Rabu, 25 Juli 2012

Soekarno vs Musso:


 Konflik Ideologi atau Politik Kekuasaan?[1]

Don Gusti Rao[2]

            Semua orang mafhum tatkala membicarakan polemik Musso dan Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun, tempat dimana bertemunya dua kutub kekuatan ideologis dunia di Indonesia. Keduanya memang mempunyai mentor politik sama yang dianggap sebagai ‘Ratu Adil’ pada masa itu yakni Cokroaminoto. Musso cukup konsisten dengan ideologi Komunis-nya hingga ia mendapat beasiswa di universitas Lenin, juga melanglang buana sampai namanya cukup diperhitungkan di komintern di Uni Soviet. Soekarno menjalankan politik elegan dengan ketokohannya yang masyur, nasionalisme yang kerap bersinggungan dengan ide-ide sosialis pencerahan – kemudian disebut Marhaen – seakan menjadi jawaban relevan terhadap konstelasi pada masa itu.

            Medio 40-an pasca Indonesia merdeka, dunia terbagi menjadi dua kutub yang terbelah secara ideologis, Fasisme yang direpresentasikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia dan Jepang mencoba menginvasi dunia lewat berbagai jalur. Kutub kedua digawangi AS dan Soviet yang berkooperasi ideologis lewat doktrin Dimitrov yang dikeluarkan oleh Komintern (menyatukan kaum Komunis).

            Dampak doktrin Dimitrov yang secara substantif memaklumi kooperasi Komunisme dengan Liberal-Kapitalis untuk melawan musuh bersama yaitu Fasisme akhirnya dibawa Musso ketika datang ke Indonesia. Musso yang merupakan salah satu tokoh yang disegani didunia pergerakan masa itu pun cukup fasih menerapkannya, Indonesia lewat kaum pergerakannya justru bahu membahu dengan Belanda untuk melawan infiltrasi Jepang. Akhirnya setelah dunia mengakui kehebatan dua kolaborator tersebut melawan Fasisme yang dapat dipukul habis muncullah doktrin radikal dari komintern, yaitu doktrin Zdhanov.

            Doktrin Zdhanov yang cenderung radikal yakni menghapus kooperasi dengan kapital-liberalis karena musuh bersama saat itu sudah hancur. Musso pun dengan cepat melakukan putaran 180 derajat. Inilah fenomena komunis yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi terpimpinnya Soekarno yang kontoversial itu. Komunis walau bagaimanapun harus “patuh” oleh instruksi komintern yang merupakan wadah tertinggi secara hierarkis.

            Musso mulai bersinggungan dengan Soekarno setelah kabinet Amir Syarifudin jatuh yang kemudian dikritik olehnya lewat konsepsi paradigmatisnya yang terkenal “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Bagi Musso – yang mulai membawa doktrin Zdhanov – lewat Jalan Baru-nya, meletakkan jabatan perdana menteri yang sudah di pegang kaum kiri kepada kaum Nasionalis borjuis (Soekarno-Hatta) adalah sebuah kesalahan besar.

Jalan Baru Musso dan strategi politik-ideologis

            Perspektif Musso yang kemudian distensil puluhan ribu kopi untuk para kader komunis membuktikan bahwa konsepsi tersebut sudah dipikirkan masak-masak. Lewat safari politiknya ia berpidato dengan gaya retorik-demagog yang sanggup menghipnotis massa. 

Setelah Amir jatuh akibat perjanjian Renvile, kubu kiri kemudian membentuk poros oposisi kiri yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Lewat FDR inilah kritik terhadap Soekarno dan Hatta yang merepresentasikan kebijakan pemerintah mengemuka, apalagi terhadap Masyumi dan PNI yang jelas-jelas berputar arah lewat manuver politiknya yang semula mendukung Amir dengan perjanjian Renvilenya namun pada akhirnya menyalahkan Amir dan belok mendukung Hatta sebagai perdana Menteri.

Salah satu isi Jalan Baru adalah melebur partai-partai berhaluan Marxis-Sosialis seperti Partai Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia menjadi partai yang memiliki historia panjang secara empirik yakni Partai Komunis Indonesia.

Lewat FDR dan Jalan Baru, Musso mengkritik Soekarno sebagai kolaborator Jepang dan juga sebagai Nasionalis-borjuis yang notabene tidak layak memimpin Indonesia. Indonesia yang dinilai terlalu berpihak kepada Amerika sebagai bargain pengakuan kemerdekaan dianggap telah mencederai estetika kemerdekaan. Dan disinilah embrio konflik keduanya setelah mereka berpisah dari tempat kos Cokroaminoto.

            Soekarno yang menganggap Musso sebagai guru politiknya setelah Marx dan Cokroaminoto itu ternyata terjebak dalam kekalutan dilema keberpihakan antara Amerika dan Soviet. Walaupun ia pernah berpidato dengan kata-kata yang sangat terkenal waktu itu yakni “Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis”. Soekarno juga pernah menyindir Amerika dengan “Go to Hell with your aid”. Namun gerakan Non-Blok Soekarno yang dikemudian hari terkenal itu awalnya manjalani jalan yang terjal. Banyak yang mengira bahwa legitimasinya kalah oleh Hatta sebagai perdana menteri yang condong ke Amerika. Rumor yang beredar adalah apa yang disebut dengan marshall plan yang merupakan rencana pembumi hangusan kaum kiri, Indonesia kemudian diberi apa yang kita kenal sebagai Red Drive Proposal sebagai bargain pengakuan kemerdekaan Indonesia yang saat itu sedang di goyang oleh agresi militer Belanda ke II, juga bantuan ekonomi Indonesia yang saat itu sedang krisis hingga perdana menteri Hatta melakukan kebijakan yang ditentang habis-habisan oleh FDR yaitu Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) pada tubuh Tentara Republik Indonesia.

            Di Jalan Barunya, secara implisit Musso mengkritik Re-Ra sebagai taktik pembumi hangusan eksistensi kaum kiri yang memang memiliki laskar-laskar pemuda dan militer yang cukup disegani. Bagi Musso, Hatta dan Soekarno hendak menjual kemerdekaan ini kepada Amerika, sebaliknya pemerintah menilai Musso dan FDR hendak mendirikan negara Negara Soviet di Indonesia lewat Polemik Madiun.

Ik kom hier om orde te scheppen!

            Saat pertemuan yang haru biru antara Soekarno-Musso pada Agustus 1948, Soekarno mengajak Musso untuk turut serta membantu jalannya kemerdekaan Indonesia dari berbagai ancaman, Musso menjawab dengan singkat dengan bahasa Belanda “Ik kom hier om orde te scheppen” (saya datang kesini untuk menciptakan ketertiban). Harry Poeze dalam “Madiun 1948, PKI Bergerak” (2011) mengungkapkan bahwa jawaban itu menunjukkan oportunistis Musso yang ingin menjadi Presiden bila Madiun berhasil direbut.

            Aidit dalam pidato pembelaannya di pengadilan dengan gamblang menyebutkan bahwa Hatta-lah provokator yang bertanggung jawab men-design peristiwa Madiun – yang pada masa Orde Baru di sebut sebagai Pemberontakan Madiun – sehingga PKI dihabisi dari elit sampai akar rumput. Aidit pun menyebut Musso sebagai “komunis patriotis”.

            Amerika pada saat itu memang sedang mengamati perkembangan komunisme yang sangat pesat di Asia (Tenggara), ini yang menjadi dalih utama kaum kiri bahwa Hatta adalah biang keladi Peristiwa Madiun, dan tanpa disadari atau tidak setelah PKI hancur lebur pada 1948, Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia.

-o0o-

            Hemat saya, Musso dan Soekarno sama-sama mempunyai kepentingan terkait kemerdekaan Indonesia, Soekarno yang terlanjur harum semenjak membacakan teks proklamasi menjadi magnit politik bagi kawan maupun lawannya. Ia pun terjebak dalam permainan polemik ideologis Amerika-Soviet karena Indonesia adalah wilayah seksi untuk diperebutkan, kepentingan Amerika jelas, menghancurkan Hegemoni Komunisme di Asia setelah China dan kemudian Filipina menjadi sarang Komunisme setelah Uni Soviet. Sedang Soviet, memutar taktik bagaimana – setelah Amir jatuh – merebut kembali Republik lewat kader-kader komunis yang militan. Apalagi dari segi peta ideologi Komunisme dan Liberal-Kapitalisme hanya bisa disatukan lewat doktrin Dimitrov dengan musuh bersama Fasis. Namun realitanya berbalik ketika doktrin Zdhanov muncul kepermukaan terkait runtuhnya Fasisme.

Selain itu, keduanya memang mempunyai akar rumput fanatik dari ketokohannya. Kendaraan politik mereka pun merupakan partai-partai besar, PNI dan PKI. Kedua partai tersebut fasih mengkolaborasi eksistensi hegemoni dan dominasi, meminjam Gramsci dalam Teori Hegemoninya, dimana perpaduan antara ideologi yang cenderung soft dengan kekuatan barisan dominasi fisik yang hard, partai-partai tersebut mempunyai barisan paramiliter hingga kepemudaan-mahasiswa yang cukup solid.

Bila kita apriori, kedua tokoh ini pun seperti dijadikan “boneka” ideologis dalam memperebutkan kekuasaan yang sinambung. Amerika melalui Hatta ke Soekarno dan Soviet melalui Komintern ke Musso. 

            Sejarah akhirnya bicara, mereka sangat antipati hingga akhirnya pecah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19 September  1948, dalam pidato yang dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.

Dan, akhirnya Musso dipersangkakan sebagai pemberontak dan mati terbunuh dalam tembak menembak dengan tentara pemerintah. Setelah itu giliran Amir Syarifudin, Soeripno dan kawan-kawan lainnya yang dibunuh tanpa diadili.

Setelah keran demokrasi terbuka lebar, banyak yang berpendapat bahwa konflik Musso-Soekarno adalah polemik Madiun yang didalamnya terdapat konflik hebat Amerika-Soviet, Siliwangi-Senopati, dan tentunya Komunisme-Liberal Kapitalisme.




Sumber bacaan:
-          Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart, 2011.
-          Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-          Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-          Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



[1] Disampaikan sebagai pengantar pada agenda diskusi ‘Kelompok Diskusi 49’. Selasa, 19 Juni 2012, ruang 002 Blok 4 UNAS.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar