Rabu, 25 Juli 2012

Kekuasaan Politik, Hegemoni Ideologi Partai


(Republik Indonesia Dasawarsa Pertama, Sebuah analisis)[1]

Don Gusti Rao[2]

            Sejarah membuktikan bahwa identifikasi kekuasaan politik jelas dipengaruhi secara massif oleh gerakan pemuda - mahasiswa, militer, partai politik dan ideologi. Tanpa menafikan eksistensi keseluruhan, menarik untuk menelaah hegemoni kekuasaan politik yang di”kooptasi” oleh hegemoni ideologi dan partai politik. Ideologi dan partai politik adalah dua hal yang paradoks, keduanya dianggap sebagai fondasi konstruktif dari adanya sebuah negara yang mencita-citakan perfect state dalam konteks kebijakan populis. Meminjam Cak Nur bahwa idelogi tidak akan pernah mati dan terus bermetamorfosa mengikuti alur zaman, bisa dikatakan potret seperti itu yang hari ini mulai berkembang, China dengan ideologi Komunis-nya yang mengikuti kebutuhan dan alur zaman cukup fasih bersinggungan dengan Kapitalis-Liberalis yang selama ini sudah cukup lekat terdoktrinasi menjadi lawan proletariat yang menjadi nafas ideologi Komunisme. Cak Nur sudah meneropong akan kebutuhan tersebut, hal tersebut lumrah bagi Republik ini terkait dasawarsa pertama kemerdekaan, yaitu ketika Musso yang juga sebagai wakil di komintern membawa apa yang dikenal dengan doktrin Dimitrov ke Indonesia, – selanjutnya, sesuai instruksi komintern ia memperkenalkan doktrin Zdanov yang radikal – inti dari doktrin tersebut adalah ketika kaum progresif revolusioner kiri harus berkooperasi dengan kaum kapitalis-imperialis untuk melawan congkaknya kekuatan fasisme pada saat itu.

            Konstelasi politik pasca kemerdekaan mendikotomikan partai politik berdasarkan ideologi mainstream pada masanya, tiga ideologi besar Nasionalis, Agamais dan Komunis dicerna partai-partai yang mempunyai akar rumput fanatik. Perolehan empat besar pemilu tahun 1955 menegaskan hal tersebut, PKI dengan klaim sebagai wadah yang mewakili kaum buruh tani bergesekan dengan Masyumi dan NU yang merupakan representasi kaum muslim dan para santri, lalu ada sebagaian cendikiawan yang merangkum kaum Nasionalis-modern dalam partai PNI.

Oligarki dalam “bingkai ideologi”

            Robert M. MacIver mengemukakan bahwa kekuasaan dalam negara (masyarakat) selalu berbentuk piramida, ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul dari pada yang lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu itu lebih kuat dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan lainnya itu.[3] Dalam peta ideologi partai pun demikian, PKI yang merupakan partai komunis terbesar di Asia setelah partai komunis Tiongkok mau tidak mau “tunduk” dengan komintern yang menurut Robert M. MacIver adalah sebagai puncak piramida.[4]

            Stigmatisasi ideologi sebagai oligarki politik dalam konteks parpol pun semakin menggema luas, apalagi dalam konstelasi yang dinamis, diperlukan panutan sebagai pedoman bertindak. Tidak jarang hal-hal tersebut justru mengkhultuskan tokoh yang bagi mereka bersifat paradoks. Pengkhultuskan tersebut merambat ke Republik ketika Musso yang di klaim sebagai agen Moskow sangat berapi-api menjabarkan gagasan Stalin tentang Socialsm in one country, lalu pecah dengan Tan Malaka yang disebut sebagai kaum Tortskyst dengan pandangan revolusi berjalan terus menerus diseluruh dunia secara general yaitu permanent revolution

            Kekuasaan tersebut terbukti cukup ampuh, meminjam Gramsci dengan teori hegemoninya yang membuat analisis dikotomi antara dominasi dan hegemoni, dominasi diasosiasikan dengan topangan kekuatan fisik, sedangkan hegemoni merupakan konseptual yang lebih halus, secara ideologis.

Komparasi Gramsci, analisis Indonesia dasawarsa pertama 

            Dikotomi Gramsci tentang dominasi dan hegemoni juga mewarnai konstelasi politik Indonesia pra kemerdekaan dasawarsa pertama, kekuatan politik partai pada saat itu mengkomparasikan dominasi dan hegemoni sebagai kekuatan pada akar rumput. Partai Komunis Indonesia menjadi telaah menarik terkait hal ini. PKI yang kental dengan nuansa ideologis karena memang menjadikan kaum proletar sebagai doktrinasi ampuh melawan tuan tanah yang disebut-sebut sebagai kepajangtanganan kaum kapital-kolonialisme menjadikan ideologinya sebagai kekuatan dalam campaign dan orasi politik, untuk melengkapinya, mereka membuat laskar-laskar sebagai dominasi dan legitimasi kekuatan.[5]

            Strategi politik semacam itu terbukti ampuh dalam memobilisasi massa, walaupun terbentur dengan pro kontra dosa politik dalam tagedi Madiun 1948, perolehan suara PKI mencapai empat besar pada pemilu 1955.

            Komparasi Gramsci juga mempengaruhi partai progresif kiri lain sebelum fusi dengan PKI lewat jalan baru Musso, Partai Sosialis mempunyai Pesindo sebagai garda terdepan dalam dominasi politik, hal ini terlihat jelas ketika Soemarsono sebagai elit Pesindo terlibat dalam Peristiwa Madiun. Juga dengan NU yang mempunyai Banser sebagai laskarnya, bersama GP Ansor, yang cukup berperan dalam mewarnai konstelasi laskar underbow parpol.

            Kekuatan-kekuatan laskar tersebut yang pada tahun 1948 bersinggungan dengan kebijakan yang dikeluarkan Perdana Menteri Hatta berupa pengurangan jumlah tentara lewat reorganisasi-rasionalisasi tentara atau Re-Ra, clash tersebut merupakan salah satu latar belakang meletusnya peristiwa Madiun.

-o0o-

            Tak dapat dipungkiri bahwa ideologi mempunyai andil besar dalam kekuasaan politik. Gerakan mahasiswa dan militerisme pun demikian, selalu bertaut erat dengan ideologi dan manifestasinya. Ideologi menjadi fondasi utama dalam menggerakkan roda negara, yaitu sebagai motorik dalam teori dan terapan. Meminjam Weber, yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau kelompok untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu. Secara tidak langsung hal yang paling paradoksial tentang apa yang dikatakan Weber adalah bagaimana kekuasaan tersebut bertindak menyadarkan masyarakat dan menjadi sebuah perlawanan implementatif, prosesnya adalah dengan ideologi – karena dinilai sebagai kombinasi teori dan terapan.





Sumber bacaan:
-          Daniel Dakhidae, Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia. Pilihan Artikal Prisma. LP3ES 1988. Hal 189.
-          George H. Sabine, Teori-Teori Politik, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Binacipta 1992.
-          Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia 2005.
-          _____________, Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai.Gramedia 1981.



[1] Dipresentasikan sebagai tugas mata kuliah Teori-Teori Politik, Rabu 11 April 2012..
[2] Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional
[3] Miriam Budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Poltik. Jakarta, 2005. Hal.36
[4] Terlepas dari pernah membangkangnya PKI ketika di nakhodai Tan Malaka, namun sistem hierarkis kepartaian sangat mencolok, sebagai contoh ialah doktrin-doktrin kooperasi yang dihimbau oleh Stalin cs dalam komintern.
[5] Laskar-laskar sebagai dominasi dari komparasi ideologis juga dijadikan senjata ampuh bagi kaum NAZI, mereka menganggap bahwa kekuatan manusia sebagai kehendak untuk berkuasa. Perspektif ini mirip dengan apa yang dikatakan Nietsche bahwa manusia adalah spesies binatang super dengan orientasi mainstream yaitu kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar