang
belakangan sudah tampak tanda-tanda, bahwa politik pemerintah yang reaksioner
itu akan tumbuh ketingkatan kontra-revolusioner.
Hal ini sebagian disebabkan, karena agitasi dan propaganda dari pihak kaum
Komunis untuk menyadarkan massa rakyat pekerja tentang kekeliruan-kekeliruan
politik pemerintah, disana-sini telah dijalankan dengan cara yang kurang
bijaksana, hingga menyinggung perasaan. Akan tetapi sebagian lagi disebabkan,
karena tindakan-tindakan yang reaksioner dari pihak pemerintah terhadap hak-hak
demokrasi Rakyat pekerja, sedangkan Rakyat pekerja sudah makin sadar akan rol
dan kewajibannya serta hak-haknya dalam Revolusi Nasional.
Tindakan-tindakan reaksioner yang telah nyata diantaranya ialah :
a.
Penghapusan
hak-hak demokrasi yang pokok misalnya hak berdemonstrasi, walaupun buat
sementara.
b.
Niat untuk
mengekang hak mogok bagi kaum buruh, dengan tidak mengindahkan sama sekali
faktor-faktor yang nyata, yaitu yang memaksa kaum buruh menggunakan senjata
perjuangannya yang paling tajam itu untuk membela nasibnya dan membela Revolusi
Nasional.
c.
Politik
dalam lapangan ekonomi yang terang-terangan reaksioner, yang menentang dan
memperkosa UUD Republik kita pasal 33 dan yang sangat merugikan penghidupan
Rakyat pekerja, serta kedudukan negara dan Revolusi Nasional kita. Ini semua
hanya menguntungkan beberapa orang borjuis komprador yang dengan
terang-terangan menunjukkan sikap anti-nasional.
d.
Politik di
lapangan agraria yang reaksioner dan ancaman terhadap kaum tani
yang sudah sadar akan rol dan kewajibannya sebagai tenaga yang penting
dalam pelaksanaan Revolusi Nasional dan karenanya telah bergerak
menghilangkan segala sisa feodalisme di lapangan agraria.
e.
Perintah
untuk mendaftar nama-nama dan mengamat-amati tindakan-tindakan
pemimpin-pemimpin Rakyat pekerja.
Teranglah, bahwa tindakan pemerintah yang reaksioner itu, yang bermaksud
mempertahankan kedudukannya dan menguntungkan beberapa kelompok kaum borjuis,
tidak boleh tidak tentu makin meruncingkan pertentangan antara Rakyat pekerja
dan pemerintah. Jadi bukannya kaum buruh yang meruncingkan pertentangan klas,
melainkan kaum borjuis sendiri.
Sudah menjadi kewajiban kaum Komunis untuk menyadarkan Rayat pekerja dan
kaum progresif terhadap berkembangnya politik reaksioner yang berbahaya dari
pemerintah jyang akhirnya pasti akan menjerumuskan Revolusi Nasional kita ke
jurang kegagalan dan kemusnahan. Dengan demikian dimaksudkan supaya tenaga
massa Rakyat pekerja bersama dengan tenaga progresif lainnya dapat merubah
haluan politik pemerintah yang tidak sehat dan berbahaya itu ke arah jurusan
yang sehat.
Walaupun kaum Komunis sekarang telah mendapat pengaruh lebih besar daripada
di waktu sebelum meninggalkan pemerintah, akan tetapi oleh karena tidak tahu
tentang kesalahannya yang pokok dalam lapangan politik, maka sikap sebagian
besar daripada Rakyat terhadap Komunisme juga masih belum cukup terang dan
tegas.
Berhubung dengan itu, rapat Polit-Biro menetapkan, bahwa PKI dalam susunan
yang baru dengan tegas harus membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville,
yang dalam prakteknya telah menjadi sumber daripada bermacam-macam keruwetan di
antara pemimpin-pemimpin dan Rakyat jelata. Hapusnya persetujuan Linggarjati
dan Renville berarti bahwa Republik Indonesia merdeka sepenuhnya dan Rakyat
tidak terikat lagi oleh persetujuan-persetujuan yang mengikat dan memperbudak.
Dengan demikian Rakyat di daerah pendudukan akan mendapat kemerdekaan luas
untuk beraksi terhadap Belanda. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville
berarti juga, bahwa orang Indonesia boleh menganggap adanya kekuasaan Belanda
di Indonesia sebagai pelanggaran kedaulatan Republik yang merdeka, dan oleh
karena itu tentara Belanda harus diusir selekas-lekasnya. Hapusnya persetujuan
Linggajati dan Renville menghilangkan segala kebimbangan di kalangan beberapa
partai lain untuk memperluas dan meneguhkan hubungan Republik dengan
negeri-negeri asing. Dengan demikian Republik juga mendapat kesempatan untuk
menerobos blokade Belanda yang mengisolasi Republik dari negeri-negeri luar
dalam lapangan ekonomi dan politik.
Kaum Komunis menolak persetujuan Linggajati dan Renville, bukannya karena
Belanda terbukti tidak setia dan telah menginjak-injak persetujuan itu. Tidak!
Sekali-kali tidak! Komunis prinsipil menolak persetujuan
Linggajati dan Renville, oleh karena persetujuan-persetujuan itu jikalau
dipraktekkan, akan mewujudkan negara yang pada hakekatnya sama saja dengan
jajahan, yang berbeda dengan India, Birma, Filipina dan jajahan lain-lain
hanyalah kulitnya saja. Sebab itu PKI tetap bersemboyan: "Merdeka
sepenuh-penuhnya".
Penolakan persetujuan Linggajati dan Renville berarti juga self kritik yang
keras di kalangan PKI. Dan pengakuan salah ini harus dipopulerkan juga kepada
rakyat-banyak.
PKI menolak perundingan dengan Belanda yang tidak didasarkan atas hak yang
sama. Komunis prinsipil tidak menolak perundingan, akan tetapi harus didasarkan
atas hak-hak yang sungguh-sungguh sama. Dalam perundingan sekali-kali tidak
boleh disinggung soal kedaulatan Republik atas seluruh Indonesia.
Dalam perundingan-perundingan ini PKI sanggup memberikan sekedar kondisi di
lapangan ekonomi dan kebudayaan kepada orang-orang Belanda yang tidak menentang
Revolusi kita, lebih daripada yang sekarang biasa diberikan di negeri-negeri
kapitalis.
Dalam politiknya terhadap Uni Soviet PKI menganjurkan sebulat-bulatnya
supaya diadakan perhubungan langsung antara Republik Indonesia dengan Soviet
Uni dalam segala lapangan. Uni Soviet adalah sekutu yang semestinya dari rakyat
Indonesia yang melawan imperialisme oleh karena Soviet Uni memelopori
perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Cukup
jelas bagi kita bahwa Amerika Serikat membantu dan mempergunakan Belanda untuk
mencekek Republik kita yang demokratis. PKI harus menerangkan kepada rakyat
banyak, bahwa pengakuan Uni Soviet membawa kebaikan semata-mata, sebab Uni
Soviet sebagai negara kaum buruh tidak mungkin bersifat lain daripada
anti-imperialis. Dengan demikian Uni Soviet tidak mempunyai kepentingan lain
terhadap Indonesia kecuali membantu Indonesia dalam perjuangannya yang juga
bersifat anti-imperialis.
Dalam perjuangannya melawan irnperialisme, PKI harus menghubungkan diri
dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika,
terutama sekali dengan rakyat negeri Belanda yang progresif, yang sebagian
besar dari mereka dipimpin oleh CPN. Partai ini walaupun sudah membuat
kesalahan-kesalahan, adalahsatu-satunya Partai klas buruh di negeri Belanda
yang sungguh-sungguh membantu gerakan kemerdekaan kita pada waktu
sebelum dan sesudah peperangan dunia kedua. CPN adalah juga menjadi
sekutu kita yang semestinya, dan perhubungan kita dengan CPN harus lebih
dikokohkan lagi. Lain daripada itu PKI harus terus-menerus mendesak CPN supaya
benar-benar meninggalkan politik yang bersemboyan: "Unie-verband"
yang jahat itu dan menggantinya dengan politik "INDONESIA MERDEKA
SEPENUH-PENUHNYA". Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia
berdasarkan Demokrasi rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan yang
bebas dari pengaruh imperialisme serta tentaranya.
Politik Dalam negeri
Soal yang penting ialah, bahwa PKI dengan semua jalan harus
menghalangi pemerintah sekarang ini jangan sampai terus-menerus memberi konsesi
kepada imperialisme karena ini berarti menyerahkan Republik ke dalam tangan
imperialisme.
Lagi pula dalam pekerjaannya sehari-hari PKI harus dengan giat membela
kepentingan-kepentingan kaum buruh dan kaum tani.
Selanjutnya PKI harus juga berusaha, selekas-lekasnya melikwidasi segala
kelemahan Revolusi kita. Kelemahan itu ialah :
1.
Klas buruh
dengan pelopornya, yaitu PKI, belum memegang hegemoni daripada
pimpinan Revolusi Nasional kita. Untuk mewujudkan hegemoni ini
dengan tegas dan teguh, maka perlu sekali dipenuhi syarat-syarat yang penting,
yaitu adanya organisasi Partai yang rapi dan kuat yang meliputi tiap-tiap
pabrik, perusahaan, bengkel, kantor, kampung dan desa, dengan anggota dan
kader-kader bagian yang sebagian besar terdiri dari kaum, buruh dan
tani-pekerja. Selanjutnya juga adanya organisasi-organisasi massa yang kuat
yang meliputi sebagian besar daripada rakyat pekerja dari berbagai golongan,
terutama dari kalangan kaum buruh dan tani, sedangkan pimpinannya harus di
tangan Partai.
2.
Pimpinan
Revolusi Nasional kita, walaupun hegemoninya harus ada di tangan klas buruh,
harus diwujudkan oleh PKI bersama-sama dengan partai-partai atau elemen-elemen
lain yang progresif berdasarkan sebuah program nasional yang revolusioner, yang
disetujui oleh bagian terbesar daripada rakyat kita. Dengan demikian dapat
terbentuk suatu pimpinan revolusi yang seiya-sekata dan yang erat bekerja bersama
dengan dan disokong oleh seluruh rakyat atau setidak-tidaknya oleh sebagian
terbesar daripadanya. Hingga sekarang hal ini belum tercapai.
3.
Hingga
sekarang Revolusi Nasional kita belum melandasi alat-alat kekuasaan negara yang
lama, yang jiwa, susunan ataupun cara bekerjanya masih sangat berbau
penjajahan. Dalam hal ini PKI tidak boleh melupakan pelajaran Marx yang
mengatakan, bahwa kewajiban tiap revolusi ialah menghancurkan alat kekuasaan
negara yang lama dan menyusun alat kekuasaan negara yang baru. Dengan demikian
dapatlah dicegah usaha musuh untuk merebut kembali kekuasaan negara. Revolusi
kita dengan melalaikan kewajiban ini telah membahayakan nasibnya sendiri. Oleh
karena itu menjadi kewajiban yang penting bagi PKI dan semua tenaga progresif
untuk selekas-lekasnya memperbaiki kesalahan yang besar ini. Alat-alat
kekuasaan negara yang dengan segera harus dirubah dan disusun kembali ialah :
a. Pemerintahan dalam negeri
Hingga sekarang alat ini boleh dibilang masih hampir sama sekali alat lama
yang bersifat feodal-kolonial, baik dalam susunan maupun dalam cara bekerjanya.
Pun orang-orangnya sebagian besar adalah orang-orang lama. Harus segera
diusahakan agar supaya susunan pemerintahan desa sampai kabupaten dirubah sama
sekali secara radikal, berdasarkan pemerintahan kolegial (kedewanan) yang
dipilih langsung oleh rakyat. Yang penting terutama ialah pemerintahan desa,
agar rakyat tani segera dapat dibebaskan dari belenggu-belenggu feodalisme yang
hingga sekarang masih mengikatnya. Perubahan ini harus dilaksanakan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya. Dengan sendirinya anasir-anasir yang reaksioner dan
kontra-revolusioner harus segera disingkirkan dari kalangan pemerintahan dalam
negeri.
b. Kepolisian
negara
Baik anggota-anggota maupun kader-kadernya harus diberi pendidikan yang
sesuai dengan arti dan isi Revolusi Nasional kita dan kewajiban kepolisian
negara sekarang, ialah membela kepentingan Revolusi Nasional, yang berarti juga
membela kepentingan rakyat pekerja khususnya. jadi kewajiban mereka sekarang
adalah bertentangan sama sekali dengan kewajiban mereka dahulu di zaman
penjajahan. Terang, bahwa bagi anasir-anasir yang reaksioner atau
kontra-revolusioner tidak ada tempat lagi di dalam kepolisian negara.
Kepolisian harus dipimpin oleh kader-kader yang progresif.
c. Pengadilan negeri
Cara bekerjanya pengadilan negeri. harus tidak lagi secara lama, yang
hingga sekarang masih berlaku, melainkan harus dirubah dan didasarkan atas
kepentingan Revolusi Nasional kita. Terutama yang mengenai perkara-perkara politik.
Anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner harus segera disingkirkan
dari aparat ini.
d. Ketentaraan
'I'entara sebagai alat kekuasaan negara yang terpenting harus istimewa
mendapat perhatian. Kader-kader dan anggota-anggotanya harus diberi pendidikan
istimewa yang sesuai dengan kewajiban tentara sebagai aparat terpenting untuk
membela Revolusi Nasional kita, yang berarti pula membela kepentingan rakyat
pekerja. Tentara harus bersatu dengan dan disukai oleh rakyat. Tentara harus
dipimpin oleh kader-kader yang progresif. Dengan sendirinya dan terutama di
kalangan kader-kadernya harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner
dan kontra-revolusioner.
e. Alat-alat negara lainnya yang penting-penting seperti jawatan-jawatan
yang mengurus keuangan negara, alat-alat produksi dan distribusi, pada umumnya
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner,
terutama dalam pimpinannya, agar supaya kepentingan negara dan rakyat dapat
terjamin.
4.
Kelalaian
memberikan jaminan kepada anggota-anggota ketentaraan dan kepolisian negara
khususnya, dan kepada rakyat pekerja umumnya (buruh dan pegawai negeri), hingga
menyebabkan terlantarnya nasib mereka ini.
PKI harus memperjuangkan selekas-lekasnya tercapainya jaminan
sekurang-kurangnya keperluan hidup sehari-hari bagi rakyat pekerja tersebut
diatas.
Selain itu harus diperjuangkan pula segera terlaksananya :
a.
bagi kaum
buruh : hak-hak demokrasi di segala lapangan, oleh karena mereka sebagai
pelopor revolusi harus terutama di beri keuntungan banyak.
b.
bagi kaum
tani : hapusnya sisa-sisa peraturan zaman feodal dan peraturan-peraturan
imperialis di lapangan pertanian, yang bagi rakyat tani merupakan rintangan
hebat untuk mendapat perbaikan nasib. Adapun politik PKI untuk kaum tani di
seluruh Indonesia ialah : "Tanah untuk kaum tani". Jadi tiap orang
tani harus diberi tanah, supaya ia merasakan benar-benar buah
revolusi. Akan tetapi kaum Komunis harus ingat, bahwa sekarang dan dalam
beberapa tahun yang akan datang belum mungkin melaksanakan semboyan
ini, berhubung dengan kurangnya luas tanah di Jawa dan Madura, sedangkan jumlah
kaum tani terlampau besar. Oleh karena itu buat sementara waktu, rakyat tani
dapat diberi pertolongan yang lebih baik tidak dengan membagi-bagikan kepada
mereka tanah-tanah yang dapat dibagikan kepadanya sebagai hasil penghapusan
sisa-sisa peraturan feodal di lapangan agraria. Tetapi tanah ini diserahkan
kepada desa dan desalah yang mengatur penggarapannya oleh buruh-tani dengan
cara yang menguntungkan mereka.
c.
Bagi
pekerja intelektual : penghargaan yang layak oleh pemerintah, sebab banyak
pekerja intelektual yang merasa diri dan pekerjaannya sama sekali tidak
dihargai oleh pemerintah.
1.
Kelalaian
dalam memperluas alat-alat produksi yang lama dan membangun alat-alat produksi
yang baru yang dikuasai negara serta mengerjakannya dengan se-hebat-hebatnya
untuk mempertinggi kemakmuran rakyat.
2.
Kelalaian
dalam mengadakan aparat distribusi negara yang baik yang dapat memenuhi
kewajibannya dengan beres.
3.
Kelalaian
di lapangan keuangan negara yang ternyata dengan memuncaknya
kesukaran-kesukaran tentang hal uang, yang betul-betul dirasai oleh seluruh
masyarakat, terutama di kalangan rakyat pekerja.
4.
Kelalaian
dalam membangun koperasi-koperasi rakyat, tentang koperasi di lapangan
kerajinan tangan dan perusahaan kecil, di lapangan kredit dan distribusi yang
dapat bekerja bersama dengan pemerintah, baik dalam usaha pengumpulan
bahan-bahan makanan, maupun dalam usaha distribusi barang-barang dari
pemerintah.
5.
Kelalaian
di lapangan sosial, yaitu terutama yang mengenai pemberian pertolongan kepada
tentara yang berhijrah, pengungsi, juga yang mengenai perumahan yang layak bagi
kaum buruh, perawatan kesehatan dan pemberian obat kepada rakyat.
6.
Tidak
adanya perhatian sama sekali dari pihak pemerintah kepada masalah golongan
minoritas, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang yang memiliki
perusahaan-perusahaan kecil dan dari orang-orang intelektual.
Harus diperjuangkan oleh PKI supaya segala kelemahan ini dengan
selekas-lekasnya dapat diatasi. Yang mengenai hal produksi dilapangan industri
harus dianjurkan kepada kaum buruh, bahwa produksi harus diperbesar
sebanyak-banyaknya dengan syarat, bahwa produksi dan distribusi serta
perdagangan barang-barang milik negara harus diawasi oleh serikat buruh.
Dengan pendek dapat dikatakan, bahwa dalam pekerjaan sehari-hari PKI harus
membela dengan giat kepentingan-kepentingan rakyat pekerja umumnya. Kepada
pemerintah harus dituntut dengan tegas oleh PKI, supaya sebab-sebab yang dapat
menimbulkan pemogokan segera dihilangkan.
Dalam menetapkan kewajiban tersebut diatas, ditambah dengan kewajiban
melawan imperialisme yang mana saja dengan cara yang sehebat-hebatnya, maka
kaum Komunis sekali-kali tidak boleh melupakan bahwa kewajiban PKI pada saat
ini dalam tingkatan revolusi sekarang ini ialah tidak melebihi daripada
penyelesaian REVOLUSI NASIONAL atau REVOLUSI DEMOKRASI BORJUIS TYPE BARU,
sebagai tingkatan persediaan untuk revolusi yang lebih tinggi yaitu Revolusi
Sosialis atau Revolusi Proletar.
Pendorong Revolusi Nasional sekarang ini ialah rakyat progresif dan
anti-imperialis seluruhnya terutama sekali klas buruh sebagai pemimpinnya dan
kaum tani sebagai sekutu klas buruh yang terpenting. Jikalau di antara rakyat
progresif itu tidak ada persatuan, maka revolusi tidak akan menang! Sebaliknya,
hanya persatuan yang kuat di antara seluruh rakyat yang anti-imperialis itu
akan membawa Revolusi kita kepada kemenangan.
Wujud satu-satunya daripada persatuan itu, ialah Front
Nasional yang disusun dari bawah yang disokong oleh semua Partai dan
golongan serta orang-orang yang progresif.
C. Front Nasional
Setelah meninjau riwayat gerakan kemerdekaan semenjak permulaan pendudukan
negeri kita oleh jepang hingga kini, maka Polit-Biro menetapkan dengan menyesal
bahwa kaum Komunis telah lalai mengadakan Front Nasional sebagai
senjata Revolusi Nasional terhadap imperialisme. Walaupun kemudian mereka mulai
sadar akan kepentingan Front Nasional itu, akan tetapi kaum Komunis belum paham
sungguh-sungguh tentang hakekat Front Persatuan Nasional dan tentang cara
membentuknya. Beberapa macam bentuk Front Nasional selama tiga tahun ini telah
didirikan, akan tetapi selalu tinggal di atas kertas belaka, bahwa hanya berupa
konvensi di antara organisasi-organisasi atau di antara pemimpin-pemimpin saja,
sehingga jikalau ada sedikit perselisihan di antara pemimpin-pemimpin Front
Nasional itu lalu menyebabkan bubarnya. PKI berkeyakinan, bahwa pada saat ini
Partai klas buruh tidak dapat menyelesaikan sendiri revolusi demokrasi burjuis
ini dan oleh karena itu PKI harus bekerja bersama dengan partai-partai lain.
Kaum Komunis sudah semestinya berusaha mengadakan persatuan dengan
anggota-anggota partai dan organisasi-organisasi lain. Satu-satunya persatuan
semacam itu ialah FRONT NASIONAL. Dalam menyusun ini PKI harus mengambil
inisiatif dan dalam Front Nasional itu PKI harus juga memainkan rol yang
memimpin. Ini sekali-kali tidak berarti, bahwa kaum Komunis memaksa partai lain
atau orang lain supaya mengikutinya, melainkan PKI harusmeyakinkan dengan
secara sabar kepada orang-orang yang tulus hati, bahwa satu-satunya jalan untuk
mendapat kemenangan ialah membentuk Front Nasional yang disokong oleh semua
rakyat yang progresif dan anti-imperialis. Tiap-tiap Komunis harus
yakin benar-benar, bahwa dengan tidak adanya Front Nasional kemenangan tidak
akan datang.
Oleh karena pada dewasa ini telah ada program nasional yang sudah disusun,
disetujui dan diterima pula oleh semua partai, maka tidak salah jika program
nasional ini dipakai dengan segera sebagai dasar untuk mewujudkan Front
Nasional. Front Nasional yang tulen harus disusun dari bawah, semua anggota
partai-partai yang sudah menyetujui Front Nasional seharusnya memasukinya,
secara individual. Selain daripada itu diberi juga kesempatan kepada beribu
orang yang tidak berpartai dan yang progresif turut serta dalam Front Nasional.
Komite-komite Front Nasional, baik di daerah maupun di pusat, harus dipilih
secara demokratis dari bawah. Front Nasional semacam ini, sekali berdiri, tidak
akan mudah hancur, bahkan tidak terlalu bergantung lagi kepada kehendak
pemimpin-pemimpin partai. Front Nasional semacam itu memungkinkan juga
pengurangan perselisihan politik dan juga memperkecil adanya oposisi sampai pada
batas minimum.
Bersamaan dengan itu, PKI harus berdaya-upaya supaya pemerintah sekarang
selekas-lekasnya diganti dengan pemerintah FRONT NASIONAL yang berdasar atas
program nasional dan yang, bertanggung jawab. Hanya pemerintah semacam itulah
yang akan berakar kuat di kalangan rakyat dan sanggup mengatasi
kesukaran-kesukaran dalam negeri serta meneruskan perlawanan anti-imperialis
secara konsekwen.
D. PKI dan daerah pendudukan
Polit-Biro menganggap perlu dan memutuskan, bahwa PKI harus sungguh-sungguh
mengatur dan memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah pendudukan.
Strategi PKI di daerah pendudukan terutama harus menghalangi Belanda dalam
usahanya memperteguh kekuasaannya dan memperbesar produksinya. Kalau Belanda
berhasil dalam usahanya itu, maka lambat laun Belanda dapat memadamkan semangat
perlawanan rakyat jelata. Perlawanan yang selalu bertambah, yang dilakukan oleh
kaum gerilya di daerah-daerah pendudukan di jawa, di Sumatera dan di
pulau-pulau lain harus menjadi tanda bagi semua Komunis untuk aktif
dan berani menyokong dan memimpin perlawanan-perlawanan itu.
E. Ideologi
Polit-Biro berpendapat, bahwa kesalahan-kesalahan prinsipil tersebut diatas
terutama disebabkan karena lemahnya ideologi Partai. Kelemahan-kelemahan
tersebut diatas harus lekas diperbaiki. Dengan tidak adanya teori revolusioner
tidak ada gerakan revolusioner kata Lenin. Pendapat Lenin ini terbukti
kebenarannya dalam pekerjaan kita. Oleh karena teori Marxisme-Leninisme adalah
suatu ilmu (wetenschap) yang tertingi, maka ia pun harus dipelajari sebagai
wetenschap juga. Teori kita ini meneguhkan keyakinan, menajamkan kewaspadaan,
membesarkan keberanian dan memudahkan pekerjaan kita dalam keadaan yang sulit.
Partai Komunis yang benar-benar berdasar atas pelajaran-pelajaran MARX, ENGELS,
LENIN dan STALIN tidak akan mudah jatuh dalam keadaan kebingungan, dan
bagaimanapun juga sulitnya keadaan dan suasana politik Partai Komunis selalu
akan mendapat jalan yang tepat untuk mengatasinya. Berhubung dengan itu, mulai
sekarang juga tiap Komunis DIWAJIBKAN membaca dan mempelajari secara sistematis
teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum
buruh dan kaum tani, agar supaya dengan jalan demikian mereka selalu dapat
menghubungkan teori dan praktek dengan erat. Teori yang tidak dihubungkan
dengan massa, tidak dapat merupakan kekuatan, akan tetapi sebaliknya teori yang
berhubungan erat dengan massa, merupakan kekuatan yang maha hebat.
Kawan Stalin mengatakan, bahwa tidak ada satu bentengpun juga yang tidak
dapat direbut oleh kaum Bolshevik. Maka itu yakinlah, bahwa kaum Bolshevik
Indonesia akan dapat merebut benteng yang terancam bahaya di hadapan mereka,
yaitu benteng Indonesia Merdeka.
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN MUSSO
Pemikiran
Musso cenderung memakai konsepsi kerakyatan, dimana rakyat adalah sumber dasar
terbentuknya paradigma tersebut. Bila teori adalah abstraksi dari fenomena,
konsepsi Musso secara teoritik adalah buah dari adanya hegemoni kuat
imperialisme dan – berdasar konstelasi politik dunia waktu itu – fasisme. Dari
sana muncul realitas yang dikaji, tentunya dengan “objek” (dengan tanda kutip)
yang dikaji adalah rakyat dengan fenomena sosial yang terkebiri akibat
eksistensi imperialisme.
Bak
sebuah khazanah yang luas, pemikiran manusia merupakan irisan dari mozaik yang
berserakan. Kemudian muncullah sosok yang kemudian mengkulminasikannya menjadi
nilai yang bisa dibilang menjadi orisinil. Dalam tataran tersebut, pemikiran
Musso sangat tendensius untuk disebut sebagai pemikiran normatif dan bahkan “masih
dibawah” Tan Malaka dan Syahrir, namun dibalik tata bahasa yang sederhana –
sekaliber pemikir Indonesia – guna mudah dicerna, konsepsi paradigmatic Musso
mempunyai tataran nilai yang orisinil meski terdiri dari beberapa irisan
pemikiran.
Alur
pemikiran Musso juga bersifat sentrifugal, artinya tetap berorientasi keluar,
apalagi dengan jaringan komintern (komunis inernasional) yang luas dan relevan.
Dalam konteks Indonesia, Jalan Baru
Musso mempunyai tiga poin substantif yang orisinil, hal tersebut yakni: Konsep
Pedagogi, yakni pendidikan gerakan-politik terhadap rakyat.[47]
…Berhubung dengan itu, mulai sekarang juga tiap
Komunis DIWAJIBKAN membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner
dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan kaum tani,
agar supaya dengan jalan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan
praktek dengan erat. Teori yang tidak dihubungkan dengan massa, tidak dapat
merupakan kekuatan, akan tetapi sebaliknya teori yang berhubungan erat dengan
massa, merupakan kekuatan yang maha hebat.
Musso memposisikan rakyat sebagai
bagian dari gerakan guna melawan dua musuh sekaligus, yakni kemiskinan (yang
diakibatkan oleh lintah darat di desa atau kapitalisme lokal dan barat, dan
feodalisme) dan kebodohan (akibat hegemoni imperialisme yang monopolistik) dimana
rakyat dijadikan Subjek gerakan (R=S, Rakyat sama dengan Subjek) diluar
doktrinasi mainstream komunisme yakni
Rakyat yang sangat rentan dijadikan Objek mobilisir yang mempunyai kecenderungan
untuk tidak otonom (R=O, Rakyat sama dengan Objek).
Pendidikan rakyat ala Musso yang
layak juga disebut sebagai pendidikan gerakan-politik merupakan manifestasi
dari kesadaran politik yang dirangsang berdasar doktrinasi partisipatif.
Rangsangan pada zaman itu yang cenderung digunakan lewat agitasi dan orasi
kadang juga membuat rakyat termobilisasi, karena pada awalnya hanya sedikit
yang mempunyai kesadaran politik. Namun, bila meminjam teori partisipasi
politik Samuel Huntington, kesadaran politik kaum buruh tani dirangsang secara
simultan, dengan kata lain dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik
karena adanya kesadaran politik. Kesadaran itu adalah adanya rasa kebersamaan
yang menimbulkan empati, ini juga bisa dipadukan dengan doktrin komunis yaitu
egalitarianisme.
Perspektif Musso yang mewajibkan
rakyat revolusioner – terdiri dari buruh dan tani – untuk mengadakan
kursus-kursus teoritik memang bak menara gading, namun kekuatan empati
masyarakat akan nasib hidupnya menjadi rangsangan mumpuni. Dari hal tersebut
baru kemudian menjalar kepada rasa nasionalisme kepada negara yang dimulai dari
besarnya rasa “haus belajar” tersebut, dan juga sungkan terhadap solidaritas
yang dibangun PKI. Musso membangun kesadaran ide seperti Weber yang berpendapat
bahwa bangunan ideas dapat menjadi
amunisi dari adanya perubahan sosial, maka itu rakyat yang diasupi ide-ide
revolusioner akan dengan mudah menghapus arogansi imperialisme, ini merupakan
determinasi ide yang substantif.
Selanjutnya
yakni hegemoni partai, Musso
mengungkapkannnya secara gamblang.
…bahwa seterusnya harus hanya ada satu Partai
yang berdasarkan Marxisme-Leninisme dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI
memutuskan mengajukan usul, supaya di antara tiga Partai yang mengakui
dasar-dasar Marxisme-Leninisme yang sekarang telah tergabung dalam Front
Demokrasi Rakyat serta telah menjalankan aksi bersama, berdasarkan program
bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan), sehingga menjadi SATU
Partai klas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis
Indonesia, disingkat PKI. Hanya Partai sedemikian itulah yang akan dapat
memegang rol sebagai pelopor dalam gerakan kemerdekaan sekarang ini.
Adapun cara mewujudkan fusi ini dengan
selekas-lekasnya hendaknya sebagai berikut:
1. Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang
tidak baik.
2. Membentuk Komite Fusi yang berkewajiban: a.
Mendaftar anggota-anggota PBI dan Partai Sosialis yang dapat diusulkan dengan
segera menjadi anggota PKI.
b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu, dsb.
b. Menyiapkan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu, dsb.
3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan
Kongres Fusi daripada ketiga Partai, dimana ketiga Partai dilebur menjadi satu
dengan memakai nama Partai Komunis Indonesia dan dipilih Central Comite yang
baru secara demokratis.
Bagi Musso, dengan adanya satu partai politik, pekerjaan menjadi lebih
mudah dan rasional. Untuk itu Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis dan
Partai Komunis Indonesia yang merupakan tiga partai yang berlandaskan pada
Marxisme-Leninisme meleburkan diri menjadi Partai Komunis Indonesia. Analisis
Musso terhadap fusi ini adalah mengingat kuatnya pengaruh kapital-liberalisme
pasca Perang Dunia II, apalagi gejolak politik Indonesia yang cenderung bahwa
elit-elit politik masa itu begitu condong ke Amerika – yang konon melahirkan
Peristiwa Madiun – dan kontra dengan komunisme.
Satu partai politik menjadi lebih hegemonik, karena kekuatan yang kemudian
terintegrasi dengan destinasi yang kooperatif. Musso membaca hal tersebut,
apalagi Partai Sosialis mempunyai underbouw
Pesindo yang mempunyai barisan laskar tentara yang kuat. Namun, diluar tujuan
dengan menjadikan kekuatan militer sebagai alat, Musso tetap berorientasi
dengan prinsip pedagog, meminjam teori hegemoni Gramsci, Musso mengedepankan
hegemonik dibanding dominasi. Gramsci membagi teori hegemoninya pada hegemoni
sebagai kekuatan yang mengedepankan ideas
dan dominasi sebagai basis penunjang, yakni dengan dominasi militeristik
atau manuver politik yang bersifat hard.
Berikut alur pemikiran Gramsci dalam teori hegemoni yang coba
direlevansikan dengan perspektif fusi partai politik yang dilakukan Musso lewat
Jalan Baru.
Tak
dinyana, Musso mengelaborasi dan merelevansikan keduanya, pertanyaannya
kemudian mengapa Gramsci? Kesamaan cara pandang dan fenomena gerakan di negeri
“terjajah ideology” adalah jawabannya, belum lagi konsepsi tersebut adalah
pisau analisis dalam gerakan melawan imperial-kolonialisme. Meski mengedepankan
hegemoni, karena PKI merupakan partai doktriner yang menggunakan ideology
sebagai alat memobilisir massa dengan isu realitas dan perubahan social, Musso
juga menggunakan dominasi sebagai basis kekuatan. Bila Peristiwa Madiun
dijadikan sebagai perspektif “pemberontakan”, maka dominasi yang dicerna Musso
dalam teori hegemoni adalah menggunakannya (militer) sebagai martir menuju
perebutan kekuasaan (coup de et’at) yang
dimulai dari membentuk kekuatan basis oposisi pemerintah Front Nasional menuju
kekuasaan kelompok. Bila tidak (memberontak), dominasi diperlukan guna
ultimatum terhadap imperialisme-kolonialisme Belanda yang rencana melakukan
agresi militer jilid II. Selanjutnya adalah ideas,
hal itu sudah barang tentu tersaji dalam butiran Jalan Baru, karena
menekankan pada ide-ide, tentunya dengan mengedepankan pendidikan rakyat, maka
Musso pun terkategorisasi pada agitator pedagogis. Namun disisi lain, sebagai
personal yang menjunjung tingi prinsip komunisme, Musso juga seorang agitator
demagogis yang pandai memobilisir massa. Tapi dalam konteks Jalan Baru,
sangatlah pas bila ia hanya di masukkan dalam kanal pedagog. Memang dalam
konteks hegemoni-dominasi, Jalan Baru Musso selaras pada keduanya namun memang
lebih tepat kearah hegemoni. Peleburan partai dan pendidikan rakyat adalah
bukti nyata asumsi tersebut.
Yang
terakhir adalah Socialism is one state, ya, memang itu merupakan deklarasi
Stalin terhadap tujuan utama Komunisme. Itu adalah irisan besar terhadap
konsepsi paradigmatic Jalan Baru, Musso memang Stalinis sejati, maka itu ia
cenderung tidak sejalan dengan Tan Malaka yang dituding sebagai Trotskys,
Trotsky yang merupakan musuh politik Stalin yang berperangai seperti Tan Malaka
yang lebih berhati-hati dalam bertindak.
Secara
implementatif, Musso pun ingin mengaplikasikann socialism is one state (di Indonesia) dimana ada pakem bahwa Rusia
sebagai induk organisasi komunisme dunia sebagai bagian sentral. Jadi, semua Negara
komunis tetap harus mengikuti garis induknya. Inilah yang kemudian dikritik
mentah-mentah oleh Leon Trotsky – dan kemudian Tan Malaka, khususnya pada
konvensi Prambanan 1926 – yang mengeluarkan konsepsi Permanent revolution yaitu revolusi serempak diseluruh dunia dengan
memperhatikan peta politik lokal. Konsepsi teoritik Trotsky pun seakan “menjadi
nyata” tatkala PKI kalah dalam pemberontakan 1926.
Musso
mengaplikasikannya dengan warna sendiri, untuk mengakomodir hal tersebut ia
tetap melihat situasi lokal, itu dibuktikan dengan dibuatnya Front Demokrasi
Rakyat, poros oposisi yang tetap menunggu arahan komintern. Untuk itu perihal
Madiun menjadi bias bila kita menelaah socialism
is one state, karena tidak ada arahan langsung dari Rusia untuk mengganggu
jalannya pemerintahan Bung Karno.
BAB V
PENUTUP
“Nilai”
Musso adalah dalam tataran gerakan dan pemikiran, dari kacamata gerakan ia
adalah aktifis Indonesia yang mempunyai tempat penting di Komintern Rusia,
tentunya bersama Tan Malaka meski Tan tidak begitu kental karena sangat
tendensius kearah Trotsky yang merupakan musuh politik Stalin.
Uniknya
Musso adalah ketika “Jalan Baru”, yang dinilai kalah dengan “Madilog” dan
“Perjuangan Kita” namun sangat mengena bila diterapkan pada masanya. Juga lebih
sederhana bila diterapkan dengan doktrin komunisme dan mempunyai relevansi
besar terhadap realitas social waktu itu.
Itulah
Musso, yang menelurkan pemikiran yang pas dan implementatif. Meski begitu jalan
hidupnya pun jauh dari kata pas, tudingan terhadapnya pun bagian dari sejarah
kelam bangsa. Tersebutlah Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Sjahrir dan tentunya
Musso yang sinarnya menjadi kelam disaat terang benderangnya pancasila.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku:
Abdulgani, Roeslan, Sosialisme Indonesia, Jajasan Prapantja, 1964
Aidit,
D.N., Sosialisme Indonesia: dan
Sjarat-sjarat pelaksanaanya, Djakarta:
Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”, 1962
Ananta
Toer, Pramoedya, Kronik Revolusi
Indonesia Jilid IV-1948, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2003
Anderson, David Charles, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik
Internal
Tentara? Penerjemah Dwi Pratomo Yulianto
& Lilik Suryo Nugrohojati dengan judul asli: The Aspects of The Madiun Affair. (Indonesia Magazine #21 April
1974, Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, USA).
Yogyakarta: Media Pressindo, 2003
Caldwell,
Malcolm dan Ernst Utrecht, Sejarah
Alternatif Indonesia,Yogyakarta:
Djaman
Baroe, bekerjasama dengan Sajogyo Institute Bogor, 2011
Hiqmah, Nor, H.M. Misbach; Kisah Haji Merah (1876-1924), Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008
Huntington, Samuel. P., Joan M. Nelson, Partisipasi Politik, Jakarta: Pt
Sangkala
Pulsar 1984
Leclerc, Jacques, Mencari Kiri; Kaum
Revolusioner Indonesia dan Revolusi
Mereka, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2011
Munasichin, Zainul, Berebut Kiri;
Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-
1926, Yogyakarta: LKIS, 2005
Notosusanto, Nugroho dkk, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta;
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
1975
Patria, Nezar, Andi Arief, Negara dan Hegemoni, Yogyakarta:
Pustaka pelajar,
1999
Pozze, Harry, Madiun 1948: PKI
Bergerak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011
Raho, Bernard, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007
Rambe, Safrizal, Sarekat Islam,
Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
1905-1942, Jakarta:Yayasan Kebangkitan Insan
Cendikia, 2008
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Gerakan 30
September; Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang,
Aksi dan Penumpasannya. Editor
Yusmar Basri, Jakarta; Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994
Shiraishi,
Takashi, Zaman Bergerak; Radikalisasi
Rakyat Jawa 1912-1926. Terj.
Hilmar
Farid. Jakarta: Grafiti, 1997
Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Jakarta: Frantz Fanon Foundation, 1990
_________ , Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1999
Soemarsono, Revolusi Agustus,
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Transkip &
Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa.
Jakarta: Hasta Mitra, 2008
Soerojo, Soegiarso Siapa
Menabur Angin, Akan Menuai Badai. G30S PKI dan
Peran
Bung Karno, Jakarta, 1988
Soetanto, Himawan, Madiun, dari
Republik ke Republik. Jakarta: Kata Hasta
Pustaka, 2006
________________ , Perintah Perintah Presiden Soekarno: “Rebut Kembali
Madiun...,; Siliwangi Menumpas Pemberontakan
PKI/Moeso 1948, Jakarta: Sinar Harapan, 1994
Sunyoto, Agus, Zainudin A, Maksum, Lubang-lubang
Pembantaian. Petualangan
PKI
di Madiun. Tim Penyusun
Jawa Pos. Jakarta, Pustaka Utaa, Grafiti, 1990
Suratmin, Kronik Peristiwa Madiun PKI
1948. Yogyakarta: Mata Padi Presindo,
2012
Tim Buku Tempo, Muso, SI Merah di
Simpang Republik, Penyunting
Wahyu
Dyatmika & Redaksi KPG, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG), 2011
Tjokroaminoto, Islam
dan Sosialisme, Djakarta: Lembaga Penggali dan
Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia,
1966
Townshend, Jules, Politik Marxisme, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003
Varma, S.P., Teori Politik Modern, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2007
Wulansari, Dewi, Sosiologi Konsep dan Teori, Bandung : PT Refika Aditama,
2009
Jurnal - Paper:
Adam, Asvi Warman, 2011, Hatta Kambing Hitam Madiun. Paper pada
Tim
Buku
Tempo, Muso, SI Merah di Simpang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),
2011. Hal 128-134
Aidit, D.N., D.N.
Aidit menggugat Peristiwa Madiun. Tulisan untuk pidato sidang
DPR 11 Februari 1957
untuk menjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin dari Masyumi. Komisi
Pilihan Tulisan D.N. Aidit CC PKI
Buletin IQRA PMII UNAS, Edisi IX / Oktober –
November 2010. Peran Pemuda
Easton, John, Kisah Perjuangan Hatta
1948. Diterbitkan untuk Yayasan
Indonesia Membangun. Paper pada seminar
”Sejarah Politik Asia Tenggara”. Tokyo, Jepang. 20 Desember 1987
Rao, Don Gusti, 2012, Kekuasaan Politik, Hegemoni Ideologi Partai: Republik
Indonesia Dasawarsa Pertama, Sebuah Analisis.
Paper pada tugas mata kuliah Teori-Teori
Politik. Ilmu Politik FISIP UNAS
_____________, 2013, Peran
Politik Musso pada Peristiwa Madiun. Skripsi pada
Jurusan
Ilmu Politik, FISIP Universitas Nasional. Jakarta :Universitas Nasional.
_____________, 2012, Para
Pemikir Indonesia: Beda Metode, Satu Orientasi.
(Refleksi Clash
Ideologi Musso – Soekarno). Paper pada diskusi Sekolah Pemikiran
Pendiri Bangsa Megawati Institute
_____________, 2012, Soekarno vs Musso: Konflik Ideologi atau Politik
Kekuasaan? Paper pada forum diskusi
Kelompok Diskusi 49 UNAS
Salim, Agus, 2005, Peran Politik Haji Agus Salim dalam Kongres VI Central
Sarekat
Islam Tahun 1921. Skripsi
pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Nasional. Jakarta: Universitas
Nasional
Sunyoto, Agus, 2012, Paper:
Kebiadaban Gerakan Makar FDR/PKI 1948 Madiun
Triyana, Bonnie, 2011, Jalan Berliku Tuan Mussotte. Paper pada
Tim Buku
Tempo,
Muso, SI Merah di Simpang Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),
2011. Hal 135-141
[1] Selain pemberontakan Sarekat
Islam Afdeling-B di Cimareme Garut melawan pemerintahan kolonial, Musso juga
berperan besar dalam pemberontakan 1926 juga kepada pemerintahan kolonial.
Pemberontakan 1926 ini diwarnai dengan ketidaksetujuan Tan Malaka, inilah awal
mula perseteruan Tan dan Musso. Pemberontakan 1926 terjadi diberbagai daerah
seperti Jakarta, Tangerang, Banten, kota-kota di Jawa Tengah (gagal terlaksana
karena rencana aksi bocor) dan Silungkang Sumatera Barat. Lebih lengkapnya
lihat: Tim Buku Tempo, Muso,
SI Merah di Simpang Republik. Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011. Hal 12 – 22. Harry Poezze secara implisit juga menerangkan peristiwa
tersebut dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011. Hal 1-4. Selain
itu juga ada pemogokan buruh di Delanggu, dekat kota Solo. Ihwal pemogokan ini
dapat dilihat di John Easton, Kisah
Perjuangan Hatta 1948. Paper seminar ”Sejarah Politik Asia Tenggara” di
Tokyo, Jepang 20 Desember 1987: Yayasan Indonesia Membangun hal 8-11. Lalu
Harry Poezze dibukunya yang tebal mengisahkan pemogokkan Delanggu pada halaman
12-3, 56, 83, 100, 107, 123, 141, 144, 258, 271, 357, 361, dan 379. Ada juga
Himawan Soetanto dalam Madiun dari
Republik ke Republik. Jakarta, Kata Hasta Pustaka, 2006 hal 39-42. Dan juga
Suar Suroso, et. al dalam “Peristiwa Madiun” - PKI Korban Pertama
Perang Dingin dalam Berbagai Fakta
dan Kesaksian Sekitar “Peristiwa Madiun”. Penerbit Pustaka Pena, mengisahkan
“heroisme” pemogokan Delanggu dalam rangkaian kronologi konstelasi ideologi
dalam kacamata perang dingin di halaman 10-21.
[2] Tim Buku
Tempo, Ibid, hal 10.
[3] Ibid, hal
7.
[4] Ibid, hal 10.
[5] Ibid, Hal
30-31.
[6] Tentunya
yang tetap
berada dalam kontrol Uni Soviet, sesuai dengan deklarasi Stalin tentang tujuan utama
Komunisme. Hal ini kemudian dikritik oleh Trotsky dengan perspektinya yang
dikenal dengan Revolusi permanen atau Permanent Revolution.
[7] Georgi Dimitrov adalah
Skertaris Jenderal Komunis Internasional, berdasarkan analisa konstelasi
geo-politik dunia, Dimitrov mengubah taktik perjuangan kaum komunis. Taktik
tersebut mengharuskan kaum komunis untuk berkooperasi dengan kaum
Kapital-Liberalis untuk melawan Fasisme yang di asosiasikan sebagai musuh
bersama. Doktrin ini akhirnya berubah sesuai dengan substansi perjuangan kaum
komunis 12 tahun kemudian, yang dikenal dengan Doktrin Zdhanov pada 1947. Lihat
Tim Buku Tempo, Op Cit, Hal 17-18.
[8] Himawan Soetanto, Op.Cit, Hal 71.
[9] Inilah kelemahan strategi
Lenin – terlepas dari doktrin lunak atau garis keras – tentang Socialism is
One State yang membuat Komunisme cenderung sentral mengikuti arah Komintern
(Soviet), padahal peta politik dimasing-masing negara berbeda. Sebagai
parameter pada peta politik Indonesia yang saat itu kekuatan muslim cukup
diperhitungkan dan sangat antipati oleh isu-isu sensitif seputar agama dan
atheisme.
[10] Salah
satunya adalah bantuan kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa yang
berhaluan Komunis. Lihat Tim Buku Tempo, Op.cit, Hal 62.
[11] Red Drive
Proposal adalah hasil pertemuan antara petinggi-petinggi
Indonesia (Soekarno, Hatta, Soekiman, Natsir, Roem dan Kepala Polisi Soekanto
yang juga binaan AS) dengan pimpinan delegasi Amerika (Merle Cochran dan Gerard
Hopkins, penasihat Presiden AS Harry Truman) pada 21 Juli 1948 di hotel
"Huisje Hansje" Sarangan, Plaosan, Magetan. Dimana
AS menjanjikan US$ 56 Juta asalkan PKI dibasmi, maka itu terbentuklah Peristiwa
Madiun yang dinilai sebagai sebuah desain dan provokasi belaka. Namun, hal ini
masih menjadi kontroversi karena banyak peneliti sejarah yang pro-kontra dan
juga membeberkan semua perspektif dalam karyanya, juga disertai argumen dan
validitas data, mereka antara lain: Ann Swift dan Roger Vailland. Dalam
literatur lain juga disebutkan bahwa Red Drive Proposal adalah bargain
atas legitimasi kemerdekaan yang saat itu masih dipersoalkan oleh Belanda.
Entah ada atau tidak, yang jelas pasca penumpasan PKI, Perekonomian Indonesia
berangsur membaik, Belanda tergusur dari Indonesia dan Konsulat Amerika
menyatakan Peristiwa Madiun sebagai “kekalahan pertama komunis”. Lihat Harry
Poezze, Op.Cit, hal 141-142, 307,
311, 320, 322, 325 dan 333. Lihat juga di Tim Buku Tempo, Op.Cit, hal 58-63.
[12] Soe Hok
Gie dalam Orang-orang di Persimpangan
Kiri Jalan. Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999. Hal 213.
[13] S.
Suroso, Op.Cit, hal 13.
[14] Himawan Soetanto, Op.cit,
Hal 72.
[15] Tim Buku
Tempo, Op.cit, Hal 46.
[16] Soal karakteristik
Musso, Bung Karno juga pernah mengatakannya kepada Soeripno: “Musso ini dari
dulu memang jago, ia paling suka berkelahi, jago pencak, dan kalau berpidato
akan menyingsingkan lengan baju. Pada kesempatan yang sama, Bung Karno pun
berkata bahwa Musso adalah gurunya: “Saya ini kan masih tetap muridnya
Marx, Pak Tjokroaminoto dan Pak Musso!”. Percakapan itu juga dimuat pada buku
Soe Hok Gie Orang-orang dipersimpangan Kiri Jalan. Bahkan dalam wawancara
dengan Cindy Adams, Bung Karno berkata: “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi
guru kita harus dihormati lebih dari orang tua”. Lihat Tim Buku Tempo, Op.Cit, hal
9 dan 46-47.
[17] Oude Heer atau Sang
Bapak Tua, begitulah mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin memanggilnya
sebagai bentuk “penghormatan yang tidak lazim”. Secara tersirat lihat di Tim
Buku Tempo, Ibid, Hal 48.
[18] Untuk melihat
ulasan tentang Djalan Baru untuk Republik Indonesia secara detail dan
substantif, lihat: Soemarsono, Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku
Sejarah, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa.
Jakarta: Hasta Mitra, 2008. Hal 396-422. Ada juga paper stensilan pidato D.N.
Aidit dalam D.N. Aidit menggugat
peristiwa Madiun (Tulisan untuk pidato
sidang DPR 11 Februari 1957 untuk menjawab keterangan anggota DPR Udin
Sjamsudin dari Masyumi. Komisi Pilihan Tulisan D.N. Aidit CC PKI.). Yang diambil
dari Redaksi Bintang Merah, Jakarta, 23 Mei 1951. Hal 141-171. Versi lain
(pemerintah/TNI) lihat juga di Himawan Soetanto, Op.Cit hal 73-85.
[19] Kelompok Diskusi
Patuk, kelompok diskusi yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk,
Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari
kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian
juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain
Kolonel Djoko Soejono, Letkol Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III),
Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III, dan
menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief
(kolonel) Abdul Latief dan Kapten oentoeng Samsoeri. Soemarsono, menyebut bahwa
kelompok Pemuda Patuk adalah pemuda-pemuda didikan Sutan Sjahrir. Lihat
Soemarsono, Ibid, Hal 10.
[20] Tim Buku
Tempo, Op.cit, Hal 97-98. Untuk lebih lengkap tentang pidato Soekarno
dan Musso, lihat Harry Poezze, Op.Cit,
Hal 180-184. Himawan Soetanto (Op.cit, 2006:133-136) dan Soemarsono, ibid. Hal 132-144. Himawan dan
Soemarsono menyebutkan bahwa jarak rentang Musso merespon pidato
Soekarno hanya Satu setengah jam.
[21] Lihat Tim
Buku Tempo. Op.Cit. Hal 2. Sutopo,
dalam Provokasi Madiun. Op.Cit. Hal
59. Menyebut Musso lahir pada 12 Agustus 1898.
[22] Agus Sunyoto (Lesbumi NU)
menyebut Musso adalah cucu Kyai KH Kasan Muhyi
pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, desa Kapu, Pagu, Kediri, Jawa Timur. Putri
KH Kasan Muhyi, Nyai Masruroh, adalah istri Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Lebih
lengkap lihat ww.nu.or.id atau @wartaNU. Asumsi lain mengatakan bahwa Musso
adalah anak Kyai Hasan (bukan Kasan) Muhyi, KH Hasan Muhyi menikah sebanyak
tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama
itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan salah satunya adalah Musso. KH Hasan
Muhyi, yang asli Mataram mempunyai nama asli yakni Rono Wijoyo. Lihat http://serbasejarah.wordpress.com/2013/02/04/cerita-musso-tokoh-pki-yang-ternyata-anak-kiai-besar/
[23] Sutopo, ibid. hal 59. Sutopo juga menyebutkan
bahwa Musso mempunyai 7 kakak beradik. Sedangkan di Tim Buku Tempo, Ibid. Hal 2. Disebutkan Musso hanya dua
orang bersaudara bersama Sidik, adiknya.
[24] Tim Buku Tempo. Ibid. Hal 4.
[25] Lihat Sutopo. Op.Cit. Hal 59.
[26] Lihat Tim
Buku Tempo. Ibid. hal 6-7. Hazeu lah
yang mengangkat Alimin sebagai anak. Dia pertama kali berjumpa dengan Alimin
sebagai bocah gembel di alun-alun Solo. Hazeu memberi dia beberapa keping uang
dan Alimin langsung membagi rata kepada temannya. Hazeu terkesima oleh Alimin
kecil yang punya bibit sosialisme.
[27] Ibid. hal 7-8.
[28] Soemarsono,
Loc.Cit.
[29] Lihat Tim Buku Tempo. Op.Cit. Hal 8-9.
[30] Lihat Tim Buku Tempo. Op.Cit. Hal 10-11. Sedangkan menurut
Soemarsono dalam wawancara dengan Kusalah Subgo Turn dalam buku Suar Suroso, Op. Cit hal 96. Bahwa Musso adalah orang
yang tidak mudah marah. “dia itu kalo
istilah bahasa Belandanya beheerst,
terkendali sekali”, tukasya.
[31] David
Charles Anderson, Peristiwa Madiun 1948:
Kudeta atau Konflik Internal Tentara?. Penerjemah Dwi Pratomo Yulianto &
Lilik Suryo Nugrohojati dengan judul asli: The
Military Aspects of The Madiun Affair. (Indonesia Magazine #21 April 1974,
Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, USA). Yogyakarta:
Media Pressindo, 2003. Dalam bukunya tersebut, David Charles Anderson
menjelaskan begitu detail perihal Peristiwa Madiun dalam perspektifnya yang
substantif pada bab penutup halaman 127-129,
bahwa Peristiwa Madiun murni pergolakan internal militer.
[32] Perspektif
tersebut tertuang dalam buku Suar Suroso. Op.Cit.
[33] Harry
Poezze, Op.Cit hal 29.
[34] Keempat buku tersebut yakni
karya Suratmin, Kronik Peristiwa Madiun
PKI 48, Op.Cit. Himawan Soetanto, Madiun,
dari Republik ke Republik Op.Cit dan Perintah
Presiden Soekarno: “Rebut Kembali Madiun...,; Siliwangi Menumpas Pemberontakan
PKI/Moeso 1948. Jakarta: Sinar Harapan, 1994. Dan Agus Sunyoto, et. al: lewat Lubang-lubang Pembantaian. Petualangan PKI di Madiun. Tim Penyusun Jawa Pos.
Jakarta, Pustaka Utama, Grafiti, 1990.
[35] Dalam bukunya, Op.Cit. Poezze mengungkapkan bahwa
Madiun adalah pemberontakan. Namun lain dengan buku versi pemerintah yang
terlalu menohok, Poeze mengutarakannya dengan elegan, dalam, dan kekayaan
referensi sehingga orang yang membacanya akan dengan mudah berfikir bahwa
karyanya tidak tendensius.
[36] Buku
Soemarsono – yang juga saksi hidup dan pelaku Peristiwa Madiun – Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku
Sejarah, Op.Cit, yang
dinilai sebagai buku tandingan dalam konteks akademik ternyata tidak diterima
dengan baik. Setidaknya ada penolakan dengan aksi pembakaran bukunya oleh ormas
islam dan beberapa akademisi yang turut serta dalam aksi tersebut.
[37] Majalah Historia nomor 9. Loc.Cit.
[38] Lihat Soemarsono. Loc.Cit.
[39] Pidato Soekarno di Radio
menyikapi apa yang terjadi di Madiun. Pidato pada tanggal 19 September 1948
pukul 20.00. Lihat Soemarsono. Op.Cit.
Hal 132-135.
[40] Soemarsono, Ibid, hal 139. Suar Suroso, Op.Cit, hal 29. Himawan Soetanto, Op.Cit, hal 130. Tim Buku Tempo, Op.Cit, hal 84. Harry Poeze. Op.Cit, hal 165.
[41] Suratmin, Op.Cit, hal 106.
[42] Lihat Soemarsono, Ibid.
[43] Untuk lebih
lengkap tentang pidato Soekarno dan Musso, lihat Tim Buku Tempo, Op.cit,
hal
97-98. Harry
Poezze, Op.Cit. Hal
180-184. Himawan Soetanto (Op.cit, 2006:133-136) dan Soemarsono, ibid. Hal 132-144.
[44] Lihat Tim
Buku Tempo, Ibid, hal 9.
[45] Lihat Tim
Buku Tempo, Ibid, hal 41.
[46] Lihat Soemarsosno, Op.Cit. lampiran terakhir
[47] Apakah
pedagogi Musso merupakan irisan dari Paulo Freire? Masih membutuhkan kajian
mendalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar