Jumat, 27 Juli 2012

Kartini, di Balik Hegemoninya[1]

             Setiap orang pasti akan menerka dengan leluasa tatkala ditanya perihal pahlawan wanita Indonesia, dari sederet nama-nama beken seperti Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain sebagainya, nama Kartini-lah yang begitu cukup hegemoni.
          
            Alasan yang cukup kuat ketika – khususnya Cut Nyak Dien dan Kristina Martha Tiahahu – beberapa pejuang wanita memilih cara “progres represif” untuk membenamkan imperialis-kolonialisme. Lain hal nya dengan Kartini, yang dengan tulisan dan surat-suratnya secara persuasif menyembulkan benih-benih perlawanan terhadap imperialis-kolonialisme Belanda, apalagi pada saat itu, praktek-praktek patriarkial sangat menyeruak, baik dikalangan imperialis maupun pada bumi putera lewat fenomena feodal darah birunya.

            Pada diskusi ke dua kali ini, di Megawati Institute. Terbuka mata bagi paradigmais awam bahwasanya pemikiran Kartini tidak sesederhana yang dibayangkan, tidak semudah seperti lagu karya W.R Soepratman yang dinyanyikan sejak sekolah dasar. Terbuka pula sisi lain di balik hegemoni sang pahlawan yang katanya hanya layak disebut sebagai pahlawan etno-nasionalis ini – karena dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan.


***

            Saya tidak perlu mengulas sejarah, pendidikan hinggga jasa-jasa beliau lebih mendalam, karena saya yakin hal itu sudah cukup di kupas pada beribu artikel yang sudah ada.

            Yang menarik, ketika banyak juga wacana – termasuk saya – yang ingin menggali sisi lain ihwal kontroversional sang tokoh, ada salah satu peserta dengan “cukup menohok” menyangsikan Kartini sebagai pahlawan emansipatoris. Kultur priyayi pada zaman itu memang sangat mengekang wanita, kaum patriaki lebih leluasa dengan dukungan adat jawa yang memang dinilai sangat sakral. Pun dengan Kartini yang didampuk menjadi istri keempat bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Oleh kaum feminis saat ini, fenomena poligami Kartini tersebut – terlepas dari kungkungan “sistem” pada saat itu – menjadi lahan empuk untuk menyangsikan kapasitas nya sebagai pejuang emansipasi. Poligami dinilai – diluar perspektif agama yang melegalisasi – sebagai awal kejatuhan wanita yang beranjak dewasa, yang sudah layak untuk dinikahkan. Sama saja seperti mengamini bahwa wanita, bagaimanapun perkasanya dia, tetap berada di bawah ketiak kaum pria. Walaupun dalam berbagai kesempatan Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.[2] Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula.

            Hal lain yang saya kemukakan di dalam termin pertama forum adalah, yang membuat pemikiran Kartini cukup begitu diperhitungkan adalah bukan semata[3] karena kepekaan-nya terhadap fenomena hegemoni patriaki, buka juga semata karena meihat “ada yang tak beres” yang menimpa saudara-saudaranya yang di poligami. Tetapi lebih kepada kungkungan secara personal yang menimpanya, sistem priyayi konservatif yang begitu kental.

            JJ Rizal, sang pemateri, tidak begitu eksplisit menanggapi statement saya, dia lebih terkonsentrasi menyingkap fenomena surat kartini yang direkayas J .H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu.

            Seperti diketahui, Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.[4]

            Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.[5] Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien,  Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita.

            Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

***

Agama Kartini[6]

            Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.
  • Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
  • Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
  • Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).
Sinkretisme

            Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.

            Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.

            Menurut Kartini, ”Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama. Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya: karunia.” (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain”.




[1] Oleh: Don Gusti Rao, Refleksi pada Kelas Ke Dua Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa Megawati Institute. Disampaikan pada Kelas ke Tiga Tanggal 20 Juli 2011 di Megawati Institute.
[2] http://www.indonesiaindonesia.com/f/48467-ra-kartini/
[3] Bukan semata disini adalah implisit, jadi bukan tidak mungkin, namun tersirat.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
[5] Ibid
[6] Artikel pada halaman terakhir (hal 3) ini saya kutip dari: http://www.kerincigoogle.com/2011/04/inilah-sejarah-ra-kartini-dan.html . Saya merasa perlu mengutipnya karena walaupun bukan hal baru, namun minim dalam perspektif normatif, dan disertai referensi yang relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar