“Konsep
kebenaran adalah sesuatu yang tidak bermakna. Seluruh wilayah ‘benar-salah’
hanya digunakan dalam hubungan-hubungan, bukan ‘pada dirinya sendiri’. Tidak
ada ‘esensi pada dirinya’ (yang membentuk esensi hanyalah hubungan-hubungan),
demikian juga tidak ada pengetahuan pada dirinya sendiri”.
Kebenaran bagi Nietzsche adalah suatu Metafor.
“Lalu apa itu kebenaran? Sepasukan metafor yang
bergerak. Kebenaran adalah ilusi-ilusi yang dilupakan orang bahwa itu adalah
ilusi. Kebenaran adalah mata uang yang dijadikan medali dan kini tidak lagi
dianggap sebagai mata uang, melainkan hanya sebagai logam”
(ST. Sunardi, 1999:
142).
Pandangan Epistemologi Nietzsche
diawali dengan suatu asumsi dasar bahwa kita harus menggunakan skeptisme
radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada
yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal di percaya mampu
memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan
dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan
sumber kekeliruan.
Secara implisit, pernyataan ini sudah merupakan
penghalang bagi orang lain untuk melirikk pandangan epistemologinya, karena apa
yang diungkapkan dan difikirkan Nietzsche pun dengan sendirinya juga dianggap
“salah”. Kesalahan atau kekeliruan
adalah momok bagi mereka yang ingin mendapatkan kebenaran.
Wacana epistemologi, sejak zaman Plato sampai dengan
zaman Descartes, bahkan sampai ada zaman kontemporer sekarang ini adalah
berupaya untuk mencari kebenaran. Pengetahuan itu untuk mengukuhkan kekuasaan.
Pengetahuan itu untuk berkuasa. Pengetahuan itu selalu terkait dengan kehendak
untuk berkuasa (The Will to Power).
Epistemologi Nietzsche di tengah
zaman modern yang ditandai dengan dominasi akal ini tampak aneh dan sulit untuk
diterima. Pendobrakan dogmatisme (kemapanan) akal dengan konsep The Will to Power, membuat Nietzsche seprti
dalang yang keluar dari pakem. Perbedaan itu sangat tampak sekali dan hakan berkontridiksi
180 derajat antara filsafat Nietzsche dengan pemikir-pemikir besar yang menjadi
kekuatan mainstream saat itu, baik dalam penggunaan bahasa epistemology maupun
materi yang disajikan.
Terlepas dari semua itu, epistemologi
Nietzsche layak untuk dikaji dan diperbincangkan. Pemikirannya yang tidak bias
diterima oleh zamannya telah mulai menunjukkan pengaruh dan kekuatannya pada
masa ssekarang ini. Hal ini dapat dirasakan pada epistemology Karl Popper
dengan falsifikasinya dan juga pada pemikiran kaum eksistensialis. Nuansa
Nietzshean dalam epistemology posmodermisme (pluralism, dekonstruksi, relativitas)
sangat terasa sekali. Dalam rangka memahami epistemologinya, tulisan ini
sebiasa mungkin disajikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, dicerna
sebagaimana bahasa yg digunakan Nietzsche.
Karakteristik
Epistemologi Nietzsche
Mempelajari epistemologi Nietzsche
tanpa menelaah keseluruhan filsafatnya seperti mengambil mozaik terpisah dari
keseluruhannya, sehingga akan tampak aneh dan tidak bermakna. Ia tidak membahas
epistemologi sebagai cabang filsafat tersendiri sebagaimana filsuf-filsuf lain.
Epistemologinya merupakan sebagian kecil dari konsep The Will to Power.
“Akal dalam bahasa diibaratkan sebagai
seorang tua yang dungu”
“… tetapi telah lama saya menyatakan
perang terhadap optimisme kemampuan akal. (Nietzsche,
1968:35)
Seluruh filsafat Descartes dan
Imanuel Kant yang dikritik Nietzsche, pada dasarnya berupaya mendapatkan
formulasi yang tepat dan pasti bagi kemampuan akal untuk mendapatkan kebenaran.
Hipotesa
Penulis
Yang menarik, di elaborasi secara
general, pemikiran Nietzsche (ternyata) sangat berperan besar dalam
perkembangan fasisme di negaranya sendiri (jerman)[2],
Nietzsche menilai rendah apa yang disebut kemanusiaan. Ia percaya bahwa manusia
bukanlah mahluk rasional yang mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk
kebaikan masyarakat dan dirinya. Malah, manusia adalah mahluk emosional nan
bengis, yang hanya dapat memenuhi dirinya dengan “kehendak untuk berkuasa”.
Bagi Nietzsche, kehidupan manusia seperti kehidupan binatang di hutan, dan di
hutan hanya yang kuatlah yang bertahan hidup. Ungkapan Nietzsche yang sangat
kuat, yang banyak di kutip kaum Nazi, membandingkan ke’superman’-an manusia
dengan binatang sasaran: ‘orang pirang yang kejam dan bengis luar biasa,
keranjingan menjadi-jadi akan barang rampasan dan kemenangan’.
Nietzsche mengagumi kekuatan: kekuatan
negara ataupun kekuatan binatang yang bernama manusia. Mereka tidak memandang
penting tujuan peradaban modern, perdamaian dan HAM. Mungkin keliru untuk
menghormati Nietzsche hanya sebagai pelopor Fasis ideal. Apa yang kaum Fasis
lakukan adalah memilih dan meyakini konsep-konsep filsafat abad ke-19 yang
mereka inginkan. Dan konsep yang mereka pilih: manusia pada dasarnya bengis dan
negaraharus berkuasa atas segala hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar