Setiap orang pasti akan menerka dengan leluasa tatkala
ditanya perihal pahlawan wanita Indonesia, dari sederet nama-nama beken seperti
Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain sebagainya, nama
Kartini-lah yang begitu cukup hegemoni.
Alasan yang cukup kuat ketika – khususnya Cut Nyak Dien
dan Kristina Martha Tiahahu – beberapa pejuang wanita memilih cara “progres
represif” untuk membenamkan imperialis-kolonialisme. Lain hal nya dengan
Kartini, yang dengan tulisan dan surat-suratnya secara persuasif menyembulkan
benih-benih perlawanan terhadap imperialis-kolonialisme Belanda, apalagi pada
saat itu, praktek-praktek patriarkial sangat menyeruak, baik dikalangan
imperialis maupun pada bumi putera lewat fenomena feodal darah birunya.
Pada diskusi ke dua kali ini, di Megawati Institute.
Terbuka mata bagi paradigmais awam bahwasanya pemikiran Kartini tidak
sesederhana yang dibayangkan, tidak semudah seperti lagu karya W.R Soepratman
yang dinyanyikan sejak sekolah dasar. Terbuka pula sisi lain di balik hegemoni
sang pahlawan yang katanya hanya layak disebut sebagai pahlawan etno-nasionalis
ini – karena dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah
menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda.
Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan
Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan.
***
Saya
tidak perlu mengulas sejarah, pendidikan hinggga jasa-jasa beliau lebih
mendalam, karena saya yakin hal itu sudah cukup di kupas pada beribu artikel
yang sudah ada.
Yang menarik, ketika banyak juga wacana – termasuk saya –
yang ingin menggali sisi lain ihwal kontroversional sang tokoh, ada salah satu
peserta dengan “cukup menohok” menyangsikan Kartini sebagai pahlawan
emansipatoris. Kultur priyayi pada zaman itu memang sangat mengekang wanita,
kaum patriaki lebih leluasa dengan dukungan adat jawa yang memang dinilai
sangat sakral. Pun dengan Kartini yang didampuk menjadi istri keempat bupati Rembang,
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Oleh kaum feminis saat ini,
fenomena poligami Kartini tersebut – terlepas dari kungkungan “sistem” pada
saat itu – menjadi lahan empuk untuk menyangsikan kapasitas nya sebagai pejuang
emansipasi. Poligami dinilai – diluar perspektif agama yang melegalisasi –
sebagai awal kejatuhan wanita yang beranjak dewasa, yang sudah layak untuk
dinikahkan. Sama saja seperti mengamini bahwa wanita, bagaimanapun perkasanya
dia, tetap berada di bawah ketiak kaum pria. Walaupun dalam berbagai kesempatan
Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum
laki-laki untuk berpoligami.[2] Bagi
Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas
tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula.
Hal lain yang saya kemukakan di dalam termin pertama
forum adalah, yang membuat pemikiran Kartini cukup begitu diperhitungkan adalah
bukan semata[3]
karena kepekaan-nya terhadap fenomena hegemoni patriaki, buka juga semata
karena meihat “ada yang tak beres” yang menimpa saudara-saudaranya yang di
poligami. Tetapi lebih kepada kungkungan secara personal yang menimpanya,
sistem priyayi konservatif yang begitu kental.
JJ Rizal, sang pemateri, tidak begitu eksplisit
menanggapi statement saya, dia lebih
terkonsentrasi menyingkap fenomena surat kartini yang direkayas J .H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu.
Seperti
diketahui, Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat
pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis
di Hindia
Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung
politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak
diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.[4]
Penetapan
tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari
Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.[5]
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita
Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat
dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Christina Martha
Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain. Menurut mereka,
wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini
juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro
terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti
emansipasi wanita.
Dan
berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya
seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia
saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
***
Agama
Kartini[6]
Aspek spiritual
keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan
pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari
sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga
buku yang ditulis tentang Kartini.
- Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
- Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
- Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).
Sinkretisme
Ada usaha untuk menggambarkan figur
Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan
bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras,
dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang narapidana
Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh
minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa
Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan.
Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang
sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak
itu Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.
Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini
semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya,
yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada
bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada
sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah
menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.
Menurut Kartini, ”Tolong-menolong
dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama. Kalau
saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan,
sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya: karunia.” (hlm 235).
Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan
dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain”.
[1]
Oleh: Don Gusti Rao,
Refleksi pada Kelas Ke Dua Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa Megawati Institute.
Disampaikan pada Kelas ke Tiga Tanggal 20 Juli 2011 di Megawati Institute.
[2] http://www.indonesiaindonesia.com/f/48467-ra-kartini/
[3] Bukan semata disini adalah
implisit, jadi bukan tidak mungkin, namun tersirat.
[4]
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
[5] Ibid
[6] Artikel pada halaman terakhir (hal
3) ini saya kutip dari:
http://www.kerincigoogle.com/2011/04/inilah-sejarah-ra-kartini-dan.html . Saya merasa
perlu mengutipnya karena walaupun bukan hal baru, namun minim dalam perspektif
normatif, dan disertai referensi yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar