Jumat, 27 Juli 2012

Sosialis-Islamis Tjokro*


            Dari semua literatur tentangnya, sudah beragam telaah mengenai pemikiran sosialisnya. Pun dengan buku Islam dan Sosialisme, sosialisme di terangkan sebagai kerangka islam kontekstual. Esensi dari seluruh ideologi dunia adalah apa yang di namakan dengan sosialisme, yang merupakan faktor fundamental.

            Haji Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo.  Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai pangreh pradja karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.Sebagai pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro. Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro. Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro. Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang persatuan nasional.

            Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi  juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering  SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”.  Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.  Ketika terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.

Islam-Sosialis, sebuah dikotomi

            Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme). 

            Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI.  Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata-sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.

            Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan nasional.  Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status.

            Setelah menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun dalam proses menuju Indonesia.


*Oleh Don Gusti Rao, 
Refleksi pada kelas ke lima sekolah pemikir Megawati Institue.
Referensi: Humaidi, “H.O.S Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia”, FIB UI.

Kartini, di Balik Hegemoninya[1]

             Setiap orang pasti akan menerka dengan leluasa tatkala ditanya perihal pahlawan wanita Indonesia, dari sederet nama-nama beken seperti Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain sebagainya, nama Kartini-lah yang begitu cukup hegemoni.
          
            Alasan yang cukup kuat ketika – khususnya Cut Nyak Dien dan Kristina Martha Tiahahu – beberapa pejuang wanita memilih cara “progres represif” untuk membenamkan imperialis-kolonialisme. Lain hal nya dengan Kartini, yang dengan tulisan dan surat-suratnya secara persuasif menyembulkan benih-benih perlawanan terhadap imperialis-kolonialisme Belanda, apalagi pada saat itu, praktek-praktek patriarkial sangat menyeruak, baik dikalangan imperialis maupun pada bumi putera lewat fenomena feodal darah birunya.

            Pada diskusi ke dua kali ini, di Megawati Institute. Terbuka mata bagi paradigmais awam bahwasanya pemikiran Kartini tidak sesederhana yang dibayangkan, tidak semudah seperti lagu karya W.R Soepratman yang dinyanyikan sejak sekolah dasar. Terbuka pula sisi lain di balik hegemoni sang pahlawan yang katanya hanya layak disebut sebagai pahlawan etno-nasionalis ini – karena dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan.


***

            Saya tidak perlu mengulas sejarah, pendidikan hinggga jasa-jasa beliau lebih mendalam, karena saya yakin hal itu sudah cukup di kupas pada beribu artikel yang sudah ada.

            Yang menarik, ketika banyak juga wacana – termasuk saya – yang ingin menggali sisi lain ihwal kontroversional sang tokoh, ada salah satu peserta dengan “cukup menohok” menyangsikan Kartini sebagai pahlawan emansipatoris. Kultur priyayi pada zaman itu memang sangat mengekang wanita, kaum patriaki lebih leluasa dengan dukungan adat jawa yang memang dinilai sangat sakral. Pun dengan Kartini yang didampuk menjadi istri keempat bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Oleh kaum feminis saat ini, fenomena poligami Kartini tersebut – terlepas dari kungkungan “sistem” pada saat itu – menjadi lahan empuk untuk menyangsikan kapasitas nya sebagai pejuang emansipasi. Poligami dinilai – diluar perspektif agama yang melegalisasi – sebagai awal kejatuhan wanita yang beranjak dewasa, yang sudah layak untuk dinikahkan. Sama saja seperti mengamini bahwa wanita, bagaimanapun perkasanya dia, tetap berada di bawah ketiak kaum pria. Walaupun dalam berbagai kesempatan Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.[2] Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula.

            Hal lain yang saya kemukakan di dalam termin pertama forum adalah, yang membuat pemikiran Kartini cukup begitu diperhitungkan adalah bukan semata[3] karena kepekaan-nya terhadap fenomena hegemoni patriaki, buka juga semata karena meihat “ada yang tak beres” yang menimpa saudara-saudaranya yang di poligami. Tetapi lebih kepada kungkungan secara personal yang menimpanya, sistem priyayi konservatif yang begitu kental.

            JJ Rizal, sang pemateri, tidak begitu eksplisit menanggapi statement saya, dia lebih terkonsentrasi menyingkap fenomena surat kartini yang direkayas J .H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu.

            Seperti diketahui, Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.[4]

            Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.[5] Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien,  Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita.

            Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

***

Agama Kartini[6]

            Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.
  • Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
  • Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
  • Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).
Sinkretisme

            Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.

            Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.

            Menurut Kartini, ”Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama. Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya: karunia.” (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain”.




[1] Oleh: Don Gusti Rao, Refleksi pada Kelas Ke Dua Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa Megawati Institute. Disampaikan pada Kelas ke Tiga Tanggal 20 Juli 2011 di Megawati Institute.
[2] http://www.indonesiaindonesia.com/f/48467-ra-kartini/
[3] Bukan semata disini adalah implisit, jadi bukan tidak mungkin, namun tersirat.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
[5] Ibid
[6] Artikel pada halaman terakhir (hal 3) ini saya kutip dari: http://www.kerincigoogle.com/2011/04/inilah-sejarah-ra-kartini-dan.html . Saya merasa perlu mengutipnya karena walaupun bukan hal baru, namun minim dalam perspektif normatif, dan disertai referensi yang relevan.

Rabu, 25 Juli 2012

Preman dan Politik, dalam Bingkai Ibu Kota


Don Gusti Rao[1]


"Nak, berhentilah jangan sekolah bapakmu sudah tak kerja,
­Nak, jangan menangis, memang begini keadaannya
Pangkalan jatah di toko-toko dan diparkiran, 
sudah bukan milik bapak lagi"
(Senandung Istri Bromocorah, Iwan Fals)

            Terlahir sebagai ibu kota dan pusat kegiatan administrasi pemerintahan membuat DKI Jakarta sebagai magnet dalam destinasi utama masyarakat Indonesia. Lewat berbagai kisah klise perantauan, picisan dalam roman televisi, hingga citra yang terlanjur lekat menjadikan DKI sebagai sorotan utama konteks perantauan. Disana menjadi titik temu beragam faktor prosedur dengan satu orientasi: hidup lebih layak dibanding tinggal di daerahnya. Ini yang kemudian menjadi fenomena tersendiri, orientasi dengan realita yang tidak seimbang menjadikan adanya gesekan dalam tata kehidupan, destinasi terlalu tinggi ketika sampai di ibu kota tidak diimbangi dengan faktor yang mendukung destinasi tersebut, sebut saja pendidikan, kecakapan dalam relasi, hingga keahlian dibidang tertentu. Hal-hal itu kemudian bermetamorfosa menjadi embrio kriminalisasi yang dinilai dapat menutupi kealfaan hal-hal yang semestinya diperlukan untuk survive. Berbagai bentuk kriminalisasi yang membuat masyarakat resah tidak sesederhana yang dibayangkan, tak jarang mereka sudah terstruktur dengan baik, tersistem, hingga kedok sebagai organisasi legal formal.

Relevansi dengan kekuasaan

            Lirik pada prolog diatas menggambarkan realita kerasnya kehidupan Jakarta dengan kemajemukannya yang kontras dengan apa yang dibutuhkan ibu kota, titel “bromocorah” yang terkadung lekat pada preman menjadi asumsi tersendiri perihal tindak tanduk yang beringas dan non-kooperatif.

            Luasnya gema demokratisasi ditambah dengan legalisasi Undang-Undang bebasnya berkumpul dan berserikat membuat semakin menjamurnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang kadang malah mencederai nilai esensial demokrasi. Kriminalisasi yang terstruktur dengan baik ditambah packaging sebagai ormas legal formal menjadikan ini sebagai fenomena yang sulit ditengahi oleh produk hukum. Belum lagi adanya kontrak politik dengan partai yang mempunyai underbow atau sayap partai yang memerlukan suara besar, ormas dinilai menjadi jawaban karena tidak perlu memerlukan energi tambahan untuk membentuk wadah baru, hanya tinggal fusi atau menikmati kuantitas sebagai massa bayaran kampanye.

            Masalah baru lagi muncul ketika ormas yang bertindak premanisme justru hadir dengan doktrin agamis! Bayangkan, disaat produk hukum tidak bisa menengahi ormas bermasalah dengan adanya perlindungan partai politik sebagai bargain, kali ini justru muncul dengan membawa sisi relijiusitas yang tabu bila dikoreksi, apalagi dengan kultur masyarakat yang cenderung kolot. Isu politis pun mengemuka ketika ormas berbalut relijiusitas tersebut dijadikan attack dog kepolisian, juga sebagai tameng besar para jenderal yang mempunyai agenda khusus 2014. Dapat dibayangkan ketika setiap parpol dan para Jenderal penuh sesak dengan agenda 2014, seberapa banyak lagi ormas dengan berbagai bentuk muncul? Belum lagi dengan desain politik yang dibuat untuk para mahasiswa, terjadi dikotomi antara aliansi satu dengan lainnya, hingga setiap pertemuan selalu muncul aliansi dengan isu bahasan politis.

Kisah heroik para “bromocorah”

            Unik, itulah yang terbersit ketika melihat sepak terjang preman yang mempunyai karier (politik) menjulang. Dianggap sebagai “jagoan” yang mempunyai massa, mampu memobilisir suara dan fanatisme akar rumput membuat terlena para aktor politik dengan memberikan mereka wadah dalam partai, dari sana mulai dibentuk strategi khusus agar dapat merambat hegemoni dalam lingkup politis lain. Manuver dalam pilkada, OKP hingga anggota dewan mampu menjadi semacam bargain politik dalam menghimpun suara. Mari lupakan kapasitas akademis karena yang terpenting bagi sistem adalah bagaimana aktor politik yang terlajur masuk dalam recruitment dapat menghimpun suara yang massif.

            Mereka yang menjadi tameng para preman adalah preman yang berganti status sosial, menjadi kisah heroik ketika mereka yang dahulu bergumul dalam labirin hitam sekarang menikmati empuknya menjadi kolabortor sistem politik. Tidak ada yang salah memang. Implikasi yang riil adalah preman dengan strata sosial tinggi ini cenderung menjadi aktor intelektual yang membekingi segala kegiatan yang bernuansa politis. Preman dengan strata sosial lebih tinggi ini mengambil “jatah” yang seharusnya dirawat oleh oknum hukum dan attack dog para jenderal, nilai yang lebih adalah dengan adanya tingkat emosional dan solidaritas sesama pelaku dan mantan aktor lembah hitam.

            DKI yang sudah ditasbihkan sejak awal sebagai ibu kota tetap menjadi bahan perbincangan menarik, isu-isu sentral seperti Pemilukada, premanisme hingga sosio kultural kebudayaan masih relevan untuk didiskusikan. So, tinggal bagaimana sikap masyarakat menyikapi fenomena pilu yang digambarkan Iwan Fals dengan satir sebagai titel dalam lagu Senandung Istri Bromocorah.




[1] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS

Soekarno vs Musso:


 Konflik Ideologi atau Politik Kekuasaan?[1]

Don Gusti Rao[2]

            Semua orang mafhum tatkala membicarakan polemik Musso dan Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun, tempat dimana bertemunya dua kutub kekuatan ideologis dunia di Indonesia. Keduanya memang mempunyai mentor politik sama yang dianggap sebagai ‘Ratu Adil’ pada masa itu yakni Cokroaminoto. Musso cukup konsisten dengan ideologi Komunis-nya hingga ia mendapat beasiswa di universitas Lenin, juga melanglang buana sampai namanya cukup diperhitungkan di komintern di Uni Soviet. Soekarno menjalankan politik elegan dengan ketokohannya yang masyur, nasionalisme yang kerap bersinggungan dengan ide-ide sosialis pencerahan – kemudian disebut Marhaen – seakan menjadi jawaban relevan terhadap konstelasi pada masa itu.

            Medio 40-an pasca Indonesia merdeka, dunia terbagi menjadi dua kutub yang terbelah secara ideologis, Fasisme yang direpresentasikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia dan Jepang mencoba menginvasi dunia lewat berbagai jalur. Kutub kedua digawangi AS dan Soviet yang berkooperasi ideologis lewat doktrin Dimitrov yang dikeluarkan oleh Komintern (menyatukan kaum Komunis).

            Dampak doktrin Dimitrov yang secara substantif memaklumi kooperasi Komunisme dengan Liberal-Kapitalis untuk melawan musuh bersama yaitu Fasisme akhirnya dibawa Musso ketika datang ke Indonesia. Musso yang merupakan salah satu tokoh yang disegani didunia pergerakan masa itu pun cukup fasih menerapkannya, Indonesia lewat kaum pergerakannya justru bahu membahu dengan Belanda untuk melawan infiltrasi Jepang. Akhirnya setelah dunia mengakui kehebatan dua kolaborator tersebut melawan Fasisme yang dapat dipukul habis muncullah doktrin radikal dari komintern, yaitu doktrin Zdhanov.

            Doktrin Zdhanov yang cenderung radikal yakni menghapus kooperasi dengan kapital-liberalis karena musuh bersama saat itu sudah hancur. Musso pun dengan cepat melakukan putaran 180 derajat. Inilah fenomena komunis yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi terpimpinnya Soekarno yang kontoversial itu. Komunis walau bagaimanapun harus “patuh” oleh instruksi komintern yang merupakan wadah tertinggi secara hierarkis.

            Musso mulai bersinggungan dengan Soekarno setelah kabinet Amir Syarifudin jatuh yang kemudian dikritik olehnya lewat konsepsi paradigmatisnya yang terkenal “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Bagi Musso – yang mulai membawa doktrin Zdhanov – lewat Jalan Baru-nya, meletakkan jabatan perdana menteri yang sudah di pegang kaum kiri kepada kaum Nasionalis borjuis (Soekarno-Hatta) adalah sebuah kesalahan besar.

Jalan Baru Musso dan strategi politik-ideologis

            Perspektif Musso yang kemudian distensil puluhan ribu kopi untuk para kader komunis membuktikan bahwa konsepsi tersebut sudah dipikirkan masak-masak. Lewat safari politiknya ia berpidato dengan gaya retorik-demagog yang sanggup menghipnotis massa. 

Setelah Amir jatuh akibat perjanjian Renvile, kubu kiri kemudian membentuk poros oposisi kiri yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Lewat FDR inilah kritik terhadap Soekarno dan Hatta yang merepresentasikan kebijakan pemerintah mengemuka, apalagi terhadap Masyumi dan PNI yang jelas-jelas berputar arah lewat manuver politiknya yang semula mendukung Amir dengan perjanjian Renvilenya namun pada akhirnya menyalahkan Amir dan belok mendukung Hatta sebagai perdana Menteri.

Salah satu isi Jalan Baru adalah melebur partai-partai berhaluan Marxis-Sosialis seperti Partai Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia menjadi partai yang memiliki historia panjang secara empirik yakni Partai Komunis Indonesia.

Lewat FDR dan Jalan Baru, Musso mengkritik Soekarno sebagai kolaborator Jepang dan juga sebagai Nasionalis-borjuis yang notabene tidak layak memimpin Indonesia. Indonesia yang dinilai terlalu berpihak kepada Amerika sebagai bargain pengakuan kemerdekaan dianggap telah mencederai estetika kemerdekaan. Dan disinilah embrio konflik keduanya setelah mereka berpisah dari tempat kos Cokroaminoto.

            Soekarno yang menganggap Musso sebagai guru politiknya setelah Marx dan Cokroaminoto itu ternyata terjebak dalam kekalutan dilema keberpihakan antara Amerika dan Soviet. Walaupun ia pernah berpidato dengan kata-kata yang sangat terkenal waktu itu yakni “Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis”. Soekarno juga pernah menyindir Amerika dengan “Go to Hell with your aid”. Namun gerakan Non-Blok Soekarno yang dikemudian hari terkenal itu awalnya manjalani jalan yang terjal. Banyak yang mengira bahwa legitimasinya kalah oleh Hatta sebagai perdana menteri yang condong ke Amerika. Rumor yang beredar adalah apa yang disebut dengan marshall plan yang merupakan rencana pembumi hangusan kaum kiri, Indonesia kemudian diberi apa yang kita kenal sebagai Red Drive Proposal sebagai bargain pengakuan kemerdekaan Indonesia yang saat itu sedang di goyang oleh agresi militer Belanda ke II, juga bantuan ekonomi Indonesia yang saat itu sedang krisis hingga perdana menteri Hatta melakukan kebijakan yang ditentang habis-habisan oleh FDR yaitu Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) pada tubuh Tentara Republik Indonesia.

            Di Jalan Barunya, secara implisit Musso mengkritik Re-Ra sebagai taktik pembumi hangusan eksistensi kaum kiri yang memang memiliki laskar-laskar pemuda dan militer yang cukup disegani. Bagi Musso, Hatta dan Soekarno hendak menjual kemerdekaan ini kepada Amerika, sebaliknya pemerintah menilai Musso dan FDR hendak mendirikan negara Negara Soviet di Indonesia lewat Polemik Madiun.

Ik kom hier om orde te scheppen!

            Saat pertemuan yang haru biru antara Soekarno-Musso pada Agustus 1948, Soekarno mengajak Musso untuk turut serta membantu jalannya kemerdekaan Indonesia dari berbagai ancaman, Musso menjawab dengan singkat dengan bahasa Belanda “Ik kom hier om orde te scheppen” (saya datang kesini untuk menciptakan ketertiban). Harry Poeze dalam “Madiun 1948, PKI Bergerak” (2011) mengungkapkan bahwa jawaban itu menunjukkan oportunistis Musso yang ingin menjadi Presiden bila Madiun berhasil direbut.

            Aidit dalam pidato pembelaannya di pengadilan dengan gamblang menyebutkan bahwa Hatta-lah provokator yang bertanggung jawab men-design peristiwa Madiun – yang pada masa Orde Baru di sebut sebagai Pemberontakan Madiun – sehingga PKI dihabisi dari elit sampai akar rumput. Aidit pun menyebut Musso sebagai “komunis patriotis”.

            Amerika pada saat itu memang sedang mengamati perkembangan komunisme yang sangat pesat di Asia (Tenggara), ini yang menjadi dalih utama kaum kiri bahwa Hatta adalah biang keladi Peristiwa Madiun, dan tanpa disadari atau tidak setelah PKI hancur lebur pada 1948, Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia.

-o0o-

            Hemat saya, Musso dan Soekarno sama-sama mempunyai kepentingan terkait kemerdekaan Indonesia, Soekarno yang terlanjur harum semenjak membacakan teks proklamasi menjadi magnit politik bagi kawan maupun lawannya. Ia pun terjebak dalam permainan polemik ideologis Amerika-Soviet karena Indonesia adalah wilayah seksi untuk diperebutkan, kepentingan Amerika jelas, menghancurkan Hegemoni Komunisme di Asia setelah China dan kemudian Filipina menjadi sarang Komunisme setelah Uni Soviet. Sedang Soviet, memutar taktik bagaimana – setelah Amir jatuh – merebut kembali Republik lewat kader-kader komunis yang militan. Apalagi dari segi peta ideologi Komunisme dan Liberal-Kapitalisme hanya bisa disatukan lewat doktrin Dimitrov dengan musuh bersama Fasis. Namun realitanya berbalik ketika doktrin Zdhanov muncul kepermukaan terkait runtuhnya Fasisme.

Selain itu, keduanya memang mempunyai akar rumput fanatik dari ketokohannya. Kendaraan politik mereka pun merupakan partai-partai besar, PNI dan PKI. Kedua partai tersebut fasih mengkolaborasi eksistensi hegemoni dan dominasi, meminjam Gramsci dalam Teori Hegemoninya, dimana perpaduan antara ideologi yang cenderung soft dengan kekuatan barisan dominasi fisik yang hard, partai-partai tersebut mempunyai barisan paramiliter hingga kepemudaan-mahasiswa yang cukup solid.

Bila kita apriori, kedua tokoh ini pun seperti dijadikan “boneka” ideologis dalam memperebutkan kekuasaan yang sinambung. Amerika melalui Hatta ke Soekarno dan Soviet melalui Komintern ke Musso. 

            Sejarah akhirnya bicara, mereka sangat antipati hingga akhirnya pecah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19 September  1948, dalam pidato yang dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.

Dan, akhirnya Musso dipersangkakan sebagai pemberontak dan mati terbunuh dalam tembak menembak dengan tentara pemerintah. Setelah itu giliran Amir Syarifudin, Soeripno dan kawan-kawan lainnya yang dibunuh tanpa diadili.

Setelah keran demokrasi terbuka lebar, banyak yang berpendapat bahwa konflik Musso-Soekarno adalah polemik Madiun yang didalamnya terdapat konflik hebat Amerika-Soviet, Siliwangi-Senopati, dan tentunya Komunisme-Liberal Kapitalisme.




Sumber bacaan:
-          Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart, 2011.
-          Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-          Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-          Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



[1] Disampaikan sebagai pengantar pada agenda diskusi ‘Kelompok Diskusi 49’. Selasa, 19 Juni 2012, ruang 002 Blok 4 UNAS.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS.