Kala itu, medio Mei- Juli 1998, saat senior-senior saya para mahasiswa cukup begitu vokal dan frontal menyuarakan reformasi, yang salah satu tuntutannya adalah di cabutnya Dwi Fungsi ABRI (sekarang TNI), saat itu juga saya (yang waktu itu masih sekolah dasar) bertanya tentang apa yang terjadi dan apa maksudnya Dwi Fungsi ABRI kepada ayah saya – waktu itu di penghunjung masa kerjanya menjadi ketua tim penulis Biografi PANGAB Jenderal TNI Feisal Tandjung, di karenakan “runtuhnya sistem dan segala hal” yang berbau Orde Baru. Beliau menceriterakan dengan sabar dan perlahan kepada bocah kecilnya yang selalu ingin tahu ini, dia yang memang seharusnya “mau tidak mau” berkiblat kepada orde baru mengatakan bahwa sebenarnya dengan dua fungsi tersebut yakni hankam dan sos-pol-ekonomi, kinerja ABRI tidak terkonsentrasi dengan baik, terlepas dari tidak berperan lagi dalam “dunia hankam”, ABRI memang di ciptakan untuk hal tersebut dan masih di perlukan saran atau arahan meskipun sudah purnawirawan, tidak ke dunia politik, melainkan berkonsistensi kepada tugas fundamentalnya yang menjaga kedaulatan NKRI.
Dan memori tersebut (tentang Dwi Fungsi ABRI) kembali
terulang beberapa waktu lalu ketika pers mewartakan tentang wacana yang di
hembuskan Presiden RI pada Jumat, 18 Juni di Istana Cipanas, Cianjur, tentang
adanya kemungkinan militer turut serta dalam pemilihan umum, menurutnya hak
politik militer / TNI tidak boleh di kebiri atau di cabut. Lalu saya menerawang
statement Ayah saya 12 tahun lalu
tentang Dwi Fungsi ABRI (dan segala macam bentuknya) yang sebenarnya sudah
tidak relevan lagi untuk di implementasikan lalu mengkomparasikannya dengan
wacana yang di hembuskan SBY. Memang TAP MPR tentang Dwi Fungsi ABRI sudah di
cabut, namun relevansinya dengan wacana SBY? Perspektif pribadi saya tentang
wacana tersebut adalah bahwa sebenarnya hal ini sama saja melegitimasi Dwi
Fungsi ABRI kembali dengan mekanisme alternatif yang berorientasi pada
kepentingan tertentu. Wacana tersebut adalah sebuah ejawantah dari adanya
pragmatisasi kelompok yang ingin berbagi kepentingan dengan militer dan menjadi
simbiosis mutualisme ketika hal tersebut terealisasi.
Hal ini menjadi sebuah polemik yang sudah pasti memicu
adanya pro-kontra di berbagai kalangan, dan yang perlu di garis bawahi di sini adalah
dalam sistem militer tidak di kenal adanya demokrasi dalam konteks bahwa setiap
prajurit harus siap dan patuh terhadap komandannya, mungkin hal tersebut untuk
membendung tindakan kudeta atau KUP dan subversi terhadap militer atau pemerintah
yang berkuasa. Dengan adanya istilah No Democratio
dan wacana SBY tersebut mungkin banyak individu atau kelompok tertentu yang
akan mencari berbagai macam simpati terhadap militer yang notabene akan
mencederai kompetisi dalam berpolitik karena hal ini akan mendegradasikan tindakan
mereka yang mungkin akan termanifestasi dalam tindakan kolusi dan nepotisme.
Massa militer, dengan adanya istilah No Democratio
tadi sangat mudah di organisir dan di mobilisasi lalu di kerucutkan
orientasi politiknya dalam pemilu untuk memilih satu parpol tertentu.
Kemungkinan lain adalah akan berpotensi menggiring tentara kepada ketidakutuhan
dan gesekan antara simpatisan satu parpol dengan parpol lainnya.
Pokok
masalah yang di relevansikan dengan fenomena-realita saat ini
Yang
membuat wacana ini semakin menarik untuk di telaah lagi adalah bahwa wacana
tersebut keluar dari sang Presiden yang notabene berasal dari Background militer dan tentunya sangat dekat dengan kalangan
elit militer dan mempunyai kadar kedekatan emosional lebih terhadap militer,
begitupun sebaliknya. Sebagai presiden yang mempunyai “sistem dan oposisi yang
solid” tidak mungkin SBY mengemukakan wacana yang sempit tanpa adanya
pertimbangan, parameter yang dilihat dari segi sebab-akibat-unsur-reaksinya dan
tentu saja koreksi yang komperhensif yang niscaya bila tidak teliti bisa
menjadi bumerang terhadap diri dan sistemnya.
Berdasarkan data dan fakta empiris, dengan adanya Dwi
Fungsi ABRI (ataupun segala macam bentuknya) sangat rentan terjadi sebuah kecemburuan
sosial di mana yang seharusnya menjadi “jatah” dan porsi golongan sipil di
“serobot” oleh militer dan tentu saja bukan tidak mungkin akan memicu
terjadinya sebuah konflik.
Satu aspek yang sangat esensial dalam memahami Dwi Fungsi
ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme militer (ABRI).
Ketersesatan kita dalam mengartikan dan memahami profesionalisme ABRI akan
berakibat “kacau balau” untuk memahami Dwi Fungsi ABRI. Kalau kita melihat
kehidupan militer dan peranannya di berbagai Negara, kita dapat mengatakan
bahwa ada dua macam pengertian profesionalisme militer (Dwi Fungsi ABRI, Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik
di Indonesia. Soebijono, A.S.S. Tambunan, Hidayat Mukmin, Rukmini Koesoemo
Astoeti, Gadjah Mada University Press, 1995, Cetakan ke delapan) yang
pertama adalah profesionalisme konvensional yang mengatakan bahwa militer yang
profesional adalah militer yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan,
dan tanggung jawab di bidang pertahanan Negara dari berbagai ancaman yang datang
dari luar negara (external threats) yang
akan menghancurkan dan merobek-robek bangsa dan Negara tersebut. Untuk itu maka
militer yang profesional harus mempunyai daya tempur yang handal baik dari segi
software dan brainware maupun hardware
sehingga dapat mendukung dan melestarikan kehidupan bangsa dan Negara. Mereka
tidak boleh disibukkan dengan urusan-urusan non hankam (sosial, ekonomi,
politik, budaya dan sebagainya) sebab hal itu akan mengurangi konsentrasi
mereka dalam urusan hankam. Urusan-urusan non-hankam itu harus di bebankan
kepada kelompok bukan militer. Dengan demikian, begitu menurut konsep ini, maka
akan tercipta division of labor dan
pembagian tugas serta spesialisasi dalam masyarakat-bangsa secara jelas dan
tegas. Namun di dalam buku ini (yang merupakan buku “warisan” dari ayah saya
pada saat rezim orde baru berkuasa) terdapat pernyataan yang kontras dengan
pengertian profesionalisme militer yang pertama yaitu pengertian yang kedua
bahwa ini “di klaim” sebagai konsep profesionalisme baru (new professionalism). Konsep ini mulai berkembang sekitar tahun
60-an, di Negara-negara non-komunis. Menurut konsep ini, Negara-negara di
dunia, terutama Negara-negara berkembang, berada dalam keadaan perang semesta (total war). Ancaman dalam perang ini,
bukan hanya ancaman yang datang dari luar batas Negara tetapi juga ancaman yang
ada di dalam Negara. Ancaman tersebut disamping gerakan-gerakan komunisme juga
kemiskinan, kebodohan, serta kesenjangan yang terdapat dalam bidang sosial,
ekonomi, dan politik. Untuk mengatasi dan menenangkan peperangan semesta itu
diperlukan pendayagunaan seluruh potensi nasional dan kemampuan dari seluruh
bangsa. Kunci dari strategi itu adalah bersatu-padunya dan interaksi dinamis
antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi
hankam dari dimensi non-hankam di dalam pengelolaan Negara. Kelompok sipil dipandang
tidak memiliki keterampilan dan organisasi yang memadai yang di perlukan guna
memenangkan bentuk baru dari peperangan tersebut. Karena itu merupakan “tugas
suci” dari kalangan militer dengan profesionalisme baru itu untuk mengatasi
segala ancaman nasional tersebut. Dalam konteks ini maka militer yang
professional adalah militer yang memiliki kecakapan, keterampilan, pengetahuan,
dan tanggung jawab pada bidang hankam (peperangan konvensional) dan sekaligus
juga pada bidang non-hankam (sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya).
Pengertian tentang profesionalisme militer yang menjadi
acuan bagi individu / kelompok yang pro terhadap Dwi Fungsi ABRI adalah
profesionalisme militer yang ke dua, esensinya adalah bahwa militer memang
mempunyai tugas suci meliputi hankam dan non-hankam, sedangkan sipil yang di
anggap tidak memadai dalam konteks sos-pol-ekonomi di anggap tidak layak untuk
menjalani tugas suci ini. Lalu bagaimana bila hal tersebut kita elaborasi lagi
dan merelevansikannya dengan fakta empiris tentang Dwi Fungsi ABRI? Mungkin
kita sepakat bahwa wacana tentang profesionalisme militer yang ke dua tersebut
yang menjadi acuan adalah sebuah hal yang tidak rasional / irasional untuk di
implementasikan saat ini.
Substansi
& “aksioma”
Bukankah
dengan melegalisasi wacana SBY tersebut sama saja dengan melegalisasi Dwi
Fungsi ABRI? Memang tidak sesederhana itu, namun turut serta dalam pemilu
adalah salah satu unsur dari manifestasi adanya Dwi Fungsi ABRI dan turut
sertanya militer kembali terjun ke dunia politik, justifikasi ini semakin
menjadi-jadi ketika kita menarik kesimpulan bahwa dengan terealisasinya wacana
ini pragmatisasi sistem terhadap militer yang justru malah bisa menimbulkan
gesekan yang lebih signifikan akan terjadi.
TNI
di butuhkan sebagai pengawal ideologi Negara dan menjaga wawasan nusantara, ya,
militer sangat di butuhkan berada dalam posisi netral, bukan menjadi tendensius
terhadap sebuah sistem dan parpol. Andaikata TNI di berikan kebebasan pada saat
ini, apakah ada sebuah parameter bahwa mereka lebih siap dan tidak mudah
terprovokasi? Ingat, stabilitas dan dinamika politik saat ini sangat berbeda
dengan waktu yang lalu.
Untuk
saat ini, mungkin wacana presiden masih terlalu pagi untuk di implementasikan,
pengembalian hak politik militer harus di barengi dengan tingkat kematangan
institusi dan prajuritnya (secara simultan) dalam menghadapi kompetisi politik.
Mungkin wacana ini lebih bisa diterima empat atau delapan tahun lagi (atau
bahkan lebih) saat militer mungkin lebih bisa mengkoreksi dan menimbang matang
hal yang sulit untuk menjadi paradoksial ini. Cheers
*Oleh Doni Rao,
Mahasiswa Ilmu Politik UNAS
(Paper
ini juga dimuat di Buletin IQRA Edisi VIII,
Agustus – September 2010. Halaman 10 – 11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar