Rabu, 25 Juli 2012

Para Pemikir Indonesia: Beda Metode, Satu Orientasi (Refleksi Clash Ideologi Musso-Soekarno)[1]


Don Gusti Rao[2]

Prolog

Plato (427 - 347 SM) dalam hikayat kuno yang menggemparkan, pernah menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu secara serentak, terjadi berbagai letusan gunung berapi yang menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir yang maha dahsyat. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Akibat dari semua itu adalah hilangnya sebuah “dataran surga” nan makmur yang ia sebut sebagai benua Atlantis. Beratus tahun kemudian, hikayat tersebut diadopsi dan diteliti oleh Fisikawan Nuklir dan Geolog dari Brasil Prof. Arsyio Nunes Dos Santos, tak kalah menggemparkan, penelitian tersebut menghasilkan tesis mencengangkan bagi dunia intelektual. Dari hasil penelitian ilmiah yang kemudian dibukukan, ia fasih mengungkapkan bahwa dataran surga yang hilang yang juga pusat peradaban, kemaharajaan dan asal-usul manusia adalah Indonesia, mari lupakan Mesir, Cina, Yunani hingga Mesopotamia. Hasil penelitian tersebut memang tidak sedikit pun mempunyai efek berarti bagi kehidupan dalam konteks ke-Indonesiaan, diskusi ilmiah yang merupakan sinambung dari buku tersebut juga hanya seru pada awal mula, namun output praktis yang dihasilkan juga menjadi bias tatkala kita mencoba membuat analisis dampak dari peristiwa yang menurut Plato adalah kiamat madya tersebut.

Ternyata secara substantif, kekeliruan besar kita yang berfikir bahwa kekayaan Indonesia hanya terletak pada sumber daya alam merupakan momok yang cukup serius untuk menjadi diskursus akademik, analisis Prof Santos – terlepas dari rasionalisasi siapapun – sedikit membuktikan bahwa Inonesia bagaimanapun juga merupakan dunia peradaban yang kemudian ber-evolusi mencari trah peradaban yang di rasuki oleh pemikiran para tokohnya dengan tinjauan idealisme, mencoba mencari pembenaran dari Prof Santos bahwa secara historis, orang-orang Indonesia yang dianggap pelacur memalukan bagi kaum imperialis mempunyai darah peradaban yang ratusan tahun kemudian melahirkan para pemikir handal yang bisa saja membuat kita berfikir bahwa Indonesia sedang ingin mengembalikan Atlantis versi Plato kerumahnya. Jangan heran ketika saat Indonesia gencar mencari sinar kemerdekaan, aroma Atlantis dengan peradaban dan asal muasal mahluk berakalnya dipancarkan oleh tokoh-tokoh Indonesia lewat fikiran, gerakan, dan diplomasinya. Mereka seakan ingin membuktikan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang hilang.

Indonesia pasca Atlantis

            Mafhum ketika dalam diskursus akademik ilmu-ilmu sosial, menelaah terminologi politik dari ujung kiri sampai kanan yang terpetakan menjadi ideologi dari berbagai metode hingga orientasi. Perang ideologi yang berkontinuasi menjadi medan laga personal adalah efek mainstream dari digdaya ideologi yang dibawa oleh embrio perspektif, kepentingan ideal dan praktis.

            Indonesia yang memang harus tabah menerima takdir ketika dalam realitanya diinfiltrasi oleh tindakan monopolistik imperialisme, tanpa disadari melahirkan kisah-kisah heroik etno-nasionalisme kedaerahan. Etno-nasionalisme inilah yang menjadi tonggak awal terhimpunnya ide-ide ingin bebas dan mandiri menjadi negara yang utuh, disana perlukan perjuangan, fikiran, gerakan dan berbagai diplomasi yang relevan. Disamping itu putra-putri terbaik bangsa yang memperoleh pendidikan layak di banding pribumi lain juga menjadi sumbangan terbesar kemerdekaan. Seakan menjadi bumerang bagi sang imperialis, yang dulu memberi kelonggaran bagi mereka untuk belajar, dikemudian hari bergerak melawan dengan berbagai mekanisme yang punya satu tujuan, Indonesia merdeka.

Negara madya, fundamen pemikiran

            Polemik dan titik cerah itu bermula dari rumah bercat putih di Jalan Peneleh VII Nomor 29 dan 31 Surabaya. Rumah tersebut adalah milik “bapak diantara bapak bangsa“ Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Seperti diketahui bersama, rumah tersebut dihuni orang-orang yang dikemudian hari mempunyai andil besar dalam pembentukan Republik Indonesia, mereka yang indekos disana adalah tokoh-tokoh yang mempunyai akar rumput massif di masa jayanya, sebut saja Soekarno, Musso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo.
            Bergunul dalam ide disertai diskusi hangat penuh suka cita menjadi makanan hari hari mereka, juga pembelajaran politik dalam lingkup gerakan dan cakupan ideologi oleh sang mentor politik Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sebagai mana disebutkandalam literatur tidak begitu tendensius dalam memetakan ideologi bagi para anak muda binaanya, terbukti mereka akhirnya mengambil jalan sendiri-sendiri, Soekarno dengan ideologi Nasionalis-nya[3], trio Musso-Alimin-Semaoen dengan semangat Komunisme, dan Kartosoewirjo dengan Islamisme-nya.

            Mereka merepresentasikan pemikiran Tjokro dari apa yang mereka yakini, kemudian merasa benar secara pemikiran dan terapan. Hingga kemudian hari Tjokro tidak melihat bagaimana murid-muridnya itu “saling bunuh” untuk mebuka jalan fikirannya demi apa yang mereka maksudkan dengan negara ideal versi ideologi yang mereka anggap rasional.

            Papper ini mencoba menganalisis betapa menariknya pertarungan ideologi yang diperankan oleh dua tokoh seperguruan Soekarno dan Musso, pertarungan dua ideologi besar di Indonesia yang mempunyai massa fanatik selain golongan agama, yaitu Komunis dan Nasionalis. Pergesekan keduanya menjadi klimaks ketika terjadi peristiwa Madiun, peristiwa yang menghancurkan puja puji di antara keduanya setelah hampir tiga dasawarsa tidak bertemu dan saling membunuh dengan pidato demagogis tiga puluh hari kemudian lewat corong radio. Peristiwa yang memang masih menjadi misteri hingga detik ini digambarkan sebagai awal keretakan para murid-murid Tjokroaminoto, setelah itu, beberapa tahun kemudian Soekarno yang clash dengan Kartosoewirjo.

            Konflik itu (secara personal Musso-Soekarno) dihembuskan Soekarno ketika mendengar bahwa Musso memberontak dan hendak mendirikan negara Soviet Madiun dengan Musso sebagai presidennya. Dalam pidatonya di RRI Jogjakarta, Soekarno menyudutkan Musso sebagai agen Moskow yang hendak mendirikan negara Soviet Madiun, “negara kita hendak dihancurkan. Mari basmi pengacau-pengacau itu”, lalu diikuti dengan pilihan untuk memilih Soekarno-Hatta atau Musso dengan PKI nya. Mereka saling mencaci, membunuh dengan kata-kata. Tiga jam berselang melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno dengan menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan daerah-daerah lain harus melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”. 

            Masih tendensiusnya sejarah yang diartikan oleh para sejarawan dengan  latar belakang tertentu membuat peristiwa ini menjadi ceritera yang penuh ambiguitas. Setidaknya ada dua pengarang buku yang saling bersinggungan lewat karya-karyanya, Rebut Kembali Madiun dan Madiun, dari Republik ke Republik karya Himawan Soetanto yang begitu banyak dijadikan referensi dari konflik Musso-Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun dinilai sebagai representasi versi pemerintah dalam menyikapi peristiwa tersebut. Sebagai mana diketahui, Himawan Soetanto adalah Purnawirawan Letnan Jenderal yang turut serta merasakan pekiknya kemelut yang bersejarah tersebut. Ada juga buku Revolusi Agustus nya Soemarsono yang memang terlihat sebagai kepanjang-tanganan PKI dalam menyikapi peristiwa Madiun dan konflik Musso-Soekarno ini.

            Perbedaan mendasar dari dua tokoh besar ini sebenarnya tidak terlalu mencolok, ke duanya adalah retorik handal, demagog dan agitator yang mampu membangkitkan emosi massa, bagi saya, jiwa-jiwa oportunistis yang ia perankan dalam kasus Moskow-kesepakatan Prambanan  hingga peristiwa Madiun cukup membuktikan oportunistis tokoh tersebut. Orientasi besar menjadikan negara Indonesia sebagai negara sejahtera adalah kesamaan para tokoh bangsa, tak terkecuali Musso-Soekarno, namun itu tadi, perbedaan ideologi yang menjadikannya berseberangan mekanisme namun satu orientasi untuk mempertahankan kemerdekaan menjadikannya saling hantam. Ironis memang, karena tatkala keduanya bersatu padu untuk mengisi relung kemerdekaan, akan banyak nilai plus yang didapat negara ini dari dua tokoh yang banyak mempunyai massa hingga akar rumput. Sebagaimana ketika ditanya oleh Soekarno untuk berperan aktif dalam kemerdekaan Indonesia, Musso menjawab singkat: Ik kom hier om orde to scheppen.

Dampak bagi bangsa

            Peristiwa Madiun yang merupakan awal perselisihan keduanya kemudian menggurita menjadi stigma yang amat kejam bagi kaum komunis, mereka dibasmi dengan cara-cara tidak manusiawi, di asosiasikan oleh kelompok agamais sebagai sekelompok manusia tidak bertuhan, dan pengkhianat bangsa bagi kaum nasionalis.

            Bentrok keduanya pun menjadi kerugian besar bagi Indonesia yang kemudian mendapat agresi militer dari Belanda medio akhir 1948, konflik Musso-Soekarno pun tanpa disadari menjadi pemicu utama disintegrasi bangsa. Kaum simpatisan buruh tani yang sangat fanatik kepada agitasi egalitarian komunis, kemudian dibasmi dan dikenai sangsi sosial. Fenomena tersebut berdampak pada adanya dikotomi parsial dalam kelompok masyarakat. 

          Musso-soekarno juga mewarisi perang seru dalam peta ideologi, karena bagaimanapun, NASAKOM yang dicita-citakan Soekarno tidak akan mengena dengan dalih apapun. Begitu kejamnya ideologi yang digambarkan dari banyaknya korban dalam suatu clash, membuktikan bahwa bagaimanapun ideologi adalah tonggak fondasi yang tersekat dalam bingkai kenegaraan.


Sumber bacaan:

-          Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart, 2011.
-          Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-          Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-          Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



[1] Disampaikan sebagai pengantar diskusi pada kelas Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) Megawati Institute. Kamis, 16 Februari 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS, Aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Selatan, Siswa SPPB Megawati Institute.
[3] Yang kemudian bersinggungan dengan semangat sosialisme melahirkan apa yang ia sebut sebagai Marhaenisme atau ada yang menyebutnya dengan Soekarnoisme berdasarkan perspektif kekinian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar