Minggu, 22 Juli 2012

Realita Kongres: Primitifisasi-Kontinyuasi?*


  (Paper ini di buat pada saat kongres XVII PB PMII di Banjarmasin, 
Kalimantan Selatan. 09 - 14 Maret 2011. 
Namun ditolak oleh media lokal untuk dipublikasikan)

“Manusia bukanlah mahluk rasional yang mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk kebaikan masyarakat dan dirinya. Malah, manusia adalah mahluk emosional nan bengis, yang hanya dapat memenuhi dirinya dengan kehendak untuk berkuasa” (Nietzsche)

            Bagi Nietzsche, kehidupan manusia seperti kehidupan binatang di hutan, dan di hutan hanya yang kuatlah yang bertahan hidup. Ungkapan Nietzsche yang sangat kuat, yang banyak di kutip kaum Nazi, membandingkan ke’superman’-an manusia dengan binatang sasaran. Nietzsche mengagumi kekuatan: kekuatan negara ataupun kekuatan binatang yang bernama manusia.

            “Prolog” awal tadi bukan semata-mata menjadi kritik bagi para calon ketua umum PB PMII 2011 - 2013, yang oleh Nietzche digambarkan sebagai binatang yang haus akan kuasa. Prolog tadi menjadi general mengingat suasana kongres yang begitu brutal oleh tindakan binatang ber-spesies manusia versi Nietzsche. Agenda rutin yang begitu dihormati, diidamkan, dan dinanti, begitu menggelikan. Sentimentil yang berakar dari konteks fundamental seperti asal cabang yang tidak mempunyai “jagoan” dalam kongres, hingga perang urat syaraf antar tim sukses cukup menjadi momentum. Semuanya ingin membuktikan – apapun caranya – bahwa kongres adalah ajang untuk unjuk gigi: unjuk gigi dalam kaca mata represif.

            Mahasiswa adalah kaum intelektual yang cakap dan peka akan lingkup sekitar, dinakhodai oleh konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi yang begitu sakral, kemudian, secara implementatif diwadahi oleh perguran tinggi, relasi dan organisasi.

            PMII, organisasi yang begitu hegemonial dalam konteks mengkritisi dan mengevaluasi kinerja pemerintahan, begitu kolaps ketika adanya ajang dua tahunan. Presidium sidang, yang notabene cukup begitu senior dan tergabung dalam struktural PB, seperti hilang legitimasi dan wibawanya ketika diteriaki dan “dihakimi” oleh forum yang kebanyakan para juniornya. Yang menarik, keganasan manusia-manusia intelek yang dikatakan mahasiswa tadi begitu beringas diajang forum tertinggi organisasi, primitifisasi tercampur dalam ruang otak-otak manusia modern, ironis.
 
Sebuah desain dan pekerjaan rumah

            Adanya kritik oto kritik adalah normatif, pro-kontra dalam sebuah forum secara substansional justru cukup menjadi motivatif, pertanyaannya cukup sederhana, apakah semua dapat menerima dengan hati sebagai mahasiswa? Abstrak. Sebagai mahasiswa, akan lucu sekali ketika kita menjadi anti kritik, ruang-ruang kritis tadi menjadi degradasi dalam diskursus-diskursus kemahasiswaan. Bisakah anda-anda, sahabat-sahabat semua membayangkannya? Bayangkan bila forum dwi tahunan ini menjadi ajang pembuktian represif-primitif dan berkontinyuasi? Banyaknya aparat keamanan yang bersiap siaga di Venue acara justru secara sederhana menggambarkan akan adanya sebuah praktek anarki dalam kongres, bahkan dari tahun ke tahun, setiap kongres, panitia (baik lokal maupun nasional) dan juga pemda setempat pasti akan ‘menyewa’ aparat keamanan setempat, untuk ini lain lagi, aparat justru lebih brutal dan anarkisitis dari mahasiswa. Lag-lagi ironis, arena kongres bak arena perang antara mahasiswa-mahasiswa dan mahasiswa-aparat.

            Fenomena yang kemudian menjadi pekerjaan rumah kita bersama adalah ketika kita bisa mengeliminir revans pada hajatan sebelumnya, buat itu menjadi sebuah pembuktian bahwa dendam positif akan sangat manis bila dijadikan acuan.

            Sebagai mahasiswa pergerakan, kritik membangun yang disertai solusi rasional adalah manifestasi kita sebagai intelektuil yang peka, tatkala sahabat-sahabat pengurus cabang cukup aprioristis dengan adanya kongres, cukup beralasan dan wajar adanya. Namun, kita harap bersama bahwa hal tersebut bukan bersumber dari tidak adanya kandidat yang meminang mereka, yang kita harap, mereka punya alasan kuat ketika skeptis secara persuasif, bahkan represif.

Proaktif

            Pesta demokrasi yang cukup “representatif” dan banyak dihadiri oleh sahabat pengurus rayon dan komisariat ini juga menjadi ajang pembelajaran, diluar struktur, yang bahkan tidak mempunyai hak suara, juga cukup proaktif. Namun, yang mempunyai hak suara dan diharapkan menjadi tauladan baik bagi juniornya justru menjadi proaktif-represif, semoga terkoreksi.

            Sepertinya, sekarang sudah menjadi rahasia umum ketika organisasi-organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, partai politik hingga anggota legislatif yang hanya beradab dan berwibawa diluar forum-forum formal demisioner dan paripurna, yang pasti mereka akan terlihat seperti apa yang dikatakan Nietzsche tadi ketika berada didalam forum yang prestisius dan menentukan.

 

*Oleh: Don Gusti Rao, Mahasiswa Ilmu Politik,
Aktifis PMII UNAS Jakarta Selatan,
 Pemimpin Redaksi Buletin IQRA PMII UNAS Jak-Sel
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar