(Republik Indonesia Dasawarsa
Pertama, Sebuah analisis)[1]
Don
Gusti Rao[2]
Sejarah membuktikan bahwa
identifikasi kekuasaan politik jelas dipengaruhi secara massif oleh gerakan
pemuda - mahasiswa, militer, partai politik dan ideologi. Tanpa menafikan
eksistensi keseluruhan, menarik untuk menelaah hegemoni kekuasaan politik yang
di”kooptasi” oleh hegemoni ideologi dan partai politik. Ideologi dan partai
politik adalah dua hal yang paradoks, keduanya dianggap sebagai fondasi konstruktif
dari adanya sebuah negara yang mencita-citakan perfect state dalam konteks kebijakan populis. Meminjam Cak Nur
bahwa idelogi tidak akan pernah mati dan terus bermetamorfosa mengikuti alur
zaman, bisa dikatakan potret seperti itu yang hari ini mulai berkembang, China
dengan ideologi Komunis-nya yang mengikuti kebutuhan dan alur zaman cukup fasih
bersinggungan dengan Kapitalis-Liberalis yang selama ini sudah cukup lekat
terdoktrinasi menjadi lawan proletariat yang menjadi nafas ideologi Komunisme.
Cak Nur sudah meneropong akan kebutuhan tersebut, hal tersebut lumrah bagi
Republik ini terkait dasawarsa pertama kemerdekaan, yaitu ketika Musso yang
juga sebagai wakil di komintern membawa apa yang dikenal dengan doktrin
Dimitrov ke Indonesia, – selanjutnya, sesuai instruksi komintern ia
memperkenalkan doktrin Zdanov yang radikal – inti dari doktrin tersebut adalah
ketika kaum progresif revolusioner kiri harus berkooperasi dengan kaum
kapitalis-imperialis untuk melawan congkaknya kekuatan fasisme pada saat itu.
Konstelasi politik pasca kemerdekaan
mendikotomikan partai politik berdasarkan ideologi mainstream pada masanya, tiga ideologi besar Nasionalis, Agamais dan
Komunis dicerna partai-partai yang mempunyai akar rumput fanatik. Perolehan
empat besar pemilu tahun 1955 menegaskan hal tersebut, PKI dengan klaim sebagai
wadah yang mewakili kaum buruh tani bergesekan dengan Masyumi dan NU yang
merupakan representasi kaum muslim dan para santri, lalu ada sebagaian
cendikiawan yang merangkum kaum Nasionalis-modern dalam partai PNI.
Oligarki dalam “bingkai ideologi”
Robert M. MacIver mengemukakan bahwa
kekuasaan dalam negara (masyarakat) selalu berbentuk piramida, ini terjadi
karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul dari
pada yang lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu itu lebih kuat dengan jalan
mensubordinasikan kekuasaan lainnya itu.[3] Dalam
peta ideologi partai pun demikian, PKI yang merupakan partai komunis terbesar
di Asia setelah partai komunis Tiongkok mau tidak mau “tunduk” dengan komintern
yang menurut Robert M. MacIver adalah sebagai puncak piramida.[4]
Stigmatisasi ideologi sebagai
oligarki politik dalam konteks parpol pun semakin menggema luas, apalagi dalam
konstelasi yang dinamis, diperlukan panutan sebagai pedoman bertindak. Tidak
jarang hal-hal tersebut justru mengkhultuskan tokoh yang bagi mereka bersifat
paradoks. Pengkhultuskan tersebut merambat ke Republik ketika Musso yang di
klaim sebagai agen Moskow sangat berapi-api menjabarkan gagasan Stalin tentang Socialsm in one country, lalu pecah
dengan Tan Malaka yang disebut sebagai kaum Tortskyst dengan pandangan revolusi
berjalan terus menerus diseluruh dunia secara general yaitu permanent
revolution.
Kekuasaan tersebut terbukti cukup
ampuh, meminjam Gramsci dengan teori hegemoninya yang membuat analisis dikotomi
antara dominasi dan hegemoni, dominasi diasosiasikan dengan topangan kekuatan
fisik, sedangkan hegemoni merupakan konseptual yang lebih halus, secara
ideologis.
Komparasi Gramsci, analisis Indonesia
dasawarsa pertama
Dikotomi Gramsci tentang dominasi
dan hegemoni juga mewarnai konstelasi politik Indonesia pra kemerdekaan
dasawarsa pertama, kekuatan politik partai pada saat itu mengkomparasikan
dominasi dan hegemoni sebagai kekuatan pada akar rumput. Partai Komunis
Indonesia menjadi telaah menarik terkait hal ini. PKI yang kental dengan nuansa
ideologis karena memang menjadikan kaum proletar sebagai doktrinasi ampuh
melawan tuan tanah yang disebut-sebut sebagai kepajangtanganan kaum kapital-kolonialisme
menjadikan ideologinya sebagai kekuatan dalam campaign dan orasi politik, untuk melengkapinya, mereka membuat
laskar-laskar sebagai dominasi dan legitimasi kekuatan.[5]
Strategi politik semacam itu
terbukti ampuh dalam memobilisasi massa, walaupun terbentur dengan pro kontra
dosa politik dalam tagedi Madiun 1948, perolehan suara PKI mencapai empat besar
pada pemilu 1955.
Komparasi Gramsci juga mempengaruhi
partai progresif kiri lain sebelum fusi dengan PKI lewat jalan baru Musso,
Partai Sosialis mempunyai Pesindo sebagai garda terdepan dalam dominasi
politik, hal ini terlihat jelas ketika Soemarsono sebagai elit Pesindo terlibat
dalam Peristiwa Madiun. Juga dengan NU yang mempunyai Banser sebagai laskarnya,
bersama GP Ansor, yang cukup berperan dalam mewarnai konstelasi laskar underbow parpol.
Kekuatan-kekuatan laskar tersebut
yang pada tahun 1948 bersinggungan dengan kebijakan yang dikeluarkan Perdana
Menteri Hatta berupa pengurangan jumlah tentara lewat
reorganisasi-rasionalisasi tentara atau Re-Ra, clash tersebut merupakan salah satu latar belakang meletusnya
peristiwa Madiun.
-o0o-
Tak dapat dipungkiri bahwa ideologi
mempunyai andil besar dalam kekuasaan politik. Gerakan mahasiswa dan militerisme
pun demikian, selalu bertaut erat dengan ideologi dan manifestasinya. Ideologi
menjadi fondasi utama dalam menggerakkan roda negara, yaitu sebagai motorik
dalam teori dan terapan. Meminjam Weber, yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah
kesempatan seseorang atau kelompok untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu. Secara
tidak langsung hal yang paling paradoksial tentang apa yang dikatakan Weber
adalah bagaimana kekuasaan tersebut bertindak menyadarkan masyarakat dan
menjadi sebuah perlawanan implementatif, prosesnya adalah dengan ideologi –
karena dinilai sebagai kombinasi teori dan terapan.
Sumber
bacaan:
-
Daniel Dakhidae, Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia.
Pilihan Artikal Prisma. LP3ES 1988. Hal 189.
-
George H. Sabine, Teori-Teori Politik, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Binacipta 1992.
-
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia 2005.
-
_____________, Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai.Gramedia 1981.
[1] Dipresentasikan sebagai tugas
mata kuliah Teori-Teori Politik, Rabu 11 April 2012..
[2] Mahasiswa Ilmu Politik
Universitas Nasional
[3] Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Poltik. Jakarta, 2005.
Hal.36
[4] Terlepas dari pernah
membangkangnya PKI ketika di nakhodai Tan Malaka, namun sistem hierarkis
kepartaian sangat mencolok, sebagai contoh ialah doktrin-doktrin kooperasi yang
dihimbau oleh Stalin cs dalam komintern.
[5] Laskar-laskar sebagai dominasi
dari komparasi ideologis juga dijadikan senjata ampuh bagi kaum NAZI, mereka
menganggap bahwa kekuatan manusia sebagai kehendak untuk berkuasa. Perspektif
ini mirip dengan apa yang dikatakan Nietsche bahwa manusia adalah spesies
binatang super dengan orientasi mainstream
yaitu kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar