Minggu, 22 Juli 2012

Ragam Telaah Konsepsi Agama-Bangsa*



“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer (pengorbanan) ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia merdeka lekas damai”.
 
                Meminjam K.H Firdaus A.N.[1], “rayuan Soekarno” yang fasih tersebut berhasil mengelabui kubu Islam dalam pengurangan tujuh kata sakral piagam Jakarta, yang kemudian bersama kubu nasionalis lain seperti Bung Hatta meyakinkan KI Bagus Hadikusumo yang dianggap mewakili tokoh-tokoh Islam lain pada pagi hari sebelum sidang PPKI.
                Meski tdak bisa dikatakan sebagai awal konflik antara “kubu” Nasionalis – Islam, namun ini di yakini cukup menjadi embrio yang kemudian sebagai parameter polemik klasik keduanya.
              Kubu nasionalis-sekular, dengan prularitasnya memang menginginkan negara inklusif yang bersahaja, walaupun di peruntukkan bagi pemeluknya, syariat Islam dalam piagam Jakarta dinilai akan menjadi sebuah sentimental agama dan gurita disintegrasi dalam negara yang masih hijau. Mereka peka bahwa ini bisa di jadikan sebagai senjata ampuh untuk kemudian menggalang kekuatan menjadi sebuah negara teokrasi eksklusif. Beberapa cendikia muslim yang dianggap radikal terbukti mengimplementasikannya lewat beberapa kup tatkala Indonesia masih merasakan hegemoni kemerdekaan awal. Padahal, awam pun mahfum, negara teokrasi dengan ke-khalifah-annya adalah utopia besar di tengah pemikiran-pemikiran kecil bila di terapkan di Indonesia. Sebuah hal yang mubazir, tatkala memaksakkan khalifah di negara bhineka yang notabene terdiri dari berbagai umat, mengapa tidak serta merta membuat paradigma kritis tentang konsepsi negara Rasul? Negara dengan tingkat relijiusitas tinggi yang mengakomodir berbagai umat. Indonesia pun dulu di yakini adalah ejawantah dari negara Rasul, yang menjadi wadah lintas umat.
                Kembali ke piagam Jakarta, yang menarik, disela pertentangan kubu yang dianggap radikal dan tidak bisa menerima pencoretan tujuh kata tersebut dengan kaum nasionalis-sekuler, terselip kisah SARA yang dinamis, kisah (konon) tendensi sepihak akibat sentimentil ke - agamaan. Adalah Dr. Sam Ratulangi, politisi Kristiani Manado yang dikatakan mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan normatif tersebut.[2] Sebelumnya, politisi kristiani lain, A.A. Maramis, turut dengan tulus menandatangani piagam bersejarah bersama sembilan orang perwakilan agama dan golongan lain. Diyakini, hal tersebut – peran Sam Ratulangi – masih simpang siur, mungkin karena cukup sensitif dan riskan. Selain itu, validitasnya tidak kuat karena satu-satunya buku yang mengulas kejadian tersebut adalah terbitan Cornell University,[3] Amerika Serikat, terkesan provokatif.

Disintegrasi laten
                Prof. Dr. Hamka Haq, penulis buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam ketika berkunjung ke Makassar dan berkomunikasi dalam sebuah forum dengan pemeluk Hindu,[4] mendapatkan sebuah argumen yang menarik, si pemeluk Hindu itu berkata, “kami tidak berkeberatan dengan syariat Islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya, tapi jangan terkejut, ketika nanti begitu banyak muslim yang berbondong pindah keagama kami”. Ya, dengan begitu, mudah bagi kaum muslim untuk menjadi sebuah klaim pada saat persidangan kejahatannya, bahwa pada saat itu juga berpindah agama, agar terhindar dari syariat islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya. Ini menggelikan, niscaya agama dijadikan sebagai wahana bermain dalam konsepsi kejahatan, dalam taktik kriminalitas. Membebaskan mereka memainkan agama tanpa sebuah manifestasi yang solutif adalah fikiran kerdil.
                Faktor fundamental pemikiran Piagam Jakarta mungkin tidak terlalu kritis mengarah kesana, menganggap hal itu wajar adanya. Padahal adalah sebuah kekeliruan besar disaat negara madya sibuk mengurusi jatidiri dalam ruang relijiusitas di campuri oleh praktek-praktek konyol.

“Terpelihara” dengan baik         
                Konflik tersebut pun bermetamorfosa hingga kini, bak bola salju yang semakin besar, polemik meluas dan semakin mengena pembahasannya terkait sebuah ideologi yang disakralkan pada Orde Baru: Pancasila. Meminjam Gus Dur, bahwa pancasila adalah manifestasi-implisit dari berbagai ideologi besar dunia yang hegemonial di Indonesia, Agamais yang memang condong ke Islam lewat frasa “Ketuhanan yang Maha Esa”-nya diwakili oleh sila pertama,. Sosialisme yang merupakan fundamental dari seluruh ideologi dunia ada pada sila ke dua, sila ketiga manifestasi dari Nasionalisme, sila ke-empat mewakili prinsip-prinsip demokrasi, dan komunisme lewat egalitariannya termaktub pada keadilan sosial pada sila pamungkas.
                Pancasila yang secara substantif dilahirkan pada masa Majapahit, akibat salah persepsi, memang terkesan menjadi tameng bagi kaum Nasionalis. Sakralisasi Pancasila – yang memang tidak perlu – menjadikan kaum Islamis konservatif merasa jijik dan wajib melakukan koreksi mendalam pada sebuah fenomena yang parsial. Semua kemelut keagamaan-kebangsaan pada saat dan pasca Orde Baru di nakhodai oleh isu seksi Pancasila dan asas tunggalnya menjadi hal yang sensitif.
                Lahir pula berbagai organisasi yang secara ideologi bersikap korektif terhadap pancasila, konsekuensi demokratisasi pasca berakhirnya rezim otoritarian. Kelompok-kelompok radikal yang memang alergi terhadap Pancasila terus bergerak secara under ground, bermain bersih secara persuasif, doktrinasi yang dilakukan secara komperhensif tidak jarang menjadikan regenerasi-kaderisasi yang optimal, yang menghasilkan kader-kader akademis. Sasaran jelas, pada akar rumput yang masih hijau, karakteristik yang dibentuk sejak dini untuk kemudian mendikte asas tunggal.
                Kekeliruan yang masih terpelihara dalam track Pancasila adalah produk-produk Orde Baru, seperti asas tunggal misalnya, asas yang lahir dari sebuah ketakutan rezim dinilai sudah kadaluarsa bila diterapkan saat ini. Kata kuncinya hanya satu: setiap asas yang secara ideologi maupun implementasi tidak kontraproduktif dengan nilai-nilai Pancasia. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI,[5] sedikit mengkoreksi, menurutnya perlu dipertimbangkan kembali penerapan asas tunggal Pancasila pada organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Pada masa Orde Baru, hal itu dipaksakan dengan tekanan. Apakah sekarang dapat dilakukan dengan sukarela? Bila Undang-Undang mengenai politik, kepartaian, dan organisasi kemasyarakatan membolehkan adanya ideologi lain di luar Pancasila (Asal tidak kontraproduktif), bukankah itu memberi peluang munculnya kembali perdebatan lama yang sesungguhnya tidak produktif? Memang diakui, selain dari keran kebebasan pers, di buka seluasnya kebebasan berdemokrasi.
           Yang memang perlu sedikit di wanti adalah banyaknya ormas islam yang tidak kaku mempertontonkan keradikalannya, padahal sudah jelas secara nilai jauh dari Pancasila. Inilah yang sukar terealisasi, mau di teropong dari sudut pandang manapun, tidak ada kontraproduktif anatara Islam dan Pancasila, meminjam pak Tjokro, pengarang buku Islam dan Sosialisme yang mahsyur itu, kerangka fundamental islam adalah sosialisme. Secara esensi pasti mempunyai prinsip adil dan sama rata-sama rasa, egaliter. Pun dengan Pancasila yang gandrung akan nilai sosialisme. HTI, yang menurut Ulil Abshar Abdalla adalah ancaman serius bagi NKRI dibanding NII.[6] Ormas yang dikenal gemar long march ini memang secara terang-terangan menegaskan ingin mendirikan Khilafah Islamiah di negara majemuk ini. Bagaimana dengan Front Pembela Islam yang memang cukup tegas membela prinsip islam? Habib Muksin dalam sebuah diskusi di Megawati Institue menjelaskan bahwa FPI dari dulu tidak menolak Pancasila, ia mengatakan FPI hanya menolak dengan tegas oknum-oknum yang mensakralkannya.
                Asas tunggal memang sebuah kekeliruan yang wajib di koreksi, namun dengan munculnya ormas yang bisa menjadi sebuah ultimatum kontekstual, koreksi tersebut tidak mudah, butuh waktu dan konsesus bersama.
                Bangsa adalah sebuah spektrum besar yang di dalamnya terdapat manusia yang mempunyai hak hidup dan hak berideologi, analogi sebuah laut, tidak hanya Hiu saja yang dengan keperkasaan dan keangkuhannya hidup di dalam dengan sewenangnya, ikan-ikan kecil yang sudah ditakdirkan menjadi mangsa pun berhak untuk mencicipi asinnya air laut, terserah bagaimana Hiu itu dapat menjaga ritme kapan dan dimana untuk menyantap ikan-ikan kecil tersebut, butuh jarak dan dimensi waktu yang sinambung untuk menikmatinya, agar tersedia esok hari bagi keluarga dan spesiesnya.
                Tulisan ini tidak menjadi sebuah elaborasi mendalam terkait historia agama dan nasionalisme (bangsa) dari masa ke masa, namun menjadi tinjauan praktis sebagai sebuah refleksi. Tak dinyana, pertarungan ideologi bak teka-teki “telur atau ayam” pada masa kecil dulu, sukar di tebak. Meminjam cendikia lokal bahwa ideologi tidak akan pernah habis, ia akan terus berproses dan berkontinyuasi, datang dalam segala bentuk, berbagai wajah dan wacana.

*Oleh: Don Gusti Rao
Sabtu130811.15:31 @ Ruang Tengah 
(Paper ini juga dimuat di “Politika”, Pers Mahasiswa FISIP UNAS. Tahun terbit 2011-2012


[1] Dalam “Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi” Hal.64
2 Ibid. hal 67
3 Ibid
4 Dalam diskusi dan bedah buku, “Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam” karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. di Megawati Institute, 10 Agustus 2011
[5] “Berpancasila Jangan Tanggung” Koran Tempo, edisi 31 Mei 2011, hal A 10
[6] Diskusi “Gerakan Tangkal NII”, Kamis 26 Mei 2011 di PB PMII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar