Minggu, 22 Juli 2012

Ketika Militer Ingin Memiliih (Lagi)*


            Kala itu, medio Mei- Juli 1998, saat senior-senior saya para mahasiswa cukup begitu vokal dan frontal menyuarakan reformasi, yang salah satu tuntutannya adalah di cabutnya Dwi Fungsi ABRI (sekarang TNI), saat itu juga saya (yang waktu itu masih sekolah dasar) bertanya tentang apa yang terjadi dan apa maksudnya Dwi Fungsi ABRI kepada ayah saya – waktu itu di penghunjung masa kerjanya menjadi ketua tim penulis Biografi PANGAB Jenderal TNI Feisal Tandjung, di karenakan “runtuhnya sistem dan segala hal” yang berbau Orde Baru. Beliau menceriterakan dengan sabar dan perlahan kepada bocah kecilnya yang selalu ingin tahu ini, dia yang memang seharusnya “mau tidak mau” berkiblat kepada orde baru mengatakan bahwa sebenarnya dengan dua fungsi tersebut yakni hankam dan sos-pol-ekonomi, kinerja ABRI tidak terkonsentrasi dengan baik, terlepas dari tidak berperan lagi dalam “dunia hankam”, ABRI memang di ciptakan untuk hal tersebut dan masih di perlukan saran atau arahan meskipun sudah purnawirawan, tidak ke dunia politik, melainkan berkonsistensi kepada tugas fundamentalnya yang menjaga kedaulatan NKRI.
            Dan memori tersebut (tentang Dwi Fungsi ABRI) kembali terulang beberapa waktu lalu ketika pers mewartakan tentang wacana yang di hembuskan Presiden RI pada Jumat, 18 Juni di Istana Cipanas, Cianjur, tentang adanya kemungkinan militer turut serta dalam pemilihan umum, menurutnya hak politik militer / TNI tidak boleh di kebiri atau di cabut. Lalu saya menerawang statement Ayah saya 12 tahun lalu tentang Dwi Fungsi ABRI (dan segala macam bentuknya) yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi untuk di implementasikan lalu mengkomparasikannya dengan wacana yang di hembuskan SBY. Memang TAP MPR tentang Dwi Fungsi ABRI sudah di cabut, namun relevansinya dengan wacana SBY? Perspektif pribadi saya tentang wacana tersebut adalah bahwa sebenarnya hal ini sama saja melegitimasi Dwi Fungsi ABRI kembali dengan mekanisme alternatif yang berorientasi pada kepentingan tertentu. Wacana tersebut adalah sebuah ejawantah dari adanya pragmatisasi kelompok yang ingin berbagi kepentingan dengan militer dan menjadi simbiosis mutualisme ketika hal tersebut terealisasi.
            Hal ini menjadi sebuah polemik yang sudah pasti memicu adanya pro-kontra di berbagai kalangan, dan yang perlu di garis bawahi di sini adalah dalam sistem militer tidak di kenal adanya demokrasi dalam konteks bahwa setiap prajurit harus siap dan patuh terhadap komandannya, mungkin hal tersebut untuk membendung tindakan kudeta atau KUP dan subversi terhadap militer atau pemerintah yang berkuasa. Dengan adanya istilah No Democratio dan wacana SBY tersebut mungkin banyak individu atau kelompok tertentu yang akan mencari berbagai macam simpati terhadap militer yang notabene akan mencederai kompetisi dalam berpolitik karena hal ini akan mendegradasikan tindakan mereka yang mungkin akan termanifestasi dalam tindakan kolusi dan nepotisme. Massa militer, dengan adanya istilah No Democratio tadi sangat mudah di organisir dan di mobilisasi lalu di kerucutkan orientasi politiknya dalam pemilu untuk memilih satu parpol tertentu. Kemungkinan lain adalah akan berpotensi menggiring tentara kepada ketidakutuhan dan gesekan antara simpatisan satu parpol dengan parpol lainnya.

Pokok masalah yang di relevansikan dengan fenomena-realita saat ini 
Yang membuat wacana ini semakin menarik untuk di telaah lagi adalah bahwa wacana tersebut keluar dari sang Presiden yang notabene berasal dari Background  militer dan tentunya sangat dekat dengan kalangan elit militer dan mempunyai kadar kedekatan emosional lebih terhadap militer, begitupun sebaliknya. Sebagai presiden yang mempunyai “sistem dan oposisi yang solid” tidak mungkin SBY mengemukakan wacana yang sempit tanpa adanya pertimbangan, parameter yang dilihat dari segi sebab-akibat-unsur-reaksinya dan tentu saja koreksi yang komperhensif yang niscaya bila tidak teliti bisa menjadi bumerang terhadap diri dan sistemnya.
            Berdasarkan data dan fakta empiris, dengan adanya Dwi Fungsi ABRI (ataupun segala macam bentuknya) sangat rentan terjadi sebuah kecemburuan sosial di mana yang seharusnya menjadi “jatah” dan porsi golongan sipil di “serobot” oleh militer dan tentu saja bukan tidak mungkin akan memicu terjadinya sebuah konflik.
            Satu aspek yang sangat esensial dalam memahami Dwi Fungsi ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme militer (ABRI). Ketersesatan kita dalam mengartikan dan memahami profesionalisme ABRI akan berakibat “kacau balau” untuk memahami Dwi Fungsi ABRI. Kalau kita melihat kehidupan militer dan peranannya di berbagai Negara, kita dapat mengatakan bahwa ada dua macam pengertian profesionalisme militer (Dwi Fungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Soebijono, A.S.S. Tambunan, Hidayat Mukmin, Rukmini Koesoemo Astoeti, Gadjah Mada University Press, 1995, Cetakan ke delapan) yang pertama adalah profesionalisme konvensional yang mengatakan bahwa militer yang profesional adalah militer yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan tanggung jawab di bidang pertahanan Negara dari berbagai ancaman yang datang dari luar negara (external threats) yang akan menghancurkan dan merobek-robek bangsa dan Negara tersebut. Untuk itu maka militer yang profesional harus mempunyai daya tempur yang handal baik dari segi software dan brainware maupun hardware sehingga dapat mendukung dan melestarikan kehidupan bangsa dan Negara. Mereka tidak boleh disibukkan dengan urusan-urusan non hankam (sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya) sebab hal itu akan mengurangi konsentrasi mereka dalam urusan hankam. Urusan-urusan non-hankam itu harus di bebankan kepada kelompok bukan militer. Dengan demikian, begitu menurut konsep ini, maka akan tercipta division of labor dan pembagian tugas serta spesialisasi dalam masyarakat-bangsa secara jelas dan tegas. Namun di dalam buku ini (yang merupakan buku “warisan” dari ayah saya pada saat rezim orde baru berkuasa) terdapat pernyataan yang kontras dengan pengertian profesionalisme militer yang pertama yaitu pengertian yang kedua bahwa ini “di klaim” sebagai konsep profesionalisme baru (new professionalism). Konsep ini mulai berkembang sekitar tahun 60-an, di Negara-negara non-komunis. Menurut konsep ini, Negara-negara di dunia, terutama Negara-negara berkembang, berada dalam keadaan perang semesta (total war). Ancaman dalam perang ini, bukan hanya ancaman yang datang dari luar batas Negara tetapi juga ancaman yang ada di dalam Negara. Ancaman tersebut disamping gerakan-gerakan komunisme juga kemiskinan, kebodohan, serta kesenjangan yang terdapat dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Untuk mengatasi dan menenangkan peperangan semesta itu diperlukan pendayagunaan seluruh potensi nasional dan kemampuan dari seluruh bangsa. Kunci dari strategi itu adalah bersatu-padunya dan interaksi dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi hankam dari dimensi non-hankam di dalam pengelolaan Negara. Kelompok sipil dipandang tidak memiliki keterampilan dan organisasi yang memadai yang di perlukan guna memenangkan bentuk baru dari peperangan tersebut. Karena itu merupakan “tugas suci” dari kalangan militer dengan profesionalisme baru itu untuk mengatasi segala ancaman nasional tersebut. Dalam konteks ini maka militer yang professional adalah militer yang memiliki kecakapan, keterampilan, pengetahuan, dan tanggung jawab pada bidang hankam (peperangan konvensional) dan sekaligus juga pada bidang non-hankam (sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya).
            Pengertian tentang profesionalisme militer yang menjadi acuan bagi individu / kelompok yang pro terhadap Dwi Fungsi ABRI adalah profesionalisme militer yang ke dua, esensinya adalah bahwa militer memang mempunyai tugas suci meliputi hankam dan non-hankam, sedangkan sipil yang di anggap tidak memadai dalam konteks sos-pol-ekonomi di anggap tidak layak untuk menjalani tugas suci ini. Lalu bagaimana bila hal tersebut kita elaborasi lagi dan merelevansikannya dengan fakta empiris tentang Dwi Fungsi ABRI? Mungkin kita sepakat bahwa wacana tentang profesionalisme militer yang ke dua tersebut yang menjadi acuan adalah sebuah hal yang tidak rasional / irasional untuk di implementasikan saat ini.   

Substansi & “aksioma”
Bukankah dengan melegalisasi wacana SBY tersebut sama saja dengan melegalisasi Dwi Fungsi ABRI? Memang tidak sesederhana itu, namun turut serta dalam pemilu adalah salah satu unsur dari manifestasi adanya Dwi Fungsi ABRI dan turut sertanya militer kembali terjun ke dunia politik, justifikasi ini semakin menjadi-jadi ketika kita menarik kesimpulan bahwa dengan terealisasinya wacana ini pragmatisasi sistem terhadap militer yang justru malah bisa menimbulkan gesekan yang lebih signifikan akan terjadi.
TNI di butuhkan sebagai pengawal ideologi Negara dan menjaga wawasan nusantara, ya, militer sangat di butuhkan berada dalam posisi netral, bukan menjadi tendensius terhadap sebuah sistem dan parpol. Andaikata TNI di berikan kebebasan pada saat ini, apakah ada sebuah parameter bahwa mereka lebih siap dan tidak mudah terprovokasi? Ingat, stabilitas dan dinamika politik saat ini sangat berbeda dengan waktu yang lalu.
Untuk saat ini, mungkin wacana presiden masih terlalu pagi untuk di implementasikan, pengembalian hak politik militer harus di barengi dengan tingkat kematangan institusi dan prajuritnya (secara simultan) dalam menghadapi kompetisi politik. Mungkin wacana ini lebih bisa diterima empat atau delapan tahun lagi (atau bahkan lebih) saat militer mungkin lebih bisa mengkoreksi dan menimbang matang hal yang sulit untuk menjadi paradoksial ini. Cheers

*Oleh Doni Rao, Mahasiswa Ilmu Politik UNAS

(Paper ini juga dimuat di Buletin IQRA Edisi VIII,
 Agustus – September 2010. Halaman 10 – 11)
      
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar