Minggu, 22 Juli 2012

Debat[1]

Don Gusti Rao[2]

Debat adalah seni untuk mempengaruhi orang – dalam konteks adu argumen – dengan disertai alasan yang rasional juga validitas data yang ditawarkan. Dalam wikipedia, debat diasumsikan sebagai kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan menghargai perbedaan pendapat.
Di negara demokrasi yang kental dengan sistem oposisi, debat secara formal dilakukan di lembaga legislatif seperti parlemen hingga lembaga eksekutif seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Iklim di Indonesia yang menghargai kebebasan berpendapat membuat debat menjadi fenomena tersendiri dalam lingkup akademis, argumen yang disertai analisis kuat sebagai pisau bedah untuk mengupas isu-isu kontemporer menjadi substansi mengapa debat dijadikan sebagai seni berbicara diluar retorika politis. Dalam kultur kampus yang penuh dengan atmosfir organisasi yang kompetitif, debat dan segala macam bentuknya ditelaah secara mendalam, bahkan tidak jarang diperlombakan sebagai seni berbicara untuk mempengaruhi keputusan sang lawan bicara atau dengan rasionalisasi yang ditawarkan sehingga lawan bicara terpengaruh. Disini dapat dilihat bahwa seni berdebat dipupuk dari awal untuk menghadapi realitas sosial yang semakin membutuhkan analisis komperhensif yang valid, baik dimasyarakat atau kalangan elit.

Debat dalam pendidikan
Orang yang berdebat disebut juga sebagai debater, tema general yang ditawarkan umumnya isu kontemporer dan mekanismenya di atur sedemikian rupa dan merupakan mekanisme yang otoritatif. Topik atau sub isu yang di perdebatkan disebut mosi. Debat dalam pendidikan bertujuan untuk menghasilkan keputusan namun lebih diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu di kalangan pesertanya, seperti kemampuan untuk mengutarakan pendapat secara logis, jelas dan terstruktur, mendengarkan pendapat yang berbeda, dan kemampuan berbahasa asing (bila debat dilakukan dalam bahasa asing).
Namun demikian, beberapa format yang digunakan dalam debat pendidikan didasarkan atas debat formal yang dilakukan di parlemen. Dari sinilah muncul istilah "debat parlementer" sebagai salah satu gaya debat pendidikan yang populer. Ada berbagai format debat parlementer yang masing-masing memiliki aturan dan organisasinya sendiri.

Debat Parlementer
Debat memiliki banyak macam, namun yang familiar dalam kompetisi pendidikan adalah debat sistem parlementer. Dalam debat ini juga – secara eksplisit – digunakan kefasihan berbicara dan beranalisis sebagai skill untuk mematahkan argumen lawan. Sisi lainnya, debat jenis ini juga mengajarkan kepada debater bagaimana menghargai perbedaan pendapat, juga menghargai dan memberi waktu orang untuk berbicara mengutarakan pendapatnya.
Dalam debat parlementer, sebuah format mengatur hal-hal antara lain (Wikipedia):
§  Jumlah tim dalam satu debat.
§  Jumlah pembicara dalam satu tim.
§  Giliran berbicara.
§  Lama waktu yang disediakan untuk masing-masing pembicara.
§  Tatacara interupsi.
§  Mosi dan batasan-batasan pendefinisian mosi.
§  Tugas yang diharapkan dari masing-masing pembicara.
§  Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pembicara.
§  Jumlah juri dalam satu debat.
§  Kisaran penilaian.
Format debat parlementer sering menggunakan peristilahan yang biasa dipakai di debat parlemen sebenarnya (Wikipedia):
§  Topik debat disebut mosi (motion).
§  Tim Afirmatif (yang setuju terhadap mosi) sering disebut juga Pemerintah (Government), tim Negatif (yang menentang mosi) disebut Oposisi (Opposition).
§  Pembicara pertama dipanggil sebagai Perdana Menteri (Prime Minister), dan sebagainya.
§  Pemimpin/wasit debat (chairperson) dipanggil Speaker of The House.
§  Penonton/juri dipanggil Members of the House (Sidang Dewan yang Terhormat).
§  Interupsi disebut Points of Information (POI).

Kesimpulan
Debat harus dilakukan dengan mengikuti aturan yang telah disepakati atau sesuai prosedur. Tehnik dalam berdebat adalah bagaimana mengatur ritme bicara, gestur tubuh, tekanan suara dan mimik wajah yang pas. Debat yang disertai aturan juga berguna untuk menghindari gesekan-gesekan yang terjadi secara emosional, maka itu tidak diperkenankan berdebat dengan membawa dalil-dalil agama karena masing-masing mempunyai penilaian dan keyakinan terhadap agamanya. Terlebih dalam berdebat tidak diperkenankan menyinggung SARA, karena selain akan menjadi hal yang provokatif, hal tersebut sudah pasti akan mengurangi skor di mata juri debat.
Debat hanya diperkenankan dalam forum-forum akademik-ilmiah atau arena lomba, karena debat warung kopi tanpa aturan main akan membuat gesekan memanas dan tidak jarang berujung pada clash fisik.
Secara sederhana, efek positif dari mempelajari materi debat secara komprehensif adalah:
§  Lebih menghargai perbedaan pendapat.
§  Berani berbicara, terutama untuk mahasiswa agar lebih fasih berbicara di dalam kelas, presentasi, atau pun forum-forum akademis lainnya.
§  Menyelesaikan perbedaan pendapat dengan argumen yang rasional, frontal namun terarah.
§  Memberi waktu lawan bicara dengan memotong pembicaraan secara teratur.
§  Mengasah kemampuan untuk menganalisis dan menelaah isu.
§  Sebagai stimulan untuk lebih giat membaca hal-hal akademik, karena hal tersebut sangat diperlukan dalam menganalisis isu-isu kontemporer yang dijadikan tema atau mosi dalam debat.



“Siapa yang tidak bisa mendinginkan pikirannya, jangan memasuki panasnya perdebatan”
-Nietzche-

“Selamat Berdebat”


[1] Disampaikan pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Universitas Nasional (PMII KOM UNAS). Puncak, Jawa Barat. 8 - 10 Juni 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS, Sekretaris I PC PMII Jakarta Selatan 2011 – 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar