Minggu, 22 Juli 2012

Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche[1]


“Konsep kebenaran adalah sesuatu yang tidak bermakna. Seluruh wilayah ‘benar-salah’ hanya digunakan dalam hubungan-hubungan, bukan ‘pada dirinya sendiri’. Tidak ada ‘esensi pada dirinya’ (yang membentuk esensi hanyalah hubungan-hubungan), demikian juga tidak ada pengetahuan pada dirinya sendiri”.

            Kebenaran bagi Nietzsche adalah suatu Metafor.
             
“Lalu apa itu kebenaran? Sepasukan metafor yang bergerak. Kebenaran adalah ilusi-ilusi yang dilupakan orang bahwa itu adalah ilusi. Kebenaran adalah mata uang yang dijadikan medali dan kini tidak lagi dianggap sebagai mata uang, melainkan hanya sebagai logam” 
(ST. Sunardi, 1999: 142).

            Pandangan Epistemologi Nietzsche diawali dengan suatu asumsi dasar bahwa kita harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada  yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal di percaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
            Secara implisit, pernyataan ini sudah merupakan penghalang bagi orang lain untuk melirikk pandangan epistemologinya, karena apa yang diungkapkan dan difikirkan Nietzsche pun dengan sendirinya juga dianggap “salah”.  Kesalahan atau kekeliruan adalah momok bagi mereka yang ingin mendapatkan kebenaran.
            Wacana epistemologi, sejak zaman Plato sampai dengan zaman Descartes, bahkan sampai ada zaman kontemporer sekarang ini adalah berupaya untuk mencari kebenaran. Pengetahuan itu untuk mengukuhkan kekuasaan. Pengetahuan itu untuk berkuasa. Pengetahuan itu selalu terkait dengan kehendak untuk berkuasa (The Will to Power).
            Epistemologi Nietzsche di tengah zaman modern yang ditandai dengan dominasi akal ini tampak aneh dan sulit untuk diterima. Pendobrakan dogmatisme (kemapanan) akal dengan konsep The  Will to Power, membuat Nietzsche seprti dalang yang keluar dari pakem. Perbedaan itu sangat tampak sekali dan hakan berkontridiksi 180 derajat antara filsafat Nietzsche dengan pemikir-pemikir besar yang menjadi kekuatan mainstream saat itu, baik dalam penggunaan bahasa epistemology maupun materi yang disajikan.
            Terlepas dari semua itu, epistemologi Nietzsche layak untuk dikaji dan diperbincangkan. Pemikirannya yang tidak bias diterima oleh zamannya telah mulai menunjukkan pengaruh dan kekuatannya pada masa ssekarang ini. Hal ini dapat dirasakan pada epistemology Karl Popper dengan falsifikasinya dan juga pada pemikiran kaum eksistensialis. Nuansa Nietzshean dalam epistemology posmodermisme (pluralism, dekonstruksi, relativitas) sangat terasa sekali. Dalam rangka memahami epistemologinya, tulisan ini sebiasa mungkin disajikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, dicerna sebagaimana bahasa yg digunakan Nietzsche.

Karakteristik Epistemologi Nietzsche
            Mempelajari epistemologi Nietzsche tanpa menelaah keseluruhan filsafatnya seperti mengambil mozaik terpisah dari keseluruhannya, sehingga akan tampak aneh dan tidak bermakna. Ia tidak membahas epistemologi sebagai cabang filsafat tersendiri sebagaimana filsuf-filsuf lain. Epistemologinya merupakan sebagian kecil dari konsep The Will to Power.
            “Akal dalam bahasa diibaratkan sebagai seorang tua yang dungu”
            “… tetapi telah lama saya menyatakan perang terhadap optimisme kemampuan akal. (Nietzsche, 1968:35)
            Seluruh filsafat Descartes dan Imanuel Kant yang dikritik Nietzsche, pada dasarnya berupaya mendapatkan formulasi yang tepat dan pasti bagi kemampuan akal untuk mendapatkan kebenaran.

Hipotesa Penulis
            Yang menarik, di elaborasi secara general, pemikiran Nietzsche (ternyata) sangat berperan besar dalam perkembangan fasisme di negaranya sendiri (jerman)[2], Nietzsche menilai rendah apa yang disebut kemanusiaan. Ia percaya bahwa manusia bukanlah mahluk rasional yang mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk kebaikan masyarakat dan dirinya. Malah, manusia adalah mahluk emosional nan bengis, yang hanya dapat memenuhi dirinya dengan “kehendak untuk berkuasa”. Bagi Nietzsche, kehidupan manusia seperti kehidupan binatang di hutan, dan di hutan hanya yang kuatlah yang bertahan hidup. Ungkapan Nietzsche yang sangat kuat, yang banyak di kutip kaum Nazi, membandingkan ke’superman’-an manusia dengan binatang sasaran: ‘orang pirang yang kejam dan bengis luar biasa, keranjingan menjadi-jadi akan barang rampasan dan kemenangan’.
            Nietzsche mengagumi kekuatan: kekuatan negara ataupun kekuatan binatang yang bernama manusia. Mereka tidak memandang penting tujuan peradaban modern, perdamaian dan HAM. Mungkin keliru untuk menghormati Nietzsche hanya sebagai pelopor Fasis ideal. Apa yang kaum Fasis lakukan adalah memilih dan meyakini konsep-konsep filsafat abad ke-19 yang mereka inginkan. Dan konsep yang mereka pilih: manusia pada dasarnya bengis dan negaraharus berkuasa atas segala hal.


[1] Oleh: Don Gusti Rao, Disampaikan sebagai bahan persentasi diskusi di PKC PMII Jakarta
[2] Hugh Purcell, Fasisme, Resist Book, Yogyakarta, 2004, (implisit, hal 6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar