(Paper ini di buat pada saat kongres XVII PB PMII di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. 09 - 14 Maret 2011.
Kalimantan Selatan. 09 - 14 Maret 2011.
Namun ditolak oleh media lokal untuk dipublikasikan)
“Manusia
bukanlah mahluk rasional yang mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk
kebaikan masyarakat dan dirinya. Malah, manusia adalah mahluk emosional nan
bengis, yang hanya dapat memenuhi dirinya dengan kehendak untuk berkuasa”
(Nietzsche)
Bagi Nietzsche, kehidupan manusia
seperti kehidupan binatang di hutan, dan di hutan hanya yang kuatlah yang
bertahan hidup. Ungkapan Nietzsche yang sangat kuat, yang banyak di kutip kaum
Nazi, membandingkan ke’superman’-an manusia dengan binatang sasaran. Nietzsche
mengagumi kekuatan: kekuatan negara ataupun kekuatan binatang yang bernama
manusia.
“Prolog” awal tadi bukan semata-mata menjadi kritik bagi
para calon ketua umum PB PMII 2011 - 2013, yang oleh Nietzche digambarkan
sebagai binatang yang haus akan kuasa. Prolog tadi menjadi general mengingat
suasana kongres yang begitu brutal oleh tindakan binatang ber-spesies manusia
versi Nietzsche. Agenda rutin yang begitu dihormati, diidamkan, dan dinanti,
begitu menggelikan. Sentimentil yang berakar dari konteks fundamental seperti
asal cabang yang tidak mempunyai “jagoan” dalam kongres, hingga perang urat
syaraf antar tim sukses cukup menjadi momentum. Semuanya ingin membuktikan –
apapun caranya – bahwa kongres adalah ajang untuk unjuk gigi: unjuk gigi dalam
kaca mata represif.
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang cakap dan peka
akan lingkup sekitar, dinakhodai oleh konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi yang
begitu sakral, kemudian, secara implementatif diwadahi oleh perguran tinggi,
relasi dan organisasi.
PMII, organisasi yang begitu hegemonial dalam konteks
mengkritisi dan mengevaluasi kinerja pemerintahan, begitu kolaps ketika adanya ajang dua tahunan. Presidium sidang, yang
notabene cukup begitu senior dan tergabung dalam struktural PB, seperti hilang
legitimasi dan wibawanya ketika diteriaki dan “dihakimi” oleh forum yang
kebanyakan para juniornya. Yang menarik, keganasan manusia-manusia intelek yang
dikatakan mahasiswa tadi begitu beringas diajang forum tertinggi organisasi,
primitifisasi tercampur dalam ruang otak-otak manusia modern, ironis.
Sebuah
desain dan pekerjaan rumah
Adanya kritik oto kritik adalah normatif, pro-kontra
dalam sebuah forum secara substansional justru cukup menjadi motivatif,
pertanyaannya cukup sederhana, apakah semua dapat menerima dengan hati sebagai mahasiswa?
Abstrak. Sebagai mahasiswa, akan lucu sekali ketika kita menjadi anti kritik,
ruang-ruang kritis tadi menjadi degradasi dalam diskursus-diskursus
kemahasiswaan. Bisakah anda-anda, sahabat-sahabat semua membayangkannya?
Bayangkan bila forum dwi tahunan ini menjadi ajang pembuktian represif-primitif
dan berkontinyuasi? Banyaknya aparat keamanan yang bersiap siaga di Venue acara justru secara sederhana
menggambarkan akan adanya sebuah praktek anarki dalam kongres, bahkan dari
tahun ke tahun, setiap kongres, panitia (baik lokal maupun nasional) dan juga
pemda setempat pasti akan ‘menyewa’ aparat keamanan setempat, untuk ini lain
lagi, aparat justru lebih brutal dan anarkisitis dari mahasiswa. Lag-lagi
ironis, arena kongres bak arena perang antara mahasiswa-mahasiswa dan
mahasiswa-aparat.
Fenomena yang kemudian menjadi pekerjaan rumah kita
bersama adalah ketika kita bisa mengeliminir revans pada hajatan sebelumnya,
buat itu menjadi sebuah pembuktian bahwa dendam positif akan sangat manis bila
dijadikan acuan.
Sebagai mahasiswa pergerakan, kritik membangun yang
disertai solusi rasional adalah manifestasi kita sebagai intelektuil yang peka,
tatkala sahabat-sahabat pengurus cabang cukup aprioristis dengan adanya
kongres, cukup beralasan dan wajar adanya. Namun, kita harap bersama bahwa hal
tersebut bukan bersumber dari tidak adanya kandidat yang meminang mereka, yang
kita harap, mereka punya alasan kuat ketika skeptis secara persuasif, bahkan
represif.
Proaktif
Pesta demokrasi
yang cukup “representatif” dan banyak dihadiri oleh sahabat pengurus rayon dan
komisariat ini juga menjadi ajang pembelajaran, diluar struktur, yang bahkan
tidak mempunyai hak suara, juga cukup proaktif. Namun, yang mempunyai hak suara
dan diharapkan menjadi tauladan baik bagi juniornya justru menjadi
proaktif-represif, semoga terkoreksi.
Sepertinya, sekarang sudah menjadi rahasia umum ketika
organisasi-organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, partai politik hingga anggota
legislatif yang hanya beradab dan berwibawa diluar forum-forum formal
demisioner dan paripurna, yang pasti mereka akan terlihat seperti apa yang
dikatakan Nietzsche tadi ketika berada didalam forum yang prestisius dan menentukan.
*Oleh: Don Gusti
Rao, Mahasiswa Ilmu Politik,
Aktifis PMII UNAS Jakarta Selatan,
Aktifis PMII UNAS Jakarta Selatan,
Pemimpin Redaksi Buletin
IQRA PMII UNAS Jak-Sel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar