Doni Rao
Konstelasi politik tanah air yang begitu
dinamis sejak indonesia mengalami pergolakan ideologi medio 48 (perang dunia
kedua) membuat jatidiri bangsa semakin bias, setidaknya terlihat dari tendensiusitas
– irisan hegemoni – minstream ideology
dunia yang dianut. Pancasila yang kemudian dituding absurd secara prinsipiil menjadikan pakem fundamental yang sulit
ditelaah secara pasti. Apakah ini paradoks? Pancasila pun “kembali keasalnya”
sebagai ideologi yang multi-interpretatif. Ironi memang, terngiang para pejuang
dan pemikir yang meletakkan Pancasila sebagai irisan beragam ideologi yang
berakulturasi pada budaya lokal (gotong-royong) dan bukan tendensius hingga
memunculkan disintegrasi pemikiran yang distorsif. Yang patut dicatat adalah:
multi intepretasi yang dibutuhkan Pancasila adalah sesuai koridor budaya dan
memiliki pakem jelas dengan jatidirinya.
Kawan Musso pernah mengkritik hal tersebut.
Lewat konsepsi paradigmatiknya Djalan
Baru untuk Republik Indonesia, Musso mengungkapkan bahwa urgensi jatidiri
kebangsaan yang tersusun dalam dinamika kearifan lokal wajib dijaga selekasnya
dari “okupasi” dan donimasi imperialis. Untuk melawannya dibutuhkan kooperasi
para kaum revolusioner yang didominasi oleh buruh & tani. Bersatu padu pun
tak cukup, bagi Musso aktualisasi pedagogis penting dipadukan dengan kekuatan
Massa dengan esensi demagog yang dikomandoi oleh agitator-retorik handal, dan
menurut hematnya syarat-syarat tersebut sudah tentu dimiliki oleh kaum revolusioner
kiri yang anti imperialis (Komunis). Perspektif pedagogi dituangkannya pada
Djalan Baru:
“Berhubung dengan itu, mulai sekarang juga tiap komunis diwajibkan
membaca dan mempelajari secara sistematis teori revolusioner dan diwajibkan
mengadakan kursus-kursus di kalangan kaum buruh dan tani, agar supaya dengan
jalan demikian mereka selalu dapat menghubungkan teori dan praktek dengan erat”. (Djalan Baru untuk Republik
Indonesia, 1948)
Yang menarik, sisi intelektuilnya pun
mengemuka tatkala mengharapkan kesempurnaan komparasi relevan teori dan terapan
– walaupun tidak signifikan secara implementatif. Musso sedikit berbeda dengan
kaum “sosialis kanan” Sjahrir yang baginya
reaksioner itu, yang hanya mengagungkan hegemoni pedagog dan diplomatisasi yang
tak jarang menjadi bumerang bagi bangsa sendiri. Juga dengan Tan Malaka yang walaupun
kuat dengan teori-teori ilmiah namun tidak menerapkannya secara personal. Tan
selalu melempar jabatan ketua umum setiap mendirikan partai dan organisasi
politik. Berbeda dengan Musso yang “berani” dan garang menerapkannya dengan
penuh konsekuensi hingga terkesan oportunistik.
Kritik tajamnya kemudian adalah ketika misikinnya
kemauan para pemikir politik untuk menggunakan
teori yang cenderung revolusioner dengan semangat patriotik massa yang mulai
terdidik. Ini menjauhi – bahkan meninggalkan – asumsi “massa sebagai objek”
atau “interdependensi objek dari subjek”, ia menitikberatkan massa dengan
keterdidikannya sebagai “interaksi subjek”. Musso mengubahnya dengan elegan
walau banyak menuai kritik dan ekspektasinya menjadi anti klimaks secara
realitas. Lebih lanjut sang Oude Heer
mengungkapkan:
“Teori yang tidak dihubungkan dengan massa, tidak dapat merupakan
kekuatan. Akan tetapi sebaliknya teori yang berhubungan erat dengan massa
merupakan kekuatan yang maha hebat”. (Djalan Baru untuk Republik
Indonesia, 1948)
Gabungan dua
kutub “epistemologi gerakan” manusia itu membuat Musso menambahkan satu
variabel untuk merasionalisasi gagasannya melawan Imperialis, yakni pendidikan.
Saya pun menerawang, bagaimana bila dua komparasi Musso lewat Djalan Barunya
yang menang melawan Soekarno pada 48? Atau bila Musso tidak mati tertembak dan
kemudian menjadi elit diIndonesia? Kesaktian Djalan Barunya dibanding
Pancasila? Perspketifnya relevan hingga kini? Komunisme di Indonesia? dan
banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang terngiang.
Untuk itu,
sebagai bagian pemuasan hasrat saya coba berfantasi dengan menghadirkan
wawancara Imajiner dengan relevansi prolog awal diatas.
Selamat
berfantasi …
Musso (M) :
Baik, disini amat sunyi. Sesunyi gerakan revolusioner yang selalu dibungkam di
Republik ini.
(S) : Hhm, ada
beberapa kawan yang masih hidup sampai sekarang dan dengan teguh memegang
prinsip Djalan Baru. Mereka mengklaim
sebagai Mussois.
(M) : Memang, dibalik sikap arogan kaum
reaksioner yang membinasakan kami kaum kiri revolusioner, disana akan ada titik
terang. Embrio kemaslahatan. Ya, walaupun satu-dua orang yang masih hidup,
diharapkan mereka membuka realitas dibalik tabir kejahatan terhadap negeri
sendiri. Mereka berkooperasi dengan kaum imperialis! (dengan suara keras).
Apresiasi tinggi kepada kawan-kawan yang masih memegang teguh orisinalitas
Djalan Baru.
(S) : Setelah kawan tertembak, komunisme
hancur lebur. Lalu Soekarno jatuh dan dilanjutkan dengan fase neo fasis orde
baru, rezim otoritarianisme. Bagaimana kawan melihatnya?
(M) : Begini ya, monopoli kaum imperialis itu
sudah kami teriakkan jauh-jauh hari. Terlepas dari kerasnya persaingan Soviet
Russia dan Amerika, kaum imperialis siapapun itu sangat menginginkan Indonesia,
bangsa kaya yang masih hijau, masih mayoritas apolitis, yang berpendidikan
masih minim. Sementara itu yang vokal hanya kami, dan terbukti kami dihabisi
oleh bangsa sendiri. Mereka menjilat ludahnya dan ludah bangsa lain yang
kemudian meludahinya. Menggelikan. Untuk Soeharto singkat saja, sejak Peristiwa
Madiun memang dia bermasalah, dia adalah ahli stratergi yang tidak pintar.
(S) : Oh ya? Sudah bertemu dengannya?
(M) : Dia hanya tertunduk malu disini, lalu
sedikit bercerita tentang banyak rakyat yang menangis saat kepergiannya. Dia
cukup terharu. Kesalahan terbesarnya adalah terlalu membudak kepada Amerika,
setelah itu Amerika juga yang mendesain kejatuhannya.
(S) : Anda berspekulasi bahwa gerakan
mahasiswa 98…
(M) : Sudah rahasia umum, walau implisit tapi
pasti nanti terbuka. Kawan tunggu saja.
(S) : Bagaimana dengan teman-teman politik
seperti Kartosoewirjo, Soekarno, Sjahrir dan Tan Malaka?
(M) : Karto masih tetap keras dengan
pendiriannya, karno tidak banyak bicara, mungkin malu denganku dan dengan
Sjahrir. Trotkys Tan masih terlihat terdidik. Semua damai disini sesuai
realitas egalitarian.
(S) : Salah seorang Mussois yang hingga kini
masih hidup, – Soemarsono – dalam bukunya membela anda habis-habisan.
Yang menarik dia juga bercerita bahwa Alimin pernah bermimpi bertemu anda?
(M) : Ya saya tau bukunya. Dia seorang yang
teguh. Untuk Alimin, dia hanya membual, bualannya mempermalukan jiwa-jiwa
komunisme.
(S) : Sebenarnya banyak sekali peristiwa
menarik terjadi di Republik sepeninggal kawan.
(M) : Saya mafhum, karena memang negeri kita prestisius.
Saya hanya ingin memperingatkan kawan-kawan muda bahwa genderang perang
imperialis masih wajib dibunyikan.
(S) : Walaupun dengan kondisi globalisasi
seperti ini?
(M) : Ya! (Sedikit menghardik)
(S) : Pancasila?
(M) : Yang harus di garisbawahi adalah
Pancasila itu secara konsepsi sudah ada sejak zaman kerajaan. Bhineka Tunggal
Ika itu harmonisasi kebangsaan yang luar biasa. Tapi kemudian Soekarno
mengklaim sebagai ciptaannya sendiri. Pidato 1 Juni pun dikhultuskan para
pengkhultusnya sebagai momen luar biasa, padahal tidak demikian.
(S) : Anda menyerang Soekarno lagi? Lalu
bagaimana merawat keluarbiasaan konsepsi pluralitas Pancasila?
(M) : Ini faktual kawan, sebelum meninggal
saat bertemu Hatta, ia (Soekarno) menangis dan mengaku salah. Walaupun saya
tidak sejalan dengan Hatta tapi memang itu menjadi fenomena menarik. Pancasila
hanya bisa dirawat dengan pendidikan, kerja keras dan mengabdi kepada bangsa
sendiri. Seperti yang saya cetuskan di Djalan
Baru tentang menghubungkan teori dan praktek dengan erat.
(S) : Baik, terima kasih Bung. Semoga
maslahat bangsa sesuai cita-cita.
(M) : Terima kasih. Salam revolusi.
-o0o-
100912. 5:12
PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar