Don Gusti Rao[2]
Debat adalah seni untuk mempengaruhi orang – dalam konteks
adu argumen – dengan disertai alasan yang rasional juga validitas data yang
ditawarkan. Dalam wikipedia, debat diasumsikan sebagai kegiatan adu
argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun
kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan menghargai perbedaan
pendapat.
Di negara demokrasi yang kental dengan
sistem oposisi, debat secara formal dilakukan di lembaga legislatif seperti
parlemen hingga lembaga eksekutif seperti pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.
Iklim di Indonesia yang menghargai kebebasan
berpendapat membuat debat menjadi fenomena tersendiri dalam lingkup akademis,
argumen yang disertai analisis kuat sebagai pisau bedah untuk mengupas isu-isu
kontemporer menjadi substansi mengapa debat dijadikan sebagai seni berbicara
diluar retorika politis. Dalam kultur kampus yang penuh dengan atmosfir
organisasi yang kompetitif, debat dan segala macam bentuknya ditelaah secara
mendalam, bahkan tidak jarang diperlombakan sebagai seni berbicara untuk
mempengaruhi keputusan sang lawan bicara atau dengan rasionalisasi yang
ditawarkan sehingga lawan bicara terpengaruh. Disini dapat dilihat bahwa seni
berdebat dipupuk dari awal untuk menghadapi realitas sosial yang semakin
membutuhkan analisis komperhensif yang valid, baik dimasyarakat atau kalangan
elit.
Debat
dalam pendidikan
Orang yang berdebat disebut juga sebagai debater, tema general yang
ditawarkan umumnya isu kontemporer dan mekanismenya di atur sedemikian rupa dan
merupakan mekanisme yang otoritatif. Topik atau sub isu yang di perdebatkan
disebut mosi. Debat dalam pendidikan bertujuan untuk menghasilkan keputusan
namun lebih diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu di
kalangan pesertanya, seperti kemampuan untuk mengutarakan pendapat secara
logis, jelas dan terstruktur, mendengarkan pendapat yang berbeda, dan kemampuan
berbahasa asing (bila debat dilakukan dalam bahasa asing).
Namun demikian, beberapa format yang digunakan dalam debat pendidikan
didasarkan atas debat formal yang dilakukan di parlemen. Dari sinilah muncul
istilah "debat parlementer" sebagai salah satu gaya debat pendidikan
yang populer. Ada berbagai format debat parlementer yang masing-masing memiliki
aturan dan organisasinya sendiri.
Debat Parlementer
Debat memiliki banyak macam, namun yang familiar dalam
kompetisi pendidikan adalah debat sistem parlementer. Dalam debat ini juga – secara
eksplisit – digunakan kefasihan berbicara dan beranalisis sebagai skill untuk
mematahkan argumen lawan. Sisi lainnya, debat jenis ini juga mengajarkan kepada
debater bagaimana menghargai perbedaan pendapat, juga menghargai dan memberi
waktu orang untuk berbicara mengutarakan pendapatnya.
Dalam
debat parlementer, sebuah format mengatur hal-hal antara lain (Wikipedia):
§ Jumlah tim dalam satu debat.
§ Jumlah pembicara dalam satu tim.
§ Giliran berbicara.
§ Lama waktu yang disediakan untuk masing-masing pembicara.
§ Tatacara interupsi.
§ Mosi dan batasan-batasan pendefinisian mosi.
§ Tugas yang diharapkan dari masing-masing pembicara.
§ Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pembicara.
§ Jumlah juri dalam satu debat.
§ Kisaran penilaian.
Format debat parlementer
sering menggunakan peristilahan yang biasa dipakai di debat parlemen sebenarnya
(Wikipedia):
§ Topik debat disebut mosi (motion).
§ Tim Afirmatif (yang setuju terhadap mosi) sering disebut juga
Pemerintah (Government), tim Negatif (yang menentang mosi) disebut
Oposisi (Opposition).
§ Pembicara pertama dipanggil sebagai Perdana Menteri (Prime
Minister), dan sebagainya.
§ Pemimpin/wasit debat (chairperson) dipanggil Speaker of The House.
§ Penonton/juri dipanggil Members of the House (Sidang Dewan yang Terhormat).
§ Interupsi disebut Points of Information (POI).
Kesimpulan
Debat harus dilakukan dengan mengikuti
aturan yang telah disepakati atau sesuai prosedur. Tehnik dalam berdebat adalah
bagaimana mengatur ritme bicara, gestur tubuh, tekanan suara dan mimik wajah
yang pas. Debat yang disertai aturan juga berguna untuk menghindari
gesekan-gesekan yang terjadi secara emosional, maka itu tidak diperkenankan
berdebat dengan membawa dalil-dalil agama karena masing-masing mempunyai
penilaian dan keyakinan terhadap agamanya. Terlebih dalam berdebat tidak
diperkenankan menyinggung SARA, karena selain akan menjadi hal yang provokatif,
hal tersebut sudah pasti akan mengurangi skor di mata juri debat.
Debat hanya diperkenankan dalam forum-forum
akademik-ilmiah atau arena lomba, karena debat warung kopi tanpa aturan main
akan membuat gesekan memanas dan tidak jarang berujung pada clash fisik.
Secara sederhana, efek positif dari
mempelajari materi debat secara komprehensif adalah:
§ Lebih menghargai perbedaan pendapat.
§ Berani berbicara, terutama untuk mahasiswa agar lebih fasih
berbicara di dalam kelas, presentasi, atau pun forum-forum akademis lainnya.
§ Menyelesaikan perbedaan pendapat dengan argumen yang
rasional, frontal namun terarah.
§ Memberi waktu lawan bicara dengan memotong pembicaraan secara
teratur.
§ Mengasah kemampuan untuk menganalisis dan menelaah isu.
§ Sebagai stimulan untuk lebih giat membaca hal-hal akademik,
karena hal tersebut sangat diperlukan dalam menganalisis isu-isu kontemporer
yang dijadikan tema atau mosi dalam debat.
“Siapa yang tidak bisa
mendinginkan pikirannya, jangan memasuki panasnya perdebatan”
-Nietzche-
“Selamat Berdebat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar