Jumat, 14 Februari 2014

Wawancara Imajiner dengan Musso : dari Djalan Baru, dulu dan sekarang (Bagian 1)



Doni Rao

Konstelasi politik tanah air yang begitu dinamis sejak indonesia mengalami pergolakan ideologi medio 48 (perang dunia kedua) membuat jatidiri bangsa semakin bias, setidaknya terlihat dari tendensiusitas – irisan hegemoni – minstream ideology dunia yang dianut. Pancasila yang kemudian dituding absurd secara prinsipiil menjadikan pakem fundamental yang sulit ditelaah secara pasti. Apakah ini paradoks? Pancasila pun “kembali keasalnya” sebagai ideologi yang multi-interpretatif. Ironi memang, terngiang para pejuang dan pemikir yang meletakkan Pancasila sebagai irisan beragam ideologi yang berakulturasi pada budaya lokal (gotong-royong) dan bukan tendensius hingga memunculkan disintegrasi pemikiran yang distorsif. Yang patut dicatat adalah: multi intepretasi yang dibutuhkan Pancasila adalah sesuai koridor budaya dan memiliki pakem jelas dengan jatidirinya.
Kawan Musso pernah mengkritik hal tersebut. Lewat konsepsi paradigmatiknya Djalan Baru untuk Republik Indonesia, Musso mengungkapkan bahwa urgensi jatidiri kebangsaan yang tersusun dalam dinamika kearifan lokal wajib dijaga selekasnya dari “okupasi” dan donimasi imperialis. Untuk melawannya dibutuhkan kooperasi para kaum revolusioner yang didominasi oleh buruh & tani. Bersatu padu pun tak cukup, bagi Musso aktualisasi pedagogis penting dipadukan dengan kekuatan Massa dengan esensi demagog yang dikomandoi oleh agitator-retorik handal, dan menurut hematnya syarat-syarat tersebut sudah tentu dimiliki oleh kaum revolusioner kiri yang anti imperialis (Komunis). Perspektif pedagogi dituangkannya pada Djalan Baru:

“Berhubung dengan itu, mulai sekarang juga tiap komunis diwajibkan membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner dan diwajibkan mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan tani, agar supaya dengan jalan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan praktek dengan erat”.   (Djalan Baru untuk Republik Indonesia, 1948)
Yang menarik, sisi intelektuilnya pun mengemuka tatkala mengharapkan kesempurnaan komparasi relevan teori dan terapan – walaupun tidak signifikan secara implementatif. Musso sedikit berbeda dengan kaum  “sosialis kanan” Sjahrir yang baginya reaksioner itu, yang hanya mengagungkan hegemoni pedagog dan diplomatisasi yang tak jarang menjadi bumerang bagi bangsa sendiri. Juga dengan Tan Malaka yang walaupun kuat dengan teori-teori ilmiah namun tidak menerapkannya secara personal. Tan selalu melempar jabatan ketua umum setiap mendirikan partai dan organisasi politik. Berbeda dengan Musso yang “berani” dan garang menerapkannya dengan penuh konsekuensi hingga terkesan oportunistik.
Kritik tajamnya kemudian adalah ketika misikinnya kemauan para pemikir politik  untuk menggunakan teori yang cenderung revolusioner dengan semangat patriotik massa yang mulai terdidik. Ini menjauhi – bahkan meninggalkan – asumsi “massa sebagai objek” atau “interdependensi objek dari subjek”, ia menitikberatkan massa dengan keterdidikannya sebagai “interaksi subjek”. Musso mengubahnya dengan elegan walau banyak menuai kritik dan ekspektasinya menjadi anti klimaks secara realitas. Lebih lanjut sang Oude Heer mengungkapkan:

“Teori yang tidak dihubungkan dengan massa, tidak dapat merupakan kekuatan. Akan tetapi sebaliknya teori yang berhubungan erat dengan massa merupakan kekuatan yang maha hebat”.    (Djalan Baru untuk Republik Indonesia, 1948)
Gabungan dua kutub “epistemologi gerakan” manusia itu membuat Musso menambahkan satu variabel untuk merasionalisasi gagasannya melawan Imperialis, yakni pendidikan. Saya pun menerawang, bagaimana bila dua komparasi Musso lewat Djalan Barunya yang menang melawan Soekarno pada 48? Atau bila Musso tidak mati tertembak dan kemudian menjadi elit diIndonesia? Kesaktian Djalan Barunya dibanding Pancasila? Perspketifnya relevan hingga kini? Komunisme di Indonesia? dan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang terngiang.
Untuk itu, sebagai bagian pemuasan hasrat saya coba berfantasi dengan menghadirkan wawancara Imajiner dengan relevansi prolog awal diatas.
Selamat berfantasi …

Saya (S) : Apa kabar kamerad? Bagaimana keadaan kawan disana?
Musso (M) : Baik, disini amat sunyi. Sesunyi gerakan revolusioner yang selalu dibungkam di Republik ini.
(S) : Hhm, ada beberapa kawan yang masih hidup sampai sekarang dan dengan teguh memegang prinsip Djalan Baru. Mereka mengklaim sebagai Mussois.
(M) : Memang, dibalik sikap arogan kaum reaksioner yang membinasakan kami kaum kiri revolusioner, disana akan ada titik terang. Embrio kemaslahatan. Ya, walaupun satu-dua orang yang masih hidup, diharapkan mereka membuka realitas dibalik tabir kejahatan terhadap negeri sendiri. Mereka berkooperasi dengan kaum imperialis! (dengan suara keras). Apresiasi tinggi kepada kawan-kawan yang masih memegang teguh orisinalitas Djalan Baru.
(S) : Setelah kawan tertembak, komunisme hancur lebur. Lalu Soekarno jatuh dan dilanjutkan dengan fase neo fasis orde baru, rezim otoritarianisme. Bagaimana kawan melihatnya?
(M) : Begini ya, monopoli kaum imperialis itu sudah kami teriakkan jauh-jauh hari. Terlepas dari kerasnya persaingan Soviet Russia dan Amerika, kaum imperialis siapapun itu sangat menginginkan Indonesia, bangsa kaya yang masih hijau, masih mayoritas apolitis, yang berpendidikan masih minim. Sementara itu yang vokal hanya kami, dan terbukti kami dihabisi oleh bangsa sendiri. Mereka menjilat ludahnya dan ludah bangsa lain yang kemudian meludahinya. Menggelikan. Untuk Soeharto singkat saja, sejak Peristiwa Madiun memang dia bermasalah, dia adalah ahli stratergi yang tidak pintar.
(S) : Oh ya? Sudah bertemu dengannya?
(M) : Dia hanya tertunduk malu disini, lalu sedikit bercerita tentang banyak rakyat yang menangis saat kepergiannya. Dia cukup terharu. Kesalahan terbesarnya adalah terlalu membudak kepada Amerika, setelah itu Amerika juga yang mendesain kejatuhannya.
(S) : Anda berspekulasi bahwa gerakan mahasiswa 98…
(M) : Sudah rahasia umum, walau implisit tapi pasti nanti terbuka. Kawan tunggu saja.
(S) : Bagaimana dengan teman-teman politik seperti Kartosoewirjo, Soekarno, Sjahrir dan Tan Malaka?
(M) : Karto masih tetap keras dengan pendiriannya, karno tidak banyak bicara, mungkin malu denganku dan dengan Sjahrir. Trotkys Tan masih terlihat terdidik. Semua damai disini sesuai realitas egalitarian.
(S) : Salah seorang Mussois yang hingga kini masih hidup,  – Soemarsono  – dalam bukunya membela anda habis-habisan. Yang menarik dia juga bercerita bahwa Alimin pernah bermimpi bertemu anda?
(M) : Ya saya tau bukunya. Dia seorang yang teguh. Untuk Alimin, dia hanya membual, bualannya mempermalukan jiwa-jiwa komunisme.
(S) : Sebenarnya banyak sekali peristiwa menarik terjadi di Republik sepeninggal kawan.
(M) : Saya mafhum, karena memang negeri kita prestisius. Saya hanya ingin memperingatkan kawan-kawan muda bahwa genderang perang imperialis masih wajib dibunyikan.
(S) : Walaupun dengan kondisi globalisasi seperti ini?
(M) : Ya! (Sedikit menghardik)
(S) : Pancasila?
(M) : Yang harus di garisbawahi adalah Pancasila itu secara konsepsi sudah ada sejak zaman kerajaan. Bhineka Tunggal Ika itu harmonisasi kebangsaan yang luar biasa. Tapi kemudian Soekarno mengklaim sebagai ciptaannya sendiri. Pidato 1 Juni pun dikhultuskan para pengkhultusnya sebagai momen luar biasa, padahal tidak demikian.
(S) : Anda menyerang Soekarno lagi? Lalu bagaimana merawat keluarbiasaan konsepsi pluralitas Pancasila?
(M) : Ini faktual kawan, sebelum meninggal saat bertemu Hatta, ia (Soekarno) menangis dan mengaku salah. Walaupun saya tidak sejalan dengan Hatta tapi memang itu menjadi fenomena menarik. Pancasila hanya bisa dirawat dengan pendidikan, kerja keras dan mengabdi kepada bangsa sendiri. Seperti yang saya cetuskan di Djalan Baru tentang menghubungkan teori dan praktek dengan erat.
(S) : Baik, terima kasih Bung. Semoga maslahat bangsa sesuai cita-cita.
(M) : Terima kasih. Salam revolusi.

-o0o-
100912. 5:12 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar