Rabu, 25 Juli 2012

Preman dan Politik, dalam Bingkai Ibu Kota


Don Gusti Rao[1]


"Nak, berhentilah jangan sekolah bapakmu sudah tak kerja,
­Nak, jangan menangis, memang begini keadaannya
Pangkalan jatah di toko-toko dan diparkiran, 
sudah bukan milik bapak lagi"
(Senandung Istri Bromocorah, Iwan Fals)

            Terlahir sebagai ibu kota dan pusat kegiatan administrasi pemerintahan membuat DKI Jakarta sebagai magnet dalam destinasi utama masyarakat Indonesia. Lewat berbagai kisah klise perantauan, picisan dalam roman televisi, hingga citra yang terlanjur lekat menjadikan DKI sebagai sorotan utama konteks perantauan. Disana menjadi titik temu beragam faktor prosedur dengan satu orientasi: hidup lebih layak dibanding tinggal di daerahnya. Ini yang kemudian menjadi fenomena tersendiri, orientasi dengan realita yang tidak seimbang menjadikan adanya gesekan dalam tata kehidupan, destinasi terlalu tinggi ketika sampai di ibu kota tidak diimbangi dengan faktor yang mendukung destinasi tersebut, sebut saja pendidikan, kecakapan dalam relasi, hingga keahlian dibidang tertentu. Hal-hal itu kemudian bermetamorfosa menjadi embrio kriminalisasi yang dinilai dapat menutupi kealfaan hal-hal yang semestinya diperlukan untuk survive. Berbagai bentuk kriminalisasi yang membuat masyarakat resah tidak sesederhana yang dibayangkan, tak jarang mereka sudah terstruktur dengan baik, tersistem, hingga kedok sebagai organisasi legal formal.

Relevansi dengan kekuasaan

            Lirik pada prolog diatas menggambarkan realita kerasnya kehidupan Jakarta dengan kemajemukannya yang kontras dengan apa yang dibutuhkan ibu kota, titel “bromocorah” yang terkadung lekat pada preman menjadi asumsi tersendiri perihal tindak tanduk yang beringas dan non-kooperatif.

            Luasnya gema demokratisasi ditambah dengan legalisasi Undang-Undang bebasnya berkumpul dan berserikat membuat semakin menjamurnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang kadang malah mencederai nilai esensial demokrasi. Kriminalisasi yang terstruktur dengan baik ditambah packaging sebagai ormas legal formal menjadikan ini sebagai fenomena yang sulit ditengahi oleh produk hukum. Belum lagi adanya kontrak politik dengan partai yang mempunyai underbow atau sayap partai yang memerlukan suara besar, ormas dinilai menjadi jawaban karena tidak perlu memerlukan energi tambahan untuk membentuk wadah baru, hanya tinggal fusi atau menikmati kuantitas sebagai massa bayaran kampanye.

            Masalah baru lagi muncul ketika ormas yang bertindak premanisme justru hadir dengan doktrin agamis! Bayangkan, disaat produk hukum tidak bisa menengahi ormas bermasalah dengan adanya perlindungan partai politik sebagai bargain, kali ini justru muncul dengan membawa sisi relijiusitas yang tabu bila dikoreksi, apalagi dengan kultur masyarakat yang cenderung kolot. Isu politis pun mengemuka ketika ormas berbalut relijiusitas tersebut dijadikan attack dog kepolisian, juga sebagai tameng besar para jenderal yang mempunyai agenda khusus 2014. Dapat dibayangkan ketika setiap parpol dan para Jenderal penuh sesak dengan agenda 2014, seberapa banyak lagi ormas dengan berbagai bentuk muncul? Belum lagi dengan desain politik yang dibuat untuk para mahasiswa, terjadi dikotomi antara aliansi satu dengan lainnya, hingga setiap pertemuan selalu muncul aliansi dengan isu bahasan politis.

Kisah heroik para “bromocorah”

            Unik, itulah yang terbersit ketika melihat sepak terjang preman yang mempunyai karier (politik) menjulang. Dianggap sebagai “jagoan” yang mempunyai massa, mampu memobilisir suara dan fanatisme akar rumput membuat terlena para aktor politik dengan memberikan mereka wadah dalam partai, dari sana mulai dibentuk strategi khusus agar dapat merambat hegemoni dalam lingkup politis lain. Manuver dalam pilkada, OKP hingga anggota dewan mampu menjadi semacam bargain politik dalam menghimpun suara. Mari lupakan kapasitas akademis karena yang terpenting bagi sistem adalah bagaimana aktor politik yang terlajur masuk dalam recruitment dapat menghimpun suara yang massif.

            Mereka yang menjadi tameng para preman adalah preman yang berganti status sosial, menjadi kisah heroik ketika mereka yang dahulu bergumul dalam labirin hitam sekarang menikmati empuknya menjadi kolabortor sistem politik. Tidak ada yang salah memang. Implikasi yang riil adalah preman dengan strata sosial tinggi ini cenderung menjadi aktor intelektual yang membekingi segala kegiatan yang bernuansa politis. Preman dengan strata sosial lebih tinggi ini mengambil “jatah” yang seharusnya dirawat oleh oknum hukum dan attack dog para jenderal, nilai yang lebih adalah dengan adanya tingkat emosional dan solidaritas sesama pelaku dan mantan aktor lembah hitam.

            DKI yang sudah ditasbihkan sejak awal sebagai ibu kota tetap menjadi bahan perbincangan menarik, isu-isu sentral seperti Pemilukada, premanisme hingga sosio kultural kebudayaan masih relevan untuk didiskusikan. So, tinggal bagaimana sikap masyarakat menyikapi fenomena pilu yang digambarkan Iwan Fals dengan satir sebagai titel dalam lagu Senandung Istri Bromocorah.




[1] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar